[Paper
Teori Sosiologi II (Nomor 1), Program Pascasarjana Universitas Indonesia,
30 April 1996]
Sekitar satu dasawarsa terakhir ini
konsep integrasi (sosial) kembali memperoleh perhatian besar dari warga dunia.
Seiring dengan peredaan ketegangan politik dan militer global sebagai akibat
runtuhnya rezim komunis di Eropa Timur, perhatian orang lebih ditujukan kepada
stabilitas dan ketertiban – suatu landasan yang di atasnya suatu masyarakat
dapat melakukan pembangunan ekonomi. Banyak pihak yang percaya bahwa pendekatan
keamanan (security approach) sekarang
telah digantikan oleh pendekatan kemakmuran (prosperity approach).
Popularitas konsep itu tampaknya tidak
berkurang ketika sejumlah konflik primordial terjadi di beberapa negara yang
selama ini terlanjur diyakini sebagai masyarakat industri modern. Konflik etnik
yang tersirat juga di dalamnya konflik agama yang berlangsung di wilayah bekas
Yugoslavia antara Serbia, Kroasia dengan Bosnia, dan kerusuhan rasialis di Los
Angeles Amerika Serikat, serta peperangan antara Chechnya dengan Rusia adalah
contoh yang paling aktual. Secara berurutan konflik tersebut menambah rangkaian
konflik primordial permanen yang terjadi di negara maju lainnya, seperti
Irlandia Utara yang melibatkan Inggris dan Irlandia yang berafiliasi pada
Kristen Anglikan dan kelompok Irlandia yang beragama Katolik, serta keinginan
separatis warga keturunan Perancis di Quebec untuk mendirikan negara tersendiri
yang lepas dari Kanada.
Konsep integrasi sosial sebaliknya malah
semakin mengemuka, ketika dunia menyaksikan lahirnya berbagai asosiasi regional
berdasarkan kerja sama ekonomi. Mulai dari Masyarakat Eropa (EC), Amerika Utara
termasuk Meksiko (NAFTA), Asia Tenggara (AFTA), hingga Asia Pasifik (APEC) yang
melibatkan Amerika Serikat, Australia, Jepang, RRT, Korea Selatan, serta
negara-negara ASEAN. Dalam naungan perspektif ekologis yang lahir tahun
1960-an, orang sekarang berbicara mengenai satu dunia, suatu kesatuan, satu
sistem yang saling bergantung dan saling mempengaruhi.
Dalam lingkungan komunitas ilmiah
sosiologi, integrasi sosial juga memperoleh popularitasnya kembali seiring
dengan bangkitnya neofungsionalisme. Perspektif struktural fungsional dengan
pendekatan sistemnya yang dikemukakan oleh Talcott Parsons seakan bangkit dari
kuburannya pada awal 1980-an, setelah dinyatakan mati pada 1960-an (lihat mis.
Alexander et.al. 1987).
Bukan lagi konflik yang menjadi pusat
perhatian sosiologi, melainkan dinamika integrasi; bukan lagi kelas, dan juga
negara, yang menjadi unit alnalisisnya, melainkan juga aktor-aktor lain yang
bersama-sama dengan berbagai pranata lainnya dapat dipandang sebagai suatu
sistem; bukan lagi hubungan produksi atau ekonomi, melainkan juga berbagai
jenis hubungan sosial lain secara komprehensif; dan bukan lagi suatu masyarakat
dalam jurisdiksi satu negara, melainkan masyarakat supranasional.
Dan yang paling penting, pusat perhatian
sosiologi itu sendiri lebih kepada integrasi teoritik di antara berbagai kubu
yang bertentangan. Berbeda dengan anggapan orang selama ini, perkembangan
sosiologi terakhir lebih condong untuk membuat sintesis a la Parsons, bukan
lagi bermetateori, dan dengan demikian mulai menggugat keabsahan sosiologi
sebagai multiparadigm.
Paper
berikut berupaya untuk mengajukan
definisi konseptual mengenai integrasi sosial dengan pemaparan sedemikian
sehingga ia dapat diderivasi secara langsung guna pengukuran empirik. Dalam
upaya tersebut, paper ini secara
khusus berusaha menjawab serangkaian pertanyaan yang bertalian erat sebagai
berikut:
1)
Siapa saja
teoritisi sosiologi yang mengajukan konsep integrasi sosial?
2) Bagaimana para teoritisi sosiologi sebelumnya
mendefinisikan integrasi sosial?
3) Bagaimana perbandingan pemikiran di antara mereka; apa
persamaan dan perbedaannya; apakah integrasi sosial artinya sama dengan kohesi
sosial, keteraturan sosial, solidaritas, stabilitas?
