Minggu, 24 April 2016

Integrasi Nasional Indonesia di Ambang Keruntuhan?



[Makalah Simposium Satelit Kepedulian Universitas Indonesia terhadap Integrasi Bangsa Indonesia, 21 April 1999]


Dalam beberapa bulan terakhir ini berkembang suatu keyakinan umum bahwa kerusuhan di Indonesia cenderung meningkat secara dramatis. Bagi kalangan intelektual tertentu, hal ini dijadikan sebagai indikasi integrasi bangsa ini berada di ambang keruntuhan. Singkatnya, Indonesia mulai terancam disintegrasi nasional. Sedangkan intelektual lain menyatakan hal ini merupakan indikasi Indonesia sedang menapak ke arah terjadinya revolusi sosial.

Makalah singkat ini pada dasarnya berupaya mengklarifikasi keyakinan populer di atas secara empirik. Dengan tegas makalah ini menyimpulkan bahwa per definisi kerusuhan di Indonesia cenderung menurun; yang meningkat justru aksi kekerasan kolektif lainnya di luar kerusuhan. Kondisi ini sebenarnya bukan merupakan indikasi dari adanya kemungkinan disintegrasi sosial. Kondisi ini juga bukan merupakan indikasi dari kemungkinan adanya revolusi sosial, tetapi merujuk kepada anarki.

Dengan kata lain, makalah ini menyimpulkan bahwa secara umum Indonesia masih cukup jauh dari nasib seperti yang dialami oleh, misalnya, India, Uni Soviet, dan Yugoslavia. Namun bukan berarti penyakit yang sekarang diidap Indonesia merupakan sesuatu yang ringan dan akan sembuh dengan sendirinya seperti penyakit pilek. Beberapa terapi jangka panjang, menengah, dan pendek perlu dilakukan secara sadar dan terencana bila Republik Indonesia masih ingin tetap bertahan hidup, setidaknya hingga abad ke-21.

Semua kesimpulan di atas pada dasarnya merupakan induksi dari data sekunder yang terliput di berbagai media massa cetak dan juga buku, disertasi, serta laporan. Mengingat cakupan waktunya yang terentang panjang mulai dari tahun 1946 hingga 16 April 1999, penulis sepenuhnya menyadari belum semua data aksi kekerasan kolektif yang tercakup; dan dari semua data yang dianalisis (381 kasus) belum tentu semuanya memiliki bobot validitas dan reliabilitas yang sama. Kesimpulan ini sebaiknya dipandang sesuatu yang tentatif, belum sepenuhnya konklusif. Dari berbagai diskusi yang kemudian berkembang, di samping pengumpulan data yang lebih ekstensif, penulis berharap dapat menyempurnakan materi dan kesimpulan makalah ini.


A.     Bukan Peningkatan Kerusuhan, Tetapi Aksi Kekerasan Kolektif

Apakah benar keyakinan umum yang menyatakan ada peningkatan drastis dalam jumlah kerusuhan di Indonesia?

Sebelum menjawab hal itu, makalah ini perlu membatasi lebih dulu konsep kerusuhan. Bagaimana pun, kerusuhan adalah hanya salah satu jenis dari konsep yang lebih besar dari apa yang disebut sebagai aksi kekerasan kolektif. Kerusuhan adalah “aksi kolektif yang spontan, tidak terorganisasi, tidak bertujuan, yang biasanya melibatkan penggunaan kekerasan, baik untuk menghancurkan, menjarah barang, dan atau menyerang orang lain (Djajadi, 1997:11). Sebagai suatu bentuk aksi kekerasan kolektif, kerusuhan tentu saja harus dibedakan dengan perusakan, penjarahan, tawuran, sabotase, operasi militer, kudeta, perang internal, (percobaan) pembunuhan, dan sebagainya. Aspek paling menonjol yang membedakan ketujuh aksi kekerasan kolektif tersebut dari kerusuhan adalah sifatnya yang tidak spontan, relatif terorganisasi, dan memiliki tujuan khusus.

Yang lebih penting, kerusuhan (riot) bukan merupakan prediktor yang baik bagi integrasi nasional. Uni Sovyet misalnya, sebelum mengalami disintegrasi nasional, tidak menunjukkan peningkatan kerusuhan yang signifikan. Pertanda yang cukup menyolok justru peningkatan konflik etnik antara Armenia dengan Azerbaijan, dan antara Abkhazes dengan Georgian (United Nations, 1994:277).

Sebaliknya, kawasan Amerika Latin hanya sedikit mengalami kerusuhan, selama periode 1946-1960 umpamanya, dari 23 negara hanya ada dua kerusuhan, itu pun hanya ada di dua negara. Di pihak lain, dalam periode yang sama, di kawasan itu tercatat 10 kali peperangan, 37 pemberontakan militer, 39 kudeta militer, dan 51 kudeta pemerintahan (Mukmin, 1981:62). Uniknya, Amerika Latin yang umurnya rata-rata di atas 1 abad tersebut praktis tidak pernah mengalami disintegrasi nasional.

Dalam nuansa yang sama, Amerika Serikat banyak mengalami kerusuhan. Negara ini praktis tidak pernah mengalami kudeta atau pemberontakan militer, namun integrasi nasional negara ini tetap terjaga utuh, kalau tidak dapat dikatakan berkembang – karena ada satu periode jumlah negara bagian mereka terus bertambah, bukannya berkurang karena ada yang melepaskan diri melalui gerakan separatis.

Di kawasan lain, negara-negara Afrika dan Asia Selatan, banyak yang mengalami kerusuhan sekaligus berbagai aksi kekerasan kolektif lainnya. Mereka cukup banyak mengalami masalah disintegrasi nasional.

Jadi, sebenarnya tidak ada indikator yang tunggal dan pasti untuk meramalkan kemungkinan suatu negara akan mengalami disintegrasi nasional atau tidak. Walaupun berbagai aksi kekerasan kolektif lainnya juga tidak dapat diandalkan, namun setidaknya konsep yang lebih umum tersebut dapat memberikan gambaran lain mengenai keadaan atau masalah yang sedang dihadapi oleh negara dan masyarakat bersangkutan.

Berdasarkan penjelasan di atas, data memang menunjukkan bahwa aksi kolektif kekerasan di Indonesia cenderung meningkat. Setelah mengalami periode yang relatif tenang di tahun 1950-1960-an, kekerasan kolektif meningkat pada tahun 1970-1980-an, meningkat drastis memasuki pertengahan tahun 1990-an, dan puncaknya terjadi pada 1998.

Salah satu upaya untuk dapat melihat dengan jernih mengenai ada atau tidaknya peningkatan aksi kekerasan kolektif adalah dengan membuat periodisasi menurut rezim kepala pemerintahan. Pada masa Orde Lama (Orla), secara agregat tercatat ada 65 kasus kekerasan kolektif (17%), pada masa Orde Baru (Orba), jumlahnya meningkat drastis menjadi 168 kasus kekerasan kolektif (44%), dan sedikit menurun menjadi 148 kasus kekerasan kolektif (39%) pada masa Orde Reformasi (Oref). Namun, mengingat relatif singkatnya masa Oref – baru sekitar 10 bulan, tidak berlebihan kiranya bila disebutkan aksi kekerasan kolektif cenderung terus meningkat secara dramatis.

Pengamatan yang saksama menunjukkan, dari 9 jenis aksi kekerasan kolektif, ada 4 jenis aksi kekerasan kolektif yang menonjol, yaitu kerusuhan (20%), perusakan (14%), tawuran (11%), dan operasi militer (9%). Berdasarkan itu, keyakinan bahwa kerusuhan merupakan masalah yang menonjol memang dapat dibenarkan. Namun, ketika kekerasan kolektif itu dirinci berdasarkan periode, terlihat proporsi kerusuhan di Oref sebenarnya justru menurun drastis. Pada masa Orla ada 43%, pada masa Orba 40%, dan pada masa Oref hanya 10%. Hal sebaliknya yang terjadi adalah penjarahan, perusakan, tawuran, dan perang internal.

