[Proposal Penelitian, 12 Oktober 2000]
Pendahuluan
Identitas adalah penempatan diri
seseorang dalam masyarakat di mana ia berada. Penempatan diri ini merupakan
suatu langkah yang selalu dilakukan oleh seseorang sebelum (dan bahkan selama)
orang tersebut berhubungan dengan orang-orang lain. Tanpa pemahaman yang jelas
mengenai keberadaannya (yaitu mengenai posisinya dalam masyarakat), seseorang
akan mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan orang-orang lain. Bahkan tak
tertutup kemungkinan orang tersebut mengalami kebingungan di tengah jaringan
masyarakat yang sangat rumit ini.
Penempatan diri seseorang dalam
masyarakat merupakan suatu proses yang selalu berubah dan tidak pernah
berhenti. Hal ini karena masyarakat di mana orang tersebut berada juga
merupakan masyarakat yang selalu berubah, dan berada dalam proses yang
berkelanjutan. Bentuk jaringan masyarakat pada suatu waktu tertentu akan
berbeda dari bentuk jaringan masyarakat yang muncul pada waktu yang lain, baik
sebelum maupun sesudahnya. Dengan demikian, penempatan diri seseorang dalam
jaringan masyarakat pada suatu waktu tertentu juga akan berbeda dengan
penempatan diri seseorang pada jaringan masyarakat di waktu yang lain. Dengan
kata lain, identitas seseorang akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
Proses penempatan diri seseorang dalam
masyarakat biasanya tidak hanya terbatas pada lingkup individu. Dalam jaringan
masyarakat yang semakin lama semakin luas dan rumit ini, seseorang cenderung
menempatkan dirinya sebagai bagian dari suatu kelompok tertentu di tengah
jalinan hubungan dengan kelompok-kelompok lain. Situasi ini, oleh Norbert Elias
diilustrasikan sebagai sebuah permainan yang dimainkan secara berkelompok
sehingga setiap orang yang bermain akan menempatkan diri sebagai bagian dari
kelompoknya. [Norbert Elias, What Is
Sociology, Juventa Verlag, Munich, 1970., p 84]
Bila penempatan diri seseorang cenderung
berkaitan dengan suatu kelompok tertentu, maka dapat pula dikatakan bahwa
identitas seseorang tak dapat lepas dari kelompoknya. Kelompok tersebut dapat
berupa suatu kelompok keagamaan, kelompok lokalitas (tempat di mana seseorang
tinggal), atau kelompok etnik. Ia dapat pula berupa kelompok bermain ataupun
kelompok yang didasarkan pada tempat kerja.
Identitas orang Tionghoa adalah salah
satu contoh dari keterkaitan di atas. Orang Tionghoa di Indonesia (yaitu
keturunan Tionghoa yang telah menjadi warga negara Indonesia atau yang telah
tinggal di Indonesia secara turun-temurun) memiliki identitas yang unik dan
berbeda dengan orang-orang Indonesia lainnya. Identitas itu sangat berkaitan
erat dengan kelompok dari mana mereka berasal, yaitu kelompok orang-orang
keturunan Tionghoa.
Bila pemahaman tentang identitas seperti
yang dinyatakan di atas diterapkan untuk memahami orang Tionghoa dan
identitasnya, maka kita dapat mendefinisikan identitas orang Tionghoa sebagai
penempatan diri orang Tionghoa dalam jaringan masyarakat Indonesia. Penempatan
diri tersebut merupakan suatu proses yang telah berlangsung lama dan
berubah-ubah sejak kedatangan mereka di Indonesia hingga saat ini. Oleh sebab
itu, dapat pula dikatakan bahwa identitas orang Tionghoa selalu berada dalam
proses perubahan.
Pendapat bahwa identitas orang Tionghoa
selalu berada dalam proses perubahan bukanlah pendapat yang tak mendasar.
Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan terhadap
orang-orang Tionghoa di negara-negara Asia Tenggara. Pendapat ini juga didukung
oleh kenyataan-kenyataan yang terjadi di Indonesia.