4) Bagaimana sintesis pemikiran mereka; apakah konsep
yang lebih umum yang mampu mempertemukan berbagai pemikiran yang berlainan
mengenai integrasi; apakah integrasi merupakan proses atau keadaan?
5) Apakah perspektif yang tepat untuk mendekati konsep
integrasi; sistem, jaringan, atau non-sistem lainnya?
6) Apakah unit analisis integrasi sosial; individu, unit
sosial sebagai aktor atau pranata?
7) Bagaimanakah perumusan definisi konseptual, dimensi
konsep, definisi operasional, dan tipologi atau kategorinya?
8)
Apakah
faktor-faktor yang mempengaruhi integrasi, dan dengan cara bagaimana mereka
berhubungan satu sama lain?
Mengingat luasnya bidang cakupan
pertanyaan ini, paper kali ini (Nomor
1) akan memusatkan diri pada 2 pertanyaan yang disebut pertama. Paper-paper nomor berikutnya diharapkan
mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam kesempatan selanjutnya dalam
semester yang berlangsung hingga bulan Juni 1996. Seluruh paper ini diharapkan akan berkulminasi sebagai penelitian, dan
hasilnya akan dijadikan buku pada tahun 1997/1998.
Kajian
Teoritisi Awal
Berbeda dengan pandangan umum selama
ini, saya menilai bahwa integrasi sebenarnya bukan jargon, konsep baku yang
hanya dimiliki oleh para sosiolog yang berasal dari kubu struktural-fungsional.
Kenyataannya, jauh sebelum terjadi pengkotak-kotakkan teoritik secara
artifisial, jejak konsep itu dapat ditemukan dalam sejumlah karya sosiologi
‘klasik.’ Durkheim jelas merupakan tokoh utama yang membahas konsep ini,
diikuti dan dikembangkan kemudian oleh Parsons. Kendati demikian, Marx yang
oleh banyak pihak berada dalam posisi berlawanan karena mengajukan teori
struktural konflik, sebenarnya juga membayangkan adanya semacam mekanisme
integrasidalam skema teorinya.
Dalam aksen yang mungkin kurang
menonjol, konsep integrasi juga dibahas oleh Weber – bukan sekadar dalam nuansa
kultural sebagaimana diyakini oleh banyak orang, melainkan juga struktural.
Akhirnya, konsep ini dibahas pula oleh Simmel yang dipercaya sebagian pengamat
sebagai ‘hantu’ keempat sosiologi klasik yang menyatukan struktural-fungsional
dan struktural-konflik, pendekatan makro struktural dan mikro interaksional.
Spencer: Integrasi Sistem
Sebagaimana Durkheim dan Parsons,
pemahaman integrasi dalam skema teori Spencer tidak bisa dilepaskan dari
kecenderungannya dalam melihat masyarakat sebagai sistem sosial yang bersifat
organik. Sebagai suatu sistem, ia terdiri dari bagian-bagian yang saling
berhubungan, struktur, dan, sebagai konsekuensinya, memiliki fungsi.
Pada awalnya masyarakat bertambah besar.
Pembesaran ini kemudian diikuti oleh peningkatan dalam struktur – suatu organisasi. Pembesaran menuntut lebih banyak
diferensiasi di antara bagian-bagian yang sangat berbeda – kompleksitas yang
semakin tinggi. Diferensiasi pertama yang muncul terletak pada mereka yang
memiliki dan atau menjalankan wewenang. Kemudian diikuti oleh pembagian di
antara struktur pengatur (regulative) dan
struktur penyokong (sustaining) serta
struktur distributif yang terdapat
dalam masyarakat. Pada gilirannya peningkatan diferensiasi struktur tersebut
diikuti oleh peningkatan diferensiasi fungsi
– yang dikatakannya sebagai “kebutuhan yang diberikan” oleh struktur
(Spencer, 1908c: 3; Ritzer, 1992: 122).
Tidak mungkin terjadi perubahan struktur
tanpa perubahan fungsi. Awalnya masyarakat hanya memiliki dua struktur,
pengatur dan penyokong. Fungsi struktur penyokong adalah untuk memenuhi
kebutuhan hidup sistem, bersifat internal. Sedangkan fungsi struktur pengatur
adalah memelihara hubungan di antara satu sistem dengan sistem lainnya,
bersifat eksternal. Seiring dengan perkembangan masyarakat, kemudian lahir satu
struktur lainnya, distributif, yang fungsinya adalah menghubungkan antara
struktur penyokong dan pengatur, atau “mengangkut barang-barang dari satu
sistem ke sistem lainnya” (Laeyendecker, 1983: 202).