Kita mungkin dapat berspekulasi kerusuhan di kedua masa sebelumnya mungkin berperan sebagai semacam “katup pengaman.” Sadar atau tidak, pemerintahan kala itu cenderung bersifat permisif. Daripada masyarakat menyerang negara, lebih baik naluri agresi itu disalurkan dalam bentuk lain. Biar saja masyarakat menyerang anggota masyarakat lainnya, toh mereka hanya orang China. Lagi pula, mereka hanya merusak barang, bukan membunuh orang.

Tidak diketahui pasti apa yang sebenarnya terjadi sekarang. Masyarakat tidak lagi menjadikan China sebagai sasaran. Secara pasti, masyarakat sekarang lebih condong memiliki tujuan yang selektif. Mereka hanya akan menyikat gudang atau kendaraan yang menyimpan beras atau sembako, terlepas itu milik China, Jawa, Padang, Haji, atau koperasi. Mereka seakan tidak kenal takut lagi untuk menyerang, merusak, bahkan membakar kantor polisi. Mereka juga akan menyerang untuk membunuh warga lain yang sebenarnya beretnik dan beragama sama. Perbedaannya mungkin hanya sebatas gang atau kali yang memisahkan rumah mereka. Dan yang lebih mengerikan lagi, mereka juga tidak segan-segan untuk membunuh secara kejam dalam suatu modus sistematik dan berjangka waktu lama kepada sesama warga pribumi lainnya. Sedemikian sehingga lebih mengesankan perang internal ketimbang suatu tawuran atau perkelahian massal.

Sekali lagi, bukan kerusuhan yang meningkat di Indonesia sekarang ini, tetapi aksi kekerasan kolektif lainnya. Dan terlihat pula bahwa orientasi aksi kekerasan kolektif mengambil bentuk kekerasan masyarakat pada masyarakat (tawuran di antara unit-unit dalam masyarakat itu sendiri), ketimbang bentuk orientasi aksi lainnya. Ini adalah sesuatu yang sangat dominan di masa Oref (74%). Kondisi ini kontras di masa Orla di mana aksi kekerasan kolektif yang terjadi mengambil bentuk aksi negara (pemerintah pusat) kepada negara (daerah), atau sebaliknya. Kontras pula di masa Orba di mana yang dominan adalah bentuk kekerasan negara kepada masyarakat (22%).


B.      Bukan Disintegrasi Nasional, Tetapi Malintegrasi yang Mengarah Kepada Disintegrasi Sosial

Uraian di atas membentangkan kesimpulan bahwa di Indonesia sekarang ini sedang terjadi peningkatan aksi kekerasan kolektif. Pertanyaannya sekarang, apakah peningkatan tersebut memang merupakan indikasi dari adanya disintegrasi bangsa?

Jawabannya ada dua: teoritik dan empirik. Secara teori, integrasi sebenarnya adalah derajat kekuatan hubungan di antara unit-unit sosial. Integrasi nasional merupakan hubungan di antara negara dengan masyarakat. Konsep ini harus dibedakan dengan integrasi sosial yang merujuk pada hubungan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat itu sendiri. Suatu bangsa dikatakan mengalami disintegrasi nasional bila suatu masyarakat menolak kehadiran negara yang sedang berkuasa, dan memilih membentuk negara sendiri. Suatu bangsa dikatakan mengalami disintegrasi sosial bila kelompok-kelompok dalam masyarakat menolak kehadiran satu sama lain. Berdasarkan teori, jelas terlihat pada umumnya Indonesia belum pantas untuk dikualifikasikan sebagai berada di ambang disintegrasi nasional. Kemungkinan yang paling besar adalah Indonesia saat ini sedang berada dalam posisi malintegrasi sosial, yakni adanya gangguan hubungan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dan hingga batas tertentu, sedang mengarah kepada disintegrasi sosial.

Pada dasarnya disintegrasi nasional merujuk pada adanya gerakan-gerakan separatis yang bertujuan melepaskan diri dari yurisdiksi kekuasaan negara yang berlaku, dan membentuk suatu negara yang sama sekali baru. Seperti seorang suami/istri yang ingin melepaskan diri dari ikatan mereka karena ingin menikah lagi dengan pasangan baru. Orang bersangkutan berupaya memberikan pertanda-pertanda, baik samar maupun tegas. Dalam beberapa kasus, upaya tersebut berjalan penuh pengertian, halus, dan damai. Namun dalam beberapa kasus, upaya tersebut berjalan kacau, kasar, dan penuh kekerasan.

Dalam kedua spektrum tersebut, terentang upaya-upaya mulai dari kunjungan ke Istana penuh gelak tawa, konferensi pers sepihak, pengibaran bendera baru dan/atau pembakaran bendara lama, pembakaran kotak suara hingga penyerangan pos-pos militer. Namun demikian, perlu juga diamati dengan saksama kemungkinan adanya upaya-upaya merajuk penuh tipu daya, seperti seorang suami/istri yang berusaha menarik perhatian pasangannya.

Berbeda dengan disintegrasi sebelumnya, disintegrasi sosial merujuk pada penolakan di antara warga dalam masyarakat, tanpa keinginan untuk memisahkan diri apalagi membentuk negara baru. Pihak-pihak yang bertikai pada hakikatnya dapat menerima kehadiran negara, mereka hanya tidak dapat menerima kehadiran pihak lain sebagai bagian dari suatu masyarakat.

Kembali ke metafora yang sama, disintegrasi sosial adalah bagaikan suami-istri Katolik yang memandang suci ikatan pernikahan mereka dengan menghindarkan diri dari perceraian, walau mereka sudah tidak saling percaya lagi, tidak tinggal sekamar, dan tidak mau bertegur sapa. Dalam bentuk ekstrem, keinginan mereka hanya untuk saling menyakiti, hingga maut memisahkan mereka untuk selamanya.

Sedangkan malintegrasi merujuk pada adanya gangguan temporer di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Mereka jelas menerima kehadiran negara seperti juga kehadiran anggota masyarakat lainnya. Metaforanya kurang lebih seperti suami-istri yang malas bicara satu sama lain, atau sekalinya bertegur sapa mereka bertengkar bahkan berkelahi.

Secara kontekstual, pembedaan antara disintegrasi nasional, disintegrasi sosial, dan malintegrasi sosial dalam kasus Indonesia dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

No
Disintegrasi Nasional
Disintegrasi Sosial
Malintegrasi Sosial
1.
Ditujukan kepada orang, barang, dan simbol
Lebih ditujukan kepada orang
Lebih ditujukan kepada barang
2.
Waktu dan prosesnya berjalan sangat panjang
Waktu dan prosesnya cukup lama
Waktu dan prosesnya berlangsung cepat
3.
Aparat keamanan harus turun tangan, namun masalahnya tetap laten dan tak pernah selesai
Aparat keamanan harus turun tangan secara aktif
Masyarakat sendiri pada dasarnya mampu menyelesaikan masalah mereka
4.
Kasus konkret: Timor Timur, Irian Jaya, dan Aceh
Kasus konkret: Dayak-Madura di Kalimantan Barat
Kasus konkret: Tionghoa-Pribumi, tawuran antar kampung di Jawa


Temuan data empirik membenarkan dugaan bahwa saat ini Indonesia lebih banyak mengalami malintegrasi sosial ketimbang disintegrasi sosial ataupun disintegrasi nasional. Dari keseluruhan aksi kekerasan kolektif yang terjadi mulai tahun 1946 hingga pertengahan April 1999, kondisi malintegrasi sosial adalah yang paling menonjol (53%), dibandingkan disintegrasi sosial apalagi disintegrasi nasional. Penelusuran menurut periode menunjukkan, di masa Oref ada kecondongan disintegrasi sosial mengalami peningkatan dibandingkan masa Orba. Demikian pula malintegrasi.

