Rabu, 24 Februari 2016

Integrasi Sosial Didefinisikan



[Paper Teori Sosiologi II (Nomor 1), Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 30 April 1996]

Sekitar satu dasawarsa terakhir ini konsep integrasi (sosial) kembali memperoleh perhatian besar dari warga dunia. Seiring dengan peredaan ketegangan politik dan militer global sebagai akibat runtuhnya rezim komunis di Eropa Timur, perhatian orang lebih ditujukan kepada stabilitas dan ketertiban – suatu landasan yang di atasnya suatu masyarakat dapat melakukan pembangunan ekonomi. Banyak pihak yang percaya bahwa pendekatan keamanan (security approach) sekarang telah digantikan oleh pendekatan kemakmuran (prosperity approach).

Popularitas konsep itu tampaknya tidak berkurang ketika sejumlah konflik primordial terjadi di beberapa negara yang selama ini terlanjur diyakini sebagai masyarakat industri modern. Konflik etnik yang tersirat juga di dalamnya konflik agama yang berlangsung di wilayah bekas Yugoslavia antara Serbia, Kroasia dengan Bosnia, dan kerusuhan rasialis di Los Angeles Amerika Serikat, serta peperangan antara Chechnya dengan Rusia adalah contoh yang paling aktual. Secara berurutan konflik tersebut menambah rangkaian konflik primordial permanen yang terjadi di negara maju lainnya, seperti Irlandia Utara yang melibatkan Inggris dan Irlandia yang berafiliasi pada Kristen Anglikan dan kelompok Irlandia yang beragama Katolik, serta keinginan separatis warga keturunan Perancis di Quebec untuk mendirikan negara tersendiri yang lepas dari Kanada.

Konsep integrasi sosial sebaliknya malah semakin mengemuka, ketika dunia menyaksikan lahirnya berbagai asosiasi regional berdasarkan kerja sama ekonomi. Mulai dari Masyarakat Eropa (EC), Amerika Utara termasuk Meksiko (NAFTA), Asia Tenggara (AFTA), hingga Asia Pasifik (APEC) yang melibatkan Amerika Serikat, Australia, Jepang, RRT, Korea Selatan, serta negara-negara ASEAN. Dalam naungan perspektif ekologis yang lahir tahun 1960-an, orang sekarang berbicara mengenai satu dunia, suatu kesatuan, satu sistem yang saling bergantung dan saling mempengaruhi.

Dalam lingkungan komunitas ilmiah sosiologi, integrasi sosial juga memperoleh popularitasnya kembali seiring dengan bangkitnya neofungsionalisme. Perspektif struktural fungsional dengan pendekatan sistemnya yang dikemukakan oleh Talcott Parsons seakan bangkit dari kuburannya pada awal 1980-an, setelah dinyatakan mati pada 1960-an (lihat mis. Alexander et.al. 1987).

Bukan lagi konflik yang menjadi pusat perhatian sosiologi, melainkan dinamika integrasi; bukan lagi kelas, dan juga negara, yang menjadi unit alnalisisnya, melainkan juga aktor-aktor lain yang bersama-sama dengan berbagai pranata lainnya dapat dipandang sebagai suatu sistem; bukan lagi hubungan produksi atau ekonomi, melainkan juga berbagai jenis hubungan sosial lain secara komprehensif; dan bukan lagi suatu masyarakat dalam jurisdiksi satu negara, melainkan masyarakat supranasional.

Dan yang paling penting, pusat perhatian sosiologi itu sendiri lebih kepada integrasi teoritik di antara berbagai kubu yang bertentangan. Berbeda dengan anggapan orang selama ini, perkembangan sosiologi terakhir lebih condong untuk membuat sintesis a la Parsons, bukan lagi bermetateori, dan dengan demikian mulai menggugat keabsahan sosiologi sebagai multiparadigm.

Paper berikut berupaya untuk mengajukan definisi konseptual mengenai integrasi sosial dengan pemaparan sedemikian sehingga ia dapat diderivasi secara langsung guna pengukuran empirik. Dalam upaya tersebut, paper ini secara khusus berusaha menjawab serangkaian pertanyaan yang bertalian erat sebagai berikut:

1)      Siapa saja teoritisi sosiologi yang mengajukan konsep integrasi sosial?
2)      Bagaimana para teoritisi sosiologi sebelumnya mendefinisikan integrasi sosial?
3)      Bagaimana perbandingan pemikiran di antara mereka; apa persamaan dan perbedaannya; apakah integrasi sosial artinya sama dengan kohesi sosial, keteraturan sosial, solidaritas, stabilitas?
4)      Bagaimana sintesis pemikiran mereka; apakah konsep yang lebih umum yang mampu mempertemukan berbagai pemikiran yang berlainan mengenai integrasi; apakah integrasi merupakan proses atau keadaan?
5)      Apakah perspektif yang tepat untuk mendekati konsep integrasi; sistem, jaringan, atau non-sistem lainnya?
6)      Apakah unit analisis integrasi sosial; individu, unit sosial sebagai aktor atau pranata?
7)      Bagaimanakah perumusan definisi konseptual, dimensi konsep, definisi operasional, dan tipologi atau kategorinya?
8)      Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi integrasi, dan dengan cara bagaimana mereka berhubungan satu sama lain?

Mengingat luasnya bidang cakupan pertanyaan ini, paper kali ini (Nomor 1) akan memusatkan diri pada 2 pertanyaan yang disebut pertama. Paper-paper nomor berikutnya diharapkan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam kesempatan selanjutnya dalam semester yang berlangsung hingga bulan Juni 1996. Seluruh paper ini diharapkan akan berkulminasi sebagai penelitian, dan hasilnya akan dijadikan buku pada tahun 1997/1998.