Dijabarkan ke dalam peralihan masyarakat
militer ke masyarakat industri, konsepsi di atas dapat dijelaskan sebagai
berikut: Masyarakat militan ditandai oleh sejumlah organisasi yang sangat
terstruktur bagi kepentingan peperangan, baik yang bersifat ofensif maupun
defensif. Bala tentara dan bangsa adalah satu. Lebih lanjut masyarakat tipe ini
didominasi oleh sistem yang regulatif dengan kontrol pemerintahan yang tidak
terbatas, despotik, dan tersentralisasi. Kerja sama yang muncul adalah hasil
dari paksaan. Individu dikuasai sepenuhnya oleh negara. Lebih jauh lagi,
masyarakat militer ditandai oleh stratifikasi vertikal yang kaku; posisi
individu terikat kuat berdasarkan ranking,
jabatan, dan tempat. Kalaupun ada industri dalam masyarakat seperti ini, hal
itu sepenuhnya ditujukan bagi rezim militer (Ritzer, 1992: 124).
Sistem penyokong cenderung menempati
posisi yang dominan, sedangkan sistem industrinya telah berkembang dan beraneka
ragam. Fungsi pengatur mengalami penurunan yang cukup drastis; tidak ada lagi
kontrol yang despotik, sebaliknya, pemerintahan menjadi relatif demokratik yang
dilengkapi dengan lembaga perwakilan rakyat. Kalaupun ada kontrol, namun ia
cenderung bersifat desentralisasi.
Kerja sama bersifat sukarela, dan
kehadiran kelompok ditujukan untuk melayani individu. Hak-hak individu
dilindungi dan diberikan kebebasan penuh untuk terus berkembang. Kontrol
ditegakkan berdasarkan kontrak sukarela. Kedudukan militer ditempatkan di bawah
kepentingan sistem industri. Harmoni, bukan konflik dan peperangan, yang
mewarnai masyarakat industri. Bila masyarakat militer cenderung mengembangkan
sistem ekonomi yang otonom karena permusuhan dengan masyarakat lain di
sekitarnya, masyarakat industri cenderung sangat bergantung satu sama lain
secara ekonomi. Dalam kaitan ini perlu ditambahkan bahwa masyarakat industri
jauh lebih mudah untuk berubah dan menyesuaikan diri dibandingkan masyarakat
militer.
Lebih jauh, Spencer juga memerikan
kondisi politik. Masyarakat industri cenderung menampilkan bentuknya yang utuh,
demokratik, memisahkan badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta
memisahkan fungsi ekonomi dari politik. Dalam pranata keagamaan (ecclesiatical),
masyarakat industri ditandai oleh adanya diferensiasi peran pranata dan
pemimpin agama secara khas, yang dibedakan dari pranata dan pemimpin politik,
serta ilmuwan sebagai sumber pengetahuan. Ada penurunan signifikansi peran
agama. Namun secara keseluruhan, peran agama tetap penting dalam masyarakat
industri, khususnya sebagai sarana kohesi sosial, kontrol atas peperangan,
pemelihara tata sosial, dan berfungsi sebagai sistem pengatur tambahan yang
dijalankan oleh sistem politik.
Masyarakat industri juga ditandai oleh
perkembangan pranata profesional. Berbagai profesi berkembang dalam masyarakat.
Dan seiring dengan diferensiasi tersebut, muncul sarana yang mengintegrasikan
melalui asosiasi-asosiasi profesi, pengalaman pendidikan yang sama, dan sistem
perizinan yang terpusat. Akhirnya, Spencer menyinggung pula tentang pranata
industri. Pada intinya industri merupakan pranata ekonomi yang terdiri dari
pembagian kerja yang kompleks; peralatan produksi yang berkembang dari
penggunaan tenaga manusia kepada mesin; meluasnya sistem distribusi barang, dan
sistem pertukaran (uang); serta berkembangnya sarana pengaturan ketenagakerjaan
yang relatif berdiri sendiri, terpisah dari pranata keagamaan dan negara.
Marx: Integrasi via Dominasi
Dalam konsepsi Marx, secara abstrak,
integrasi dapat dipandang sebagai kesesuaian
antara materi dengan non-materi; antara ekonomi sebagai struktur sosial
dengan hukum, politik dan budaya; antara infrastruktur dan suprastruktur.
Masyarakat yang mengembangkan pertanian dan gilda akan menghasilkan masyarakat
feodal; sedangkan masyarakat yang mengembangkan pabrik akan menghasilkan
masyarakat kapitalis (industri).
Kesesuaian di antara hubungan produksi
dengan hubungan sosial itu tidak datang dengan sendirinya secara alami. Kelas
yang menguasai alat produksi akan berusaha untuk menciptakan dan mempertahankan
sistem ekonomi yang bersifat eksploitatif dan alienatif, karena hanya dengan
cara itu mereka dapat memperoleh keuntungan. Hal itu misalnya dilakukan dengan
mengembangkan ideologi kesadaran palsu melalui
agama dan kepercayaan budaya lainnya yang ada dalam masyarakat.