Perbandingan secara internasional memberikan dukungan empirik tertentu. Secara umum disintegrasi nasional bukanlah suatu proses yang mudah (lihat Sujatmiko, 1999). India yang kehilangan sebagian wilayahnya yang kemudian berubah menjadi Pakistan, Uni Sovyet dan Yugoslavia – semuanya merupakan negara federal, mengalami problema etnik yang serius dalam konteks sejarah yang panjang, relatif tidak memiliki bahasa nasional, dan yang tak kurang penting, proses integrasi (aneksisasi) awalnya terjadi melalui peperangan. Kondisi ini, hingga beberapa derajat, tidak terjadi di Indonesia.

Jadi kesimpulannya, ancaman paling konkret yang sekarang dihadapi Indonesia bukanlah kondisi disintegrasi nasional, tetapi malintegrasi sosial yang mengarah kepada disintegrasi sosial. Tetapi perlu ditegaskan di sini, ancaman ini tetap cukup serius dan perlu dicari jalan pemecahannya.


C.      Bukan Revolusi Sosial, Tetapi Anarki

Apakah peningkatan aksi kekerasan kolektif yang terjadi selama ini di Indonesia merupakan indikasi ke arah revolusi sosial?

Revolusi sosial adalah pergantian drastis elit negara oleh suatu kelas baru (dalam masyarakat). Dalam upaya menyingkirkan elit lama yang merupakan kelas atas yang menguasai negara, kelas baru yang biasanya berada dalam posisi subordinat itu menyiapkan ideologi yang berbeda, serta membentuk organisasi untuk mencapai target dan menerapkan ideologi mereka.

Berdasarkan pengertian tersebut, identifikasi empirik menunjukkan saat ini orang-orang yang menguasai negara masih berasal dari kelas lama (Hanya Soeharto yang jatuh, rezimnya tetap bertahan). Beberapa yang tersingkir atau menyingkirkan diri sekarang sedang bersiap-siap untuk kembali berkuasa melalui wahana partai politik baru. Pada tatanan kepercayaan dasar, kendati Kesaktian Pancasila sudah mulai terkikis, namun praktis belum terlihat adanya ideologi alternatif yang menantang dan memperoleh dukungan publik.

Lebih jauh, kita juga belum melihat adanya organisasi yang menetapkan target dan mewujudkan ideologi tersebut. Kebanyakan organisasi yang ada sekarang adalah LSM atau parpol, suatu badan yang berusaha menetapkan tujuan dan menyiapkan cara-cara untuk mencapai tujuan itu secara sah atau dapat diterima oleh tatanan pranata yang berlaku.

Jadi, peningkatan aksi kekerasan kolektif yang sekarang terjadi bukan mengarah kepada revolusi sosial. Dengan merujuk pada tabel sebelumnya, terlihat ada kecenderungan aksi kekerasan kolektif yang terjadi di antara masyarakat sendiri dan kekerasan masyarakat pada negara. Ini berarti negara semakin kehilangan wibawa, atau tidak lagi memiliki supreme power.

Kondisi ini semakin menegaskan bahwa kondisi Indonesia mengarah kepada anarki, yakni ketiadaan pemerintah yang efektif atau suatu kekacauan politik (dan bukan anomi), yang bila tidak tertangani dengan baik akan mengarah kepada penolakan bahkan penghapusan negara sama sekali (anarchism). Dalam kasus ekstrem kanan, itu berarti supremasi individualisme, sedangkan dalam kasus ekstrem kiri, itu berarti supremasi kolektivisme.


D.     Usulan Terapi

Jadi, bagaimana mengatasi malintegrasi sosial yang menjurus ke arah disintegrasi sosial? Ada tiga pendekatan besar. Pada tataran pertama, kita menerapkan pendekatan kultural; pada tataran kedua, pendekatan hukum; dan pada tataran ketiga, pendekatan struktural.

Tataran pertama menekankan pada aspek kognitif. Upaya-upaya tersebut dapat mengambil bentuk penguatan ideologi negara secara terbuka, serta sosialisasi nilai-nilai yang menekankan pada penghormatan terhadap HAM dan toleransi. Ini adalah pendekatan jangka panjang.

Tataran kedua menekankan pada penegakan norma-norma hukum yang mengandung asas keadilan dan kepastian yang tinggi. Dalam semangat ini, mungkin dipandang perlu juga untuk menciptakan semacam hukum khusus yang mengatur hubungan antar etnik dan agama.

Sedangkan tataran ketiga menekankan pada aspek relasional, baik di tingkat negara, masyarakat, maupun di antara keduanya. Negara harus menerapkan good governance; memberikan otonomi kepada daerah dengan perimbangan keuangan yang lebih adil antara pusat-daerah; menerapkan pemerataan distribusi sumber daya pada satu pihak, dan pada pihak lain proteksi serta privilese kepada golongan bawah dan/atau minoritas tertentu; menjalankan demokratisasi; serta yang tak kurang penting adalah usaha untuk menjadikan birokrasi sebagai organisasi rasional dan membatasi efektivitas organisasi-organisasi kemasyarakatan yang berbasis primordialisme. Akhirnya, yang sekarang dirasakan paling mendesak adalah upaya untuk membatasi secara ketat kegiatan transmigrasi ‘spontan.’
















Kepustakaan

A. Made Tony Supriatna, ed. 1997. 1996: Tahun Kekerasan Potret Pelanggaran HAM di Indonesia. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

Dahrendorf, Ralf. 1959/1986. Konflik dan Konflik (Kelas) dalam Masyarakat Industri. a.b. Ali Mandan. Jakarta: Rajawali.

Djajadi, M. Iqbal. 1999. “Kerusuhan dan Reformasi” dalam Selo Soemardjan, Kisah Perjuangan Reformasi. Jakarta, Sinar Harapan.

Ecip, S. Sinansari. 1998.  Kronologi Situasi Penggulingan Soeharto. Bandung: Penerbit Mizan.

Ensiklopedi Indonesia. Suplemen 1986 & 1990. Edisi Khusus.

Hairus Salim HS & Andi Achdian. 1997. Amuk Banjarmasin. Jakarta: YLBHI.

Herlianto. 1997. Urbanisasi, Pembangunan, dan Kerusuhan Kota. Bandung: Alumni.

Horowitz, Donald. 1985. Ethnic Groups in Conflict. Berkeley: University California Press.

Human Rights Watch/Asia. 1998. Konflik Etnis di Kalimantan Barat. a.b. Herlan Artono. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi.

Istiharto, Andi & Ardiyah. 1999. Mengungkap Fakta & Data: Tragedi Berdarah Era Orde Baru. Jakarta: Pustaka Rifki.

Janowitz, Morris. 1979. “Collective Racial Violence: A Contemporary History” dalam Hugh Davis Graham & Ted Gurr, eds., Violence in America: Historical and Comparative Perspectives, rev. Beverly Hills, California: Sage.

Jary, David & Jary, Julia. 1991. The Harper Collins Dictionary of Sociology. New York: Harper Collins.

Luwarso, Lukas. 1997. Huru-Hara Rengasdengklok. Pengantar Ulil Abshar-Abdalla. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi.

Marx, Gary. 1972. “Issueless Riots” dalam James F. Short & Marvin E. Wolfgang, eds., Collective Violence. Chicago: Aldine-Atherton.

Mendel, William. “Combat in Cities: The LA Riots and Operation RIO,” http://leaf.wwwarmymil/finso

Mukmin, Hidayat. 1981. Pergolakan di Amerika Latin dalam Dasawarsa Ini. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.

Snow, David A. & Paulsen, Ronnelle. 1992. “Crowd and Riots” dalam Edgar F. Borgotta & Marie I. Borgotta, Encyclopediaof Sociology, p395-402). New York: Macmillan.

Siswoyo, P. Bambang. 1981. Huru-Hara Solo Semarang: Suatu Reportase. Bhakti Pertiwi, tanpa kota.

Soedirman, Basofi & Wignyosoebroto, Soetandyo, dkk. 1997. Bonek: Berani Karena Bersama. Surabaya: Hipotesa.

Sujatmiko, Iwan G. 1992. “The Destruction of the Indonesian Communist Party (PKI): a Comparative Analysis of East Java and Bali. A Doctoral Thesis in Harvard University.

