Rabu, 24 Agustus 2016

Kultus Kiamat: Reaksi atas Agama Mapan yang Anomik dan Disintegratif?



Materi Presentasi pada Seminar “Kiamat: Telaah Manusia dan Akhir Peradabannya”
Kerja sama Lentera Filsafat, Departemen Filsafat UI dan Komafil UI
Auditorium Gd.1 FIB-UI, Selasa, 28 Februari 2012
(Makalah asli dalam bentuk Power Point)


Latar Belakang

Selama ini publik menilai kultus (cult atau sect) kiamat sebagai kelompok-kelompok sosial yang aneh, menyimpang, dan berbahaya. Namun dengan intensifnya pemberitaan media massa tentang seringnya terjadi bencana dan ramalan kaum ekologis di satu pihak, dan larisnya pemutaran film fiksi tentang bencana di pihak lain; publik, sadar atau tidak, telah menelan salah satu ideologi kultus kiamat yang paling mendasar: kisah kehidupan manusia akan segera berakhir dalam waktu dekat sebagai akibat atas perilaku manusia yang destruktif.

Tujuan presentasi berikut sederhana saja: terlepas dari bahayanya kultus kiamat bagi kemanusiaan, sebenarnya secara sosiologis dan antropologis,  mereka sama saja dengan agama-agama yang dipeluk mayoritas manusia di dunia.

Mengapa mereka hadir dan berkembang? Mungkin secara tidak langsung merupakan reaksi, suatu upaya untuk merevisi agama-agama mapan selama ini yang dianggap tidak mampu memberikan orientasi kehidupan yang jelas, dan gagal menyatukan individu-individu ke dalam suatu ikatan sosial yang signifikan.


Definisi Kultus Kiamat

Kultus atau sekte dalam pengertian netral merujuk pada kepercayaan dan ritual.  Kepercayaan merujuk pada asumsi tentang eksistensi Tuhan, alam semesta, dan manusia; sedangkan ritual merujuk pada praktik, tata cara standar yang menghubungkan ketiga unsur tadi.
 
Dari perspektif tersebut, jelas tidak ada perbedaan dengan definisi agama. Namun dalam pembicaraan sehari-hari, kultus biasanya dikonotasikan sebagai sebagai suatu kelompok yang memiliki kepercayaan dan praktik yang bertentangan dengan agama-agama standar, aneh, bahkan berbahaya. Singkatnya, kultus merupakan, mengikuti terminologi Departemen Agama, aliran sesat dan menyesatkan.


Kepercayaan Dasar

Ada sejumlah variasi, berikut adalah beberapa di antaranya:
      Bahwa bencana merupakan suatu keniscayaan;
      Bahwa bencana merupakan suatu hukuman atas perilaku manusia yang sudah menyimpang dari keteraturan yang ditetapkan ‘Tuhan;’
      Bahwa ada waktu yang pasti kapan terjadinya bencana tersebut;
      Bahwa hanya orang yang menjadi anggota suatu kelompok yang dapat menghindarkan diri dari bencana;
      Bahwa anggota harus melakukan segala sesuatu untuk menghindarkan diri dari bencana;
      Walau demikian, menghindarkan bencana bukan berarti tetap hidup, mereka justru menyambut kematian sebagai tahapan untuk melanjutkan kehidupan.


Ritual

Seperti agama-agama lainnya, kultus kiamat melakukan praktik devosi (beribadah, zikir, meditasi, berdoa), purifikasi (puasa),  sakrifasi (berderma, berkorban), dan sebagainya. Namun di luar itu mereka juga melakukan, antara lain mengumpulkan berbagai keperluan ‘hidup;’ termasuk senjata dan racun untuk ‘bela-diri;’ serta melakukan pembunuhan dan/atau bunuh diri massal.


Karakteristik Organisasi Kultus Kiamat

      Kepemimpinan karismatik;
      Otoritarian;
      Rekrutmen yang menipu;
      Pemakaian metode pengubahan pemikiran;
      Isolasi, baik fisik maupun psikologis;
      Tuntutan total atas kebaktian dan kepatuhan;
      Pemisahan yang tajam antara ‘kita’ (yang baik dan terselamatkan) dengan ‘mereka’ (yang jahat dan pasti masuk neraka);
      Bahasa khusus yang hanya dimengerti oleh anggota;
      Kontrol ketat atas perilaku.