Kajian Teoritisi Awal

Berbeda dengan pandangan umum selama ini, saya menilai bahwa integrasi sebenarnya bukan jargon, konsep baku yang hanya dimiliki oleh para sosiolog yang berasal dari kubu struktural-fungsional. Kenyataannya, jauh sebelum terjadi pengkotak-kotakkan teoritik secara artifisial, jejak konsep itu dapat ditemukan dalam sejumlah karya sosiologi ‘klasik.’ Durkheim jelas merupakan tokoh utama yang membahas konsep ini, diikuti dan dikembangkan kemudian oleh Parsons. Kendati demikian, Marx yang oleh banyak pihak berada dalam posisi berlawanan karena mengajukan teori struktural konflik, sebenarnya juga membayangkan adanya semacam mekanisme integrasidalam skema teorinya.

Dalam aksen yang mungkin kurang menonjol, konsep integrasi juga dibahas oleh Weber – bukan sekadar dalam nuansa kultural sebagaimana diyakini oleh banyak orang, melainkan juga struktural. Akhirnya, konsep ini dibahas pula oleh Simmel yang dipercaya sebagian pengamat sebagai ‘hantu’ keempat sosiologi klasik yang menyatukan struktural-fungsional dan struktural-konflik, pendekatan makro struktural dan mikro interaksional.


Spencer: Integrasi Sistem

Sebagaimana Durkheim dan Parsons, pemahaman integrasi dalam skema teori Spencer tidak bisa dilepaskan dari kecenderungannya dalam melihat masyarakat sebagai sistem sosial yang bersifat organik. Sebagai suatu sistem, ia terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan, struktur, dan, sebagai konsekuensinya, memiliki fungsi.

Pada awalnya masyarakat bertambah besar. Pembesaran ini kemudian diikuti oleh peningkatan dalam struktur – suatu organisasi. Pembesaran menuntut lebih banyak diferensiasi di antara bagian-bagian yang sangat berbeda – kompleksitas yang semakin tinggi. Diferensiasi pertama yang muncul terletak pada mereka yang memiliki dan atau menjalankan wewenang. Kemudian diikuti oleh pembagian di antara struktur pengatur (regulative) dan struktur penyokong (sustaining) serta struktur distributif yang terdapat dalam masyarakat. Pada gilirannya peningkatan diferensiasi struktur tersebut diikuti oleh peningkatan diferensiasi fungsi – yang dikatakannya sebagai “kebutuhan yang diberikan” oleh struktur (Spencer, 1908c: 3; Ritzer, 1992: 122).

Tidak mungkin terjadi perubahan struktur tanpa perubahan fungsi. Awalnya masyarakat hanya memiliki dua struktur, pengatur dan penyokong. Fungsi struktur penyokong adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup sistem, bersifat internal. Sedangkan fungsi struktur pengatur adalah memelihara hubungan di antara satu sistem dengan sistem lainnya, bersifat eksternal. Seiring dengan perkembangan masyarakat, kemudian lahir satu struktur lainnya, distributif, yang fungsinya adalah menghubungkan antara struktur penyokong dan pengatur, atau “mengangkut barang-barang dari satu sistem ke sistem lainnya” (Laeyendecker, 1983: 202).

Dijabarkan ke dalam peralihan masyarakat militer ke masyarakat industri, konsepsi di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: Masyarakat militan ditandai oleh sejumlah organisasi yang sangat terstruktur bagi kepentingan peperangan, baik yang bersifat ofensif maupun defensif. Bala tentara dan bangsa adalah satu. Lebih lanjut masyarakat tipe ini didominasi oleh sistem yang regulatif dengan kontrol pemerintahan yang tidak terbatas, despotik, dan tersentralisasi. Kerja sama yang muncul adalah hasil dari paksaan. Individu dikuasai sepenuhnya oleh negara. Lebih jauh lagi, masyarakat militer ditandai oleh stratifikasi vertikal yang kaku; posisi individu terikat kuat berdasarkan ranking, jabatan, dan tempat. Kalaupun ada industri dalam masyarakat seperti ini, hal itu sepenuhnya ditujukan bagi rezim militer (Ritzer, 1992: 124).

Sistem penyokong cenderung menempati posisi yang dominan, sedangkan sistem industrinya telah berkembang dan beraneka ragam. Fungsi pengatur mengalami penurunan yang cukup drastis; tidak ada lagi kontrol yang despotik, sebaliknya, pemerintahan menjadi relatif demokratik yang dilengkapi dengan lembaga perwakilan rakyat. Kalaupun ada kontrol, namun ia cenderung bersifat desentralisasi.

Kerja sama bersifat sukarela, dan kehadiran kelompok ditujukan untuk melayani individu. Hak-hak individu dilindungi dan diberikan kebebasan penuh untuk terus berkembang. Kontrol ditegakkan berdasarkan kontrak sukarela. Kedudukan militer ditempatkan di bawah kepentingan sistem industri. Harmoni, bukan konflik dan peperangan, yang mewarnai masyarakat industri. Bila masyarakat militer cenderung mengembangkan sistem ekonomi yang otonom karena permusuhan dengan masyarakat lain di sekitarnya, masyarakat industri cenderung sangat bergantung satu sama lain secara ekonomi. Dalam kaitan ini perlu ditambahkan bahwa masyarakat industri jauh lebih mudah untuk berubah dan menyesuaikan diri dibandingkan masyarakat militer.