Lebih jauh lagi, kelas yang sama,
golongan borjuis, akan berupaya menguasai kelas-kelas lain dalam masyarakat
luas melalui instrumen negara: “negara adalah perserikatan yang
menyelenggarakan kepentingan bersama seluruh kelas borjuis.” Dengan menerapkan
kebijakan yang represif, melalui mekanisme politik serta hukum dan sistem
peradilan, negara dapat menjamin kelanggengan usaha ekonomi yang kondusif bukan
saja kepada kelas borjuis namun juga kepada sistem kapitalisme secara
keseluruhan.
Berdasarkan uraian di atas, dengan mudah
diikuti bahwa integrasi, singkatnya, merupakan suatu upaya yang sadar dan
sengaja, yang dilakukan oleh suatu segmen masyarakat demi kepentingan ekonomi
melalui mekanisme dominasi. Dalam upaya itu, kelas dominan tidak selalu
berhasil. Kelas-kelas lain, yang pada kulminasinya bergabung satu menjadi kelas
proletariat di bawah pimpinan golongan buruh, akan menyingkirkan kelas yang
berkuasa.
Sebagai konsekuensinya, integrasi dalam
pemahaman Marx adalah sesuaut yang bersifat dinamis. Mengikuti filsafat
dialektikanya, integrasi adalah suatu
keadaan (tesis); suatu proses, disintegrasi
(antitesis); dan suatu hasil atau keadaan baru, sintegrasi (sintesis). Marx kurang lebih percaya bahwa kondisi
integrasi yang relatif permanen akan tercapai bila masyarakat berubah menjadi
masyarakat nirkelas, masyarakat
komunis.
Durkheim: Integrasi via Solidaritas
Pengertian Durkheim mengenai integrasi
bertumpu pada konsep kunci solidaritas “suatu
keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada
perasaan moral dan kepercayaan bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional
bersama” (Johnson, 1, 1986: 122). Dilihat dari sudut ini, pengertian integrasi
berdiri sejajar dengan regulasi; kedua konsep itu pada dasarnya berupaya untuk
menggambarkan kondisi hubungan yang terdapat dalam solidaritas. Bila integrasi melukiskan tingkat pemilikan
sentimen kolektif, maka regulasi melukiskan
tingkat tekanan eksternal pada individu (Ritzer, 1992: 192).
Durkheim percaya tidak mungkin
masyarakat terjadi tanpa integrasi dan regulasi (solidaritas). Solidaritas-lah
yang menyatukan kumpulan individu ke dalam suatu kesatuan yang berdiri
mengatasi unsur-unsur pembentuknya sendiri (sui
generis). Fakta bahwa masyarakat tetap berdiri dalam rangkaian sejarah yang
panjang kendati mengalami berbagai perubahan, hanya bisa terjadi oleh karena
solidaritas tetap bekerja sebagai mekanisme utama.
Secara teoritik masyarakat berkembang
dari solidaritas mekanik ke solidaritas organik. Dalam masyarakat yang
mengembangkan solidaritas tipe pertama, integrasi dan regulasi dicapai melalui
aspek keserupaan. Individu-individu bergantung satu sama lain berdasarkan
pemilikan dan sentimen bersama. Ada tekanan yang kuat untuk bertindak dalam
kesatuan, dalam satu jiwa. Individualitas tidak dibiarkan berkembang; mereka
dipaksa untuk menyesuaikan diri.
Dalam masyarakat solidaritas organik,
ikatan sosial bukan lagi bertumpu pada pemilikan kepercayaan dan sentimen
bersama, melainkan pada saling ketergantungan para individu sebagai akibat
adanya pembagian pekerjaan. Ketergantungan itu sendiri dimungkinkan karena
seiring dengan pembagian kerja tersebut muncul pula sejumlah peraturan
sedemikian sehingga para individu yang ada dalam masyarakat itu tetap terikat
dalam satu kesatuan, tidak mengejar kepentingan mereka sendiri.
Berdasarkan uraian ini jelas terlihat
bahwa, berbeda dengan anggapan orang selama ini, pengertian solidaritas tidak
identik dengan integrasi, bahkan jauh melampauinya. Dengan memasukkan elemen
regulasi, posisi Durkheim dapat disejajarkan dengan Marx: bahwa integrasi bukan
merupakan suatu proses yang niscaya secara alami, melainkan suatu upaya yang
sadar dan sengaja oleh pihak tertentu.
