[Makalah Simposium Satelit Kepedulian
Universitas Indonesia terhadap Integrasi Bangsa Indonesia, 21 April 1999]
Dalam beberapa bulan terakhir ini
berkembang suatu keyakinan umum bahwa kerusuhan di Indonesia cenderung meningkat
secara dramatis. Bagi kalangan intelektual tertentu, hal ini dijadikan sebagai
indikasi integrasi bangsa ini berada di ambang keruntuhan. Singkatnya,
Indonesia mulai terancam disintegrasi nasional. Sedangkan intelektual lain
menyatakan hal ini merupakan indikasi Indonesia sedang menapak ke arah
terjadinya revolusi sosial.
Makalah singkat ini pada dasarnya
berupaya mengklarifikasi keyakinan populer di atas secara empirik. Dengan tegas
makalah ini menyimpulkan bahwa per definisi kerusuhan di Indonesia cenderung
menurun; yang meningkat justru aksi kekerasan kolektif lainnya di luar
kerusuhan. Kondisi ini sebenarnya bukan merupakan indikasi dari adanya
kemungkinan disintegrasi sosial. Kondisi ini juga bukan merupakan indikasi dari
kemungkinan adanya revolusi sosial, tetapi merujuk kepada anarki.
Dengan kata lain, makalah ini
menyimpulkan bahwa secara umum Indonesia masih cukup jauh dari nasib seperti
yang dialami oleh, misalnya, India, Uni Soviet, dan Yugoslavia. Namun bukan
berarti penyakit yang sekarang diidap Indonesia merupakan sesuatu yang ringan
dan akan sembuh dengan sendirinya seperti penyakit pilek. Beberapa terapi
jangka panjang, menengah, dan pendek perlu dilakukan secara sadar dan terencana
bila Republik Indonesia masih ingin tetap bertahan hidup, setidaknya hingga
abad ke-21.
Semua kesimpulan di atas pada dasarnya
merupakan induksi dari data sekunder yang terliput di berbagai media massa
cetak dan juga buku, disertasi, serta laporan. Mengingat cakupan waktunya yang
terentang panjang mulai dari tahun 1946 hingga 16 April 1999, penulis
sepenuhnya menyadari belum semua data aksi kekerasan kolektif yang tercakup;
dan dari semua data yang dianalisis (381 kasus) belum tentu semuanya memiliki
bobot validitas dan reliabilitas yang sama. Kesimpulan ini sebaiknya dipandang
sesuatu yang tentatif, belum sepenuhnya konklusif. Dari berbagai diskusi yang
kemudian berkembang, di samping pengumpulan data yang lebih ekstensif, penulis
berharap dapat menyempurnakan materi dan kesimpulan makalah ini.
A. Bukan
Peningkatan Kerusuhan, Tetapi Aksi Kekerasan Kolektif
Apakah benar keyakinan umum yang
menyatakan ada peningkatan drastis dalam jumlah kerusuhan di Indonesia?
Sebelum menjawab hal itu, makalah ini
perlu membatasi lebih dulu konsep kerusuhan. Bagaimana pun, kerusuhan adalah
hanya salah satu jenis dari konsep yang lebih besar dari apa yang disebut
sebagai aksi kekerasan kolektif. Kerusuhan adalah “aksi kolektif yang spontan,
tidak terorganisasi, tidak bertujuan, yang biasanya melibatkan penggunaan
kekerasan, baik untuk menghancurkan, menjarah barang, dan atau menyerang orang
lain (Djajadi, 1997:11). Sebagai suatu bentuk aksi kekerasan kolektif,
kerusuhan tentu saja harus dibedakan dengan perusakan, penjarahan, tawuran,
sabotase, operasi militer, kudeta, perang internal, (percobaan) pembunuhan, dan
sebagainya. Aspek paling menonjol yang membedakan ketujuh aksi kekerasan
kolektif tersebut dari kerusuhan adalah sifatnya yang tidak spontan, relatif
terorganisasi, dan memiliki tujuan khusus.
Yang lebih penting, kerusuhan (riot) bukan merupakan prediktor yang
baik bagi integrasi nasional. Uni Sovyet misalnya, sebelum mengalami
disintegrasi nasional, tidak menunjukkan peningkatan kerusuhan yang signifikan.
Pertanda yang cukup menyolok justru peningkatan konflik etnik antara Armenia
dengan Azerbaijan, dan antara Abkhazes dengan Georgian (United Nations,
1994:277).
