Sabtu, 24 Desember 2016

Kekerasan Etnik dan Perdamaian Etnik: Menelaah Penyelesaian Tindak Pidana Lintas-Etnik dalam 4 Tahun Terakhir di Kalimantan Barat

[Iqbal Djajadi, Staf Pengajar Sosiologi, FISIP-UI]



Semua kekerasan etnik berdarah yang pernah terjadi di Kalimantan Barat (Kalbar) bermula dari tindak pidana penganiayaan dan pembunuhan yang bersifat lintas etnik. Satu atau beberapa individu yang berasal dari etnik tertentu, melukai atau membunuh satu atau beberapa individu yang berasal dari etnik lain.  Insiden Sanggau Ledo 1996/1997 misalnya, berawal dari penusukan seorang pemuda Madura terhadap pemuda Dayak dalam suatu pertunjukan orkes. Insiden Paritsetia 1999 berawal dari penyerangan sejumlah pemuda Madura yang mengakibatkan terbunuhnya 3 orang Melayu.

Mengikuti logika di atas, kita tentunya dapat memprediksikan bahwa bila diketahui dalam satu waktu seorang individu melakukan penganiayaan atau pembunuhan terhadap individu lainnya yang berbeda etnik, maka dapat dipastikan akan terjadi kekerasan etnik: yakni, suatu tindakan kolektif yang dilakukan secara relatif terorganisasi untuk menghukum sebagian dan/atau seluruh anggota etnik dari mana si pelaku tindak pidana berasal. 

Dalam konteks ini, jelas terlihat bahwa kekerasan etnik kontras dengan penghakiman massa yang sering terjadi di Jawa misalnya. Ada 2 hal yang membedakan: pusat perhatian isu dalam kasus yang terakhir ini adalah perbuatan pelaku yang dianggap mengganggu ketertiban, bukan perbuatan kelompok asal pelaku; dan kedua, sasaran hukuman yang sepenuhnya ditujukan kepada pihak yang (dianggap) bersalah, bukan kelompoknya.

Ketika seorang individu A dalam upaya untuk mengambil secara paksa motor telah membunuh B, di Jawa sekelompok massa secara spontan akan mengeksekusi A di tempat (biasanya cara populer adalah dengan membakarnya hidup-hidup), maka di Kalimantan Barat orang-orang di sana akan bertanya lebih dulu apa etnik yang bersangkutan,  dengan pengetahuan itu mereka akan berusaha mengeksekusi bukan saja A, melainkan juga sebagian bahkan seluruh anggota kelompok etnik A tersebut.[i] 

Dalam insiden Sanggau Ledo, hal ini dilakukan oleh Dayak terhadap seluruh Madura, setidaknya yang tinggal di Kabupaten yang sekarang termasuk Bengkayang, Landak, dan sebagian Sanggau. Sedangkan dalam insiden Paritsetia, hal ini dilakukan oleh Melayu terhadap seluruh Madura di Kabupaten Sambas. Dengan kata lain, singkatnya, orang dapat tergoda untuk menyimpulkan di Bumi Khatulistiwa ini tindak pidana penganiayaan dan pembunuhan lintas etnik dapat dipakai sebagai prediktor bagi terjadi kekerasan etnik.

Namun dengan menyimak data di Kalbar dalam beberapa tahun terakhir ini, tampaknya kesimpulan tersebut tidak memperoleh konfirmasi empirik yang memadai. Sejumlah kasus tindak pidana lintas-etnik memang terjadi, tetapi tidak ada satupun yang meledak menjadi kekerasan etnik sebagaimana terjadi pada 1996/7 dan 1999. 

Dalam artikel singkat ini, saya mengembangkan analisis vertikal untuk menelaah hakikat tindak pidana lintas-etnik, membandingkan satu dengan lainnya; selanjutnya saya mengembangkan analisis horisontal dengan mengidentifikasi sejumlah faktor mikro yang menyebabkan terjadinya anomali tersebut. 

Pertanyaan dasar yang diajukan artikel ini, mengapa berbagai tindak pindana yang bersifat lintas-etnik yang terjadi dalam 4 tahun terakhir di Kalbar gagal meledak mejadi kekerasan etnik; apa faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan tersebut?

Tinjauan Teoritik

Saya menemukan setidaknya ada 3 kelompok teori yang berusaha menjawab pertanyaan mengapa tindak pidana lintas-etnik berupa penganiayaan dan pembunuhan yang dilakukan satu kelompok etnik terhadap etnik lainnya tidak senantiasa menghasilkan kekerasan etnik. 

Teori pertama diajukan oleh Fearon & Laitin (1996). Ada dua mekanisme yang berperan besar untuk itu. Pertama adalah spiral equilibria. Ketika satu tindak pidana lintas-etnik terjadi, awalnya hal ini memang mengundang kelompok etnik korban melakukan hukuman secara indiskriminatif terhadap seluruh anggota kelompok etnik pelaku. Hal ini dimungkinkan karena kelompok etnik yang anggotanya menjadi korban tidak mengenal pelaku. 

Tanpa atau dengan perlawanan kelompok pelaku, kekerasan etnik memang terjadi.[ii] Dan dengan pengalaman kekerasan etnik tersebut, seiring waktu, ketika kembali terjadi tindak pidana lintas-etnik, kedua kelompok etnik yang terlibat berusaha menahan diri. Bila penghukuman massal semacam ini terus dilakukan, maka sebagai akibat akumulasi reaksi berantai dari para korban yang tidak bersalah di masa lalu, kekerasan etnik berikutnya akan lebih besar, dan bila masih terus terjadi akan menjadi jauh lebih besar lagi, demikian seterusnya berkembang secara spiral.

Mekanisme kedua adalah in-group policing equilibria. Menyadari bahwa tindak pidana lintas-etnik senantiasa terjadi, suatu masyarakat yang bersifat multi-etnik kemudian membuat kesepakatan bahwa yang berhak melakukan penjatuhan sanksi terhadap pelaku tindak pidana lintas-etnik adalah hanya kelompok etnik di mana pelaku menjadi anggotanya. Karena kelompok inilah yang dianggap paling mengetahui identitas pelaku. Dan dengan cara ini, kelompok etnik yang anggota menjadi korban tidak lagi terdorong untuk menerapkan sanksi hukuman secara tidak pandang bulu. Sebagai akibatnya, kekerasan etnik dapat dihindarkan.

Teori selanjutnya diajukan oleh Gould (1999). Menurutnya, dalam suatu masyarakat senantiasa terjadi tindak pembunuhan. Namun yang menarik, tidak setiap pembunuhan merangsang terjadinya tindakan balasan secara kolektif dari pihak kelompok korban. Penelusurannya di Corsica menunjukkan bahwa kekerasan kolektif baru akan terjadi  bila tindak pembunuhan memenuhi tiga syarat berikut. Pertama, satu pihak yang berselisih bertindak sebagai kelompok sejak awal. Tindakan ini memberikan pesan yang mengundang agar kelompok yang anggotanya menjadi korban untuk bertindak serupa. 

Bertalian erat dengan itu, kedua,  kegagalan satu kelompok untuk meyakinkan lawannya untuk mengundurkan diri. Ada kalanya pembunuhan sejak awal sengaja dikesankan memang dilakukan oleh kelompok dengan harapan  mereka dapat meyakinkan kelompok yang anggotanya menjadi korban bahwa pihak pertama merupakan kelompok yang solid dan lebih kuat karenanya pihak kedua harus memperhitungkan risikonya bila mereka ingin melakukan pembalasan secara kolektif. Bila kelompok yang disebut terakhir ini dapat diyakinkan, maka kekerasan kolektif jelas tidak akan terjadi. Dan syarat ketiga, tuntutan situasi kritis di mana satu pihak tidak memiliki pilihan lain kecuali melawan secara kolektif.

Lebih jauh, Gould juga mengatakan bahwa ketiga syarat yang mengubah tindak pembunuhan individual menjadi kolektif itu akan berlaku efektif dalam situasi berikut ini: 1) ketidakmampuan negara dalam menyelesaikan perselisihan; 2) adanya pakta pertahanan bersama di antara berbagai kelompok; 3) keberlakuan norma loyalitas kelompok; serta 4) adanya reputasi sebagai kelompok yang memiliki solidaritas tinggi. Mengingat hal itu, tidaklah mengherankan bila Gould tiba pada kesimpulan bahwa kekerasan kolektif merupakan insiden yang jarang terjadi. Satu aspek yang paling ditekankannya adalah fakta betapa sulitnya mekanisme dalam suatu kelompok untuk menggalang  solidaritas. Ketika dihadapkan pada biaya, imbalan dan risiko yang mungkin terjadi, tidak semua anggota terdorong untuk terlibat dalam kekerasan kolektif.

Teori ketiga diajukan oleh Varshney (2000/01/02).  Tindak pidana lintas-etnik dapat terjadi setiap saat. Namun menurut pengamatannya di wilayah perkotaan India, kekerasan etnik hanya terjadi di kota-kota tertentu, tetapi tidak di kota-kota lainnya. Di wilayah yang banyak memiliki asosiasi intra-komunal (eksklusivisme menurut etnik & agama), gosip dan desas-desus mendorong terjadinya mobilisasi massa untuk merusak dan membunuh; sedangkan di wilayah yang banyak memiliki asosiasi inter-komunal (bersidat inklusif atau cross-cutting) kecenderungan semacam itu tidak ada. Berbagai asosiasi mulai dari klub hobi hingga partai politik bahu-membahu mematikan berita yang tidak benar, membangun komunikasi, dan menjalankan perdamaian.

Terlepas dari perbedaan penjelasan ketiga teori di atas, ada beberapa kesamaan menyolok. Pertama, ketiganya memberi penekanan bahwa kekerasan etnik adalah hanya satu fase ekstrim dari kehidupan hubungan antar-etnik yang didominasi oleh perdamaian-etnik. Kedua, ketiganya memberi penekanan pada peran masyarakat dalam membina perdamaian etnik, kalau tidak dapat dikatakan mengabaikan peran negara sama sekali. Dan ketiga, teori-teori tersebut mengasumsikan bekerjanya prinsip rasionalisme dalam cara berpikir para anggota kelompok etnik. Karena itu, menarik kiranya untuk mengidentifikasi keberlakuan teori tersebut dalam kasus Kalbar.

Perubahan Demografis & Konsekuensi Sosialnya

Ada satu perkembangan demografis yang menarik menyusul terjadinya insiden Parit Setia (April 1999) dan pemekaran wilayah (Juni 1999). Di satu pihak, kekerasan etnik 1999 telah membuat Madura terusir dari Kabupaten Sambas, sedemikian sehingga praktis tidak ada lagi orang Madura di Kabupaten ini.[iii]  Penduduk Madura sekarang tersebar di berbagai Daerah Tingkat Dua (Dati II) baik di kabupaten maupun kota. Namun konsentrasi yang paling padat terdapat di Kabupaten Pontianak, Kota Singkawang, dan Kota Pontianak. 

Di pihak lain, pemekaran wilayah telah membuat terjadinya perubahan demografis yang signifikan. Wilayah yang dulu disebut Kabupaten Sambas dipecah menjadi 2 kabupaten dan 1 kota: Kabupaten Sambas dengan ibukota Sambas, Kabupaten Bengkayang dengan ibukota Bengkayang, dan Kota Singkawang; sedangkan wilayah Kabupaten Pontianak dipecah menjadi Kabupaten Pontianak dengan ibukota Mempawah, dan Kabupaten Landak dengan ibukota Ngabang.