Penelitian-penelitian mengenai
orang-orang Tionghoa di Asia Tenggara selama dekade 1970-an menunjukkan bahwa
orang-orang Tionghoa di Asia Tenggara telah berubah dan mampu melakukan
perubahan lebih lanjut. Penelitian-penelitian tersebut dikumpulkan oleh Wang
Gungwu serta dikelompokkan berdasarkan ciri dan waktu kemunculannya. Dari
pengelompokan itu, Wang menyimpulkan bahwa setidaknya ada tujuh macam cara
orang-orang Tionghoa di Asia Tenggara memandang keberadaan diri mereka. Dengan
kata lain, terdapat tujuh macam identitas ketionghoaan yang tumbuh pada
orang-orang Tionghoa di Asia Tenggara pada waktu-waktu yang berbeda.
Pertumbuhan dari masing-masing jenis identitas itu berkaitan erat dengan
situasi sosial politik yang melingkupi mereka. [Wang Gungwu, “The Study of
Chinese Identities in Southeast Asia,” dalam Wang (ed), China and The Chinese Overseas, Times Academic Press, Singapore,
1991., pp 198-221]
Hal yang sama juga terjadi pada
orang-orang Tionghoa di Indonesia. Cara orang Tionghoa di Indonesia menempatkan
dirinya juga selalu berubah dari waktu ke waktu, sesuai dengan situasi sosial
politik yang melingkupinya. Pada masa menjelang penjajahan Belanda berakhir,
yaitu ketika wacana tentang Kemerdekaan Indonesia mulai diperbincangkan,
pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang Tionghoa adalah mengenai bagaimana
sebaiknya posisi orang Tionghoa berkaitan dengan wacana tersebut.
Setidaknya ada tiga pandangan yang
dipegang oleh para elit politik Tionghoa di Hindia Belanda, sehubungan dengan
pertanyaan semacam ini. Yang pertama adalah pandangan yang menekankan bahwa
orang Tionghoa sebaiknya mempertahankan posisinya sebagai warga negara Tiongkok
(yang pada masa itu sedang mengalami transisi dari negara yang berbentuk
kerajaan, yaitu dinasti Qing, menjadi negara republik, yaitu Republik
Tiongkok). Pandangan ini diajukan dengan alasan bahwa hanya Tiongkoklah yang
sanggup dan akan melindungi kepentingan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda.
Pandangan kedua beranggapan bahwa orang
Tionghoa sebaiknya berusaha untuk lebih diakui sebagai warga negara Hindia
Belanda. Para elit politik yang mendukung pandangan ini biasanya berusaha untuk
mengusahakan agar orang-orang Tionghoa dapat duduk di Dewan Rakyat (Volksraad), untuk mewakili kepentingan
orang-orang Tionghoa sebagai suatu kelompok. Pandangan ketiga justru menekankan
agar orang-orang Tionghoa di Indonesia turut terlibat dalam perjuangan
Kemerdekaan Indonesia bersama dengan orang-orang Indonesia lainnya. Para
pendukung pandangan ni biasanya menjalin hubungan dengan para tokoh nasionalis
pribumi. [Diskusi mengenai pandangan politik orang-orang Tionghoa di Jawa
dibahas secara rinci oleh Leo Suryadinata dalam bukunya, Peranakan Chinese Politics in Java 1917-1942, Singapore University
Press, Singapore, 1981]
Selanjutnya, setelah Indonesia
memperoleh kemerdekaan dan berdiri sebagai sebuah negara bangsa yang baru,
pertanyaan orang-orang Tionghoa di Indonesia pun mengalami perubahan. Saat itu
wacana yang dominan di kalangan orang-orang Tionghoa (dan juga di kalangan elit
pemerintahan Indonesia), bukan lagi mengenai pilihan antara menjadi warga
negara Indonesia atau menjadi warga negara Tiongkok, meskipun harus diakui
bahwa ketentuan yang mengharuskan orang Tionghoa memilih kewarganegaraannya
juga sempat menjadi perbincangan hebat. [Pembahasan yang rinci mengenai topik
ini ada pada Suryadinata, Pribumi
Indonesians, The Chinese Minority and China, Heinemann Educational Books
(Asia) LTD, Singapore, 1977., pp 115-127]
Namun yang lebih ditekankan oleh orang
Tionghoa pada masa itu adalah bagaimana caranya agar orang-orang Tionghoa –
khususnya yang telah memilih untuk menjadi warga negara Indonesia – dapat
menjadi bagian dari bangsa yang baru ini. Dalam perbedaan mengenai topik
tersebut, setidaknya ada dua pendapat yang saling bertentangan. Pendapat
pertama menyatakan bahwa orang Tionghoa dapat menjadi bagian dari bangsa
Indonesia tanpa harus kehilangan ciri-cirinya yang khas sebagai orang Tionghoa.