Lebih jauh, Spencer juga memerikan kondisi politik. Masyarakat industri cenderung menampilkan bentuknya yang utuh, demokratik, memisahkan badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta memisahkan fungsi ekonomi dari politik. Dalam pranata keagamaan (ecclesiatical), masyarakat industri ditandai oleh adanya diferensiasi peran pranata dan pemimpin agama secara khas, yang dibedakan dari pranata dan pemimpin politik, serta ilmuwan sebagai sumber pengetahuan. Ada penurunan signifikansi peran agama. Namun secara keseluruhan, peran agama tetap penting dalam masyarakat industri, khususnya sebagai sarana kohesi sosial, kontrol atas peperangan, pemelihara tata sosial, dan berfungsi sebagai sistem pengatur tambahan yang dijalankan oleh sistem politik.

Masyarakat industri juga ditandai oleh perkembangan pranata profesional. Berbagai profesi berkembang dalam masyarakat. Dan seiring dengan diferensiasi tersebut, muncul sarana yang mengintegrasikan melalui asosiasi-asosiasi profesi, pengalaman pendidikan yang sama, dan sistem perizinan yang terpusat. Akhirnya, Spencer menyinggung pula tentang pranata industri. Pada intinya industri merupakan pranata ekonomi yang terdiri dari pembagian kerja yang kompleks; peralatan produksi yang berkembang dari penggunaan tenaga manusia kepada mesin; meluasnya sistem distribusi barang, dan sistem pertukaran (uang); serta berkembangnya sarana pengaturan ketenagakerjaan yang relatif berdiri sendiri, terpisah dari pranata keagamaan dan negara.


Marx: Integrasi via Dominasi

Dalam konsepsi Marx, secara abstrak, integrasi dapat dipandang sebagai kesesuaian antara materi dengan non-materi; antara ekonomi sebagai struktur sosial dengan hukum, politik dan budaya; antara infrastruktur dan suprastruktur. Masyarakat yang mengembangkan pertanian dan gilda akan menghasilkan masyarakat feodal; sedangkan masyarakat yang mengembangkan pabrik akan menghasilkan masyarakat kapitalis (industri).

Kesesuaian di antara hubungan produksi dengan hubungan sosial itu tidak datang dengan sendirinya secara alami. Kelas yang menguasai alat produksi akan berusaha untuk menciptakan dan mempertahankan sistem ekonomi yang bersifat eksploitatif dan alienatif, karena hanya dengan cara itu mereka dapat memperoleh keuntungan. Hal itu misalnya dilakukan dengan mengembangkan ideologi kesadaran palsu melalui agama dan kepercayaan budaya lainnya yang ada dalam masyarakat.

Lebih jauh lagi, kelas yang sama, golongan borjuis, akan berupaya menguasai kelas-kelas lain dalam masyarakat luas melalui instrumen negara: “negara adalah perserikatan yang menyelenggarakan kepentingan bersama seluruh kelas borjuis.” Dengan menerapkan kebijakan yang represif, melalui mekanisme politik serta hukum dan sistem peradilan, negara dapat menjamin kelanggengan usaha ekonomi yang kondusif bukan saja kepada kelas borjuis namun juga kepada sistem kapitalisme secara keseluruhan.

Berdasarkan uraian di atas, dengan mudah diikuti bahwa integrasi, singkatnya, merupakan suatu upaya yang sadar dan sengaja, yang dilakukan oleh suatu segmen masyarakat demi kepentingan ekonomi melalui mekanisme dominasi. Dalam upaya itu, kelas dominan tidak selalu berhasil. Kelas-kelas lain, yang pada kulminasinya bergabung satu menjadi kelas proletariat di bawah pimpinan golongan buruh, akan menyingkirkan kelas yang berkuasa.

Sebagai konsekuensinya, integrasi dalam pemahaman Marx adalah sesuaut yang bersifat dinamis. Mengikuti filsafat dialektikanya, integrasi adalah suatu keadaan (tesis); suatu proses, disintegrasi (antitesis); dan suatu hasil atau keadaan baru, sintegrasi (sintesis). Marx kurang lebih percaya bahwa kondisi integrasi yang relatif permanen akan tercapai bila masyarakat berubah menjadi masyarakat nirkelas, masyarakat komunis.


Durkheim: Integrasi via Solidaritas

Pengertian Durkheim mengenai integrasi bertumpu pada konsep kunci solidaritas “suatu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama” (Johnson, 1, 1986: 122). Dilihat dari sudut ini, pengertian integrasi berdiri sejajar dengan regulasi; kedua konsep itu pada dasarnya berupaya untuk menggambarkan kondisi hubungan yang terdapat dalam solidaritas. Bila integrasi melukiskan tingkat pemilikan sentimen kolektif, maka regulasi melukiskan tingkat tekanan eksternal pada individu (Ritzer, 1992: 192).

Durkheim percaya tidak mungkin masyarakat terjadi tanpa integrasi dan regulasi (solidaritas). Solidaritas-lah yang menyatukan kumpulan individu ke dalam suatu kesatuan yang berdiri mengatasi unsur-unsur pembentuknya sendiri (sui generis). Fakta bahwa masyarakat tetap berdiri dalam rangkaian sejarah yang panjang kendati mengalami berbagai perubahan, hanya bisa terjadi oleh karena solidaritas tetap bekerja sebagai mekanisme utama.