Sujatmiko, Iwan G. 1997. “Kerusuhan Sosial di Indonesia.” Belum dipublikasikan.

Soemardjan, Selo, dkk. 1963. Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi. Bandung: Eresco.

Ngadisah. 1997. “Implementasi Perencanaan Sosial dalam Perencanaan Pembangunan Proyek Fisik dan Munculnya Aksi Sosial.” Proposal Penelitian Program S-3 Fakultas Pasca Sarjana. Jakarta.

Pusat Studi dan Pengembangan Informasi (PSPI). 1998. Tanjung Priok Berdarah: Tanggung Jawab Siapa? Kumpulan Fakta dan Data. Jakarta: Gema Insani.

Ricklefs, M.C. 1992. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Tim Relawan untuk Kemanusiaan. 1998. “Data Korban Rangkaian Tragedi Trisakti – Amuk Massa Jakarta Mei 1998. Data di-update 1 Juni 1998.

United Nations. 1994. World Social Situation in the 1990s. New York: United Nations Publication.


M. Iqbal Djajadi – Staf Pengajar Jurusan Sosiologi FISIP-UI. Makalah ini disajikan untuk Simposium Kepedulian UI terhadap Integrasi Bangsa Indonesia. Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia, Rabu 21 April 1999. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya atas dukungan moral dan inspirasi intelektual dari Iwan Gardono Sujatmiko. Penulis juga ingin memberikan ucapan terima kasih atas masukan, komentar cerdas, dan bantuan dari Sardjono Jatiman, M. Hasyim, Erwin Indrajaya. Secara khusus penulis berterima kasih atas bantuan teknis dari Budi Gonjes, Rahmah, Rizal Hikmat, serta tentu saja Cendrawati dan Demi Tristan Djajadi. Namun seperti biasa, penulis sepenuhnya yang bertanggung jawab atas segala isi makalah ini.  

Gerakan Sosial Keturunan Tionghoa di Indonesia dalam Memperjuangkan Identitasnya


[Proposal Penelitian, 12 Oktober 2000]
 
Pendahuluan

Identitas adalah penempatan diri seseorang dalam masyarakat di mana ia berada. Penempatan diri ini merupakan suatu langkah yang selalu dilakukan oleh seseorang sebelum (dan bahkan selama) orang tersebut berhubungan dengan orang-orang lain. Tanpa pemahaman yang jelas mengenai keberadaannya (yaitu mengenai posisinya dalam masyarakat), seseorang akan mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan orang-orang lain. Bahkan tak tertutup kemungkinan orang tersebut mengalami kebingungan di tengah jaringan masyarakat yang sangat rumit ini.

Penempatan diri seseorang dalam masyarakat merupakan suatu proses yang selalu berubah dan tidak pernah berhenti. Hal ini karena masyarakat di mana orang tersebut berada juga merupakan masyarakat yang selalu berubah, dan berada dalam proses yang berkelanjutan. Bentuk jaringan masyarakat pada suatu waktu tertentu akan berbeda dari bentuk jaringan masyarakat yang muncul pada waktu yang lain, baik sebelum maupun sesudahnya. Dengan demikian, penempatan diri seseorang dalam jaringan masyarakat pada suatu waktu tertentu juga akan berbeda dengan penempatan diri seseorang pada jaringan masyarakat di waktu yang lain. Dengan kata lain, identitas seseorang akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu.

Proses penempatan diri seseorang dalam masyarakat biasanya tidak hanya terbatas pada lingkup individu. Dalam jaringan masyarakat yang semakin lama semakin luas dan rumit ini, seseorang cenderung menempatkan dirinya sebagai bagian dari suatu kelompok tertentu di tengah jalinan hubungan dengan kelompok-kelompok lain. Situasi ini, oleh Norbert Elias diilustrasikan sebagai sebuah permainan yang dimainkan secara berkelompok sehingga setiap orang yang bermain akan menempatkan diri sebagai bagian dari kelompoknya. [Norbert Elias, What Is Sociology, Juventa Verlag, Munich, 1970., p 84]

Bila penempatan diri seseorang cenderung berkaitan dengan suatu kelompok tertentu, maka dapat pula dikatakan bahwa identitas seseorang tak dapat lepas dari kelompoknya. Kelompok tersebut dapat berupa suatu kelompok keagamaan, kelompok lokalitas (tempat di mana seseorang tinggal), atau kelompok etnik. Ia dapat pula berupa kelompok bermain ataupun kelompok yang didasarkan pada tempat kerja.

Identitas orang Tionghoa adalah salah satu contoh dari keterkaitan di atas. Orang Tionghoa di Indonesia (yaitu keturunan Tionghoa yang telah menjadi warga negara Indonesia atau yang telah tinggal di Indonesia secara turun-temurun) memiliki identitas yang unik dan berbeda dengan orang-orang Indonesia lainnya. Identitas itu sangat berkaitan erat dengan kelompok dari mana mereka berasal, yaitu kelompok orang-orang keturunan Tionghoa.

Bila pemahaman tentang identitas seperti yang dinyatakan di atas diterapkan untuk memahami orang Tionghoa dan identitasnya, maka kita dapat mendefinisikan identitas orang Tionghoa sebagai penempatan diri orang Tionghoa dalam jaringan masyarakat Indonesia. Penempatan diri tersebut merupakan suatu proses yang telah berlangsung lama dan berubah-ubah sejak kedatangan mereka di Indonesia hingga saat ini. Oleh sebab itu, dapat pula dikatakan bahwa identitas orang Tionghoa selalu berada dalam proses perubahan.

Pendapat bahwa identitas orang Tionghoa selalu berada dalam proses perubahan bukanlah pendapat yang tak mendasar. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan terhadap orang-orang Tionghoa di negara-negara Asia Tenggara. Pendapat ini juga didukung oleh kenyataan-kenyataan yang terjadi di Indonesia.

Penelitian-penelitian mengenai orang-orang Tionghoa di Asia Tenggara selama dekade 1970-an menunjukkan bahwa orang-orang Tionghoa di Asia Tenggara telah berubah dan mampu melakukan perubahan lebih lanjut. Penelitian-penelitian tersebut dikumpulkan oleh Wang Gungwu serta dikelompokkan berdasarkan ciri dan waktu kemunculannya. Dari pengelompokan itu, Wang menyimpulkan bahwa setidaknya ada tujuh macam cara orang-orang Tionghoa di Asia Tenggara memandang keberadaan diri mereka. Dengan kata lain, terdapat tujuh macam identitas ketionghoaan yang tumbuh pada orang-orang Tionghoa di Asia Tenggara pada waktu-waktu yang berbeda. Pertumbuhan dari masing-masing jenis identitas itu berkaitan erat dengan situasi sosial politik yang melingkupi mereka. [Wang Gungwu, “The Study of Chinese Identities in Southeast Asia,” dalam Wang (ed), China and The Chinese Overseas, Times Academic Press, Singapore, 1991., pp 198-221]

Hal yang sama juga terjadi pada orang-orang Tionghoa di Indonesia. Cara orang Tionghoa di Indonesia menempatkan dirinya juga selalu berubah dari waktu ke waktu, sesuai dengan situasi sosial politik yang melingkupinya. Pada masa menjelang penjajahan Belanda berakhir, yaitu ketika wacana tentang Kemerdekaan Indonesia mulai diperbincangkan, pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang Tionghoa adalah mengenai bagaimana sebaiknya posisi orang Tionghoa berkaitan dengan wacana tersebut.

Setidaknya ada tiga pandangan yang dipegang oleh para elit politik Tionghoa di Hindia Belanda, sehubungan dengan pertanyaan semacam ini. Yang pertama adalah pandangan yang menekankan bahwa orang Tionghoa sebaiknya mempertahankan posisinya sebagai warga negara Tiongkok (yang pada masa itu sedang mengalami transisi dari negara yang berbentuk kerajaan, yaitu dinasti Qing, menjadi negara republik, yaitu Republik Tiongkok). Pandangan ini diajukan dengan alasan bahwa hanya Tiongkoklah yang sanggup dan akan melindungi kepentingan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda.