Sebaliknya, kawasan Amerika Latin hanya
sedikit mengalami kerusuhan, selama periode 1946-1960 umpamanya, dari 23 negara
hanya ada dua kerusuhan, itu pun hanya ada di dua negara. Di pihak lain, dalam
periode yang sama, di kawasan itu tercatat 10 kali peperangan, 37 pemberontakan
militer, 39 kudeta militer, dan 51 kudeta pemerintahan (Mukmin, 1981:62).
Uniknya, Amerika Latin yang umurnya rata-rata di atas 1 abad tersebut praktis
tidak pernah mengalami disintegrasi nasional.
Dalam nuansa yang sama, Amerika Serikat
banyak mengalami kerusuhan. Negara ini praktis tidak pernah mengalami kudeta
atau pemberontakan militer, namun integrasi nasional negara ini tetap terjaga
utuh, kalau tidak dapat dikatakan berkembang – karena ada satu periode jumlah
negara bagian mereka terus bertambah, bukannya berkurang karena ada yang
melepaskan diri melalui gerakan separatis.
Di kawasan lain, negara-negara Afrika
dan Asia Selatan, banyak yang mengalami kerusuhan sekaligus berbagai aksi
kekerasan kolektif lainnya. Mereka cukup banyak mengalami masalah disintegrasi
nasional.
Jadi, sebenarnya tidak ada indikator
yang tunggal dan pasti untuk meramalkan kemungkinan suatu negara akan mengalami
disintegrasi nasional atau tidak. Walaupun berbagai aksi kekerasan kolektif
lainnya juga tidak dapat diandalkan, namun setidaknya konsep yang lebih umum
tersebut dapat memberikan gambaran lain mengenai keadaan atau masalah yang
sedang dihadapi oleh negara dan masyarakat bersangkutan.
Berdasarkan penjelasan di atas, data
memang menunjukkan bahwa aksi kolektif kekerasan di Indonesia cenderung meningkat.
Setelah mengalami periode yang relatif tenang di tahun 1950-1960-an, kekerasan
kolektif meningkat pada tahun 1970-1980-an, meningkat drastis memasuki
pertengahan tahun 1990-an, dan puncaknya terjadi pada 1998.
Salah satu upaya untuk dapat melihat
dengan jernih mengenai ada atau tidaknya peningkatan aksi kekerasan kolektif
adalah dengan membuat periodisasi menurut rezim kepala pemerintahan. Pada masa
Orde Lama (Orla), secara agregat tercatat ada 65 kasus kekerasan kolektif
(17%), pada masa Orde Baru (Orba), jumlahnya meningkat drastis menjadi 168
kasus kekerasan kolektif (44%), dan sedikit menurun menjadi 148 kasus kekerasan
kolektif (39%) pada masa Orde Reformasi (Oref). Namun, mengingat relatif
singkatnya masa Oref – baru sekitar 10 bulan, tidak berlebihan kiranya bila
disebutkan aksi kekerasan kolektif cenderung terus meningkat secara dramatis.
Pengamatan yang saksama menunjukkan,
dari 9 jenis aksi kekerasan kolektif, ada 4 jenis aksi kekerasan kolektif yang
menonjol, yaitu kerusuhan (20%), perusakan (14%), tawuran (11%), dan operasi
militer (9%). Berdasarkan itu, keyakinan bahwa kerusuhan merupakan masalah yang
menonjol memang dapat dibenarkan. Namun, ketika kekerasan kolektif itu dirinci
berdasarkan periode, terlihat proporsi kerusuhan di Oref sebenarnya justru
menurun drastis. Pada masa Orla ada 43%, pada masa Orba 40%, dan pada masa Oref
hanya 10%. Hal sebaliknya yang terjadi adalah penjarahan, perusakan, tawuran,
dan perang internal.
Kita mungkin dapat berspekulasi kerusuhan
di kedua masa sebelumnya mungkin berperan sebagai semacam “katup pengaman.”
Sadar atau tidak, pemerintahan kala itu cenderung bersifat permisif. Daripada
masyarakat menyerang negara, lebih baik naluri agresi itu disalurkan dalam
bentuk lain. Biar saja masyarakat menyerang anggota masyarakat lainnya, toh mereka hanya orang China. Lagi pula,
mereka hanya merusak barang, bukan membunuh orang.
Tidak diketahui pasti apa yang
sebenarnya terjadi sekarang. Masyarakat tidak lagi menjadikan China sebagai
sasaran. Secara pasti, masyarakat sekarang lebih condong memiliki tujuan yang
selektif. Mereka hanya akan menyikat gudang atau kendaraan yang menyimpan beras
atau sembako, terlepas itu milik China, Jawa, Padang, Haji, atau koperasi.