Secara teoritik masyarakat berkembang dari solidaritas mekanik ke solidaritas organik. Dalam masyarakat yang mengembangkan solidaritas tipe pertama, integrasi dan regulasi dicapai melalui aspek keserupaan. Individu-individu bergantung satu sama lain berdasarkan pemilikan dan sentimen bersama. Ada tekanan yang kuat untuk bertindak dalam kesatuan, dalam satu jiwa. Individualitas tidak dibiarkan berkembang; mereka dipaksa untuk menyesuaikan diri.

Dalam masyarakat solidaritas organik, ikatan sosial bukan lagi bertumpu pada pemilikan kepercayaan dan sentimen bersama, melainkan pada saling ketergantungan para individu sebagai akibat adanya pembagian pekerjaan. Ketergantungan itu sendiri dimungkinkan karena seiring dengan pembagian kerja tersebut muncul pula sejumlah peraturan sedemikian sehingga para individu yang ada dalam masyarakat itu tetap terikat dalam satu kesatuan, tidak mengejar kepentingan mereka sendiri.

Berdasarkan uraian ini jelas terlihat bahwa, berbeda dengan anggapan orang selama ini, pengertian solidaritas tidak identik dengan integrasi, bahkan jauh melampauinya. Dengan memasukkan elemen regulasi, posisi Durkheim dapat disejajarkan dengan Marx: bahwa integrasi bukan merupakan suatu proses yang niscaya secara alami, melainkan suatu upaya yang sadar dan sengaja oleh pihak tertentu.

Perbedaannya adalah, pihak yang dimaksud adalah bukan kelas borjuis dan kolusinya dengan negara, melainkan organisasi profesi, agama, dan negara. Dalam ketiga lembaga itu Durkheim melihat bahwa para individu bukan sekadar dipaksa untuk menyesuaikan diri pada masyarakat, melainkan juga untuk mengalami atau memperoleh nurani kolektif (kepercayaan dan perasaan bersama) serta cetusan antusiasme emosional (collective effervescence).

Durkheim percaya bahwa kesatuan masyarakat yang modern sekalipun tidak bisa hanya mengandalkan pada pembagian kerja fungsional semata, namun juga membutuhkan ikatan moral. Hal itu tampak jelas seperti dikatakan Giddens: “Negara condong untuk semakin menjadi penting dengan bertambahnya keanekaragaman dalam pembagian kerja: pertumbuhan negara merupakan suatu ciri khas (yang lazim dalam) perkembangan masyarakat” (Giddens, 1986: 125).

Bukan berarti ia melihat adanya hubungan simetris yang saling menggantikan antara masyarakat dan negara; yang ia ingin tegaskan adalah negara bukan saja sekadar menyandang peran politik, melainkan juga peran ekonomi, dan, yang paling penting, peran moral. Baginya negara “merupakan bentuk yang paling teratur dari organisasi manusiawi yang ada: (Durkheim dalam Abdullah & van der Leeden, 1986: 207) yang diartikan sebagai “pengejawantahan (sebagai bagian) dari cita-cita umat manusia.” (ibid: 211).

Akhirnya perlu juga ditegaskan bahwa Durkheim sebenarnya tidak terlalu optimis dengan prospek solidaritas. Di antara peralihan dua tipe solidaritas, di samping dalam solidaritas organik itu sendiri, senantiasa terkandung potensi disintegrasi dan disregulasi yang dapat membawa konsekuensi patologis. Karena itu, walau dengan penuh kewaspadaan, Durkheim sangat berharap negara dapat menyelesaikan masalah sosial tersebut.


Weber: Integrasi via Dominasi Legal-Rasional

Seperti Marx, ide integrasi dalam pemikiran Weber memang tidak begitu menonjol seperti dalam pemikiran Durkheim. Namun bukan berarti sama sekali tidak ada. Jejak konsep integrasi Weber dapat ditelusuri ketika ia membicarakan rasionalitas pada tingkat yang paling umum, serta dominasi berdasarkan otoritas legal-rasional (rasionalitas secara khusus).

Pada tingkat yang paling abstrak, integrasi dalam konsepsi Weber dapat diartikan, baik sebagai tingkat kesesuaian di antara berbagai pranata, maupun sebagai tingkat kesesuaian tindakan aktor dengan berbagai pranata itu sendiri. Dalam terminologi pertama, integrasi diperagakan oleh kondisi empirik Eropa Barat. Relatif berkembangnya masyarakat Barat dibanding Timur disebabkan oleh rasionalisme dalam berbagai bidang, mulai dari ekonomi (kapitalisme industri), politik (demokrasi), teknologi yang rasional, dan hukum rasional hingga budaya (etika Protestan dan semangat kapitalisme), serta rasionalisasi penyelenggaraan kehidupan pada umumnya dan etika ekonomi yang rasionalistik (Weber dalam Adreski, 1989: 122). Lebih jauh, terminologi kedua, berbagai pranata yang rasional itu sendiri didukung oleh berbagai tindakan individu dan aktor sosial lainnya, terutama kelompok dan organisasi, yang juga bersifat rasional.

Secara lebih teknis, integrasi, atau stabilitas dan keteraturan sosial dalam terminologi Weber, ditentukan bukan semata oleh kebiasaan, melainkan oleh penerimaan para warga atas norma-norma yang melandasi keteraturan itu sendiri, baik karena tradisi, emosi, kepercayaan rasional, maupun karena cara rasional (Weber, 1947: 130).

Titik penekanan Weber tentu saja ditumpukan pada mekanisme dominasi melalui otoritas legal-rasional. Integrasi pada masyarakat modern dapat dicapai melalui dominasi semacam ini, yakni kasus pemaksaan kekuasaan di mana seorang pelaku menuruti suatu perintah spesifik yang dikeluarkan orang lain (Giddens, 1985: 192). Dengan semakin berkembangnya industri (ekonomi dan teknologi yang rasional), masyarakat memerlukan dukungan politik dan hukum yang sesuai dengan perkembangan tersebut. Dan organisasi dalam bentuk birokrasi merupakan wadah yang paling sesuai untuk itu.