Pandangan kedua beranggapan bahwa orang Tionghoa sebaiknya berusaha untuk lebih diakui sebagai warga negara Hindia Belanda. Para elit politik yang mendukung pandangan ini biasanya berusaha untuk mengusahakan agar orang-orang Tionghoa dapat duduk di Dewan Rakyat (Volksraad), untuk mewakili kepentingan orang-orang Tionghoa sebagai suatu kelompok. Pandangan ketiga justru menekankan agar orang-orang Tionghoa di Indonesia turut terlibat dalam perjuangan Kemerdekaan Indonesia bersama dengan orang-orang Indonesia lainnya. Para pendukung pandangan ni biasanya menjalin hubungan dengan para tokoh nasionalis pribumi. [Diskusi mengenai pandangan politik orang-orang Tionghoa di Jawa dibahas secara rinci oleh Leo Suryadinata dalam bukunya, Peranakan Chinese Politics in Java 1917-1942, Singapore University Press, Singapore, 1981]

Selanjutnya, setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan dan berdiri sebagai sebuah negara bangsa yang baru, pertanyaan orang-orang Tionghoa di Indonesia pun mengalami perubahan. Saat itu wacana yang dominan di kalangan orang-orang Tionghoa (dan juga di kalangan elit pemerintahan Indonesia), bukan lagi mengenai pilihan antara menjadi warga negara Indonesia atau menjadi warga negara Tiongkok, meskipun harus diakui bahwa ketentuan yang mengharuskan orang Tionghoa memilih kewarganegaraannya juga sempat menjadi perbincangan hebat. [Pembahasan yang rinci mengenai topik ini ada pada Suryadinata, Pribumi Indonesians, The Chinese Minority and China, Heinemann Educational Books (Asia) LTD, Singapore, 1977., pp 115-127]

Namun yang lebih ditekankan oleh orang Tionghoa pada masa itu adalah bagaimana caranya agar orang-orang Tionghoa – khususnya yang telah memilih untuk menjadi warga negara Indonesia – dapat menjadi bagian dari bangsa yang baru ini. Dalam perbedaan mengenai topik tersebut, setidaknya ada dua pendapat yang saling bertentangan. Pendapat pertama menyatakan bahwa orang Tionghoa dapat menjadi bagian dari bangsa Indonesia tanpa harus kehilangan ciri-cirinya yang khas sebagai orang Tionghoa. Para elit politik yang berpandangan demikian biasanya disebut sebagai kelompok yang mempertahankan pandangan “integrasi.” Mereka juga tergabung dalam suatu badan yang diberi nama Badan Permusyawaratan Kemerdekaan Indonesia (Baperki). Dalam perkembangan selanjutnya, para tokoh Baperki sering dihubungkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pandangan kedua, yang berlawanan dengan pandangan pertama, menganggap bahwa satu-satunya cara agar orang-orang Tionghoa dapat diterima menjadi bagian dari bangsa Indonesia adalah melalui cara berasimilasi dengan orang-orang Indonesia asli, sehingga ciri-ciri mereka sebagai orang Tionghoa hilang. Asimilasi ini dapat ditempuh melalui berbagai cara, di antaranya dengan melakukan pernikahan campuran, atau dengan memeluk agama mayoritas penduduk Indonesia, yaitu agama Islam. [Diskusi mengenai kelompok integrasi dan asimilasi ini terdapat dalam Charles A. Coppel, Indonesian Chinese in Crisis, Oxford University Press, Kuala Lumpur, 1983. Khususnya pada halaman 43-51] Para elit politik yang mendukung pandangan ini membentuk suatu lembaga yang dinamakan Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB). Konon lembaga ini mendapat dukungan dari Angkatan Darat.

Dengan berakhirnya pemerintahan Orde Lama dan berdirinya pemerintahan Orde Baru, maka wacana yang muncul di kalangan orang Tionghoa di Indonesia pun kembali berubah. Saat itu wacana mengenai integrasi yang didukung oleh Baperki dapat dikatakan tenggelam dari permukaan bersama dengan dibubarkannya Baperki. Sebagai akibatnya, pandangan yang menjadi populer yang berkaitan dengan orang Tionghoa di Indonesia adalah pandangan tentang asimilasi. Pandangan ini bahkan dijadikan kebijakan resmi pemerintah dalam menangani hal-hal yang berkaitan dengan orang Tionghoa. Sejak saat itu segala upaya dilakukan, baik oleh pemerintah maupun oleh orang-orang Tionghoa sendiri, untuk mencari cara agar proses asimilasi orang Tionghoa dapat terlaksana dengan baik.

Uraian di atas kiranya cukup untuk membuktikan bahwa identitas orang Tionghoa, baik di Asia Tenggara maupun di Indonesia secara khusus, selalu berada dalam proses perubahan. Perubahan tersebut terjadi karena jaringan masyarakat yang ada baik di Asia Tenggara maupun di Indonesia juga selalu berada dalam proses perubahan. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka kita dapat berasumsi bahwa identitas orang Tionghoa yang tumbuh akhir-akhir ini, yaitu sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru, juga telah berbeda dari identitas orang Tionghoa pada masa-masa sebelumnya.

Dalam upaya memahami bagaimana cara penempatna diri (identitas) orang Tionghoa dalam masyarakat Indonesia pasca Orde Baru, setidaknya ada tiga hal yang tak boleh diabaikan begitu saja. Pertama adalah bentuk masyarakat Indonesia pada masa pasca Orde Baru itu sendiri. Hal ini penting untuk dipahami karena penempatan diri seseorang dalam masyarakat selalu berkaitan erat dengan bentuk jaringan dari masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, kita tidak mungkin memahami identitas seseorang tanpa terlebih dahulu memahami bentuk jaringan masyarakat di mana ia berada.

Hal kedua adalah bentuk jaringan masyarakat Indonesia sebelum pemerintah Orde Baru berakhir. Hal ini sangat berkaitan dengan hal pertama di atas karena untuk memahami perubahan pada suatu jaringan masyarakat, seseorang harus mencari penjelasan pada bentuk-bentuk jaringan masyarakat sebelumnya yang biasanya merupakan pendahulu dari jaringan masyarakat yang sedang diteliti itu. [Elias, Op. Cit., p 162]

Hal ketiga, yang juga tidak boleh dilupakan adalah pemahaman mengenai jaringan masyarakat global yang semakin lama semakin kuat menerpa seluruh dunia. Hal ini perlu diperhatikan karena masyarakat Indonesia pada hakikatnya adalah bagian dari jaringan masyarakat dunia yang bersama-sama dengan bagian masyarakat lain membentuk jaringan masyarakat dunia yang utuh. Sedangkan masyarakat Indonesia pasca Orde Baru pada hakikatnya terbentuk di bawah pengaruh global masyarakat dunia akhir-akhir ini.

Berkaitan dengan hal pertama, yaitu bagaimana bentuk jaringan masyarakat Indonesia pasca Orde Baru, maka kita akan menjumpai sebuah jaringan yang sangat kompleks. Situasi Indonesia pada periode tersebut ditandai dengan munculnya berbagai gerakan dan kelompok yang memperjuangkan identitas mereka masing-masing. Kelompok-kelompok tersebut dapat berupa kelompok keagamaan, kelompok etnik, maupun kelompok kedaerahan.

Situasi masyarakat Indonesia pada saat itu juga diwarnai dengan semakin lepasnya kontrol pemerintah terhadap masyarakat. Masyarakat semakin bebas menyuarakan aspirasi mereka. Sementara media penyampaian informasi pun semakin mudah dan cepat, baik melalui media cetak maupun informasi. Sementara itu peranan komputer dalam menyediakan informasi yang murah dan cepat membuat berita dari dalam dan luar negeri dapat diakses dengan mudah. Hal-hal tersebut mewarnai situasi masyarakat di Indonesia sejak menjelang kejatuhan pemerintahan Orde Baru hingga saat ini.