Pemekaran wilayah ini, disengaja atau tidak, seakan meneguhkan konsepsi tradisional mengenai teritori etnik yang berlaku selama ini, khususnya bagi 2 penduduk ‘asli’ Kalbar: Dayak dan Melayu.  Menurut mitos, wilayah Dayak adalah bagian pedalaman, sedangkan Melayu adalah pesisir. Wilayah yang disebut terakhir ini sekaligus juga menunjukkan, secara implisit, tentang status Melayu sebagai pendatang. 

Baik Kabupaten Sambas maupun Kabupaten Pontianak memang merupakan wilayah pesisir, dan sebagai akibat pemekaran, jumlah penduduk Melayu menjadi mayoritas. Sedangkan Kabupaten Bengkayang & Kabupaten Landak merupakan wilayah pedalaman dengan penduduk Dayak sebagai mayoritas. 

Tentu saja masih ada Melayu di ‘teritori’ Dayak, dan sebaliknya, namun jumlahnya relatif sangat kecil. Dulu Singkawang merupakan ibukota Kabupaten Sambas, namun dengan terpisahnya kota ini dari Sambas dan Bengkayang, penduduk Cina sekarang menjadi mayoritas. Dan secara tidak langsung, kota dagang ini seakan memberikan kesan pengakuan diam-diam bahwa wilayah ini merupakan ‘teritori’ warga keturunan Cina –atau menggunakan istilah yang mereka lebih sukai, Tionghoa.[iv] Hal yang kurang lebih sama, namun dalam gradasi yang lebih rendah, juga terjadi di kota Pontianak.

Keberadaan Cina yang berkonsentrasi di sekitar Singkawang dan juga Pontianak merupakan konsekuensi logis sebagai akibat adanya gerakan pembasmian apa yang disebut pemerintah sebagai PGRS (Pasukan Gerilya Rakyat Serawak) atau Paraku (Pasukan Rakyat Kalimantan Utara) pada periode tahun 1967-1974.[v] Dalam upaya untuk membasmi gerakan yang disponsori oleh pemerintah sendiri untuk menentang negara baru Malaysia, militer dengan sengaja merekayasa pertikaian di antara Dayak dan Cina.[vi] Militer memberikan pelatihan, persenjataan, bahkan pangkat (tituler) dan aset ekonomi tertentu sebagai imbalan kepada Dayak untuk mengusir dan membunuh Cina yang berada di pedalaman, khususnya di sekitar perbatasan dengan Malaysia.

Setelah Dayak berhasil mengeluarkan Cina dari pedalaman, pemerintah kemudian mendorong para pensiunan tentara dan transmigrasi dari berbagai etnik lainnya untuk menempati wilayah pedalaman yang tidak bertuan tersebut.  Sebagai akibatnya, komposisi penduduk yang tadinya terutama hanya terdiri dari tiga etnik utama (Dayak, Melayu, Cina)[vii],  dengan cepat berubah menjadi lebih heterogen. Penduduk pendatang umumnya berasal dari etnik Jawa, dan juga Madura. Perubahan demografis yang cepat ini membuat Dayak menjadi kelompok minoritas baik dalam pengertian etnik, maupun, terlebih lagi, agama.

Kekerasan etnik yang terjadi pada 1996/1997 juga memberikan implikasi perubahan pada pemetaan etnik. Sejumlah Madura yang tinggal di Sangauledo, Samalantan, Monterado, Toho, dan Menjalin tewas terbunuh, sebagian lainnya yang berhasil menyelamatkan diri memilih pindah ke Jawai & Tebas (dua kecamatan di mana Madura paling banyak menetap), Sambas, Telok Keramat (semuanya di Kabupaten Sambas sekarang), Singkawang, Peniraman (Kabupaten Pontianak), dan kota Pontianak. Kendati pada prinsipnya Madura dapat kembali ke daerah asal, namun kebanyakan tetap memilih pindah. Biasanya mereka memilih tempat tinggal baru dengan mempertahankan lahan mereka di wilayah tempat tinggal asal. Hanya dalam waktu-waktu tertentu saja mereka datang berkunjung kesana. Kekerasan etnik yang terjadi 2 tahun berikutnya, membuat Madura tidak memiliki pilihan lain kecuali pindah, keluar dari Kabupaten Sambas.

Selama hampir tiga tahun, para warga Madura yang tidak dapat kembali ke Sambas itu hidup terkatung-katung di kam-kam pengungsian. Sedianya pemerintah berharap melalui upacara cuci-darah,[viii]  mereka secara berangsur dapat kembali ke Sambas. Hal itu terjadi pada insiden Sanggau Ledo. Namun karena keras dan konsistennya warga Melayu Sambas dalam menolak kepulangan mereka, memaksa pemerintah untuk membangun pemukiman baru di kabupaten lain. Setelah rencana untuk memindahkan mereka ke Ketapang gagal karena penolakan masyarakat setempat (termasuk, ironisnya, dari keturunan Madura yang sudah lama tinggal di sana), akhirnya pemerintah merelokasi Madura asal Sambas ke daerah Tebang Kacang dan Sungai Asam di wilayah Kabupaten Pontianak. 

Setelah melalui proses tarik-ulur yang melelahkan sekaligus menegangkan, pada pertengahan 2002 kemarin, seluruh pengungsi Madura berhasil dikeluarkan dari kam-kam pengungsi yang sebagian besar berlokasi di fasilitas-fasilitas umum di pusat kota Pontianak. Dengan bantuan dana pemerintah pusat dan bantuan internasional, sebagian memilih tetap tinggal di kota Pontianak, sebagian lainnya di pinggiran bagian utara kota Pontianak, namun sebagian besar mengikuti program pemerintah dengan berpindah ke pemukiman baru yang terletak di bagian timur kota Pontianak itu. Kedua wilayah yang disebut terakhir ini semuanya termasuk ke dalam Kabupaten Pontianak.

Di masa lalu, 3 kali insiden kekerasan etnik, dan belasan kali aksi kekerasan kolektif lainnya yang bernuansa etnik pada dasarnya hanya terjadi di wilayah yang bisa saya sebut sebagai segitiga maut: Kabupaten Sambas, Bengkayang, dan Landak. Di wilayah inilah 4 kelompok etnik besar di Kalbar pernah bertikai satu sama lain: Dayak versus Cina, Dayak versus Madura, dan Melayu versus Madura. 

Dan dari keempat etnik ini, Maduralah yang dianggap sebagai etnik yang paling rentan menimbulkan keributan, karena kurangnya pendidikan dan kecenderungannya untuk melakukan kekerasan di satu pihak, dan di pihak lain, karena kecenderungannya untuk mengambil hak orang lain. Seiring dengan perubahan demografis sebagaimana digambarkan di atas, maka probabilitas terjadinya tindak pidana lintas-etnik dan juga kekerasan etnik berikutnya mungkin akan bergeser ke segitiga maut yang baru; yakni kota Singkawang, Kabupaten Pontianak, dan kota Pontianak.

Mengingat peran strategis ketiga wilayah tersebut secara ekonomi dan politik, bukan mustahil meningkat pula probabilitas terjadinya tindak pidana lintas-etnik dan, konsekuensinya, kekerasan etnik di antara Dayak versus Melayu, dan/atau Melayu versus Cina. Setidaknya sejak insiden pembakaran Gedung DPRD II di Mempawah pada awal Februari 1999, beberapa minggu sebelum meledaknya insiden Parit Setia pada 21 Februari, hubungan Dayak dan Melayu mengalami ketegangan yang serius dalam bidang politik. Dayak menginginkan mereka juga diberi kesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan strategis di daerah.  

Setelah era Oevang Oeray dkk., Dayak praktis merasa disisihkan selama 30 tahun dari jabatan-jabatan publik. Birokrasi pemerintahan selalu dikuasai oleh orang-orang pendatang dan  orang-orang Melayu. Seiring dengan meredup dan jatuhnya rezim Orde Baru, Dayak akhirnya berhasil menempatkan orang-orang menjadi bupati, wakil bupati, dan ketua DPRD II di sejumlah Dati II sehingga sekarang perimbangannya antara Dayak dengan Melayu adalah separuh-separuh. [ix]

Usaha politik Dayak ini menimbulkan reaksi di kalangan Melayu. Pihak yang disebut terakhir ini menilai tidak pada tempatnya bila Dayak menyalahkan karena mereka juga merasa sebagai korban pemerintahan Orde Baru. Lebih dari itu, mereka juga merasa terintimidasi karena Dayak sering menggunakan ancaman politik kekerasan dalam memperjuangkan usaha mereka. Dalam bidang lain, Melayu juga merasa terusik karena kecederungan Dayak untuk menerapkan hukum adat di luar teritori tradisional mereka sendiri. Karena itu Melayu kemudian juga mengembangkan sikap yang keras. 

Hasilnya adalah bentrokan fisik di antara massa pendukung kedua etnik tersebut ketika terjadi pemilihan Utusan Daerah untuk MPR pada awal Oktober 1999 di kota Pontianak. Dayak menilai kelima anggota yang terpilih tidak sesuai dengan kesepakatan 2:2:1 (berurutan, Dayak:Melayu:Cina). Salah seorang anggota karena beragama Islam, tidak diakui sebagai Dayak sedemikian sehingga komposisinya menguntungkan Melayu.[x]

Sementara itu, Cina mulai masuk ke pelataran politik. Kendati belum dipandang sebagai ancaman langsung, Melayu bersikap waspada. Secara kultural dan politik, Cina memiliki hubungan yang erat dengan Dayak Hal itu salah satunya diwujudkan dengan mendirikan satu partai politik bersama –PBI.  Mengingat Cina merupakan etnik ketiga terbesar di Kalbar, dengan berbagai upaya Melayu berusaha agar kedua etnik mayoritas ini tidak melalukan hubungan yang terlalu akrab. Di luar itu, Melayu juga, khususnya lapisan menengahnya, merasa terusik dengan demonstration effect Cina baik dalam bidang ekonomi maupun kultural.

Tindak Pidana Lintas-Etnik

Ada puluhan tindak pidana lintas-etnik[xi] yang terjadi di tiga Dati II yang sekarang ini paling heterogen. Sebagian besar kasus-kasus itu, kendati membawa korban luka-luka dan kematian, melintas dan redup begitu saja bak meteor, tidak sempat memperoleh perhatian publik. Dalam rentang 4 tahun terakhir, praktis hanya 7 kasus tindak pidana penganiayaan dan/atau pembunuhan etnik yang mencuat ke permukaan karena skalanya yang berpotensi untuk meledak menjadi kekerasan etnik.


Tabel 1

Nama Insiden
Lokasi & Waktu Insiden
Etnik yang Bertikai
1
Gg. Tanjung Harapan
Pontianak (November 1999)
Dayak vs. Melayu
2
Gg. Landak
Pontianak (Desember 1999)
Dayak vs. Melayu
3
Jalan Tol
Pontianak (Oktober 2000)
Melayu vs. Madura
4
GOR
Pontianak (Juni 2001)
Melayu vs. Madura
5
Sungai Ambawang
Kab.Pontianak (Februari 2002)
Dayak vs. Madura
6
Pasar Flamboyan
Pontianak (Agustus 2002)
Dayak vs. Melayu
7
Karimunting
Kab.Bengkayang (Des 2002)
Melayu vs. Madura



Insiden GangTajung Harapan 
Seorang pemuda Dayak membuat keributan dalam satu perkampungan Melayu yang juga dihuni oleh banyak mahasiswa Dayak, terjadi perkelahian tidak seimbang yang menyebabkan pemuda Dayak tersebut terluka. Kelompok pemuda Dayak rekan-rekannya kemudian meminta denda adat yang tidak dapat diterima oleh para pelaku, sebagai akibatnya ratusan pemuda Dayak menyerbu ke kampung tersebut. Namun konfrontasi fisik dapat dihindarkan berkat kehadiran aparat keamanan. Tidak ada korban jiwa dalam insiden tersebut. Konfrontasi fisik itu sendiri belangsung hanya beberapa jam, sedangkan penyelesainnya hanya berlangsung dalam tempo 4 hari. Suasana mencekam hanya di beberapa ruas jalan atau kampung yang mengalami insiden. 