Para elit politik yang berpandangan demikian biasanya disebut sebagai kelompok
yang mempertahankan pandangan “integrasi.” Mereka juga tergabung dalam suatu
badan yang diberi nama Badan Permusyawaratan Kemerdekaan Indonesia (Baperki).
Dalam perkembangan selanjutnya, para tokoh Baperki sering dihubungkan dengan
Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pandangan kedua, yang berlawanan dengan
pandangan pertama, menganggap bahwa satu-satunya cara agar orang-orang Tionghoa
dapat diterima menjadi bagian dari bangsa Indonesia adalah melalui cara
berasimilasi dengan orang-orang Indonesia asli, sehingga ciri-ciri mereka
sebagai orang Tionghoa hilang. Asimilasi ini dapat ditempuh melalui berbagai
cara, di antaranya dengan melakukan pernikahan campuran, atau dengan memeluk
agama mayoritas penduduk Indonesia, yaitu agama Islam. [Diskusi mengenai kelompok
integrasi dan asimilasi ini terdapat dalam Charles A. Coppel, Indonesian Chinese in Crisis, Oxford
University Press, Kuala Lumpur, 1983. Khususnya pada halaman 43-51] Para elit
politik yang mendukung pandangan ini membentuk suatu lembaga yang dinamakan
Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB). Konon lembaga ini mendapat dukungan
dari Angkatan Darat.
Dengan berakhirnya pemerintahan Orde
Lama dan berdirinya pemerintahan Orde Baru, maka wacana yang muncul di kalangan
orang Tionghoa di Indonesia pun kembali berubah. Saat itu wacana mengenai
integrasi yang didukung oleh Baperki dapat dikatakan tenggelam dari permukaan
bersama dengan dibubarkannya Baperki. Sebagai akibatnya, pandangan yang menjadi
populer yang berkaitan dengan orang Tionghoa di Indonesia adalah pandangan
tentang asimilasi. Pandangan ini bahkan dijadikan kebijakan resmi pemerintah
dalam menangani hal-hal yang berkaitan dengan orang Tionghoa. Sejak saat itu
segala upaya dilakukan, baik oleh pemerintah maupun oleh orang-orang Tionghoa
sendiri, untuk mencari cara agar proses asimilasi orang Tionghoa dapat
terlaksana dengan baik.
Uraian di atas kiranya cukup untuk
membuktikan bahwa identitas orang Tionghoa, baik di Asia Tenggara maupun di
Indonesia secara khusus, selalu berada dalam proses perubahan. Perubahan
tersebut terjadi karena jaringan masyarakat yang ada baik di Asia Tenggara
maupun di Indonesia juga selalu berada dalam proses perubahan. Berdasarkan
kenyataan tersebut, maka kita dapat berasumsi bahwa identitas orang Tionghoa
yang tumbuh akhir-akhir ini, yaitu sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru,
juga telah berbeda dari identitas orang Tionghoa pada masa-masa sebelumnya.
Dalam upaya memahami bagaimana cara
penempatna diri (identitas) orang Tionghoa dalam masyarakat Indonesia pasca
Orde Baru, setidaknya ada tiga hal yang tak boleh diabaikan begitu saja.
Pertama adalah bentuk masyarakat Indonesia pada masa pasca Orde Baru itu
sendiri. Hal ini penting untuk dipahami karena penempatan diri seseorang dalam
masyarakat selalu berkaitan erat dengan bentuk jaringan dari masyarakat itu
sendiri. Dengan demikian, kita tidak mungkin memahami identitas seseorang tanpa
terlebih dahulu memahami bentuk jaringan masyarakat di mana ia berada.