Karakteristik Pemimpin Kultus Kiamat

      Dorongan untuk memperoleh kekuasaan dan kekayaan;
      Pribadi yang bermusuhan, kebencian, dan prasangka;
      Pribadi yang memberikan penilaian sebatas kulit pada orang lain;
      Orang yang menuntut kepatuhan mutlak pada pimpinan;
      Orang yang mengartikan kebaikan sebagai kelemahan; 
      Kecenderungan untuk memanipulasi orang lain;
      Sulit untuk dipuaskan;
      Pribadi yang paranoid;
      Karismatik;
      Manipulator ulung.  


Karakteristik Anggota Kultus Kiamat: Mengapa Mereka Bergabung?

      Idealis;
      Kepribadian sederhana;
      Pria;
      Kulit putih;
      Berusia muda (18-25 tahun);
      Sekitar 60% pernah mengikuti perguruan tinggi (S-1) walau hanya 20%-nya yang lulus;
      Kelas menengah;
      Pernah bergabung dengan komunitas Kristen atau Yahudi yang cukup rajin beribadah. 


Disfungsi Kultus Kiamat: Korban Manusia

      People’s Temple, Jim Jones, November 1978, melakukan bunuh diri (dibunuh?)  yang membawa korban 912 orang di Guyana.
      The Branch Davidian Seventh-Day Adventists, David Koresh, 1994, 80 orang anggota bunuh diri (dibunuh?) di Waco, Texas.
      Aum Shinrikyo, Shoko Asahara, 1995  membunuh 13 penumpang, mencederai parah 54 orang dan sekitar 5.000 orang terkena efek gas sarin di kereta api bawah tanah Tokyo.
      Heaven’s Gate, Marshal Applewhite, 26 Maret 1997, melakukan bunuh diri massal yang membawa korban 39 orang. 
      Solar Temple, Michele Tabachnik, 1996-1997, mendorong bunuh diri para anggotanya sebanyak 74 orang di Swiss, Kanada, dan Perancis.
      Movement for the Restoration of the Ten Commandments of God,  korban mati sekitar 1.000 orang di Kunungu, Uganda.


Apa yang Diberikan Kultus Kiamat kepada Para Anggotanya?

      Memberikan suatu lingkungan fisik dan sosial yang terkendali;
      Mengembangkan berbagai kegiatan komprehensif dalam suatu ruang terbatas yang memungkinkan terciptanya komunitas;
      Menekankan hubungan sosial yang intim, akrab (persaudaraan, kekeluargaan);
      Berorientasi pada kehidupan individual sehari-hari;
      Menerapkan peraturan sosial yang jelas dan tegas sehingga bermakna;
      Menampilkan sosok Ketuhanan yang konkret dalam diri seorang pemimpin (reifikasi).


Fungsi (Laten) Kultus Kiamat

      Agama-agama arus utama (mainstream) gagal untuk memberikan makna kepada kehidupan dunia yang kompleks dan berkembang pesat;
      Agama-agama sekarang gagal menyatukan umat dalam suatu ikatan yang signifikan;
      Agama-agama mapan lebih memusatkan perhatian pada isu dan masalah makro dan abstrak; bukan pada aspek mikro, khusus dan individual.

Kerusuhan di Pertandingan Sepak Bola

Pokok wawancara dengan tabloid Bola, Selasa 29 Juli 2008


Mengapa terjadi kerusuhan di pertandingan sepak bola?

Ada banyak faktor, namun yang paling relevan adalah:

  1. Jenis permainan sepak bola itu sendiri
    • Sepak bola sebagai jenis olah raga yang melibatkan banyak pemain; sedemikian sehingga untuk dapat bekerja sama, olah raga ini cenderung memberi penekanan yang berlebihan pada solidaritas. Awalnya hanya pada diri pemain, namun dalam perkembangannya juga terjadi di  antara para penonton yang mendukungnya; 
    • Sepak bola sebagai jenis olah raga yang memiliki kecenderungan tinggi untuk terjadinya kontak fisik, yang pada gilirannya mengarah pada kekerasan (sepak bola dapat disamakan dengan pertarungan gladiator (hidup-mati), seperti juga tinju, rugby atau American Football;
    • Sepak bola sebagai jenis olah raga yang paling mirip dengan situasi kehidupan sosial, yang menuntut orang berjuang mati-matian agar tetap hidup dalam periode  waktu tertentu (bekerja sama untuk mencetak gol dan menahan bola agar tidak kebobolan gawangnya). Singkatnya, sepak bola sebagai pentas kehidupan yang realistik, sehingga cenderung mendorong identifikasi dan empati banyak orang yang menyaksikannya;
    • Sepak bola sebagai jenis olah raga yang memiliki cukup banyak aspek yang tidak terukur dan tidak terkendali, sehingga rentan menimbulkan kontroversi keputusan wasit;
    • Sepak bola sebagai jenis olah raga populer, terutama di lapisan menengah ke bawah; jumlahnya banyak dan pada saat yang sama memiliki kerentanan dalam berbagai aspek hehidupan.