Perbedaannya adalah, pihak yang dimaksud
adalah bukan kelas borjuis dan kolusinya dengan negara, melainkan organisasi
profesi, agama, dan negara. Dalam ketiga lembaga itu Durkheim melihat bahwa
para individu bukan sekadar dipaksa untuk menyesuaikan diri pada masyarakat,
melainkan juga untuk mengalami atau memperoleh nurani kolektif (kepercayaan dan
perasaan bersama) serta cetusan antusiasme emosional (collective effervescence).
Durkheim percaya bahwa kesatuan
masyarakat yang modern sekalipun tidak bisa hanya mengandalkan pada pembagian
kerja fungsional semata, namun juga membutuhkan ikatan moral. Hal itu tampak
jelas seperti dikatakan Giddens: “Negara condong untuk semakin menjadi penting
dengan bertambahnya keanekaragaman dalam pembagian kerja: pertumbuhan negara
merupakan suatu ciri khas (yang lazim dalam) perkembangan masyarakat” (Giddens,
1986: 125).
Bukan berarti ia melihat adanya hubungan
simetris yang saling menggantikan antara masyarakat dan negara; yang ia ingin
tegaskan adalah negara bukan saja sekadar menyandang peran politik, melainkan
juga peran ekonomi, dan, yang paling penting, peran moral. Baginya negara
“merupakan bentuk yang paling teratur dari organisasi manusiawi yang ada:
(Durkheim dalam Abdullah & van
der Leeden, 1986: 207) yang diartikan sebagai “pengejawantahan (sebagai bagian)
dari cita-cita umat manusia.” (ibid:
211).
Akhirnya perlu juga ditegaskan bahwa
Durkheim sebenarnya tidak terlalu optimis dengan prospek solidaritas. Di antara
peralihan dua tipe solidaritas, di samping dalam solidaritas organik itu
sendiri, senantiasa terkandung potensi disintegrasi
dan disregulasi yang dapat
membawa konsekuensi patologis. Karena itu, walau dengan penuh kewaspadaan,
Durkheim sangat berharap negara dapat menyelesaikan masalah sosial tersebut.
Weber: Integrasi via Dominasi Legal-Rasional
Seperti Marx, ide integrasi dalam
pemikiran Weber memang tidak begitu menonjol seperti dalam pemikiran Durkheim.
Namun bukan berarti sama sekali tidak ada. Jejak konsep integrasi Weber dapat
ditelusuri ketika ia membicarakan rasionalitas pada tingkat yang paling umum,
serta dominasi berdasarkan otoritas legal-rasional (rasionalitas secara
khusus).
Pada tingkat yang paling abstrak,
integrasi dalam konsepsi Weber dapat diartikan, baik sebagai tingkat kesesuaian
di antara berbagai pranata, maupun sebagai tingkat kesesuaian tindakan aktor
dengan berbagai pranata itu sendiri. Dalam terminologi pertama, integrasi
diperagakan oleh kondisi empirik Eropa Barat. Relatif berkembangnya masyarakat
Barat dibanding Timur disebabkan oleh rasionalisme dalam berbagai bidang, mulai
dari ekonomi (kapitalisme industri), politik (demokrasi), teknologi yang
rasional, dan hukum rasional hingga budaya (etika Protestan dan semangat
kapitalisme), serta rasionalisasi penyelenggaraan kehidupan pada umumnya dan
etika ekonomi yang rasionalistik (Weber dalam Adreski, 1989: 122). Lebih jauh,
terminologi kedua, berbagai pranata yang rasional itu sendiri didukung oleh
berbagai tindakan individu dan aktor sosial lainnya, terutama kelompok dan organisasi,
yang juga bersifat rasional.
Secara lebih teknis, integrasi, atau
stabilitas dan keteraturan sosial dalam terminologi Weber, ditentukan bukan
semata oleh kebiasaan, melainkan oleh penerimaan para warga atas norma-norma
yang melandasi keteraturan itu sendiri, baik karena tradisi, emosi, kepercayaan
rasional, maupun karena cara rasional (Weber, 1947: 130).
Titik penekanan Weber tentu saja
ditumpukan pada mekanisme dominasi melalui otoritas legal-rasional. Integrasi
pada masyarakat modern dapat dicapai melalui dominasi semacam ini, yakni kasus
pemaksaan kekuasaan di mana seorang pelaku menuruti suatu perintah spesifik
yang dikeluarkan orang lain (Giddens, 1985: 192). Dengan semakin berkembangnya
industri (ekonomi dan teknologi yang rasional), masyarakat memerlukan dukungan
politik dan hukum yang sesuai dengan perkembangan tersebut. Dan organisasi
dalam bentuk birokrasi merupakan wadah yang paling sesuai untuk itu.