Berbeda dengan organisasi sebelumnya yang bersifat tradisional dan karismatik, karakter impersonal dan formal birokrasi memungkinkan lahirnya kelanggengan keteraturan sosial yang terdapat dalam masyarakat modern. Dengan cara yang sistematis, organisasi ini menghubungkan kepentingan individu dengan pelaksanaan fungsi-fungsi organisasi. Dilihat dari sudut individu, birokrasi memberikan kepastian dalam gaji dan karier; sedangkan dilihat dari sudut masyarakat, birokrasi atau organisasi secara keseluruhan dapat dianggap sebagai wadah yang paling efisien dan efektif untuk mencapai tujuan sosial yang lebih besar.

Implisit dalam penjelasan Weber terakhir ini, terkandung asumsi bahwa masyarakat adalah kurang lebih suatu jaringan organisasi; ada suatu organisasi atau birokrasi yang memiliki supremasi tertinggi – negara; secara keseluruhan organisasi itu bertanggung jawab atas integrasi. Dalam rumusan abstrak seperti ini, jelas Weber memiliki kesamaan dengan Durkheim. Dan seperti Durkheim, Weber juga cukup skeptis mengenai prospek dominasi birokrasi yang dikatakannya memiliki kecenderungan untuk menempatkan individu dalam kerangkeng birokrasi dan pembagian kerja yang tidak tepat “specialists without spirit, sensualis without heart” (Weber, 1958: 182).


Parsons: Integrasi via Sistem

Konsepsi integrasi dalam skema teori Parsons jelas menduduki posisi negral. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa Parsons sendiri mengajukan dua level pengertian yang berbeda: pada tingkat individu sebagai aktor dan pada tingkat sistem (Bourricaud, 1981: 50, 56, 93). Dalam uraian berikut saya sepenuhnya memfokuskan diri pada integrasi di level sistem.

Dalam level ini, integrasi hanya salah satu dari empat prasyarat fungsional yang harus dipenuhi oleh sistem sosial: pemeliharaan pola-pola laten, pencapaian tujuan, dan adaptasi. Pengertian prasyarat fungsional di sini merujuk kepada sesuatu yang harus ada, karena tanpa itu sistem tidak akan berfungsi. Sedangkan fungional itu sendiri diartikannya sebagai “a mode of relationship of the units of a system by virtue of which, on the one hand, they act so as collectivelly to avoid disrupting the system and making it impossible to maintain its stability, and, the other hand, to ‘cooperate’ to promote its functioning as a unity” (Parsons, 1954).

Sebagai suatu prasyarat fungsional, integrasi merujuk pada tingkat solidaritas minimal yang diperlukan agar unit-unit yang terdapat dalam sistem sosial dapat bekerja sama dan menghindari konflik. Lebih jauh, Parsons tampaknya memberi penekanan bahwa “By system integration we mean the mutual cathetic adjustment of these units to each other in the perspective of the internal harmony or, as is often said for social systems, solidarity or cohesion of the system” (Parsons, 1959: 636).

Sebagai suatu sistem sosial yang tertinggi, masyarakat memiliki banyak potensi untuk mengalami disintegrasi dan perpecahan. Integrasi yang memungkinkan potensi itu dapat dimoderasikan kalau tidak diatasi sama sekali. Dalam uraian di tempat lain, Parsons menyebut ada tiga faktor yang memungkinkan masyarakat modern tetap dapat memelihara integrasinya (Parsons, 1973, 1977).

Faktor pertama yang mengintegrasikan adalah sistem hukum. Dengan semakin terdiferensiasinya suatu masyarakat, kedudukan pemerintah menjadi semakin kuat; hal itu diperlukan untuk memelihara ketertiban sosial, menyelesaikan berbagai kepentingan yang bertentangan di antara penduduk. Namun demikian pemerintah tidak dapat bertindak sewenang-wenang, karena kekuasaan untuk memaksakan ketertiban sosial harus dapat diterima anggota masyarakat (otoritas). Penerimaan ini secara eksplisit diatur dalam undang-undang. Konstitusionalisme inilah yang mampu menuntut kepatuhan para warga dan pada gilirannya mampu merekatkan mereka dalam satu kesatuan.

Faktor integratif kedua adalah pengakuan atas kewarganegaraan. Dalam hal ini muncul kerangka legal yang mendefinisikan kembali batas hubungan di antara komunitas kemasyarakatan dengan pemerintah; partisipasi dalam urusan kemasyarakatan; dan pengakuan atas kesejahteraan warga negara sebagai tanggung jawab umum pemerintah (Parsons, 1973: 176-177). Dengan adanya pengakuan tersebut, walaupun ada diferensiasi yang tinggi di antara para warga, namun mereka, sekali lagi, dapat direkatkan dalam satu kesatuan.

Faktor integratif ketiga adalah lahirnya berbagai organisasi birokratik, sistem pasar, dan asosiasi sukarela. Kedua konsep yang disebut pertama bagi Parsons saling bertalian erat dan merujuk pada apa yang disebutnya sebagai ekonomi industri: “.... is bureaucratic organization of production and the mobilization of manpower through labor market” (Parsons, 1977: 179). Sedangkan konsep yang disebut terakhir, asosiasi sukarela, disebutnya sebagai sarana untuk menyalurkan berbagai kepentingan, baik yang menyangkut bidang ekonomi, politik, maupun profesi.