Mereka seakan tidak kenal takut lagi untuk menyerang, merusak, bahkan membakar
kantor polisi. Mereka juga akan menyerang untuk membunuh warga lain yang
sebenarnya beretnik dan beragama sama. Perbedaannya mungkin hanya sebatas gang
atau kali yang memisahkan rumah mereka. Dan yang lebih mengerikan lagi, mereka
juga tidak segan-segan untuk membunuh secara kejam dalam suatu modus sistematik
dan berjangka waktu lama kepada sesama warga pribumi lainnya. Sedemikian
sehingga lebih mengesankan perang internal ketimbang suatu tawuran atau
perkelahian massal.
Sekali lagi, bukan kerusuhan yang
meningkat di Indonesia sekarang ini, tetapi aksi kekerasan kolektif lainnya.
Dan terlihat pula bahwa orientasi aksi kekerasan kolektif mengambil bentuk
kekerasan masyarakat pada masyarakat (tawuran di antara unit-unit dalam masyarakat
itu sendiri), ketimbang bentuk orientasi aksi lainnya. Ini adalah sesuatu yang
sangat dominan di masa Oref (74%). Kondisi ini kontras di masa Orla di mana
aksi kekerasan kolektif yang terjadi mengambil bentuk aksi negara (pemerintah
pusat) kepada negara (daerah), atau sebaliknya. Kontras pula di masa Orba di
mana yang dominan adalah bentuk kekerasan negara kepada masyarakat (22%).
B. Bukan
Disintegrasi Nasional, Tetapi Malintegrasi yang Mengarah Kepada Disintegrasi
Sosial
Uraian di atas membentangkan kesimpulan
bahwa di Indonesia sekarang ini sedang terjadi peningkatan aksi kekerasan
kolektif. Pertanyaannya sekarang, apakah peningkatan tersebut memang merupakan
indikasi dari adanya disintegrasi bangsa?
Jawabannya ada dua: teoritik dan
empirik. Secara teori, integrasi sebenarnya adalah derajat kekuatan hubungan di
antara unit-unit sosial. Integrasi nasional merupakan hubungan di antara negara
dengan masyarakat. Konsep ini harus dibedakan dengan integrasi sosial yang
merujuk pada hubungan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat itu sendiri.
Suatu bangsa dikatakan mengalami disintegrasi nasional bila suatu masyarakat
menolak kehadiran negara yang sedang berkuasa, dan memilih membentuk negara
sendiri. Suatu bangsa dikatakan mengalami disintegrasi sosial bila
kelompok-kelompok dalam masyarakat menolak kehadiran satu sama lain.
Berdasarkan teori, jelas terlihat pada umumnya Indonesia belum pantas untuk
dikualifikasikan sebagai berada di ambang disintegrasi nasional. Kemungkinan
yang paling besar adalah Indonesia saat ini sedang berada dalam posisi
malintegrasi sosial, yakni adanya gangguan hubungan di antara kelompok-kelompok
dalam masyarakat. Dan hingga batas tertentu, sedang mengarah kepada
disintegrasi sosial.
Pada dasarnya disintegrasi nasional merujuk
pada adanya gerakan-gerakan separatis yang bertujuan melepaskan diri dari
yurisdiksi kekuasaan negara yang berlaku, dan membentuk suatu negara yang sama
sekali baru. Seperti seorang suami/istri yang ingin melepaskan diri dari ikatan
mereka karena ingin menikah lagi dengan pasangan baru. Orang bersangkutan
berupaya memberikan pertanda-pertanda, baik samar maupun tegas. Dalam beberapa
kasus, upaya tersebut berjalan penuh pengertian, halus, dan damai. Namun dalam
beberapa kasus, upaya tersebut berjalan kacau, kasar, dan penuh kekerasan.
Dalam kedua spektrum tersebut, terentang
upaya-upaya mulai dari kunjungan ke Istana penuh gelak tawa, konferensi pers
sepihak, pengibaran bendera baru dan/atau pembakaran bendara lama, pembakaran
kotak suara hingga penyerangan pos-pos militer. Namun demikian, perlu juga
diamati dengan saksama kemungkinan adanya upaya-upaya merajuk penuh tipu daya,
seperti seorang suami/istri yang berusaha menarik perhatian pasangannya.