Insiden Gang Landak 
Hanya dalam tempo sekitar 2 minggu, kejadian serupa terjadi. Kesalahpahaman di antara 2 kelompok pemuda Dayak dan Melayu mengakibatkan terjadinya konfrontasi fisik. Walau aparat keamanan pada akhirnya berhasil melerai ribuan massa yang datang dengan membawa senjata tajam dan senjata api, namun tidak urung jatuh korban luka berat sebanyak 6 orang, dan 1 orang meninggal di rumah sakit. Seperti sebelumnya, konfrontasi fisik hanya terjadi dalam hitungan jam di malam atau dini hari. Dalam waktu sekitar 4 hari, insiden selesai. Sebagaimana sebelumnya, suasana mencekam hanya terjadi di beberapa ruas jalan dan kampung. 

Insiden Jembatan Tol 
Kecelakaan lalu-lintas ringan antara minibus dan sepeda motor di atas jalan tol Kapuas yang kemudian mengakibatkan percecokan di antara kedua pengemudi, menyulut pertikaian di antara etnik Melayu dan Madura.  Sejumlah massa Melayu berusaha menyerang baik perkampungan Madura di Siantan maupun di kam-kamp pengungsi Madura asal Sambas yang terletak di tengah kota. Namun serangan itu gagal, korban mati sebanyak 15 orang adalah Madura yang berada di jalanan umum. Suasana mencekam selama hampir 4 hari. Setiap perkampungan mengadakan ronda malam. 

Insiden GOR
Bermula dari upaya tiga orang pemuda Madura untuk merampok kekayaan keluarga Melayu yang melintas di jalan sekitar lokasi kamp pengungsi Madura dan menyebabkan kematian anak keluarga bersangkutan. Kejadian itu kemudian menyulut keributan besar. Seperti sebelumnya, sejumlah massa Melayu berusaha menyerang salah satu kam pengungsi yang bereda di GOR, Namun hasilnya hanya menyebabkan hangusnya sejumlah rumah pengungsi. Beberapa orang mati dan terluka di beberapa tempat terpisah. Dibandingkan dengan insiden sebelumnya, kejadian ini hanya berlangsung dalam beberapa jam. Suasana Pontianak dilaporkan tidak mencekam. Tidak ada jaga malam. 

Insiden Sungai Ambawang 
Dalam upaya untuk merampas motor, dua orang pemuda Madura membunuh seorang Dayak. Kendati sempat terjadi ketegangan sebelum para pelaku ditangkap, bahkan ada konfrontasi fisik ketika para pelaku pembunuhan diajukan di pengadilan, namun insiden ini tidak sempat berkembang sama sekali. Dan kalaupun kekerasan itu memang terjadi, hal itu sepenuhnya lebih berorientasi pada aksi untuk membinasakan kedua tersangka pelaku (aksi main hakim sendiri), bukan untuk menghantam seluruh orang Madura. 

Insiden Pasar Flamboyan 
Dalam upaya menyelesaikan masalah serangan sekelompok pemuda Melayu yang menyebabkan seorang pemuda Dayak terluka di sebuah warung kopi di Pasar Flamboyan, salah seorang pemuda Dayak membunuh satu orang pemuda Melayu. Malam itu juga, ratusan pemuda Melayu berupaya melakukan pembalasan dendam dengan berupaya menyerang Rumah Betang. Namun usaha itu gagal, selain satu orang Melayu mati, dan seorang Dayak terluka, tidak ada korban lain yang jatuh. Hanya dalam 2 hari kasus selesai. 

Insiden Karimunting 
Dua penjudi yang berlainan etnik di suatu malam bercanda, karena tersinggung pemuda Melayu kemudian memukul Madura, dan dalam upaya membela diri yang disebut terakhir ini menusuk hingga mati si pemuda Melayu. Dalam tempo beberapa jam, Melayu melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah Madura di desa Karimunting, sementara para penghuninya melarikan diri. Pagi harinya, sejumlah pemuda Melayu melakukan sweeping terhadap orang Madura yang berlalu-lalang di jalan raya, hasilnya adalah satu Madura mati.  Kendati sempat mengungsi, beberapa hari kemudian, orang-orang Madura itu dapat kembali ke rumah asal mereka. Kasus dianggap selesai.

Mengapa seluruh insiden di atas tidak ada yang berkembang menjadi kekerasan etnik? Sebelum menjawab secara horisontal dengan mengidentifikasi faktor-faktor penyebabnya, ada baiknya menelaah dulu secara vertikal: Apa karakteristik khas yang terdapat dalam tindak pidana lintas-etnik sedemikian sehingga di suatu waktu menghasilkan kekerasan etnik, sedangkan di waktu lain tidak menghasilkan kekerasan etnik sama sekali?

Penelaahan yang seksama memperlihatkan bahwa kekerasan etnik yang terjadi pada 1996/1997 dan 1999 merupakan konsekuensi dari  akumulasi serangkaian aksi penganiayaan dan pembunuhan yang terjadi dalam satu periode kritis tertentu. Insiden Sanggau Ledo misalnya, merupakan kesinambungan aksi penganiayaan yang dilakukan Madura di Sanggau Ledo pada Desember 1996, dan pada Januari 1997 di mana terjadi pembunuhan seorang Temenggong di Peniraman, dan penyerangan ke Asrama Asisi & CU Pancur Kasih di Pontianak. 

Insiden Parit Setia merupakan kesinambungan aksi penganiayaan sekelompok Melayu terhadap tersangka pencuri Madura yang beberapa hari kemudian diikuti aksi pembunuhan Madura terhadap 3 orang Melayu pada Januari 1999, dan sebulan kemudian diikuti oleh penganiayaan Madura terhadap kernet Melayu di Semparuk, serta perkelahian Melayu dan Madura di Pemangkat - karena yang disebut terakhir ini dianggap melanggar kesepakatan damai dengan masih membawa senjata tajam. Bahkan dapat juga ditambahkan di sini pencegatan yang dilakukan sekelompok Madura terhadap mobil pick-up pekerja yang akhirnya menewaskan seorang Dayak, sedemikian sehingga Dayak juga ikut berpartisipasi dalam insiden Parit Setia.

Ditinjau dari sudut ini,  hampir seluruh insiden pada Tabel 1 merupakan satu kasus tindak pidana tunggal yang tidak memiliki hubungan satu sama lain dalam periode waktu kritis tertentu. Dalam rentang 1 bulan sebelum dan sesudah insiden, tidak ada aksi pidana lintas-etnik yang dapat ditafsirkan sebagai tindakan kelompok. 

Walau demikian, tetap ditemukan pengecualian. Insiden Gang Tanjung Harapan dan Gang Landak misalnya hanya berjarak sekitar 2 minggu dari segi waktu dan sekitar 2 Km dari segi spasial, namun ternyata tidak menghasilkan ledakan kekerasan etnik. Hal ini terasa semakin menarik bila dipertimbangkan bahwa sebulan sebelum insiden Gang Tanjung Harapan terjadi pertikaian fisik antara kelompok Dayak dan Melayu di gedung DPRD I bertalian dengan pemilihan Utusan Daerah Kalbar di MPR.

Mengingat hal terakhir ini, timbul pertanyaan tentang makna yang terkandung dalam tindak pidana lintas-etnik yang terjadi pada 1997 dan 1999 dengan yang sesudahnya. Penelaahan lebih lanjut menunjukkan bahwa kekerasan etnik bukan sekedar merupakan konsekuensi kumulatif dari berbagai tindak pidana lintas etnik, melainkan juga akibat dari muatan pesan yang terkandung dalam tindakan kriminal tersebut.

Tidak terjadi reaksi yang besar ketika Madura melakukan penusukan pertama kali tehadap Dayak. Reaksinya baru menjadi hebat ketika sejumlah Madura yang tinggal beratus kilometer dari lokasi insiden pertama kali melakukan pembunuhan dan penyerangan terhadap simbol-simbol kultural Dayak. Pembunuhan terhadap Temenggong –atau ada juga yang menyebutnya sebagai panglima— serta penyerangan terhadap suatu lembaga sosial dan bisnis yang melambangkan kemajuan Dayak seakan memberi pesan telah terjadinya pelecehan terhadap lambang Dayak secara keseluruhan. 

Dalam bentuk lain, Melayu juga merasa tersinggung terhadap penyerangan ratusan Madura yang mengakibatkan 3 orang Melayu mati itu. Ketersinggungan Melayu mengambil 3 bentuk: penyerangan itu dilakukan pada Hari Idul Fitri, hari suci bagi umat Islam yang notabene dipeluk baik oleh Melayu maupun Madura; ucapan para penyerang yang menyebut Melayu sebagai kerupuk dengan skor 3-0 (untuk menunjukkan orang Melayu yang mati adalah 3 orang sedangkan Madura sama sekali tidak ada); ketidakpercayaan Melayu bahwa polisi dapat bertindak adil; dan ketidakpercayaan bahwa Madura dapat memegang janji kesepakatan damai dengan melakukan konsolidasi internal. 

Hal yang disebut terakhir inilah yang kemudian terbukti mendorong Melayu di Sambas bertindak keras. Setelah melalui kedua insiden penusukan dan perkelahian yang terjadi sekitar 1 bulan berikutnya, mereka lalu meradang,  bukan hanya dengan menghancurkan semua barang milik Madura dan membunuh para pemiliknya, melainkan juga mengusir mereka dari Sambas untuk selama-lamanya, tanpa ada kesempatan untuk rekonsiliasi.[xii] 

Simbol-simbol yang dapat ditafsirkan membawa pesan kelompok etnik yang melecehkan kelompok etnik lain itu memang tidak ada pada semua insiden yang disajikan pada Tabel 1. Bahkan dalam insiden Gang Tanjung Harapan yang sebenarnya mengandung muatan pelecehan terhadap hukum adat, namun mengingat hal itu tidak dinyatakan secara eksplisit, dan juga karena akhirnya pihak Melayu, dalam batas tertentu, menerima juga keberlakuannya, maka pesan pelecehan yang awalnya keras itu kemudian kabur. 

Situasinya mungkin akan berbeda, bila karena kemarahan yang tidak terkendali, massa Melayu kemudian menyerang yayasan Pancur Kasih dan/atau Rumah Betang. Dalam situasi semacam ini, kekerasan etnik antara Melayu versus Dayak mungkin tidak akan terhindarkan lagi. Bertalian erat dengan hal ini, berbagai lembaga etnik dan tokoh-tokoh etnik secara terbuka juga menyatakan bahwa berbagai tindak pidana lintas-etnik, itu hanya merupakan kasus kriminal murni, sama sekali tidak terkait dengan etnik, dan warga diharapkan tidak melakukan aksi apapun.

Lebih jauh, masih ada perbedaan lainnya mengapa tindak pidana lintas-etnik menimbulkan hasil yang sama sekali berbeda. Reaksi yang berlebihan terhadap akumulasi tindak-pidana lintas-etnik tidak datang begitu saja, namun terjadi karena ada mobilisasi sosial. Ketika mencapai titik puncaknya di Januari 1997, sejumlah Dayak melakukan ritual Tariu, dan mangkuk merah diedarkan dari satu kampung ke kampung. Terlepas dari aspek gaib di dalamnya, upacara itu sebenarnya merujuk kepada undangan ke berbagai pihak orang Dayak apapun sub-etniknya untuk bergabung menjadi satu melawan musuh bersama. 