Sementara itu, jaringan masyarakat Indonesia selama pemerintah Orde Baru berada pada puncak kekuasaannya merupakan jalinan antara hubungan yang sangat rumit namun berbeda dari jaringan sesudahnya. Media informasi (khususnya internet) memang telah lama menyentuh belahan bumi ini, namun media cetak dan elektronik lainnya masih berada di bawah pengaruh kekuasaan pemerintah. Kebebasan untuk menyatakan pendapat pun tampaknya sangat kurang bila dibandingkan dengan situasi pada masyarakat Indonesia pasca Orde Baru. Hampir seluruh masyarakat Indonesia mengalami tekanan dalam menyatakan dirinya pada masa Orde Baru.

Tekanan tersebut tentu juga dialami secara langsung oleh orang Tionghoa. Salah satu titik yang paling penting dalam memahami posisi orang Tionghoa dalam masyarakat Indonesia pada saat itu – yaitu sejak Orde Baru memerintah hingga menjelang ia berakhir – adalah diangkatnya pandangan asimilasi menjadi pandangan yang dominan, bahkan pandangan resmi pemerintah Indonesia mengenai orang-orang Tionghoa. Sejak saat itulah kebijakan yang mengatur cara berasimilasi orang Tionghoa ke dalam bangsa Indonesia mulai dilaksanakan. Sejak saat itu pula, orang Tionghoa di Indonesia memasuki suatu proses di mana ia diharuskan berusaha sedapat mungkin untuk menghilangkan ketionghoaannya.

Kebijakan-kebijakan yang muncul kemudian sehubungan dengan kebijakan asimilasi tersebut sangat beragam. Misalnya kebijakan perubahan penggunaan kata Tionghoa – yang saat itu sering digunakan oleh orang-orang Tionghoa – menjadi kata Cina, yang oleh orang-orang Tionghoa dianggap sebagai istilah yang mengandung nada merendahkan; kebijakan penggantian nama Cina menjadi nama Indonesia melalui Keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1967; Instruksi Presiden No. 14/1967 yang mengatur agama, kepercayaan, dan adat istiadat keturunan Cina; Keputusan Presiden No. 240/1967 mengenai kebijakan pokok yang menyangkut WNI keturunan asing; dan Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 mengenai kebijakan pokok penyelesaian masalah Cina.

Kebijakan asimilasi ini memiliki pengaruh yang sangat kuat, baik di kalangan masyarakat maupun di kalangan para peneliti Indonesia mengenai orang-orang Tionghoa. Dalam masyarakat, khususnya di kalangan orang-orang Tionghoa yang lahir setelah kebijakan ini dilaksanakan, kebijakan ini membuat mereka mengalami kebingungan dalam menempatkan diri mereka. Di satu pihak, mereka secara etnik adalah orang Tionghoa, yang dalam keluarga kadang-kadang masih mempraktikkan tradisi-tradisi budaya mereka.

Di pihak lain, mereka sering kali dituntut untuk tidak mengekspresikan keunikan mereka sebagai orang Tionghoa ketika berhubungan dengan orang-orang dari kelompok identitas yang lain. Mereka bahkan sering pula dituntut untuk mengekspresikan “semangat kebangsaan” mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Kegagalan mereka dalam melakukan suatu hal tertentu akan berakibat pada suatu kecurigaan dari kelompok orang Indonesia asli terhadap kesetiaan mereka pada bangsa Indonesia.

Kebijakan asimilasi tersebut juga membuat sentimen anti Tionghoa semakin mengakar di kalangan orang-orang Indonesia asli. Tuntutan dari pemerintah agar orang-orang Tionghoa berasimilasi, sering kali juga menjadi tuntutan dari orang-orang Indonesia lainnya. Ini mengakibatkan mereka mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan orang-orang Tionghoa yang tentu tak dapat sama sekali lepas dari ciri khasnya.   

Di kalangan para peneliti mengenai orang Tionghoa di Indonesia, kebijakan tersebut ternyata memiliki dampak yang serius pula. Penulis-penulis yang berkecimpung dalam permasalahan ini sering terjebak dalam “kungkungan” kebijakan tersebut, sehingga banyak tulisan mereka yang diarahkan untuk mendukung kebijakan itu.

Dalam suatu studi literatur tentang masalah Tionghoa di Indonesia yang dilakukan oleh Thung Ju Lan misalnya, ditunjukkan bahwa penulis-penulis topik ini sering terjebak dalam suatu “bias asimilasi.” [Thung Ju Lan, “Tinjauan Kepustakaan tentang Etnis Cina di Indonesia,” dalam I. Wibowo (ed), Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta., pp 3-23] Sebagai akibatnya, tulisan-tulisan yang berbeda dari kebijakan di atas sangat sulit ditemukan, khususnya sepanjang masa pemerintahan Orde Baru.

Langkanya literatur yang berbeda dengan kebijakan pemerintah tersebut membuat pemahaman masyarakat menjadi lebih terarah pada pandangan tentang asimilasi. Hal ini kemudian akan menguatkan tuntutan mereka agar orang-orang Tionghoa bersedia berasimilasi. Tuntutan ini pada gilirannya menghadapkan orang-orang Tionghoa dalam posisi yang sulit.

Bila seseorang melihat situasi masyarakat Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru berkuasa secara bersamaan dengan masyarakat Indonesia menjelang pemerintahan Orde Baru berakhir, maka ia akan melihat suatu perbedaan yang sangat jauh. Orang tersebut tentu akan bertanya-tanya apakah gerangan yang menyebabkan perubahan tersebut? Mengapa situasi dapat berubah dalam kurun waktu yang relatif singkat?

Perubahan situasi itu tampaknya bukanlah sesuatu yang terjadi dalam waktu singkat, meskipun bila dilihat dari permukaan akan tampak seperti itu. Ia merupakan bagian dari pengaruh jaringan global yang sedang menerpa dunia secara keseluruhan. Tampaknya tak ada satu tempat pun di bumi ini yang terbebas dari pengaruh global ini.

Dunia global yang membentuk masyarakat baru tersebut, menurut Manuel Castells tercipta sebagai akibat dari revolusi teknologi informasi dan restrukturisasi kapitalisme. Sistem masyarakat baru ini dipengaruhi oleh aktivitas-aktivitas ekonomi yang ciri-ciri khasnya adalah adanya organisasi-organisasi yang membentuk jaringan secara luas; fleksibilitas dan ketidakstabilan kerja serta individualisasi tenaga kerja; munculnya suatu budaya virtual yang dibangun di dalam sistem media yang sangat beragam namun saling berhubungan; serta berubahnya ruang dan waktu menjadi suatu materi yang tak terbatas. [Manuel Castells, The Power of Identity, Bluckwells Publishers Inc, Malden, Massachusetts, 1999., pp 1-2]

Arus globalisasi, baik dalam bentuk ekonomi maupun teknologi ini, menurut Castells, membuat negara bangsa modern kehilangan banyak kekuasaannya. Ia tergilas oleh jaringan global dari kekayaan, kekuasaan, dan informasi. Legitimasinya di mata rakyatnya juga akan menurun. Sebagai akibatnya, negara yang seharusnya merupakan salah satu sumber dari identitas rakyatnya, yaitu identitas yang oleh Castells disebut sebagai legitimizing identities akan kehilangan potensi untuk mempertahankan kapasitas itu. Hal ini membuat rakyatnya mengalami kehilangan identitas dan berada dalam tahap kebingungan, sehingga mereka cenderung untuk mencari sumber-sumber baru bagi identitasnya.

Castells berargumen bahwa salah satu wujud dari pencarian identitas baru ini muncul dalam bentuk resistance identities, yaitu identitas-identitas yang digunakan sebagai alat pertahanan terhadap proses globalisasi yang membuat manusia merasa bingung. Identitas-identitas ini dapat berupa identitas keagamaan, identitas lokalitas, identitas kebangsaan (yang dalam penjelasan Castells lebih memiliki nuansa etnik), dan lain-lain. Kelompok yang berlindung dalam identitas-identitas semacam ini cenderung membentuk suatu kelompok untuk memperjuangkan identitasnya itu. [Castells, Op. Cit., pp 354-357] Tampaknya pembentukan kelompok-kelompok identitas itu telah terjadi pula dalam masyarakat Indonesia pasca Orde Baru.