Berbeda dengan organisasi sebelumnya
yang bersifat tradisional dan karismatik, karakter impersonal dan formal
birokrasi memungkinkan lahirnya kelanggengan keteraturan sosial yang terdapat
dalam masyarakat modern. Dengan cara yang sistematis, organisasi ini
menghubungkan kepentingan individu dengan pelaksanaan fungsi-fungsi organisasi.
Dilihat dari sudut individu, birokrasi memberikan kepastian dalam gaji dan
karier; sedangkan dilihat dari sudut masyarakat, birokrasi atau organisasi
secara keseluruhan dapat dianggap sebagai wadah yang paling efisien dan efektif
untuk mencapai tujuan sosial yang lebih besar.
Implisit dalam penjelasan Weber terakhir
ini, terkandung asumsi bahwa masyarakat adalah kurang lebih suatu jaringan
organisasi; ada suatu organisasi atau birokrasi yang memiliki supremasi
tertinggi – negara; secara keseluruhan organisasi itu bertanggung jawab atas
integrasi. Dalam rumusan abstrak seperti ini, jelas Weber memiliki kesamaan
dengan Durkheim. Dan seperti Durkheim, Weber juga cukup skeptis mengenai
prospek dominasi birokrasi yang dikatakannya memiliki kecenderungan untuk
menempatkan individu dalam kerangkeng birokrasi dan pembagian kerja yang tidak
tepat “specialists without spirit,
sensualis without heart” (Weber, 1958: 182).
Parsons: Integrasi via Sistem
Konsepsi integrasi dalam skema teori
Parsons jelas menduduki posisi negral. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa
Parsons sendiri mengajukan dua level pengertian yang berbeda: pada tingkat
individu sebagai aktor dan pada tingkat sistem (Bourricaud, 1981: 50, 56, 93).
Dalam uraian berikut saya sepenuhnya memfokuskan diri pada integrasi di level
sistem.
Dalam level ini, integrasi hanya salah
satu dari empat prasyarat fungsional yang harus dipenuhi oleh sistem sosial:
pemeliharaan pola-pola laten, pencapaian tujuan, dan adaptasi. Pengertian
prasyarat fungsional di sini merujuk kepada sesuatu yang harus ada, karena
tanpa itu sistem tidak akan berfungsi. Sedangkan fungional itu sendiri
diartikannya sebagai “a mode of
relationship of the units of a system by virtue of which, on the one hand, they
act so as collectivelly to avoid disrupting the system and making it impossible
to maintain its stability, and, the other hand, to ‘cooperate’ to promote its
functioning as a unity” (Parsons, 1954).
Sebagai suatu prasyarat fungsional,
integrasi merujuk pada tingkat solidaritas minimal yang diperlukan agar
unit-unit yang terdapat dalam sistem sosial dapat bekerja sama dan menghindari
konflik. Lebih jauh, Parsons tampaknya memberi penekanan bahwa “By system integration we mean the mutual
cathetic adjustment of these units to each other in the perspective of the
internal harmony or, as is often said for social systems, solidarity or
cohesion of the system” (Parsons, 1959: 636).
Sebagai suatu sistem sosial yang
tertinggi, masyarakat memiliki banyak potensi untuk mengalami disintegrasi dan
perpecahan. Integrasi yang memungkinkan potensi itu dapat dimoderasikan kalau
tidak diatasi sama sekali. Dalam uraian di tempat lain, Parsons menyebut ada
tiga faktor yang memungkinkan masyarakat modern tetap dapat memelihara
integrasinya (Parsons, 1973, 1977).
Faktor pertama yang mengintegrasikan
adalah sistem hukum. Dengan semakin terdiferensiasinya suatu masyarakat,
kedudukan pemerintah menjadi semakin kuat; hal itu diperlukan untuk memelihara
ketertiban sosial, menyelesaikan berbagai kepentingan yang bertentangan di
antara penduduk. Namun demikian pemerintah tidak dapat bertindak
sewenang-wenang, karena kekuasaan untuk memaksakan ketertiban sosial harus
dapat diterima anggota masyarakat (otoritas). Penerimaan ini secara eksplisit
diatur dalam undang-undang. Konstitusionalisme inilah yang mampu menuntut
kepatuhan para warga dan pada gilirannya mampu merekatkan mereka dalam satu
kesatuan.
Faktor integratif kedua adalah pengakuan
atas kewarganegaraan. Dalam hal ini muncul kerangka legal yang mendefinisikan
kembali batas hubungan di antara komunitas kemasyarakatan dengan pemerintah;
partisipasi dalam urusan kemasyarakatan; dan pengakuan atas kesejahteraan warga
negara sebagai tanggung jawab umum pemerintah (Parsons, 1973: 176-177). Dengan
adanya pengakuan tersebut, walaupun ada diferensiasi yang tinggi di antara para
warga, namun mereka, sekali lagi, dapat direkatkan dalam satu kesatuan.