Berbeda dengan disintegrasi sebelumnya,
disintegrasi sosial merujuk pada penolakan di antara warga dalam masyarakat,
tanpa keinginan untuk memisahkan diri apalagi membentuk negara baru.
Pihak-pihak yang bertikai pada hakikatnya dapat menerima kehadiran negara,
mereka hanya tidak dapat menerima kehadiran pihak lain sebagai bagian dari
suatu masyarakat.
Kembali ke metafora yang sama,
disintegrasi sosial adalah bagaikan suami-istri Katolik yang memandang suci
ikatan pernikahan mereka dengan menghindarkan diri dari perceraian, walau
mereka sudah tidak saling percaya lagi, tidak tinggal sekamar, dan tidak mau
bertegur sapa. Dalam bentuk ekstrem, keinginan mereka hanya untuk saling
menyakiti, hingga maut memisahkan mereka untuk selamanya.
Sedangkan malintegrasi merujuk pada
adanya gangguan temporer di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Mereka
jelas menerima kehadiran negara seperti juga kehadiran anggota masyarakat
lainnya. Metaforanya kurang lebih seperti suami-istri yang malas bicara satu
sama lain, atau sekalinya bertegur sapa mereka bertengkar bahkan berkelahi.
Secara kontekstual, pembedaan antara
disintegrasi nasional, disintegrasi sosial, dan malintegrasi sosial dalam kasus
Indonesia dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
No
|
Disintegrasi Nasional
|
Disintegrasi Sosial
|
Malintegrasi Sosial
|
1.
|
Ditujukan kepada orang, barang, dan
simbol
|
Lebih ditujukan kepada orang
|
Lebih ditujukan kepada barang
|
2.
|
Waktu dan prosesnya berjalan sangat
panjang
|
Waktu dan prosesnya cukup lama
|
Waktu dan prosesnya berlangsung cepat
|
3.
|
Aparat keamanan harus turun tangan,
namun masalahnya tetap laten dan tak pernah selesai
|
Aparat keamanan harus turun tangan
secara aktif
|
Masyarakat sendiri pada dasarnya mampu
menyelesaikan masalah mereka
|
4.
|
Kasus konkret: Timor Timur, Irian
Jaya, dan Aceh
|
Kasus konkret: Dayak-Madura di
Kalimantan Barat
|
Kasus konkret: Tionghoa-Pribumi, tawuran
antar kampung di Jawa
|
Temuan data empirik membenarkan dugaan
bahwa saat ini Indonesia lebih banyak mengalami malintegrasi sosial ketimbang
disintegrasi sosial ataupun disintegrasi nasional. Dari keseluruhan aksi
kekerasan kolektif yang terjadi mulai tahun 1946 hingga pertengahan April 1999,
kondisi malintegrasi sosial adalah yang paling menonjol (53%), dibandingkan
disintegrasi sosial apalagi disintegrasi nasional. Penelusuran menurut periode
menunjukkan, di masa Oref ada kecondongan disintegrasi sosial mengalami
peningkatan dibandingkan masa Orba. Demikian pula malintegrasi.
Perbandingan secara internasional
memberikan dukungan empirik tertentu. Secara umum disintegrasi nasional
bukanlah suatu proses yang mudah (lihat Sujatmiko, 1999). India yang kehilangan
sebagian wilayahnya yang kemudian berubah menjadi Pakistan, Uni Sovyet dan
Yugoslavia – semuanya merupakan negara federal, mengalami problema etnik yang
serius dalam konteks sejarah yang panjang, relatif tidak memiliki bahasa
nasional, dan yang tak kurang penting, proses integrasi (aneksisasi) awalnya
terjadi melalui peperangan. Kondisi ini, hingga beberapa derajat, tidak terjadi
di Indonesia.
Jadi kesimpulannya, ancaman paling
konkret yang sekarang dihadapi Indonesia bukanlah kondisi disintegrasi
nasional, tetapi malintegrasi sosial yang mengarah kepada disintegrasi sosial.
Tetapi perlu ditegaskan di sini, ancaman ini tetap cukup serius dan perlu
dicari jalan pemecahannya.
C. Bukan Revolusi
Sosial, Tetapi Anarki
Apakah peningkatan aksi kekerasan
kolektif yang terjadi selama ini di Indonesia merupakan indikasi ke arah
revolusi sosial?
Revolusi sosial adalah pergantian
drastis elit negara oleh suatu kelas baru (dalam masyarakat). Dalam upaya
menyingkirkan elit lama yang merupakan kelas atas yang menguasai negara, kelas
baru yang biasanya berada dalam posisi subordinat itu menyiapkan ideologi yang
berbeda, serta membentuk organisasi untuk mencapai target dan menerapkan
ideologi mereka.