Di sisi lain, dengan semakin kuatnya arus informasi, maka hal-hal yang menjadi wacana umum dan dominan, khususnya di negara-negara barat, dapat masuk ke seluruh penjuru dunia. Salah satu di antaranya, yang sangat berpengaruh juga di Indonesia adalah wacana tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Wacana ini kini menjadi begitu populer dan selalu diperjuangkan di berbagai tempat. Ia juga menjadi wacana yang terbukti cukup penting dan berperan dalam perubahan masyarakat.

Pembahasan mengenai pentingnya HAM dalam sebuah perubahan masyarakat dapat dijumpai dalam sebuah tulisan dari Amartya Sen. Dalam tulisannya itu, Sen menjelaskan bahwa kebebasan-kebebasan manusia – yang ia bedakan menjadi lima macam, yaitu kebebasan politik, fasilitas ekonomi, kesempatan sosial, jaminan transparansi, dan perlindungan keamanan – ternyata bukan hanya menjadi tujuan dari pembangunan, namun juga merupakan alat/instrumen dalam mewujudkan program pembangunan tersebut. [Amartya Sen, Development as Freedom, Alfred A. Knopf, New York, 1999., pp 10, 38]

Kelima jenis kebebasan tersebut bukan sesuatu yang berdiri sendiri, namun saling terkait satu sama lain. Dengan demikian, pencapaian kebebasan pada salah satu jenis akan merangsang kebebasan-kebebasan lainnya. Sebagai contoh, kebebasan seseorang untuk berpartisipasi dalam bidang politik sangat berkaitan erat dengan kesempatan orang tersebut memperoleh pendidikan yang baik, yang oleh Sen dikategorikan sebagai kesempatan sosial. Tanpa pendidikan yang cukup, seseorang akan mengalami kesulitan dalam memahami situasi-situasi sekitar yang seharusnya dapat diakses dari surat kabar. Jadi, bila seseorang telah memperoleh kesempatan sosial yang layak, maka ia akan mendapatkan kebebasan-kebebasan lainnya.

Bila kesimpulan tersebut – yang merupakan hasil pengamatan dari Sen – kita hubungkan dengan gerakan HAM yang muncul akhir-akhir ini, maka dapat kita katakan bahwa munculnya gerakan-gerakan itu merupakan akibat dari pembebasan-pembebasan yang telah dialami manusia sebelumnya (misalnya fasilitas ekonomi atau kesempatan pendidikan), dan akan merangsang terbukanya akses pada kebebasan-kebebasan yang lain (misalnya kebebasan politik maupun jaminan keamanan).

Bila kita kembali pada pembicaraan mengenai identitas orang Tionghoa, maka akan tampak bahwa perpaduan dari ketiga hal di atas – yaitu jaringan masyarakat Indonesia pasca Orde Baru, selama Orde Baru, dan jaringan masyarakat dunia pada era globalisasi – telah merangsang orang Tionghoa untuk mempertanyakan kembali penempatan dirinya di tengah masyarakat Indonesia pasca Orde Baru.

Bentuk jaringan masyarakat yang baru sejak menjelang pemerintahan Orde Baru berakhir, tampaknya membuat orang Tionghoa sadar bahwa pemahaman akan identitas yang selama ini mereka pegang telah menjadi kurang relevan lagi. Sedangkan jaringan global dunia yang juga menerpa Indonesia akhir-akhir ini telah memberikan dukungan yang kuat bati usaha mereka untuk memperjuangkan kembali identitas mereka.

Salah satu faktor yang memiliki potensi dalam menyadarkan orang Tionghoa bahwa Indonesia yang sekarang telah mengalami perubahan adalah masuknya modal asing dalam jumlah yang besar ke Indonesia. Di antara modal asing tersebut, termasuk pula modal dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang menjalin kembali hubungan baik dengan Indonesia sejak awal tahun 1990-an, sejak normalisasi hubungan diplomatik antara Republik Indonesia (RI) dengan RRT. Sejak normalisasi hubungan ini, hubungan perdagangan antara para pengusaha nasional Indonesia dengan para pengusaha RRT menjadi semakin terbuka. Perusahaan-perusahaan dari RRT pun mulai membuka cabang di Indonesia. Hal yang sama juga terjadi dengan Taiwan yang selama ini memang telah menjalin hubungan dagang dengan Indonesia.

Sebagai akibat dari hubungan dagang antara Indonesia dengan RRT dan Taiwan adalah dibutuhkan tenaga kerja yang bukan hanya mampu untuk sedikit berkomunikasi dalam bahasa Tionghoa (Mandarin), namun juga mampu untuk berhubungan dengan orang-orang Tionghoa (para pengusaha dan mitra kerja dari RRT dan Taiwan) yang tentu saja memiliki budaya berbeda.

Situasi tersebut berpotensi memunculkan kembali pertanyaan tentang identitas ketionghoaan yang selama ini telah cukup lama terpendam. Pertanyaan semacam ini dapat saja terlontar ketika seorang Indonesia keturunan Tionghoa yang sebagian besar tidak lagi mampu berbahasa Mandarin harus berhubungan lagi dengan orang-orang dari “tanah leluhur.” Ini merupakan reaksi wajar mengingat orang Tionghoa dari negara asal sering pula menyebut rekan mereka di negeri seberang sebagai “Chinese” walaupun orang tersebut tidak mengerti bahasa Mandarin, bahkan budaya mereka pun jauh berbeda.

Faktor lain yang juga berpotensi dalam mempengaruhi kesadaran orang Tionghoa untuk kembali mempertanyakan identitasnya adalah semakin melemah dan kaburnya konsep bangsa di tengah masyarakat Indonesia, khususnya pasca Orde Baru. Seperti dinyatakan Benedict Anderson, konsep bangsa sesungguhnya merupakan konsep tentang masyarakat yang dibayangkan, karena masing-masing anggota masyarakat itu sesungguhnya tidak saling mengenal, namun memiliki suatu bayangan tentang masyarakat tersebut dalam pikiran mereka. Konsep ini memiliki akar dalam dua macam sistem budaya, yaitu keagamaan dan kerajaan dinasti, yang diwarnai dengan semangat pengorbanan dan kepahlawanan. Ketika kedua sistem itu mulai memudar seiring dengan tumbuhnya ilmu pengetahuan sekuler di Eropa Barat pada abad ke-17 dan 18, maka semangat tersebut berubah bentuk menjadi semangat kebangsaan. [Benedict Anderson, Imagined Communities, Reflection on the Origin and Spread of Nationalism, Verso Editions and NLB, London, 1983., pp 15, 19-20]

Seorang penulis lain menambahkan bahwa munculnya semangat kebangsaan tersebut juga dimungkinkan oleh faktor lain yang merupakan faktor penentu, yaitu munculnya negara – khususnya negara modern – yang memiliki otoritas tertinggi untuk mengatur masyarakat yang berada di dalam batas-batas wilayahnya. [B. Herry Priyono, “Bangsa, Negara, dan Rakyat (dari sketsa tentang Nasionalisme)” dalam Wibowo, Op. Cit., pp 174-222]

Namun dalam kaitan dengan Indonesia pasca Orde Baru di mana arus globalisasi telah masuk ke dalam berbagai segi kehidupan di Indonesia, negara sebagaimana dinyatakan oleh Castells di atas, telah kehilangan sebagian dari legitimasinya (bila bukan seluruhnya). Akibatnya semangat kebangsaan yang sedikit banyak dipengaruhi oleh keberadaan negara itu, agaknya mulai tergusur kembali oleh semangat keagamaan dan juga semangat kedaerahan. Tampaknya situasi semacam inilah yang telah mulai muncul dalam jaringan masyarakat di Indonesia, khususnya sejak rezim Orde Baru berhenti berkuasa.