Faktor integratif ketiga adalah lahirnya
berbagai organisasi birokratik, sistem pasar, dan asosiasi sukarela. Kedua
konsep yang disebut pertama bagi Parsons saling bertalian erat dan merujuk pada
apa yang disebutnya sebagai ekonomi industri: “.... is bureaucratic organization of production and the mobilization of
manpower through labor market” (Parsons, 1977: 179). Sedangkan konsep yang
disebut terakhir, asosiasi sukarela, disebutnya sebagai sarana untuk
menyalurkan berbagai kepentingan, baik yang menyangkut bidang ekonomi, politik,
maupun profesi.
Secara keseluruhan, Parsons menyatakan “All three types of operative organizations
(markets, bureaucracy and associational structures) have been growing more
salient in the course of differentiation and pluralization of modern societal
communities” (Parsons, 1977: 181). Dengan pernyataan ini, kendati tidak
eksplisit, Parsons sebenarnya mengikuti tradisi Durkheimian, mengimplikasikan
bahwa masyarakat modern dapat mempertahankan integrasinya, tidak
tercerai-berai, karena ada saling ketergantungan yang lahir sebagai akibat
adanya pembagian kerja.
Dahrendorf: Integrasi via
Institusionalisasi Konflik
Dalam upaya menjelaskan bagaimana
masyarakat kapitalis Barat tidak mengalami revolusi menuju masyarakat komunis,
Dahrendorf sebenarnya secara tidak sengaja mengajukan teori mengenai integrasi
sosial.
Bertentangan dengan pendapat Marx, ia melihat
ada enam faktor integratif yang bekerja dalam masyarakat kapitalis, sedemikian
sehingga mereka tidak terjerembab ke dalam situasi konflik yang akut di antara
kelas-kelas yang bertikai.
Pertama, dekomposisi modal yang membawa
implikasi tidak adanya konsentrasi pemilikan. Kedua, dekomposisi buruh; adanya
peningkatan keterampilan buruh. Ketiga, tumbuhnya kelas menengah sebagai
akibat. Keempat, adanya peningkatan mobilitas sosial. Kelima, pengakuan hak
warga negara yang memungkinkan berkurangnya kesenjangan ekstrem di antara
ekonomi dan politik. Terakhir adalah institusionalisasi konflik.
Institusionalisasi konflik yang dimaksud
di atas terjadi melalui apa yang disebutnya sebagai ‘demokrasi industri.’ Ada
lima unsur pembentuknya, yakni pertama, pengorganisasian kelompok kepentingan
yang bertentangan; kedua, pembentukan badan-badan perunding semacam parlemen
untuk menyelesaikan perselisihan; ketiga, institusi mediasi dan arbitrasi;
keempat, perwakilan formal para buruh dalam satu perusahaan tertentu; kelima,
institusionalisasi partisipasi buruh dalam manajemen industri (Dahrendorf,
1986: 319-333).
Sejalan dengan itu, konflik dalam
masyarakat industri juga telah diredakan oleh karena ada pemisahan antara
masyarakat di satu pihak dan industri di pihak lain. Posisi ini jelas kontras
dengan Marx yang justru melihat adanya kaitan erat antara masyarakat dan
industri, dengan akibat apa yang terjadi di industri (hubungan kapitalis-proletar)
membawa efek peluberan yang serta merta ke dalam masyarakat (kelas atas-kelas
bawah).
Sebagai konsekuensi logis atas pemisahan
ini, sebaliknya, Dahrendorf beranggapan ada kecenderungan tercipta lima kondisi
hipotesis mengenai konflik antar-kelas dalam bidang industri berikut ini
(Dahrendorf, 1986: 339-345). Pertama, tindakan buruh bukan lagi sebagai
‘aktor-sosial,’ terbatas hanya sebagai aktor-industrial. Kedua, kepentingan
kelas industri tidak lagi identik dengan kepentingan kelas politik. Ketiga,
pemogokan tidak lagi membawa dampak total kepada masyarakat umum, bahkan juga
tidak mempengaruhi bidang (sektor) industri lainnya. Keempat, tidak ada lagi
hubungan erat antara serikat buruh dengan partai buruh dan atau partai
sosialis; singkatnya, partai buruh telah kehilangan makna politiknya. Terakhir,
hubungan subordinasi atau penundukan dalam bidang industri tidak lagi identik
dengan hubungan subordinasi dalam bidang politik.