Berdasarkan pengertian tersebut,
identifikasi empirik menunjukkan saat ini orang-orang yang menguasai negara
masih berasal dari kelas lama (Hanya Soeharto yang jatuh, rezimnya tetap
bertahan). Beberapa yang tersingkir atau menyingkirkan diri sekarang sedang bersiap-siap
untuk kembali berkuasa melalui wahana partai politik baru. Pada tatanan
kepercayaan dasar, kendati Kesaktian Pancasila sudah mulai terkikis, namun
praktis belum terlihat adanya ideologi alternatif yang menantang dan memperoleh
dukungan publik.
Lebih jauh, kita juga belum melihat
adanya organisasi yang menetapkan target dan mewujudkan ideologi tersebut.
Kebanyakan organisasi yang ada sekarang adalah LSM atau parpol, suatu badan
yang berusaha menetapkan tujuan dan menyiapkan cara-cara untuk mencapai tujuan
itu secara sah atau dapat diterima oleh tatanan pranata yang berlaku.
Jadi, peningkatan aksi kekerasan
kolektif yang sekarang terjadi bukan mengarah kepada revolusi sosial. Dengan
merujuk pada tabel sebelumnya, terlihat ada kecenderungan aksi kekerasan
kolektif yang terjadi di antara masyarakat sendiri dan kekerasan masyarakat
pada negara. Ini berarti negara semakin kehilangan wibawa, atau tidak lagi
memiliki supreme power.
Kondisi ini semakin menegaskan bahwa
kondisi Indonesia mengarah kepada anarki, yakni ketiadaan pemerintah yang
efektif atau suatu kekacauan politik (dan bukan anomi), yang bila tidak
tertangani dengan baik akan mengarah kepada penolakan bahkan penghapusan negara
sama sekali (anarchism). Dalam kasus
ekstrem kanan, itu berarti supremasi individualisme, sedangkan dalam kasus
ekstrem kiri, itu berarti supremasi kolektivisme.
D. Usulan
Terapi
Jadi, bagaimana mengatasi malintegrasi
sosial yang menjurus ke arah disintegrasi sosial? Ada tiga pendekatan besar.
Pada tataran pertama, kita menerapkan pendekatan kultural; pada tataran kedua,
pendekatan hukum; dan pada tataran ketiga, pendekatan struktural.
Tataran pertama menekankan pada aspek
kognitif. Upaya-upaya tersebut dapat mengambil bentuk penguatan ideologi negara
secara terbuka, serta sosialisasi nilai-nilai yang menekankan pada penghormatan
terhadap HAM dan toleransi. Ini adalah pendekatan jangka panjang.
Tataran kedua menekankan pada penegakan
norma-norma hukum yang mengandung asas keadilan dan kepastian yang tinggi.
Dalam semangat ini, mungkin dipandang perlu juga untuk menciptakan semacam
hukum khusus yang mengatur hubungan antar etnik dan agama.
Sedangkan tataran ketiga menekankan pada
aspek relasional, baik di tingkat negara, masyarakat, maupun di antara
keduanya. Negara harus menerapkan good
governance; memberikan otonomi kepada daerah dengan perimbangan keuangan
yang lebih adil antara pusat-daerah; menerapkan pemerataan distribusi sumber
daya pada satu pihak, dan pada pihak lain proteksi serta privilese kepada
golongan bawah dan/atau minoritas tertentu; menjalankan demokratisasi; serta
yang tak kurang penting adalah usaha untuk menjadikan birokrasi sebagai
organisasi rasional dan membatasi efektivitas organisasi-organisasi
kemasyarakatan yang berbasis primordialisme. Akhirnya, yang sekarang dirasakan
paling mendesak adalah upaya untuk membatasi secara ketat kegiatan transmigrasi
‘spontan.’
Kepustakaan
A. Made Tony Supriatna, ed. 1997. 1996: Tahun Kekerasan Potret Pelanggaran HAM
di Indonesia. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Dahrendorf, Ralf. 1959/1986. Konflik dan Konflik (Kelas) dalam Masyarakat
Industri. a.b. Ali Mandan. Jakarta: Rajawali.
Djajadi, M. Iqbal. 1999. “Kerusuhan dan
Reformasi” dalam Selo Soemardjan, Kisah
Perjuangan Reformasi. Jakarta, Sinar Harapan.