Dalam insiden 1999, pihak Melayu tidak memiliki cara tradisional semacam itu, namun mereka mengadakan rapat kepala desa dan tokoh-tokoh untuk mengadakan aksi bersama. Sejumlah tokoh asal Sambas yang tinggal di Pontianak ada yang datang ke suatu kecamatan untuk membicarakan perencanaan kegiatan. Beberapa waktu kemudian, mereka juga mengadakan upacara kekebalan di suatu tempat di sekitar Pemangkat & Keraton Sambas.

Dalam berbagai insiden berikutnya yang gagal meledak menjadi kekerasan etnik, upacara penggalangan massa semacam itu tidak ada. Kalaupun ada pertemuan-pertemuan, hal itu lebih ditujukan untuk untuk menyelesaikan tindak pidana lintas-etnik secara damai, bukan untuk meledakkannya.

Analisis vertikal lainnya yang bisa dikemukakan untuk membedakan kekerasan etnik dengan berbagai insiden lainnya adalah profil aktor-aktor yang terlibat pertama kali dalam hubungan sebagai pelaku dan korban; serta kemampuannya untuk meluaskan aktor-aktor lain. 

Demi kemudahan, kita dapat membayangkan ada 3 jenis kategori sosial: kriminal, preman, dan sipil. Kriminal adalah orang-orang yang pada dasarnya hidup dalam dunia hitam; preman adalah orang-orang yang hidup dalam dua dunia, yakni kelabu; sedangkan sipil adalah orang-orang yang hidup pada dunia putih.  

Dalam interaksi sehari-hari kemudian terjadi tindak pidana lintas-etnik di antara ketiga kategori sosial tersebut. Pola umum terjadinya kekerasan etnik di Kalbar biasanya berawal dari tindak pidana lintas-etnik di antara preman atau kriminal versus sipil.  Insiden Sanggau Ledo bermula dari preman versus sipil, sedangkan insiden Parit Setia bermula dari kriminal versus sipil. Tidak ada kekerasan etnik di sini yang bermula dari penganiayaan atau pembunuhan baik di antara kriminal versus kriminal, preman versus preman, maupun kriminal versus preman, dan juga sipil versus sipil.

Berbagai jenis tindak-pidana lintas-etnik sebagaimana dinyatakan terakhir hanya akan menghasilkan berbagai insiden yang disajikan pada Tabel 1. Insiden Karimunting misalnya, ini adalah preman vs preman. Namun demikian tentu saja, analisis semacam ini tidak bisa dikembangkan secara konsisten. Insiden Sungai Ambawang misalnya adalah berawal dari kriminal versus sipil. Berdasarkan ini, seharusnya insiden ini meledak menjadi kekerasan etnik sebagaimana terjadi di insiden 1996/7 dan 1999.

Karena itulah, saya memandang perlu untuk memasukan parameter lain untuk membedakannya; yakni, kemampuannya untuk melibatkan aktor-aktor lain. Berbeda dengan ketujuh insiden yang disebut di atas, dalam perkembangannya baik Insiden Sanggau Ledo maupun Parit Setia, merupakan hasil kerja sama di antara orang-orang kriminal, preman dan juga sipil. 

Dalam situasi normal, kekerasan adalah  merupakan monopoli kriminal, dan kadang-kadang preman. Tetapi dalam situasi kekerasan etnik, kekerasan adalah milik bersama. Aliansi di antara mereka inilah yang kemudian memberikan efek destruksi yang lebih besar. Penyebab paling pokok dari hal terakhir ini bertalian erat dengan banyaknya orang-orang sipil yang terlibat.

Dalam situasi normal, orang-orang sipil ini biasanya menerapkan kontrol sosial, saling mengingatkan untuk tidak melakukan kekerasan. Namun dalam situasi khusus sebagaimana terjadi pada 1997 dan 1999, mereka seakan justru saling mendorong dan saling membenarkan untuk melakukan kekerasan.

Uraian di atas memperlihatkan adanya perbedaan antara tindak pidana lintas-etnik yang kemudian menghasilkan kekerasan etnik di satu pihak, dengan berbagai insiden lainnya yang relating tenang. Dari seluruh insiden yang ditampilkan pada Tabel 1, insiden Sungai Ambawang masuk ke dalam kategori aksi kriminal murni. 

Dengan pengertian ini, saya merujuk kepada tindakan penganiayaan dan/atau pembunuhan yang berorientasi individual.  Sedangkan selebihnya masuk ke dalam kategori aksi kekerasan kolektif. Sebagaimana istilah yang disandangnya, orientasi kedua adalah tentunya kolektif. Tindakan individu-individu tertentu membangkitkan reaksi anggota-anggota lainnya yang kemudian berusaha bertindak sebagai kelompok dengan melakukan kekerasan tanpa pandang bulu terhadap kelompok lainnya.[xiii] 


Identifikasi Faktor-Faktor Pengaruh 

Ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap gagalnya tindak pidana lintas-etnik menjadi kekerasan etnik. Mengikuti logika mekanisme sosial, saya hanya akan mengemukakan faktor-faktor yang merujuk kepada proses, bagaimana aktor-aktor memutuskan bertindak untuk menyelesaikan kasus tindak pidana lintas-etnik. 


Penjarak-an sosial 


Salah satu penjelasan mendasar mengapa kekerasan etnik tidak terjadi dalam 4 tahun terakhir terkait erat dengan fakta bahwa seluruh insiden itu gagal untuk merekrut partisipan-partisipan dari warga masyarakat biasa (orang sipil) dalam jumlah memadai. Pelaku aktif dalam insiden-insiden tersebut adalah hanya preman, baik sebagai profesi satu-satunya maupun sebagai profesi ganda.[xiv] 

Setiap kekerasan etnik, dan juga aksi kekerasan kolektif lainnya, selalu menghasilkan residu berupa perkembangan jumlah preman. Di tahun 1991, setelah Madura berhasil ‘mengalahkan’ polisi, terjadi perkembangan jumlah preman Madura dalam jumlah besar. Praktis, tidak ada preman lainnya selain Madura. Aparat keamanan seakan dibuat tidak berdaya. Mereka tidak terjamah oleh hukum. 

Hal yang sama juga terjadi ketika berakhirnya insiden Sanggau Ledo yang menghasilkan preman Dayak, dan insiden Parit Setia yang menghasilkan preman Melayu. Kehadiran para preman ini kemudian dimanfaatkan baik untuk kepentingan pihak lain, maupun kepentingan diri mereka sendiri. 

Hasilnya adalah dominannya mereka dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat. Sebagian dari mereka mendirikan perguruan silat dan organisasi etnik yang jasanya dapat dipakai untuk pengamanan; sebagian mendirikan perusahaan atau toko; sebagian lain menjadi anggota DPRD I dan II, dan bahkan beberapa di antaranya ada yang menjadi bupati. Mengingat pentingnya posisi mereka, banyak warga sipil yang kemudian tertarik dan menggabungkan diri

Tahun 2000 merupakan satu periode penting bagaimana masyarakat Kalbar mulai mengambil jarak terhadap para preman tersebut. Di sepanjang tahun inilah, dan mencapai puncaknya ketika terjadi insiden Jalan Tol, mereka melihat secara langsung bagaimana aliansi antara pejabat pemerintah, militer, anggota DPRD, dan para preman menjalankan suatu plot keji untuk mengadu satu kelompok etnik dengan kelompok etnik lainnya.  Dan hal itu dilakukan semata untuk melanggengkan kekuasaan satu orang yang telah lama berkuasa di provinsi tersebut.

Mereka bergerak dari satu tempat ke tempat lain di kota Pontianak, memprovokasi warga untuk bertindak, mengusir dan membunuh orang Madura. Dalam konteks inilah, walau stereotip etnik yang bersifat negatif tetap berkembang (khususnya terhadap Madura), namun sebagian besar warga Pontianak tetap dapat menahan diri untuk berpartisipasi aktif dalam aksi kekerasan kolektif tersebut. Mereka justru bertahan di lingkungan rumah-rumah mereka, beberapa di antara memasang spanduk-spanduk berisikan pesan perdamaian.

Karena itulah suatu upaya serupa yang dilakukan pimpinan provinsi ini pada tahun berikutnya, juga mengalami kegagalan. Seluruh warga Pontianak memang sangat membenci kehadiran pengungsi Madura di wilayah pemukiman mereka. Bukan saja berdasarkan alasan estetika melainkan juga keamanan. Sejak kehadiran mereka, kota Pontianak menjadi tidak aman, kriminalitas di sekitar kam pengungsian mereka rasakan menjadi meningkat drastik.[xv] 

Namun ketika pemerintah setempat ingin menggunakan kasus perampokan yang berakhir dengan pembunuhan itu untuk agenda politiknya sendiri (yakni, merelokasi pengungsi ke tempat yang telah disediakan pemerintah), kembali warga masyarakat bersikap pasif, tidak bersedia melakukan kekerasan. Setiap kali ada suatu insiden, umumnya masyarakat membayangkan bahwa hal itu merupakan upaya rekayasa pemerintah atau kelompok tertentu yang ingin mengejar kepentingan tertentu. Singkatnya, dengan kata lain, sebagian masyarakat sipil menolak untuk bergabung dengan preman dan kriminal.

Mungkin hanya beberapa ratus saja individu yang terlibat secara aktif dalam insiden Jalan Tol dan GOR. Situasi ini jelas kontras dengan insiden Sanggau Ledo dan Parit Setia yang melibatkan puluhan hingga ratusan ribu pelaku. 


Penerapan Hukum Adat 

Sebagaimana hukum positif, hukum adat yang dimiliki Dayak menolak keberlakuan prinsip balas-dendam –nyawa bayar nyawa— sebaliknya, nyawa dan setiap anggota badan memiliki harga tertentu sedemikian sehingga bila ada orang yang sengaja atau tidak membunuh seseorang, maka si pelaku tidak perlu menjalani hukuman mati misalnya, tetapi cukup membayar denda adat yang pada akhirnya dapat dikonversikan ke dalam rupiah.  

Prinsip denda adat adalah untuk menenangkan, memulihkan situasi yang tidak stabil menjadi stabil, dari tidak tertib menjadi tertib. Bila pihak yang bersalah bersedia menerima sanksi adat, semuanya akan berjalan dengan damai. Namun bila tidak, sanksi yang keras dapat dijatuhkan bukan hanya kepada yang bersangkutan, tetapi juga keluarga atau bahkan kelompok etniknya.

Dalam konteks inilah, ada sejumlah pihak yang menyayangkan seandainya pada insiden Sanggau Ledo waktu itu, pihak Madura membayar denda adat, mungkin kekerasan etnik dapat dihindarkan. Adanya sejumlah tindak pidana lintas-etnik yang sama sekali tidak memberikan dampak keributan dan lolos dari perhatian publik adalah karena pihak pelaku bersedia menerima hukum adat. Dan salah satu faktor yang mungkin menyumbang mengapa tidak terjadi kekerasan etnik sesudah insiden Sungai Ambawang adalah karena pihak keluarga pelaku pembunuhan bersedia membayar denda adat.  Dikatakan sebagai salah satu karena pada faktanya tidak semua etnik dapat menerima keberlakuan hukum adat.