Kelompok-kelompok identitas muncul dalam bentuk kelompok keagamaan yang bersifat fundamental atau kelompok kedaerahan. Ada banyak sekali kelompok yang mendasarkan identitas keagamaan atau identitas kedaerahan sebagai pijakan dan tujuan dari perjuangan mereka. Dengan munculnya kelompok-kelompok tersebut, keberadaan Indonesia sebagai suatu bangsa dipertanyakan kembali. Konsep bangsa yang pernah tumbuh di Indonesia pada awal abad ke-20 kini kehilangan perekatnya. Sehubungan dengan itu, maka tuntutan bagi orang Tionghoa untuk meleburkan diri dan berasimilasi ke dalam bangsa Indonesia – seperti yang dianjurkan oleh pemerintah selama Orde Baru berkuasa – kini menjadi tuntutan yang kurang relevan lagi. Situasi ini tentu dapat membuat orang Tionghoa mempertanyakan kembali identitas mereka.

Faktor lain yang juga berpotensi dalam menyadarkan Orang Tionghoa akan pentingnya mempertanyakan kembali identitas mereka adalah masuknya wacana-wacana tentang HAM ke Indonesia, sebagai akibat dari proses globalisasi pada berbagai bidang, khususnya informasi. Berkaitan dengan wacana tersebut, orang Tionghoa pun mulai sadar dan bersedia memperjuangkan hak-haknya, khususnya hak untuk diperlakukan secara sama dengan warga negara Indonesia yang lain.

Dengan mengalirnya berbagai informasi tentang HAM, orang-orang Tionghoa menjadi sadar bahwa selama ini mereka belum memperoleh hak-hak mereka. Bila kita menjadikan kelima kebebasan yang diajukan oleh Sen di atas sebagai acuan, maka akan terlihat bahwa orang Tionghoa di Indonesia hanya menikmati sebagian kecil dari kebebasan-kebebasan itu.

Selama ini sebagian orang Tionghoa di Indonesia – bukan seluruhnya, memang memiliki akses yang cukup besar dalam bidang ekonomi, sehingga orang-orang tersebut pada gilirannya tentu dapat “membeli” kebebasan-kebebasan lain, misalnya jaminan keamanan. Namun bagi sebagian orang Tionghoa lainnya, kebebasan secara utuh agaknya sangat sulit untuk dinikmati, khususnya pada saat-saat ertentu.

Di antara kelima kebebasan yang diajukan Sen, kebebasan politik merupakan hal yang paling kurang dinikmati oleh orang Tionghoa. Memang kebebasan ini merupakan hal yang baru bagi masyarakat di Indonesia. Bukan saja orang Tionghoa, orang Indonesia pribumi pun akan merasa bahwa ia tidak memiliki kebebasan dalam hal politik. Namun, orang Tionghoa paling mendapat tekanan dalam hal ini. Sejak dibubarkannya Baperki, sedikit sekali orang Tionghoa di Indonesia yang ikut berpartisipasi di bidang politik. Apabila sebagian dari mereka turut berpartisipasi, maka partisipasi itu harus dalam bentuk yang sejalan dengan kebijakan pemerintah, misalnya melalui LPKB atau bergabung dalam partai politik yang dominan dalam pemerintahan Orde Baru, yaitu Golongan Karya (Golkar).

Dalam kesempatan sosial, orang Tionghoa juga mengalami hambatan yang cukup sulit. Hak mereka untuk mewujudkan ciri khas ketionghoaan mereka dalam bersosialisasi dengan orang-orang lain sangat dibatasi. Namun pada saat yang bersamaan mereka akan selalu menyandang gelar “Tionghoa” yang terlihat baik melalui Kartu Tanda Penduduk (KTP) maupun dalam Akta Lahir, serta diharuskan selalu mengajukan surat kewarganegaraan, meskipun mereka lahir di Indonesia dan dari orangtua yang berwarga negara Indonesia.

Jaminan keamanan jugamerupakan hal yang sangat sulit diperoleh bagi orang Tionghoa, khususnya di kota-kota besar, seperti Jakarta. Mereka menjadi sasaran berbagai kejahatan di kota-kota besar. Mereka juga menjadi sasaran kemarahan masyarakat, ketika terjadi ketegangan antara kelompok masyarakat pribumi dengan pemerintah. Sepanjang sejarah berdirinya Indonesia, entah telah berapa kali terjadi kekerasan anti Cina. Peristiwa yang merupakan titik kulminasi tertinggi adalah peristiwa kerusuhan Mei 1998, di mana bukan hanya toko-toko milik orang Tionghoa dibakar, tetapi juga terjadi pembunuhan dan pemerkosaan terhadap gadis-gadis Tionghoa, meskipun hal ini selalu dibantah oleh pemerintah.

Kurangnya akses bagi orang Tionghoa terhadap kebebasan seperti yang dibahas di atas, agaknya semakin disadari oleh orang Tionghoa sejak akses terhadap informasi menjadi lebih mudah diperoleh di Indonesia. Kesadaran mereka juga semakin kuat setelah masalah tentang hak-hak mereka menjadi pusat perhatian dunia, khususnya sejak peristiwa Mei 1998.

Desakan dari dunia internasional agar pemerintah memperhatikan hak asasi orang Tionghoa agaknya menjadi sebuah dukungan bagi orang-orang Tionghoadi Indonesia dalam memperjuangkan kembali identitas mereka. Organisasi-organisasi yang membawa identitas ketionghoaan atau memperjuangkan hak-hak orang Tionghoa bermunculan sejak peristiwa kerusuhan itu. Misalnya Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), suatu yayasan yang unik karena didirikan dan dipimpin oleh seorang keturunan Tionghoa, namun banyak anggotanya orang-orang Indonesia asli. Yayasan ini berusaha memperjuangkan agar diskriminasi rasial yang telah berakar di Indonesia dihapuskan.

Kesadaran orang Tionghoa untuk memperjuangkan identitasnya yang muncul dalam situasi-situasi yang kompleks di atas, tampaknya tak akan menjadi sebuah kesadaran yang terus diperjuangkan bila era globalisasi di bidang teknologi informasi belum mencapai Indonesia. Justru kecanggihan teknologi tersebut yang membuat perjuangan mereka menjadi semakin kuat hari demi hari. Segala berita mengenai ketidakadilan dan diskriminasi yang menimpa orang-orang Tionghoa di Indonesia dapat menembus dunia internasional melalui teknologi internet.

Berbagai organisasi yang memperjuangkan identitas orang Tionghoa juga menggunakan fasilitas “mailing list” dalam berdiskusi mengenai topik-topik yang berkaitan dengan hal-hal itu. Semua ini hanya dimungkinkan sejak teknologi informasi mengalami revolusi di akhir abad ke-20 dan di awal abad ke-21. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa globalisasi dalam berbagai bidang, khususnya bidang teknologi, memiliki peran penting dalam menumbuhkan kesadaran orang Tionghoa akan pentingnya mempertanyakan kembali identitas mereka. Globalisasi juga berperan penting dalam menyediakan sarana bagi orang Tionghoa dalam memperjuangkan kesadaran mereka.


Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan situasi yang digambarkan di atas, yaitu bentuk masyarakat yang baru di Indonesia pasca Orde Baru telah menumbuhkan kesadaran dan kesediaan bagi orang Tionghoa di Indonesia untuk memperjuangkan kembali identitas mereka, maka pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1.      Bagaimanakah orang Tionghoa memahami identitasnya – yaitu menempatkan diri – sebagai bagian dari sebuah jaringan masyarakat Indonesia pasca Orde Baru yang semakin kompleks dan berbeda dari jaringan masyarakat Indonesia sebelumnya?

2.      Sejauh mana pemahaman baru orang Tionghoa akan identitasnya tersebut di atas telah mengalami perubahan atau berbeda dari pemahaman orang Tionghoa akan identitasnya pada waktu yang lampau?

3.      Dalam jaringan masyarakat yang global, kompleks, dan memiliki saling keterkaitan ini, bagaimana orang Tionghoa di Indonesia memperjuangkan identitasnya?