  1. Profil sosial pemain
    • umumnya berasal dari lapisan bawah yang selain mengalami kesulitan kehidupan, mereka juga terbiasa dengan permainan sepak bola yang keras seperti liga tarkam dan pendidikan sekolah sepak bola a la militer;
    • umumnya pendidikan mereka hanya setara dengan SLTA, cenderung lebih berpikir dengan kepalan ketimbang kepala; apalagi mengingat bila sekolah sekarang ini cenderung pada tawuran;
    • umumnya menjalani kehidupan yang terisolasi dari kontak dengan kehidupan normal, lebih banyak berinteraksi dengan rekan-rekan se-tim yang pada gilirannya menghasilkan solidaritas yang tinggi, baik dalam arti positif mau pun negatif.

  1. Profil sosial official (pelatih dkk)
    • umumnya bekas pemain, karena itu juga mengalami kehidupan yang keras, serta membawa kultur solidaritas & kekerasan itu ketika mengelola para pemainnya;
    • berasal dari lapisan menengah ke bawah, lulusan SLTA;
    • kalah pamor dibanding pemain.

  1. Profil klub sepak bola
    • Sebagian besar dari perserikatan, kendati sekarang cukup banyak yang merupakan klub profesional, namun pendekatannya hampir mirip, yakni berorientasi pada fanatisme kedaerahan dan/atau kesukuan;
    • Pengurus umumnya terdiri dari gabungan mantan pemain sepak bola yang ‘keras,’ pejabat daerah yang politis dan hanya berorientasi pada kemenangan;
    • Ada kecenderungan mereka mulai mengelola para pendukung dan, sadar atau tidak, membina pendukung dengan kultur solidaritas sempit yang berpotensi melahirkan kekerasan.

  1. Profil sosial wasit
    • Berasal dari lapisan menengah ke bawah;
    • Memiliki pekerjaan ganda, kurang profesional;
    • Kalah pamor/prestise dibanding pemain dan official;
    • Penghasilan kurang, rentan bagi aktivitas ‘penyuapan’ sehinga mudah menyulut pengambilan keputusan yang tidak adil.

  1. Profil sosial olah raga induk
    • Gabungan dari mantan pemain sepak bola & pejabat politis yang lebih mementingkan aspek-aspek lain di luar pengejaran prestasi berdasarkan suatu sistem;
    • Cenderung tidak menerapkan sanksi yang tegas kepada berbagai bentuk pelanggaran, baik yang dilakukan oleh pemain, official, maupun penonton.

  1. Profil sosial penonton
    • Umumnya lapisan bawah,  lulusan SLTA, pengangguran;
    • Ketika menyaksikan pertandingan sepak bola, cenderung datang berkelompok dan tidak memiliki uang yang memadai, baik untuk membeli tiket maupun jajan;
    • Kecenderungan pengorganisasian pendukung oleh klub-klub sepak bola.

  1. Karakteristik bangunan stadion
    • Lapangan tidak memenuhi standar permainan yang baik, sehingga lebih menimbulkan frustasi pada diri pemain;
    • Stadion tidak memiliki standar pengamanan yang memadai, yang dapat memisahkan antara pemain dengan penonton, antara penonton satu dengan penonton lain.

  1. Profil dan modus aparat keamanan
    • Jumlah aparat yang kurang dan persepsi tidak prestisius tentang para penonton bola (bandingkan dengan versus mahasiswa);
    • Kecenderungan untuk tidak menerapkan sanksi hukum pidana pada pelaku kerusuhan karena jumlahnya. Mereka hanya dianggap sebagai perusuh, bukan pelaku kriminal.