Suku Melayu dan sejumlah suku pendatang yang beragama Islam, khususnya di wilayah di mana mereka merupakan mayoritas, tidak dapat menerima hal itu. Hukum adat bagi mereka sama saja dengan penundukkan terhadap hukum kelompok etnik lain yang bukan saja mungkin bertentangan dengan kepercayaan mereka, melainkan juga bersifat tidak adil dan sepihak, dan ada kecenderungan dikomersialisasikan.[xvi] Insiden Gang Tanjung Harapan dan Gang Landak dapat dikatakan justru merupakan perlawanan fisik terhadap hukum adat.  Dalam pemahaman ini, hukum adat alih-alih merupakan peredam, ternyata justru merupakan faktor pemicu potensial bagi terjadinya kekerasan kolektif. 


Penerapan Sanksi Internal 

Ketika dua pelaku pembunuh orang Dayak dalam insiden Sungai Ambawang belum tertangkap, sejumlah Madura yang dipimpin seorang sarjana dalam bidang agama secara aktif memburu mereka, berusaha menangkap mati atau hidup kedua anggota kelompok etniknya yang dianggap bersalah tersebut. Mereka berpandangan lebih baik membunuh kedua orang tersebut daripada mereka semua yang menjadi sasaran hukuman orang Dayak secara keseluruhan. Karena tidak berhasil menangkap, mereka hanya dapat membakar rumah para pembunuh tersebut. Akhirnya pihak kepolisianlah yang dapat menangkap mereka. Dan keduanya kemudian berhasil dimajukan ke pengadilan dan sekarang meringkuk di penjara.

Tidak ada penerapan sanksi internal dalam insiden Parit Setia. Sebaliknya, pihak keluarga Madura justru mengadakan pembelaan terhadap anggota keluarganya yang dikeroyok karena disangka mencuri dengan melakukan penyerangan di Hari Raya. Lebih jauh, pihak keluarga juga membantu untuk membebaskan pelaku penyerangan yang membawa korban jiwa itu dari tahanan polisi.[xvii] Hal yang kurang lebih serupa terjadi di insiden Sanggau Ledo. Dan karena ketiadaan penerapan sanksi internal inilah mungkin yang meledakkan kekerasan etnik.

Namun kasus ini hanya terjadi, hingga batas tertentu, di Sungai Ambawang, dan dalam tingkat yang lebih terbatas lagi, juga dalam insiden GOR. Hal ini terjadi karena secara teknis, kelompok hanya berperan sebagai kelompok penekan secara moral, dan bukan sebagai pihak yangn menjatuhkan sanksi secara langsung. Hal yang terakhir ini pada kenyataannya sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah. 


Pendekatan Kekeluargaan 

Tidak ada pengenaan sanksi adat atau sanksi internal dalam penyelesaian insiden Pasar Flamboyan.  Satu hal yang pasti, keluarga pembunuh yang berasal dari etnik Dayak dengan inisiatif sendiri datang berkunjung ke keluarga korban yang berasal dari etnik Melayu. Walau mungkin ada unsur uang didalamnya sebagai kompensasi, namun saya menganggap hubungan sosial semacam itu ikut berpengaruh, apalagi dalam pertemuan tersebut juga disepakati bahwa proses peradilannya akan ditempuh secara hukum positif.

Pendekatan kekeluargaan semacam ini tidak ditemukan dalam kasus 1996/1997 dan 1999. Memang ada upaya untuk melakukan pendekatan kekeluargaan sebagai bagian dari proses perdamaian.  Namun ada 2 hal yang membedakan: inisiatif itu datang dari pemerintah, pihak luar yang tidak terkait secara langsung; dan yang paling penting, tidak melibatkan pihak pelaku tindak pidana dan pihak yang menjadi korban. Bahkan dalam kedua insiden besar itu, sengaja atau tidak, pemerintah (khususnya pihak kepolisian) seakan menghalangi pertemuan di antara kedua belah pihak yang terkait langsung tersebut dengan kekuatiran terjadi eksekusi massa. 


Perimbangan Kekuatan 

Di masa lalu Madura adalah musuh bersama bagi semua etnik, terutama bagi Dayak dan Melayu. Semua pihak berkeinginan untuk menghantam kelompok etnik yang dianggap bermasalah. Karena itulah, praktis tidak ada  yang membela Madura dalam Insiden 1996/7, bahkan seluruh etnik di Sambas dan Bengkayang seakan beraliansi menghantam Madura pada Insiden 1999.

Setelah Dayak berhasil melumpuhkan kelompok ini di teritorinya (khususnya Bengkayang dan Landak), mereka menjadi over-confidence di seluruh Kalbar, giliran Melayu yang menjadi sasaran. Mereka mengembangkan kultur, institusi dan struktur sosial yang mengejawantahkan supremasi Dayak atas Melayu. Ketika Melayu juga berhasil melumpuhkan Madura di teritorinya (Sambas), giliran Melayu yang menjadi over-confidence. Mereka mengembangkan counter-culture, mendirikan sejumlah counter-institutions, dan berusaha mempertahankan jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan, balik menyerang Dayak.

Baik Dayak dan Melayu tetap berpandangan negatif terhadap Madura. Tetapi sekarang mereka harus lebih berhati-hati untuk bertindak keras terhadap Madura. Dari segi jumlah, Madura adalah penduduk terbesar kelima setelah Dayak, Melayu, Cina dan Jawa.

Sekitar 70% di antaranya kini tinggal di 3 Dati II yang sangat strategis baik secara politik maupun ekonomi. Dengan demikian tempat tinggal mereka lebih terkonsentrasi, dan yang tidak kurang pentingnya, mereka juga dipercaya relatif memiliki persenjataan api yang lengkap dan siap untuk berjuang mati-matian untuk mempertahankan diri dari kemungkinan kekerasan etnik berikutnya yang ditujukan kepada mereka.

Di atas kertas, Melayu berpandangan Madura adalah sekutu potensial. Terlepas dari kecenderungan mereka yang sering merugikan di masa lalu, Melayu menganggap Madura adalah sekutu potensial dalam menghadapi Dayak yang jumlahnya hampir berimbang. Selain merasa seagama, Melayu juga menganggap Madura musuh alamiah Dayak, dan relatif dapat mudah dikendalikan ketimbang Cina.

Secara kultural, etnik yang disebut terakhir ini memang dekat dengan Dayak. Mereka juga banyak mengalami kawin campur dan memiliki satu partai bersama. Kelompok yang sering mengklaim dirinya sebagai penduduk asli Kalimantan ini memang akan memiliki keuntungan tersendiri bila berhasil mengajak Cina dalam kelompoknya. Namun kelompok etnik terbesar ketiga ini jelas tidak ingin berpihak kepada etnik manapun. Di masa lalu, di tahun 1967, kelompok ini pernah diperlakukan sebagaimana Madura oleh Dayak pada 1996/7.[xviii] Sikap yang paling aman adalah mengikuti arah angin.

Karena itulah Dayak berkepentingan untuk mengambil hati orang Madura. Di tingkat wacana, mereka berupaya menunjukan kelebihan adat Dayak ketimbang Melayu[xix]; di tingkat empirik, mereka membuka teritori mereka untuk dihuni Madura sebagai suatu kampanye yang kontras dengan sikap Melayu Sambas yang sama sekali tidak mau menerima Madura kembali setelah insiden Parit Setia. Namun sebagaimana Cina, Madura juga ada kecenderungan untuk bersikap mengikuti arah angin.

Fakta bahwa Dayak lebih dekat dengan Cina, tidak membuat Melayu tidak melakukan apapun. Selain mendukung kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kebebasan kepada Cina untuk menyelenggarakan acara-acara tradisional, Melayu juga berupaya mendorong Cina untuk tetap memeluk agama tradisional mereka selama ini (Buddha dan Konghucu). Dengan menahan laju peralihan agama orang Cina menjadi Kristen, Melayu berharap dapat mengendalikan kedekatan Cina dengan Dayak.

Dalam konstelasi sosial yang demikian, konflik yang terjadi dalam 4 tahun terakhir ini bukan lagi bersifat bipolar, tetapi multipolar. Tidak ada lagi satu kelompok etnik yang menjadi musuh bersama. Setiap kelompok etnik merupakan lawan potensial bagi kelompok etnik lainnya, dan karena ada 4 kelompok etnik yang terlibat, politik yang paling aman adalah membina hubungan yang baik dengan musuhnya kelompok etnik lawannya.

Pertimbangan semacam inilah yang mungkin membuat semua kelompok etnik berusaha menahan diri setiap saat mereka dihadapkan pada situasi terjadinya tindak pidana lintas-etnik.

Ketika insiden Karimunting terjadi, pemda Bengkayang bersama aparat kepolisian tidak segan-segan untuk memaksa warga Melayu lokal untuk menerima kembali orang Madura yang terpaksa mengungsi dari desa tersebut. Dari satu segi, kita dapat membaca hal ini sebagai langkah persuasif Dayak terhadap Madura di satu segi, dan, di segi lain, tekanan kuat Dayak terhadap Melayu di Kecamatan Sungai Raya untuk menghentikan keinginan mereka, melepaskan diri dari Kabupaten Bengkayang. 


Fragmentasi Etnik 

Ketika berbagai tindak pidana lintas-etnik terjadi yang kemudian mencetuskan insiden Sanggau Ledo atau insiden Parit Setia, dan periode sesudahnya, semua orang merasa dirinya adalah Dayak atau Melayu. Semua merasa bangga menjadi Dayak atau Melayu. Mereka membayangkan adanya kesatuan yang kokoh. Namun seiring dengan redupnya ephoria kemenangan, berkembangnya pandangan kritis dari pihak luar[xx], dan terutama muculnya kelompok etnik lain sebagai musuh baru, kesatuan yang dirasakan kokoh itu sekarang mulai terlanda erosi.

Di kalangan Madura di Kalbar berkembang wacana mereka yang berasal dari Pulau Madura bagian Barat dan Timur yang hampir paralel dengan lembut dan kasar, baik dan jahat, bahkan perkembangan terakhir beredar nama suatu desa di Pulau Madura yang ditengarai sebagai lokasi yang menghasilkan banyak penjahat Madura. 

Di kalangan Dayak, beredar wacana yang membedakan antara Dayak Kanayan dengan Dayak Hulu, antara Protestan dan Katolik, yang seakan hampir paralel dengan keberingasan dan keterbelakangan di satu pihak, dan kelembutan dan peradaban di pihak lainnya. Di kalangan Melayu juga berkembang wacana antara Melayu Sambas dengan non-Sambas yang hampir paralel dengan konotasi agresif dan pengalah. 

Dalam perkembangan terakhir, berkembang juga wacana yang meredupkan batas tegas antara Dayak dengan Melayu. Dalam konsepsi ini, Dayak tidak berarti adalah orang yang tinggal di pedalaman dan beragama Kristen sedangkan Melayu bukan berarti orang tinggal di pesisir dan beragama Islam. Dayak yang masuk Islam tidak otomatis menjadi Melayu. Identitas etnik tidak harus berubah lantaran perubahan agama. Karena itulah dalam beberapa tahun terakhir ini berdiri suatu organisasi Dayak Islam.

Fragmentasi tentu saja bukan hanya terjadi pada tingkat wacana, melainkan juga pada tingkat institusi dan bahkan aktor. Di kalangan Dayak misalnya, berdiri suatu organisasi Masyarakat Adat yang lebih berorietasi sosial ketimbang Majelis Adat Dayak (MAD) dan Dewan Adat Dayak (DAD) yang sarat dengan muatan politis. Masing-masing organisasi itu memiliki figur sentral tertentu.