Hal kedua adalah bentuk jaringan
masyarakat Indonesia sebelum pemerintah Orde Baru berakhir. Hal ini sangat
berkaitan dengan hal pertama di atas karena untuk memahami perubahan pada suatu
jaringan masyarakat, seseorang harus mencari penjelasan pada bentuk-bentuk
jaringan masyarakat sebelumnya yang biasanya merupakan pendahulu dari jaringan
masyarakat yang sedang diteliti itu. [Elias, Op. Cit., p 162]
Hal ketiga, yang juga tidak boleh
dilupakan adalah pemahaman mengenai jaringan masyarakat global yang semakin
lama semakin kuat menerpa seluruh dunia. Hal ini perlu diperhatikan karena
masyarakat Indonesia pada hakikatnya adalah bagian dari jaringan masyarakat
dunia yang bersama-sama dengan bagian masyarakat lain membentuk jaringan
masyarakat dunia yang utuh. Sedangkan masyarakat Indonesia pasca Orde Baru pada
hakikatnya terbentuk di bawah pengaruh global masyarakat dunia akhir-akhir ini.
Berkaitan dengan hal pertama, yaitu
bagaimana bentuk jaringan masyarakat Indonesia pasca Orde Baru, maka kita akan
menjumpai sebuah jaringan yang sangat kompleks. Situasi Indonesia pada periode
tersebut ditandai dengan munculnya berbagai gerakan dan kelompok yang
memperjuangkan identitas mereka masing-masing. Kelompok-kelompok tersebut dapat
berupa kelompok keagamaan, kelompok etnik, maupun kelompok kedaerahan.
Situasi masyarakat Indonesia pada saat
itu juga diwarnai dengan semakin lepasnya kontrol pemerintah terhadap
masyarakat. Masyarakat semakin bebas menyuarakan aspirasi mereka. Sementara
media penyampaian informasi pun semakin mudah dan cepat, baik melalui media
cetak maupun informasi. Sementara itu peranan komputer dalam menyediakan
informasi yang murah dan cepat membuat berita dari dalam dan luar negeri dapat
diakses dengan mudah. Hal-hal tersebut mewarnai situasi masyarakat di Indonesia
sejak menjelang kejatuhan pemerintahan Orde Baru hingga saat ini.
Sementara itu, jaringan masyarakat
Indonesia selama pemerintah Orde Baru berada pada puncak kekuasaannya merupakan
jalinan antara hubungan yang sangat rumit namun berbeda dari jaringan
sesudahnya. Media informasi (khususnya internet) memang telah lama menyentuh
belahan bumi ini, namun media cetak dan elektronik lainnya masih berada di
bawah pengaruh kekuasaan pemerintah. Kebebasan untuk menyatakan pendapat pun
tampaknya sangat kurang bila dibandingkan dengan situasi pada masyarakat Indonesia
pasca Orde Baru. Hampir seluruh masyarakat Indonesia mengalami tekanan dalam
menyatakan dirinya pada masa Orde Baru.
Tekanan tersebut tentu juga dialami
secara langsung oleh orang Tionghoa. Salah satu titik yang paling penting dalam
memahami posisi orang Tionghoa dalam masyarakat Indonesia pada saat itu – yaitu
sejak Orde Baru memerintah hingga menjelang ia berakhir – adalah diangkatnya
pandangan asimilasi menjadi pandangan yang dominan, bahkan pandangan resmi
pemerintah Indonesia mengenai orang-orang Tionghoa. Sejak saat itulah kebijakan
yang mengatur cara berasimilasi orang Tionghoa ke dalam bangsa Indonesia mulai
dilaksanakan. Sejak saat itu pula, orang Tionghoa di Indonesia memasuki suatu
proses di mana ia diharuskan berusaha sedapat mungkin untuk menghilangkan
ketionghoaannya.
Kebijakan-kebijakan yang muncul kemudian
sehubungan dengan kebijakan asimilasi tersebut sangat beragam. Misalnya
kebijakan perubahan penggunaan kata Tionghoa – yang saat itu sering digunakan
oleh orang-orang Tionghoa – menjadi kata Cina, yang oleh orang-orang Tionghoa
dianggap sebagai istilah yang mengandung nada merendahkan; kebijakan
penggantian nama Cina menjadi nama Indonesia melalui Keputusan Presidium
Kabinet No. 127/U/Kep/12/1967; Instruksi Presiden No. 14/1967 yang mengatur
agama, kepercayaan, dan adat istiadat keturunan Cina; Keputusan Presiden No.