Ecip, S. Sinansari. 1998. Kronologi
Situasi Penggulingan Soeharto. Bandung: Penerbit Mizan.
Ensiklopedi Indonesia. Suplemen 1986
& 1990. Edisi Khusus.
Hairus Salim HS & Andi Achdian.
1997. Amuk Banjarmasin. Jakarta: YLBHI.
Herlianto. 1997. Urbanisasi, Pembangunan, dan Kerusuhan Kota. Bandung: Alumni.
Horowitz, Donald. 1985. Ethnic Groups in Conflict. Berkeley:
University California Press.
Human Rights Watch/Asia. 1998. Konflik Etnis di Kalimantan Barat. a.b.
Herlan Artono. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi.
Istiharto, Andi & Ardiyah. 1999. Mengungkap Fakta & Data: Tragedi
Berdarah Era Orde Baru. Jakarta: Pustaka Rifki.
Janowitz, Morris. 1979. “Collective
Racial Violence: A Contemporary History” dalam Hugh Davis Graham & Ted
Gurr, eds., Violence in America:
Historical and Comparative Perspectives, rev. Beverly Hills, California:
Sage.
Jary, David & Jary, Julia. 1991. The Harper Collins Dictionary of Sociology. New
York: Harper Collins.
Luwarso, Lukas. 1997. Huru-Hara Rengasdengklok. Pengantar Ulil
Abshar-Abdalla. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi.
Marx, Gary. 1972. “Issueless Riots”
dalam James F. Short & Marvin E. Wolfgang, eds., Collective Violence. Chicago: Aldine-Atherton.
Mendel, William. “Combat in Cities: The
LA Riots and Operation RIO,” http://leaf.wwwarmymil/finso
Mukmin, Hidayat. 1981. Pergolakan di Amerika Latin dalam Dasawarsa
Ini. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.
Snow, David A. & Paulsen, Ronnelle.
1992. “Crowd and Riots” dalam Edgar F. Borgotta & Marie I. Borgotta, Encyclopediaof Sociology, p395-402). New
York: Macmillan.
Siswoyo, P. Bambang. 1981. Huru-Hara Solo Semarang: Suatu Reportase.
Bhakti Pertiwi, tanpa kota.
Soedirman, Basofi & Wignyosoebroto,
Soetandyo, dkk. 1997. Bonek: Berani
Karena Bersama. Surabaya: Hipotesa.
Sujatmiko, Iwan G. 1992. “The
Destruction of the Indonesian Communist Party (PKI): a Comparative Analysis of
East Java and Bali. A Doctoral Thesis in
Harvard University.
Sujatmiko, Iwan G. 1997. “Kerusuhan
Sosial di Indonesia.” Belum dipublikasikan.
Soemardjan, Selo, dkk. 1963. Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi. Bandung:
Eresco.
Ngadisah. 1997. “Implementasi
Perencanaan Sosial dalam Perencanaan Pembangunan Proyek Fisik dan Munculnya
Aksi Sosial.” Proposal Penelitian Program
S-3 Fakultas Pasca Sarjana. Jakarta.
Pusat Studi dan Pengembangan Informasi
(PSPI). 1998. Tanjung Priok Berdarah:
Tanggung Jawab Siapa? Kumpulan Fakta dan Data. Jakarta: Gema Insani.
Ricklefs, M.C. 1992. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Tim Relawan untuk Kemanusiaan. 1998.
“Data Korban Rangkaian Tragedi Trisakti – Amuk Massa Jakarta Mei 1998. Data di-update 1 Juni 1998.
United Nations. 1994. World Social Situation in the 1990s. New
York: United Nations Publication.
M.
Iqbal Djajadi – Staf Pengajar Jurusan
Sosiologi FISIP-UI. Makalah ini disajikan untuk Simposium Kepedulian UI
terhadap Integrasi Bangsa Indonesia. Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia,
Rabu 21 April 1999. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan
yang setinggi-tingginya atas dukungan moral dan inspirasi intelektual dari Iwan
Gardono Sujatmiko. Penulis juga ingin memberikan ucapan terima kasih atas
masukan, komentar cerdas, dan bantuan dari Sardjono Jatiman, M. Hasyim, Erwin
Indrajaya. Secara khusus penulis berterima kasih atas bantuan teknis dari Budi Gonjes, Rahmah, Rizal Hikmat, serta
tentu saja Cendrawati dan Demi Tristan Djajadi. Namun seperti biasa, penulis sepenuhnya
yang bertanggung jawab atas segala isi makalah ini.