Di kalangan Melayu, fragmentasi itu lebih terlihat pada organisasi politik. Sebagian tetap memilih sebagai anggota Partai Golkar, lainnya PDI-P, PAN, PKB. Perkembangan menarik juga terlihat pada Madura dan Cina. Kendaraan politik Madura bukan lagi terbatas pada PPP pada masa Orba, dan PKB atau NU pada masa refromasi, melainkan juga PDI-P dan PAN. Dengan demikian terjadi cross-cutting di atara Madura, Melayu dan Dayak. Demikian pula Cina, tidak lagi terbatas pada Golkar di masa Orde Baru, dan PDI-P di masa reformasi. Bersama Dayak mereka kini juga memiliki PBI.

Fragmentasi yang paling ekstrim dapat dilihat pada pertikaian internal di antara keempat etnik itu sendiri. Di kalangan Melayu Sambas misalnya sudah beberapa tahun terakhir ini terjadi pertikaian fisik antara nelayan tradisional dan pukat harimau; di kalangan Melayu Pontianak beberapa kali terjadi konfrontasi di antara dua kelompok preman yang meperebutkan lahan garapan.

Di kalangan Dayak, ketua DPRD di suatu kabupaten yang baru saja diangkat berhasil diturunkan melalui aksi massa yang dulu pernah mendukungnya; dan keributan di antara sesama mereka sendiri ketika berjuang untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur.

Di kalangan Madura, terjadi keributan di antara kelompok pro & anti yayasan yang selama ini dipercaya pemerintah untuk menyalurkan bantuan terhadap pengungsi.  Demikian pula di kalangan Cina terjadi konflik baik di antara 2 yayasan sosial yang paling besar, maupun konflik internal dalam satu yayasan itu sendiri.

Kekerasan etnik tentu saja relatif sukar terjadi ketika para anggota terlalu sibuk mengurus konflik di antara mereka sendiri.  Dalam situasi tertentu, pertikaian internal memang dapat ditransformasi menjadi pertikaian eksternal yang pada gilirannya dapat berwujud kekerasan etnik. Tetapi ada dua halangan yang menghadang: Selain karena konstelasinya yang bersifat multi polar, sejauh ini seluruh kelompok etnik itu sendiri belum memiliki pemimpin yang dapat menyatukan para anggotanya. 

Peran Media Massa 

Bersama pihak kepolisian, media massa mengembangkan wacana bahwa setiap bentuk penganiayaan dan/atau pembunuhan merupakan tindak kriminal murni yang sama sekali tidak terkait erat dengan keetnikan. Selain itu media massa juga tidak terdorong untuk menyebutkan secara langsung asal kelompok etnik pihak-pihak yang bertikai.

Di masa lalu, ketika terjadi insiden Sanggau Ledo dan Parit Setia, media massa juga tidak memberitakan tentang etnik-etnik yang bertikai, namun mereka belum mengembangkan wacana tentang pemisahan tindak pidana dengan keetnikan. Dan yang paling disesalkan penyampaiannya dituturkan seakan untuk menguatkan streotip etnik dan disajikan seakan merupakan reportase olahraga –berapa skornya, siapa etnik yang menjadi pemenang dan pecundang. 

Kesigapan & Ketegasan Agen Penegakan Hukum 

Ketika pihak Madura melaporkan adanya tindak penganiayaan warga Melayu terhadap seorang tersangka pencuri, pihak kepolisian tidak melakukan apapun. Ketika warga Melayu sebaliknya melaporkan bahwa kampung mereka akan diserang Madura sebagai tindakan balas dendam, polisi juga tidak melakukan apapun.

Baru setelah ada pihak yang terbunuh di Hari Raya tersebut, polisi melakukan penahanan. Namun dengan uang suap, polisi lebih banyak menangkap Melayu ketimbang Madura. Hal itu jelas menimbulkan kemarahan orang-orang Melayu di Sambas. Sebagai akibatnya terjadilah Insiden Parit Setia pada 1999 yang membawa ratusan korban jiwa dan puluhan ribu orang mengungsi itu.

Sikap polisi jelas sangat jauh berbeda ketika menangani kasus Gang Tanjung Harapan, Gang Landak, dan berbagai kasus lain sesudahnya, termasuk yang terakhir, Insiden Karimunting. Begitu mendengar ada laporan tindak pidana lintas-etnik, dengan cepat polisi menurunkan para anggota untuk berjaga-jaga di lokasi kejadian (TKP), membubarkan massa, dan melakukan penyekatan. Sebagian anggota polisi lainnya memburu pelaku.

Dalam kasus Pasar Flamboyan misalnya, hanya dalam hitungan jam, polisi berhasil mencegah pergerakan massa yang akan melakukan penyerangan; dan dalam waktu dua hari, pelaku pembunuhan berhasil ditangkap. Hal yang sama juga dilakukan dalam Insiden Karimunting. Di luar korban tindak pidana, praktis tidak ada lagi korban lain yang tidak bersalah.

Dalam semua insiden yang diajukan dalam Tabel 1, polisi bertindak dengan cepat dan tegas. Kecepatan dan ketegasan aparat juga ditunjukkan dalam berbagai kasus lainnya sedemikian sehingga cukup banyak kasus tindak pidana lintas etnik yang bahkan tidak sempat memperoleh perhatian sama sekali.  

Salah satu contohnya adalah kasus perampokan dan pembunuhan yang dilakukan dua pemuda Dayak terhadap seorang tukang ojek Melayu di akhir tahun 2002.  Kecuali sejumlah teman korban yang berusaha mengeksekusi kedua tersangka, tidak ada publik yang mengetahui kejadian tersebut.

Seiring dengan kesigapan kepolisian, lembaga peradilan yang diwakili oleh jaksa dan hakim juga bertindak cepat dan tidak pandang bulu. Hanya dalam tempo sekitar 3 bulan, kasus penganiayaan dan pembunuhan lintas-etnik sudah diajukan ke meja hijau, dan dalam tempo 3-6 bulan para pelaku telah diberikan hukuman yang relatif berat. 

Kecuali insiden Karimunting yang masih sedang dalam proses pengadilan dan insiden Gang Tanjung Harapan yang pelakunya tidak ada yang ditangkap, seluruh kasus di Tabel 1 telah divonis. Semua pelaku masih meringkuk di penjara.

Salah satu upaya aparat penegak hukum untuk mencegah terjadinya aksi kolektif adalah dengan memindahkan lokasi penahanan dan peradilan. Demikian misalnya, para pelaku insiden Sungai Ambawang dan Karimunting, tidak dilakukan di Mempawah ataupun Singkawang, tetapi di ibu kota provinsi. Selain membutuhkan waktu dan biaya bagi massa untuk mencapai kota Pontianak, mereka juga akan berhadapan dengan aparat keamanan yang jauh lebih besar & efektif. 


Analisis & Diskusi 

Tiba saatnya untuk mengidentifikasi keberlakuan ketiga teori yang dinyatakan di atas. Dalam aspek spiral equilibria, teori Fearon & Laitin memang memperoleh konfirmasi. Semua orang di Kalbar, khususnya di Singkawang, Mempawah dan Pontianak, percaya bahwa kekerasan etnik berikutnya pasti akan jauh lebih dahsyat. Sedemikian besarnya kepercayaan mereka, sehingga terkesan mereka semua seakan sedang duduk menunggu "bom" meledak. Dalam berbagai perbincangan, saya hampir selalu dikoreksi informan bila saya menggunakan istilah perdamaian etnik. Mereka merasa sedang tidak berada dalam situasi damai. Bagi mereka, kalaupun ada perdamaian, hal itu bersifat semu, sementara. Kekerasan etnik, dari waktu ke waktu, dapat terjadi tanpa diduga.

Fearon & Laitin membayangkan kepercayaan itu akan medorong pihak-pihak bertikai untuk menahan diri, tidak melakukan provokasi atau intimidasi kepada pihak lainnya guna menghindarkan kekerasan etnik. Hingga batas tertentu, hal itu memang terjadi. Demikian misalnya, ada kecenderungan Madura lebih cenderung melakukan kriminalitas terhadap etnik yang lebih netral, seperti Cina dan etnik pendatang lainnya. Bahkan yang menarik, ada dugaan para preman atau penjahat Madura sekarang ini seakan mengalihkan sasaran kepada kelompok etniknya sendiri. Orang Cina seakan sengaja membiarkan dirinya menjadi sasaran pemerasan. Walau mereka sendiri yang sebenarnya menjadi korban, namun mereka menyediakan dirinya untuk dihukum adat.

Dayak tidak telalu bersikukuh lagi menerapkan hukum adat di teritori Melayu. Sebaliknya, Melayu menerima keberlakuan hukum adat bila hal itu berada di teritori Dayak. Namun yang menarik, terlepas dari itu semua, masing-masing kelompok etnik tetap mengembangkan rasa curiga yang tinggi, dan bersiap sedia dengan menghimpun senjata api. Dalam beberapa kesempatan polisi berhasil menemukan pabrik-pabrik senjata api, dan kelompok arisan senjata api.

Fenomena di atas, dalam batas tertentu, seakan menyerupai situasi perang dingin dengan Dayak dan Melayu sebagai AS & US atau sebaliknya, serta Cina dan Madura sebagai non-blok. Masing-masing menghimpun persenjataan, mengejawantahkan civis pacem parabelum, dan berusaha agar konflik yang terjadi tetap terkendali, tidak meluas.

Mungkin karena itulah, Fearon & Laitin tidak terlalu percaya penuh pada mekanisme ini, dan lebih memusatkan perhatian kepada mekanisme in-group policing equilibria. Tetapi temuan empirik di Kalbar, sayangnya, tidak mendukung kepercayaan mereka. Sebagaimana telah disinggung di atas, mekanisme ini praktis hanya dijalankan dalam Insiden Sungai Ambawang.

Orang-orang di Kalbar lebih menyukai pemakaian hukum adat dan/atau hukum positif dalam menyelesaikan persoalannya. Ini berarti, bukan sanksi internal yang berlaku, tetapi sanksi eksternal. Ketika suatu masalah terjadi, bukan kelompok etniknya sendiri yang menjatuhkan sanksi, tetapi  kelompok etnik lain yang menjadi korban (dalam kasus hukum adat), atau bahkan suatu lembaga profesional yang bertugas khusus untuk itu (dalam kasus hukum positif). Dan dari satu segi, secara umum kedua jenis sanksi eksternal inilah yang terbukti jauh lebih efektif untuk meredam tindak pidana lintas-etnik sedemikian sehingga kekerasan etnik tidak meledak.

Teori Varshney terbukti tidak mampu menjelaskan dinamika antara kekerasan etnik dan perdamaian etnik di Kalbar. Bertentangan dengan harapannya, baik dalam skala 3 Dati II yang menjadi pusat perhatian studi ini maupun Kalbar secara keseluruhan, praktis hampir tidak ada asosiasi-asosiasi lintas-etnik dalam 4 tahun terakhir ini.

Lembaga-lembaga yang jumlahnya semakin banyak justru adalah asosiasi-asosiasi intra-etnik. Setiap kelompok etnik memiliki organisasi etnik yang ekslusif. Dayak memiliki MAD, DAD, Masyarakat Adat, Yayasan Pancur Kasih dengan puluhan organisasi yang berafiliasi ke dalamnya. Melayu memiliki MABM, PFKPM, Lembayu, Permak dan berbagai organisasi lainnya, termasuk organisasi pencak silat tertentu. Madura memiliki IKBM, Ikamra, FKPM, Hima, dan sebagainya. Sedangkan organisasi-organisasi Cina umumnya berpusat pada Yayasan yang bergerak dalam bidang sosial-ekonomi seperti kematian dan koperasi. Ada dua yayasan besar, yang masing-masing-masingnya terdiri dari puluhan hingga ratusan yayasan yang lebih kecil. Mereka adalah Marga Bhakti dan Bhakti Suci.