Lebih jauh, sebagai representasi
masyarakat, negara dalam konsepsinya memang diakui merupakan sebuah
perserikatan yang dikoordinasi melalui hubungan-hubungan wewenang, dan dengan
demikian ia adalah suatu kekuatan produksi industri pula (Dahrendorf, 1986:
176). Namun secara tegas ia berpendapat bahwa negara selaku kekuasaan politik
dan produksi industri adalah dua perserikatan yang pada dasarnya menjalankan
kekuasaan masing-masing secara terpisah. Bahkan ia dengan meyakinkan
berkesimpulan, “industri dan (konflik) industri secara institusional telah
dipisahkan, diisolasi; berarti industri dan pertentangannya itu telah duduk
mapan dalam masyarakat” (Dahrendorf, 1986: 335).
Dalam bidang politik, konflik
antar-kelas dalam masyarakat industri digambarkan Dahrendorf dalam suatu model
masyarakat bebas. Bila dalam bidang industri, konflik antar-kelas
digambarkannya dalam terminologi yang cenderung lebih sentral; melalui modelnya
ini, Dahrendorf sebenarnya berupaya menggambarkan citra sistem politik yang
demokratis.
Penutup
Selain berbagai sosiolog yang mengkaji
integrasi sosial di atas, masih ada bebearpa teoritisi lain yang menarik untuk
dibahas dalam paper berikutnya.
Mereka adalah di antaranya Simmel, Lockwood (1964), Buckley (1967), Cohen
(1969), Blau (1977, 1987), Giddens (1984), Turner (1988), Jary & Jary
(1991), Borgatta (1992), Bailey (1994), dan sebagainya.
Referensi
Alexander, J.C. 1983. “The Classical
Attempt at Theoritical Synthesis: Max Weber” in Theoritical Logic in Sociology volume
three. Berkeley & Los Angeles: University of California Press.
Alexander, J.C., Giesen, B., Munch. R.
& Smelser, N.J. 1987. The Micro-Macro
Link. Berkeley & Los Angeles: University of California Press.
Alexander, J.C. (ed.). 1988. Durkheimian Sociology: Cultural Studies. New
York: Cambridge University Press. Reprinted 1992.
Andreski, Stanislav (ed. & a.b.).
1989. Max Weber: Kapitalisme, Birokrasi
dan Agama. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Aron, Raymond. 1974. Main Currents of Sociological Thought. Harmondsworth:
Penguin.
Bailey, Kenneth D. 1994. Sociology and the New Systems Theory: Toward
Theoritical Synthesis. New York: State University of New York Press.
Blau, Peter. 1977. Inequality and Heterogeinity. New York: Academic Press.
Borgatta, Edgar F. & Borgatta, Marie
L. 1992. (eds.). Encyclopedia of
Sociology. New York: Macmillan Publishing.
Bourricaud, Francois. 1981. The Sociology of Talcott Parsons. Chicago:
University of Chicago Press. t.r. Arthur Goldhammer. Paperback Edition, 1984.
Buckley, Walter. 1967. Sociology and Modern System Theory. Englewood
Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall.
Cohen, Percy S. 1968. Modern Social Theory. London: English
Language Book Society. Reprinted 1979.
Coleman, James S. 1990. Foundations of Social Theory. Cambridge,
Mass.: Harvard University Press.
Doyle, Paul Johnson. Teori Sosiologi Klasik & Modern.a.b.
Robert M.Z. Lawang. Jakarta: Gramedia, 1986. Bab 3 dan Bab 4.
Giddens, Anthony. 1973. The Class Structure of the Advanced
Societies. London: Hutchinson University Library.
Giddens, Anthony. 1985. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Giddens, Anthony. 1984. The Constitution of Society. Cambridge,
England: Polity Press.
Giddens, A. & Turner, J. 1987. Social Theory Today. Stanford, Cal.:
Stanford University Press.
Huber, Joan. (ed.). 1991. Macro-Micro Linkage in Sociology. American
Sociological Association Presidential Series. Newbury Park Cal.: Sage
Publications.
Jary, David & Jary, Julia. 1991. The Harper Collins Dictionary of Sociology.
New York: Harper Collins.
Laenyendecker, L. 1983. Tata, Perubahan, dan Ketimpangan: Suatu
Pengantar Sejarah Sosiologi. Jakarta: Gramedia.
Lockwood, D. 1964. “Social Integration
and System Integration,” in Zollschan, Z. & Hirsch, E. (ed.). Exploration in Social Change. London:
Routledge & Kegan Paul.
Marshall, Gordon. (ed.). 1994. The Concise Oxford Dictionary of Sociology. New
York: Oxford University Press.
Merton, Robert. 1968. Social Theory and Social Structure. New
York: Free Press.
Parsons, Talcott. 1951. The Social System. New York: Free Press.
Parsons, Talcott. 1954. Essays in Sociological Theory. New York:
Free Press.