Secara keseluruhan, Parsons menyatakan “All three types of operative organizations (markets, bureaucracy and associational structures) have been growing more salient in the course of differentiation and pluralization of modern societal communities” (Parsons, 1977: 181). Dengan pernyataan ini, kendati tidak eksplisit, Parsons sebenarnya mengikuti tradisi Durkheimian, mengimplikasikan bahwa masyarakat modern dapat mempertahankan integrasinya, tidak tercerai-berai, karena ada saling ketergantungan yang lahir sebagai akibat adanya pembagian kerja.


Dahrendorf: Integrasi via Institusionalisasi Konflik

Dalam upaya menjelaskan bagaimana masyarakat kapitalis Barat tidak mengalami revolusi menuju masyarakat komunis, Dahrendorf sebenarnya secara tidak sengaja mengajukan teori mengenai integrasi sosial.

Bertentangan dengan pendapat Marx, ia melihat ada enam faktor integratif yang bekerja dalam masyarakat kapitalis, sedemikian sehingga mereka tidak terjerembab ke dalam situasi konflik yang akut di antara kelas-kelas yang bertikai.

Pertama, dekomposisi modal yang membawa implikasi tidak adanya konsentrasi pemilikan. Kedua, dekomposisi buruh; adanya peningkatan keterampilan buruh. Ketiga, tumbuhnya kelas menengah sebagai akibat. Keempat, adanya peningkatan mobilitas sosial. Kelima, pengakuan hak warga negara yang memungkinkan berkurangnya kesenjangan ekstrem di antara ekonomi dan politik. Terakhir adalah institusionalisasi konflik.

Institusionalisasi konflik yang dimaksud di atas terjadi melalui apa yang disebutnya sebagai ‘demokrasi industri.’ Ada lima unsur pembentuknya, yakni pertama, pengorganisasian kelompok kepentingan yang bertentangan; kedua, pembentukan badan-badan perunding semacam parlemen untuk menyelesaikan perselisihan; ketiga, institusi mediasi dan arbitrasi; keempat, perwakilan formal para buruh dalam satu perusahaan tertentu; kelima, institusionalisasi partisipasi buruh dalam manajemen industri (Dahrendorf, 1986: 319-333). 

Sejalan dengan itu, konflik dalam masyarakat industri juga telah diredakan oleh karena ada pemisahan antara masyarakat di satu pihak dan industri di pihak lain. Posisi ini jelas kontras dengan Marx yang justru melihat adanya kaitan erat antara masyarakat dan industri, dengan akibat apa yang terjadi di industri (hubungan kapitalis-proletar) membawa efek peluberan yang serta merta ke dalam masyarakat (kelas atas-kelas bawah).

Sebagai konsekuensi logis atas pemisahan ini, sebaliknya, Dahrendorf beranggapan ada kecenderungan tercipta lima kondisi hipotesis mengenai konflik antar-kelas dalam bidang industri berikut ini (Dahrendorf, 1986: 339-345). Pertama, tindakan buruh bukan lagi sebagai ‘aktor-sosial,’ terbatas hanya sebagai aktor-industrial. Kedua, kepentingan kelas industri tidak lagi identik dengan kepentingan kelas politik. Ketiga, pemogokan tidak lagi membawa dampak total kepada masyarakat umum, bahkan juga tidak mempengaruhi bidang (sektor) industri lainnya. Keempat, tidak ada lagi hubungan erat antara serikat buruh dengan partai buruh dan atau partai sosialis; singkatnya, partai buruh telah kehilangan makna politiknya. Terakhir, hubungan subordinasi atau penundukan dalam bidang industri tidak lagi identik dengan hubungan subordinasi dalam bidang politik.

Lebih jauh, sebagai representasi masyarakat, negara dalam konsepsinya memang diakui merupakan sebuah perserikatan yang dikoordinasi melalui hubungan-hubungan wewenang, dan dengan demikian ia adalah suatu kekuatan produksi industri pula (Dahrendorf, 1986: 176). Namun secara tegas ia berpendapat bahwa negara selaku kekuasaan politik dan produksi industri adalah dua perserikatan yang pada dasarnya menjalankan kekuasaan masing-masing secara terpisah. Bahkan ia dengan meyakinkan berkesimpulan, “industri dan (konflik) industri secara institusional telah dipisahkan, diisolasi; berarti industri dan pertentangannya itu telah duduk mapan dalam masyarakat” (Dahrendorf, 1986: 335).

Dalam bidang politik, konflik antar-kelas dalam masyarakat industri digambarkan Dahrendorf dalam suatu model masyarakat bebas. Bila dalam bidang industri, konflik antar-kelas digambarkannya dalam terminologi yang cenderung lebih sentral; melalui modelnya ini, Dahrendorf sebenarnya berupaya menggambarkan citra sistem politik yang demokratis.


Penutup

Selain berbagai sosiolog yang mengkaji integrasi sosial di atas, masih ada bebearpa teoritisi lain yang menarik untuk dibahas dalam paper berikutnya. Mereka adalah di antaranya Simmel, Lockwood (1964), Buckley (1967), Cohen (1969), Blau (1977, 1987), Giddens (1984), Turner (1988), Jary & Jary (1991), Borgatta (1992), Bailey (1994), dan sebagainya.


Referensi

Alexander, J.C. 1983. “The Classical Attempt at Theoritical Synthesis: Max Weber” in Theoritical Logic in Sociology volume three. Berkeley & Los Angeles: University of California Press.