Bahkan yang menarik, ada kecenderungan berbagai organisasi yang dibentuk oleh kelompok etnik itu seakan memang sengaja disiapkan untuk saling berhadapan dan bersaingan secara langsung. Bila Dayak memiliki MAD, maka Melayu memiliki MABM; Dayak memiliki DAD, Melayu memiliki Lembayu; Dayak memiliki Institut Dayakologi, Melayu memiliki Pusat Studi Kajian Melayu.

Tidak mau dikatakan sekedar mengikuti jejak Dayak, Melayu juga dalam beberapa tahun ini merevitalisasi keraton dan sultannya termasuk jabatan-jabatan lainnya di antaranya tentu saja adalah panglima –satu-satunya jabatan yang awalnya hanya dimiliki Dayak. Setidaknya sekarang ini ada 4 keraton yang telah mengalami revitalisasi: Kerajaan Sambas, Kerajaan Landak, dan Kerajaan Mempawah, serta Kerajaan Pontianak. Walau masih baru di tingkat gagasan, kedua kelompok etnik pendatang juga sedang mempertimbangkan untuk mendirikan lembaga sejenis semacam Musyawarah Adat Budaya Tionghoa dan Madura.

Sesuai dengan harapan Varshney, lembaga-lembaga parokial seperti ini, tentu saja merupakan wadah untuk merumuskan dan mengejar kepentingan kelompok etnik masing-masing. Dalam organisasi inilah, mereka merencanakan berapa jabatan bupati dan jabatan strategis lainnya di eksekutif dan legislatif yang harus direbut dan/atau dipertahankan oleh kelompok etniknya.

Beberapa organisasi sepintas memang merupakan lintas-etnik, namun sebenarnya tetap merupakan aliansi etnik yang tetap eksklusif. Demikian misalnya, Dayak beraliansi dengan Batak karena kesamaan agama dan kulturnya, sedangkan Melayu beraliansi dengan Bugis dan keturunan Arab.

Kalaupun ada organisasi yang relatif inklusif, maka itu adalah birokrasi pemerintah dan terutama partai politik. Dalam asosiasi-asosiasi inilah kita bisa mendapatkan heterogenitas. Namun bagi kelompok tertentu seperti Dayak sub-etnik Kanayan misalnya, birokrasi dan parpol masih didominasi oleh kelompok etnik Melayu, khususnya mereka yang berasal dari Sambas dan beragama Islam.

Satu-satunya teori yang secara umum cukup berhasil memberikan penjelasan dalam dinamika kekerasan etnik di Kalbar adalah teori Gould. Teorinya mampu menjelaskan mengapa di suatu waktu tindak pidana lintas-etnik menimbulkan kekerasan etnik, sedangkan di waktu lain hanya menimbulkan letupan sesaat yang tidak membahayakan hubungan antar etnik secara keseluruhan. Tidak seperti kedua teori lainnya, Gould memberikan ruang yang cukup kepada peran bukan hanya masyarakat melainkan juga negara dalam menyelesaikan kasus tindak-pidana lintas-etnik sedemikian sehingga kekerasan etnik tidak terjadi.

Secara umum studi ini menilai, hingga batas tertentu, nampaknya temuan-temuan awal studi ini memberikan gambaran yang jauh lebih kompleks daripada yang dibayangkan oleh ketiga teori di atas. Secara tidak langsung analisis di atas juga menunjukan bahwa kekerasan etnik sebenarnya merupakan suatu pilihan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu sesuai situasi yang dihadapi. 

Namun tidak seperti pilihan lainnya, ini bukan pilihan bebas. Ada sejumlah parameter eksternal yang dapat menjadi kendala, dan karena itu harus diperhitungkan. Siapapun yang berkeinginan untuk melakukan kekerasan etnik harus memperhitungkan individu-individu yang masif, kehadiran kelompok lain di luar pihak yang bertikai, kehadiran aparat penegak keamanan, perubahan setting dari rural ke urban. Hal terakhir ini penting dikemukakan karena di masa lampau, kekerasan etnik senantiasa terjadi di wilayah perdesaan yang terpencil. 


Penutup 

Saya ingin mengakhiri uraian ini dengan mengemukakan bahwa temuan-temuan ini masih merupakan temuan sementara, hipotesis awal yang masih memerlukan konfirmasi lebih lanjut. Proses pengumpulan data masih akan berlangsung hingga akhir tahun ini. Karena itu, saya membuka pintu selebarnya untuk kritik dan saran.






[i] Kecenderungan untuk menghukum secara tidak-pandang-bulu ini sebenarnya tidak berlaku untuk semua etnik. Hanya bila pelakunya diduga keras adalah Madura –yang disana sering disingkat menjadi M. Bila ada kerumunan orang menyaksikan korban kecelakaan atau perkelahian, orang akan berbisik-bisik tentang asal etnik pelakunya: “Siapa pelakunya, M kah?”   Selanjutnya, menarik juga untuk diungkap bahwa di Kalbar penghukuman massa terhadap tersangka pelaku kejahatan umumnya jarang yang mengalami kematian. Salah satu contohnya adalah penghakiman massa terhadap tersangka pencuri Madura pada 17 Januari 1999. Tersangka pencuri itu tidak mati, namun karena luka-luka yang dideritanya menyebabkan keluarga dan teman-temannya marah dan berencana membuat perhitungan dengan menyerang Desa Parit Setia yang, ironisnya, justru menghasilkan 3 orang mati pada awalnya, dan bahkan ratusan orang mati ketika insiden penyerangan itu meledak menjadi kekerasan etnik. Namun ada juga pengecualian. Seorang tersangka pembunuhan yang sedang diproses di pengadilan, diseret keluar oleh sejumlah massa Dayak dan dieksekusi mati persis di depan gedung pengadilan negeri Kapuas Hulu. Insiden ini mungkin merupakan ironi yang pertama kali terjadi selama ini di Indonesia.

[ii] Kekerasan etnik jangan dibayangkan seperti perang di mana ada dua kelompok yang relatif terorganisasi dan masing-masing memiliki serdadu profesional yang memang dilatih untuk membunuh. Dalam situasi ini, perang adalah serangkaian tindakan yang mengejewantahkan aksi-reaksi: menyerang atau bertahan, membunuh atau dibunuh. Dalam kekerasan etnik, biasanya hanya salah satu pihak yang relatif terorganisasi, salah satu yang mayoritas, salah satu yang berperan sebagai pembunuh, pihak lainnya yang tidak terorganisasi dan minoritas, biasanya hanya berperan sebagai korban.

[iii] Berdasarkan keterangan sejumlah informan, sebenarnya masih ada sejumlah Madura yang tinggal di Kabupaten Sambas. Namun tidak diketahui pasti profil dan jumlah mereka. BPS sendiri, berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2000, menyebutkan ada 75 orang Madura yang tinggal di Kabupaten yang pernah dilanda kekerasan etnik yang berdarah ini.

[iv] Dalam kenyataannya dulu ada perebutan antara pihak Dayak Bengkayang dan Melayu Sambas mengenai status kota Singkawang ini. Pihak yang disebut pertama berkeinginan kota ini tetap termasuk ke Kabupaten Bengkayang mengingat perannya yang besar dalam perdagangan. Sedangkan pihak yang disebut terakhir berharap kota ini berdiri mandiri. Pemerintah pusat akhirnya memutuskan seperti harapan Melayu. Namun sebagai kompensasi, pihak Dayak diberikan kecamatan Jagoi Babang yang strategis karena terletak di perbatasan dengan Malaysia, dan juga Kecamatan Sungai Raya yang berada di tepi pantai. Konflik masih tetap terjadi, baik di antara Dayak dan Melayu di satu pihak, maupun Melayu dan Cina di pihak lain. Sejumlah penduduk Kecamatan Sungai Raya yang didominasi oleh Melayu hingga kini tetap berusaha untuk lepas dari Bengkayang, masuk ke kota Singkawang. Dengan berbagai upaya aparat pemda Bengkayang yang didominasi Dayak tetap tidak mengizinkan permohonan itu. Kendati tidak berani diungkapkan secara terbuka, pihak Cina mengeluhkan dominasi Melayu dalam Pemda Kota Singkawang. Berdasarkan aspek demografi, mereka berpandangan seharusnya Cina diberikan peran yang memadai. Secara lebih tertutup lagi, sebenarnya Madura juga memiliki keluhan yang sama karena mereka merasa jumlah mereka adalah terebesar kedua setelah Cina.

[v] Salah satu faktor penyebab lainnya yang dapat dikemukakan adalah karena adanya Keputusan Presiden No.10/1959 yang melarang orang Cina untuk melakukan usaha perdagangan di kawasan pedalaman. Namun saya kira, Insiden PGRS/Paraku jelas jauh lebih efektif untuk mengeluarkan warga keturunan Cina ini dari pedalaman.

[vi] Mengenai insiden PGRS/Paraku, lihat misalnya Davidson & Kammen  (2002) untuk referensi mutakhir, serta Mahrus Effendi (1982) dan Soemadi (1974).

[vii] Di luar etnik yang utama itu, masih ada 2 kelompok etnik lainnya. Mereka adalah terutama Bugis dan Arab. Namun selain jumlahnya tidak begitu besar, mereka juga umumnya tinggal di pesisir dan atau wilayah perkotaan. Mengingat mereka juga beragama Islam dan sudah bermigrasi lama, dalam kehidupan sehari-hari mereka sering dianggap sebagai Melayu. Bila keduanya digabungkan ke dalam etnik yang disebut terakhir ini, maka secara umum jumlah Melayu akan melebihi Dayak. Sebagaimana diketahui dari Sensus Penduduk 2000, persentase jumlah Dayak adalah sekitar 32% sedangkan Melayu adalah 31%.

[viii] Ini adalah istilah yang dikemukakan oleh Bupati Sambas yang pada masa pemerintahannya mengalami dua kali kekerasan etnik itu.  Saya tidak mengetahui persis apakah ini merujuk kepada ritual tertentu atau hanya sekedar istilah biasa.

[ix] Awalnya ketika, jumlah Dati II masih 9 buah, jumlah bupati Dayak adalah 5, sedangkan Melayu 4. Namun dengan berdirinya kota Singkawang, Melayu berhasil menambah 1 walikota, sedemikian sehingga komposisinya adalah 5 Dayak dan 5 Melayu, hal yang sama juga berlaku pada jabatan wakil bupati. Namun yang menarik ada beberapa anomali: ada bupati Dayak dalam Kabupaten yang didominasi Melayu; di wilayah tertentu yang dominan Dayak, bupati dan wakilnya biasanya dipegang oleh Dayak seperti di Bengkayang dan Landak, sebaliknya di Kabupaten Sambas dan Kota Singkawang, walikota dan wakilnya adalah Melayu. Keseimbangan etnik juga tetap tejaga pada provinsi, gubernur dan wakil gubernur sekarang, berurutan, adalah berasal dari etnik Melayu dan Dayak.

[x] Ada kebiasan di Kalbar bila orang Dayak masuk Islam ia secara otomatis telah berubah etniknya menjadi Melayu. Namun pendapat yang menyatakan bahwa kebiasaan semacam ini terutama banyak ditemukan di bagian pesisir di mana wilayah tersebut merupakan kekuasaan kerajaan-kerajaan Melayu. Di masa lampau tidak ada pilihan lain bagi Dayak di wilayah ini untuk beralih identitas bila mereka ingin sekolah dan menduduki jabatan penting dalam pemerintahan. Tradisi ini semacam kurang atau tidak berlaku di wilayah hulu (Sanggau, Sintang dan Kapuas Hulu). Hal ini dimungkinkan karena mereka berada dalam penguasaan Kolonial Belanda secara langsung. Di wilayah ini, Dayak yang beragama Kristen justru menjadi lebih maju, dan lagi pula bila ada Dayak yang beragama Islam mereka tidak disebut sebagai Melayu, tetapi Senganan sedemikian sehingga identitas Kedayakannya tidak lebur sama sekali.  Situasi yang disebut terakhir ini secara umum dapat ditemukan di Kalimantan Tengah, suatu wilayah yang mayoritasnya adalah Dayak. Yang menarik di wilayah ini, sebagaimana juga di ketiga provinsi lainnya di Kalimantan, tidak ditemukan istilah etnik Melayu sama sekali.

[xi] Saat ini saya masih sedang menyusun jumlah tindak pidana lintas-etnik berdasarkan laporan media massa (khususnya koran), kantor kepolisian, dan kantor pengadilan, serta Lembaga Pemasyarakatan. Kendati data sudah terkumpul, saya masih mengalami kesulitan teknis untuk membuat konsistensi jumlah kasus, dan yang paling utama adalah identifikasi kelompok etnik pelaku dan korban. Hal terakhir ini terjadi karena biasanya sumber-sumber data tersebut tidak mencantumkan keterangan tentang etnik.

[xii] Bagi peneliti yang ingin pergi ke Sambas, ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, jangan sekali-kali menyebut rekonsiliasi, bagi sebagian penduduk Kabupaten Sambas hal ini sama saja dengan membuka kemungkinan bagi Madura untuk kembali. Kedua, jangan sekali-kali menyebut kecemburuan sosial atau sinonimnya, karena mereka merasa hal itu tidak benar. Argumentasi yang sering dikemukakan adalah bila memang ada, maka seharusnya kekerasan itu ditujukan bukan kepada Madura, tetapi kepada Cina.

[xiii] Namun yang menarik, saya mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk kekerasan kolektif lainnya di Kalbar. Di Jawa misalnya, saya dengan mudah dapat menemukan kerusuhan, yakni suatu bentuk kekerasan kolektif yang spontan dan lebih diarahkan kepada simbol-simbol, baik identitas maupun pemilikan, dan biasa terjadi di perkotaan.  Walau dua insiden besar pada 2000 dan 2001 terjadi di kota Pontianak, namun keduanya sulit untuk dikategorikan sebagai kerusuhan. Secara umum, hal ini menggoda saya untuk berkesimpulan bahwa mungkin kerusuhan hanya merupakan tipikal Jawa, atau paling jauh Sumatera Saya juga praktis belum menemukan kekerasan kolektif dalam bentuk tawuran antar kampung yang juga banyak terdapat di Jawa, baik di kawasan pedesaan maupun perkotaan, ada di Kalimantan Barat. Kedua jenis kekerasan kolektif ini, umumnya berlangsung singkat, praktis tanpa korban jiwa, dan relatif tidak memerlukan mobilisasi aparat keamanan yang berlebihan untuk menghentikan insiden tersebut.

[xiv] Pernyataan ini terutama untuk merujuk pada fenomena bahwa ada sekelompok orang yang satu-satunya pekerjaan adalah berniaga kekerasan, sedangkan sekelompok lain yang jumlahnya lebih kecil, selain berniaga kekerasan, mereka juga memiliki jenis usaha lain yang normal dan syah seperti pengusaha, kontraktor, anggota DPRD, ketua organisasi kemasyarakatan, LSM, wartawan, bahkan juga bupati, dan sebagainya.

[xv] Sebenarnya secara agregat, tingkat kriminalitas di Poltabes Pontianak dan Kalbar secara keseluruhan menunjukkan penurunan, namun berdasarkan lokasi khusus kam pengungsi, sebagaimana ditunjukkan berbagai media massa, memang relatif ada peningkatan walau tidak sedrastik yang dibayangkan.

[xvi] Berdasarkan tradisi, seharusnya pelaksanaan hukum adat dilakukan oleh para fungsionaris adat, misalnya Temenggong. Seorang Temenggong hanya dapat menjalankan hukum tersebut sesuai dengan teritori kekuasaannya. Biasanya fungsionaris adat akan mengenakan denda menurut aturan-aturan tradisional yang tidak memberatkan hanya satu pihak semata. Namun dalam prakteknya, pelaksana hukum adat bukan lagi fungsionaris adat, tetapi fungsionaris organisasi etnik yang tinggal di perkotaan. Bahkan ada kecenderungan, denda adat akhirnya berarti uang, yang biasanya berjumlah jutaan. Satu kali pernah terjadi Rektor Untan terpaksa membayar denda adat sebanyak Rp 10 juta karena sejumlah mahasiswa Untan terbukti menahan beberapa orang polisi yang salah satunya adalah orang Dayak. Ini menimbulkan kontroversi baik di kalangan Melayu maupun Dayak sendiri.

[xvii]  Berdasarkan keterangan informan polisi dan masyarakat, keluarga salah satu tersangka menghubungi salah seorang anggota polisi di suatu kecamatan; yang terakhir ini kemudian menghubungi seorang pejabat polisi yang lebih berwenang. Akhirnya, keluarga tersangka sepakat membayar Rp 25 juta sebagai imbalan pelepasan tersangka. Situasi inilah yang membuat Melayu menilai polisi tidak berlaku adil. Setelah insiden meledak, barulah kepala polisi daerah itu mengetahui persoalannya. Ia kemudian menugaskan suatu tim untuk menangkap para pelaku yang menyuap. Yang menarik ketika tim polisi mendatangi pelaku, ternyata rumahnya digunakan sebagai suatu markas satu regu anggota Brimob. Uang suap itu akhirnya dikembalikan kepada keluarga pelaku. Namun tidak ada sanksi apapun yang dijatuhkan kepada kedua oknum polisi tersebut.

[xviii] Dalam berbagai kesempatan formal ada kecenderungan orang-orang Cina akan mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan baik dengan Dayak.  Namun dalam kesempatan lain, beberapa di antaranya mengatakan fakta apa adanya. Seorang informan misalnya, mengatakan bahwa suatu waktu salah seorang adiknya berpacaran dengan Dayak. Ibu mereka lalu menyatakan kemarahannya dengan mengatakan bahwa ia masih belum lupa terhadap berbagai kekerasan yang pernah Dayak lakukan terhadap dia dakeluarganya di tahun 1960-an.

[xix] Secara diam-diam banyak Madura yang menilai mereka lebih respek terhadap Dayak. Dayak cenderung dapat memegang janji, dapat dipercaya, dapat diajak berunding dan relatif pemaaf.  Namun tentu saja Madura tidak dapat meninggalkan Melayu begitu saja. Banyak Madura yang tidak segan-segan mencium tangan tokoh-tokoh ulama Melayu (di luar Habib yang keturunan Arab). Yang menarik ada satu informan Madura yang mengatakan bahwa ketika ia masih tinggal di kamp pengungsian, ia didatangi oleh tetangganya dulu di Sambas. Dalam pelukan  seraya bertangis-tangisan dan bermaaf-maafan, tetangganya yang Melayu itu lalu berkata bahwa mereka harus bersatu-padu bila nanti Dayak dan Melayu berperang.

[xx] Dari satu segi Dayak jauh lebih beruntung ketimbang Melayu. Berbeda dengan insiden 1997, media massa, nasional dan internasional,  banyak meliput insiden 1999 sedemikian sehingga Melayu merasa tersudutkan. Salah satu yang selalu dikenang warga Melayu adalah siaran wawancara langsung salah satu televisi swasta Jakarta. Salah seorang pembicara dalam siaran langsung itu telah menuduh mereka sebagai orang biadab, kanibal dan melakukan ethnic cleansing. Mereka menilai hal ini tidak adil karena seakan mengabaikan fakta atas apa yang dilakukan Madura di Sambas selama ini.  Di luar itu, organg Melayu juga tidak dapat bersembunyi di balik eksotisme kultural sebagaimana Dayak. Yang terakhir ini memang dipandang relatif lebih positif dari kacamata Barat.
 

REFERENSI TERSELEKSI

Bhavnani, Ravi & Backer, David 2000. Localized Ethnic Conflict and Genocide: Accounting for Differences in Rwanda and Burundi in Journal of Conflict Resolution. Vol.44 No.3 June 2000: 283-306
Brubaker. Rogers & Laitin, David D. 1998. Ethnic and Nationalist Violence in Annual Reviews Sociology 1998 No.24:423-452.
Davidson, Jamie S. 2000. Ethnic Violence and Electoral Periphery: The case of West Kalimantan in paper seminar Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Perubahan, Tantangan dan Harapan. Percik, Yogyakarta 3-7 Juli 2000.
Davidson, Jamie S. & Kammen, Douglas 2002 Indonesia’s Unknown War and Lineages of Violence in West Kalimantan in Indonesia 73, April 2002: 52-87.
Effendy, Machrus. 1995 Penghancuran PGRS-Paraku dan PKI di Kalimantan Barat. Jakarta. Dian Kemilau Jakarta.
Fearon, James D. & Laitin, David D. 1996 Explaining Interethnic Cooperation in American Political Science Review Vol.90 No.4 December 1999: 715-735.
Fearon, James D & Laitin, David D. 2000. “Violence and the Social Construction of Ethnic Identity.” in International Organization 54, Auntum, pp.845-887. IO Foundation and The Massachusetts Institute of Technology.
Gould, Roger V. 1999 Collective Violence and group Solidarity: Evidence From A feuding Society in American Sociological Review, Vol.64 June 1999:356-380.
Hasanuddin & Purwanan, Bambang Hendarta Suta & Sulistyorini, Pembayun 2000. Pontianak 1771-1900: Suatu Tinjauan Sejarah Sosial Ekonomi. Pontianak: Romeo Grafika
Hernes, Gudmund 1998 Real Virtuality in Hedström, Peter & Swedberg, Richard (eds.) 1998 Social Mechanisms: An Analytical Approach to Socail Theory. Cambridge: Cambridge University Press.
Horowitz, Donald D. 1985. Ethnic Groups in Conflict. Berkeley-Los Angeles-London: University of California Press.
Horowitz Donald L. 2001 Deadly Ethnic Riots.  Berkeley: University of California Press.
Husken, Frans & Jonge, Huub de (eds) Violence and Vegeance: Discontent and Conlict in New Order Indonesia. Nijmegen: Niccos, 2002.
Irwin, Graham  1986 Borneo Abad Kesembilan Belas a.b Mohd. Nor Ghani & Noraini Ismail. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa & Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia
Lontaan, J.U 1975 Sejarah-hukum Adat dan Istiadat Kalimantan Barat. Jakarta: Bumirestu
Tambiah SJ. 1986. Sri Lanka: Ethnic Fraticade and the Dismantling of Democracy. Chicago, IL: Univ. Chicago Press.
Tambiah SJ. 1996. Leveling Crowds: Ethnonationalis Conflicts and Collective Violence in South Asia. Berkeley: University of California Press.
Varshney, Asuthos 2001. Ethnic Conflict and Civic Life: Hindus and Muslims in India. Book Draft. Forthcoming Yale University Press.
Varsney, Ashutosh 2001 Ëthnic Conflict and Civil Society: India and beyond. World Politics 53 (April 2001), 362-98
------------------- 2002 The Local Roots of India’s Riots. Far Eastern Economic Review (March 21-th), p.26