Alexander, J.C., Giesen, B., Munch. R. & Smelser, N.J. 1987. The Micro-Macro Link. Berkeley & Los Angeles: University of California Press.

Alexander, J.C. (ed.). 1988. Durkheimian Sociology: Cultural Studies. New York: Cambridge University Press. Reprinted 1992.

Andreski, Stanislav (ed. & a.b.). 1989. Max Weber: Kapitalisme, Birokrasi dan Agama. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Aron, Raymond. 1974. Main Currents of Sociological Thought. Harmondsworth: Penguin.

Bailey, Kenneth D. 1994. Sociology and the New Systems Theory: Toward Theoritical Synthesis. New York: State University of New York Press.

Blau, Peter. 1977. Inequality and Heterogeinity. New York: Academic Press.

Borgatta, Edgar F. & Borgatta, Marie L. 1992. (eds.). Encyclopedia of Sociology. New York: Macmillan Publishing.

Bourricaud, Francois. 1981. The Sociology of Talcott Parsons. Chicago: University of Chicago Press. t.r. Arthur Goldhammer. Paperback Edition, 1984.

Buckley, Walter. 1967. Sociology and Modern System Theory. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall.

Cohen, Percy S. 1968. Modern Social Theory. London: English Language Book Society. Reprinted 1979.

Coleman, James S. 1990. Foundations of Social Theory. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.

Doyle, Paul Johnson. Teori Sosiologi Klasik & Modern.a.b. Robert M.Z. Lawang. Jakarta: Gramedia, 1986. Bab 3 dan Bab 4.

Giddens, Anthony. 1973. The Class Structure of the Advanced Societies. London: Hutchinson University Library.

Giddens, Anthony. 1985. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Giddens, Anthony. 1984. The Constitution of Society. Cambridge, England: Polity Press.

Giddens, A. & Turner, J. 1987. Social Theory Today. Stanford, Cal.: Stanford University Press.

Huber, Joan. (ed.). 1991. Macro-Micro Linkage in Sociology. American Sociological Association Presidential Series. Newbury Park Cal.: Sage Publications.

Jary, David & Jary, Julia. 1991. The Harper Collins Dictionary of Sociology. New York: Harper Collins.

Laenyendecker, L. 1983. Tata, Perubahan, dan Ketimpangan: Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi. Jakarta: Gramedia.

Lockwood, D. 1964. “Social Integration and System Integration,” in Zollschan, Z. & Hirsch, E. (ed.). Exploration in Social Change. London: Routledge & Kegan Paul.   

Marshall, Gordon. (ed.). 1994. The Concise Oxford Dictionary of Sociology. New York: Oxford University Press.

Merton, Robert. 1968. Social Theory and Social Structure. New York: Free Press.

Parsons, Talcott. 1951. The Social System. New York: Free Press.

Parsons, Talcott. 1954. Essays in Sociological Theory. New York: Free Press.
  
 

Gerilyawan Budaya



[Artikel untuk Koran, ditulis tahun 1996]

Perkembangan terakhir ini menunjukkan bahwa telah terjadi pertempuran, bukan pertempuran fisik melainkan mental. Adapun senjatanya bukan senapan lengkap dengan amunisinya, melainkan konsep dan simbol. Cara bertempurnya pun unik, tidak berhadapan langsung dan membidikkan larasnya kepada pihak lawan, melainkan bak anak-anak bermain petak umpet – muncul sebentar, tembak sana tembak sini tanpa arah, kemudian menghilang dari permukaan untuk muncul lagi, demikian seterusnya. Gelanggang pertempuran mereka bukan lapangan terbuka dengan latar belakang panorama alam, melainkan media massa.

Mengingat hal itu, adalah wajar bila pertempuran tidak sepenuhnya dapat dilihat dan disadari oleh masyarakat awam; kendati hal itu sebenarnya telah berlangsung lama dengan intensitas yang semakin meningkat. Beberapa korban telah berjatuhan.

Salah satu pelaku pertempuran inilah, baik yang masih segar-bugar maupun yang sedang babak-belur atau malah sudah tergeletak tak berdaya, yang dalam tulisan ini disebut sebagai – meminjam istilah seorang teman – gerilyawan budaya.


Profil

Secara umum, gerilyawan budaya dapat disebut sebagai golongan intelektual. Mereka yang mengandalkan diri pada kemampuan otak ketimbang tenaga wadag. Mereka yang (masih) percaya pada idealisme dalam segala wujud nilainya – nurani, akhlak, etika, dan moralitas. Mereka yang terusik dan tidak bisa tinggal diam, ketika suatu realitas sosial berjalan tidak di atas rel yang sesungguhnya. Mereka yang bacar-mulut, tidak bisa mengatupkan gerahamnya ketika silent majority menyaksikan suatu drama kolosal tentang ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan penderitaan. Mereka adalah, singkatnya, potret ideal yang selama ini digambarkan sebagai kelas menengah.

Beberapa gerilyawan budaya adalah intelektual murni karena profesi mereka sehari-hari memang bertalian dengan konsep dan simbol. Dan lagi pula mereka relatif independen karena bekerja sebagai karyawan swasta. Beberapa lainnya bahkan lebih independen lagi karena mereka bekerja secara mandiri (wiraswasta). Sedangkan sisanya kurang-lebih campuran: berprofesi manajerial-teknis dan independen atau berprofesi konseptual namun dependen, dan sebagainya.

Perkembangannya menjadi semakin semarak ketika gerilyawan budaya mendapat anggota baru. Anggota ini sebenarnya bukan intelektual murni dan pososi pekerjaannya pun adalah dependen. Sebagian besar mereka sudah tidak berada pada posisi semula, namun beberapa di antaranya masih aktif. Kondisi ini jelas sangat menarik karena sebelumnya mereka dan rekan-rekannya itulah yang menjadi pusat penyerangan gerilyawan budaya.


Modus

Seperti dalam perang kemerdekaan, umumnya gerilyawan budaya menyadari bahwa kondisi pihak lawan adalah jauh lebih kuat dibanding kondisi mereka. Mereka tidak memiliki prasarana dan sarana yang memadai seperti modal, perlengkapan, personil, pengalaman, dan sebagainya. Singkatnya, mereka tidak memiliki kekuasaan ril.

Dari pengalaman sebelumnya, mereka melihat bagaimana sejumlah orang yang mengajukan inisiatif pembaharuan berjatuhan, tumbang satu demi satu. Sebagian tersungkur karena mereka memilih bertempur secara fisik. Sebagian lain terhempas karena mereka memilih bertempur dengan senjata jargon-jargon brutal yang ditodongkan langsung ke pihak lawan.

Gerilyawan budaya memilih cara yang berlainan. Namun mereka pun menolak posisi bertopang dagu, duduk tenang dan membisu. Mereka memutuskan untuk bereaksi dalam bentuk filosofi yang paling tinggi – bergerak namun tidak bergerak. Bertindak dalam bayangan, tanpa wujud, perseorangan, spontan, menyebar, sporadis, tanpa asosiasi. Satu-satunya ikatan yang menyatukan mereka adalah ide.

Dan justru ide inilah yang diandalkan sebagai senjata pamungkas. Sebagian gerilyawan membuat pernyataan dalam bentuk konsep abstracta atau illata. Sebagian lainnya membuat sejumlah karya seni yang sarat dengan makna simbolik. Tujuan mereka yang paling hakiki adalah diam bukan berarti setuju, ada sesuatu yang salah di sana-sini dan harus segera diperbaiki.

Mereka melihat pada dasarnya kelanggengan suatu kekuasaan disumbang oleh asas legalitas dan legitimasi. Bila instrumen teknis-formal dengan mudah dapat dimanipulasi oleh pihak lawan, maka mereka memilih untuk berkomunikasi langsung dengan pihak mayoritas. Dan dengan bantuan telekomunikasi global yang ada sekarang ini, gerilyawan budaya berharap pihak mayoritas beranjak dari kebisuannya, menyatakan pendapatnya; karena pada prinsipnya mereka inilah yang menjadi sumber kekuasaan yang sesungguhnya.

Rentetan peluru halus yang ditembakkan oleh para partisan kultural ini tentunya jangan dibandingkan dengan roket exocet, scud, atau bom atom yang mampu meluluhlantakkan suatu bangunan dalam sekejap. Peluru mereka mungkin hanya akan menimbulkan lubang-lubang kecil. Namun dalam jangka panjang lubang-lubang itu akan menimbulkan kebocoran yang dapat menenggelamkan kapal.

Gambaran ini tentunya disadari juga oleh pihak lawan. Mereka memberikan reaksi balasan. Ide dilawan ide. Konsep dilawan konsep. Simbol dilawan simbol. Dan media massa sekarang telah menjadi ajang perkelahian yang seru. Bahkan pihak media massa itu sendiri sering terlibat langsung (walau dengan sikap malu-malu), membela salah satu pihak yang bertikai.

Kontras dengan gerilyawan budaya, serangan atau perlawanan pihak lawan umumnya kurang begitu elegan. Mungkin karena menyadari posisinya sebagai pihak yang lebih kuat, konsep atau simbol yang mereka ajukan cenderung menohok, dan kurang terumuskan dengan baik. Dalam suatu kesempatan misalnya, mereka akan menuduh kaum gerilyawan dengan sebutan-sebutan yang condong akan membangkitkan emosi mayoritas karena bertalian erat dengan trauma di masa lampau; menggolongkan mereka sebagai unit tak berwujud, dan sebagainya. Dalam kesempatan lain, mereka mengajukan konsep yang sulit dimengerti namun sangat jelas dalam ancamannya.


Penutup

Gerilyawan budaya adalah suatu gejala yang wajar. Mereka pasti akan hadir dalam setiap masa. Namun ketika mereka bertumbuhan bak jamur di musim hujan, mungkin hal ini dapat dipakai sebagai indikator bahwa ada sesuatu yang salah atau keliru. Ada dua lapisan masalah yang terjadi di sini. Pertama, masalah kongkrit yang dialami dalam bidang tertentu seperti ekonomi dan politik misalnya. Kedua, masalah hambatan komunikasi, yang tidak memungkinkan salah satu pihak untuk mengungkapkan masalahnya secara terbuka.

Karena itulah kehadiran gerilyawan budaya sebenarnya harus ditanggapi secara positif. Bagaimana pun mereka adalah jauh lebih baik dibanding pewarta isu atau gosip. Selain isi isunya yang sering tidak dapat dipertanggungjawabkan, para pewarta itu sendiri tidak dapat dengan mudah diidentifikasi, baik figur dan kredibilitasnya maupun maksud dan tujuan isu itu sendiri.

Gerilyawan budaya harus ditanggapi dengan senjata yang sama: konsep dan simbol yang dirumuskan secara elegan. Hal yang harus dihindari adalah hilangnya kesabaran salah satu pihak, sehingga ia gelap mata dan lebih memilih bertarung melalui terorisme konsep dan tindakan fisik yang dapat merenggut korban jiwa.

M. Iqbal Djajadi
Sosiolog, FISIP-UI