240/1967 mengenai kebijakan pokok yang menyangkut WNI keturunan asing; dan
Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 mengenai kebijakan pokok
penyelesaian masalah Cina.
Kebijakan asimilasi ini memiliki
pengaruh yang sangat kuat, baik di kalangan masyarakat maupun di kalangan para
peneliti Indonesia mengenai orang-orang Tionghoa. Dalam masyarakat, khususnya
di kalangan orang-orang Tionghoa yang lahir setelah kebijakan ini dilaksanakan,
kebijakan ini membuat mereka mengalami kebingungan dalam menempatkan diri
mereka. Di satu pihak, mereka secara etnik adalah orang Tionghoa, yang dalam
keluarga kadang-kadang masih mempraktikkan tradisi-tradisi budaya mereka.
Di pihak lain, mereka sering kali
dituntut untuk tidak mengekspresikan keunikan mereka sebagai orang Tionghoa
ketika berhubungan dengan orang-orang dari kelompok identitas yang lain. Mereka
bahkan sering pula dituntut untuk mengekspresikan “semangat kebangsaan” mereka
sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Kegagalan mereka dalam melakukan suatu
hal tertentu akan berakibat pada suatu kecurigaan dari kelompok orang Indonesia
asli terhadap kesetiaan mereka pada bangsa Indonesia.
Kebijakan asimilasi tersebut juga
membuat sentimen anti Tionghoa semakin mengakar di kalangan orang-orang
Indonesia asli. Tuntutan dari pemerintah agar orang-orang Tionghoa
berasimilasi, sering kali juga menjadi tuntutan dari orang-orang Indonesia
lainnya. Ini mengakibatkan mereka mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan
orang-orang Tionghoa yang tentu tak dapat sama sekali lepas dari ciri khasnya.
Di kalangan para peneliti mengenai orang
Tionghoa di Indonesia, kebijakan tersebut ternyata memiliki dampak yang serius
pula. Penulis-penulis yang berkecimpung dalam permasalahan ini sering terjebak
dalam “kungkungan” kebijakan tersebut, sehingga banyak tulisan mereka yang
diarahkan untuk mendukung kebijakan itu.
Dalam suatu studi literatur tentang masalah
Tionghoa di Indonesia yang dilakukan oleh Thung Ju Lan misalnya, ditunjukkan
bahwa penulis-penulis topik ini sering terjebak dalam suatu “bias asimilasi.”
[Thung Ju Lan, “Tinjauan Kepustakaan tentang Etnis Cina di Indonesia,” dalam I.
Wibowo (ed), Retrospeksi dan
Rekontekstualisasi Masalah Cina, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta., pp 3-23]
Sebagai akibatnya, tulisan-tulisan yang berbeda dari kebijakan di atas sangat
sulit ditemukan, khususnya sepanjang masa pemerintahan Orde Baru.
Langkanya literatur yang berbeda dengan
kebijakan pemerintah tersebut membuat pemahaman masyarakat menjadi lebih
terarah pada pandangan tentang asimilasi. Hal ini kemudian akan menguatkan
tuntutan mereka agar orang-orang Tionghoa bersedia berasimilasi. Tuntutan ini
pada gilirannya menghadapkan orang-orang Tionghoa dalam posisi yang sulit.
Bila seseorang melihat situasi
masyarakat Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru berkuasa secara bersamaan
dengan masyarakat Indonesia menjelang pemerintahan Orde Baru berakhir, maka ia
akan melihat suatu perbedaan yang sangat jauh. Orang tersebut tentu akan
bertanya-tanya apakah gerangan yang menyebabkan perubahan tersebut? Mengapa
situasi dapat berubah dalam kurun waktu yang relatif singkat?
Perubahan situasi itu tampaknya bukanlah
sesuatu yang terjadi dalam waktu singkat, meskipun bila dilihat dari permukaan
akan tampak seperti itu. Ia merupakan bagian dari pengaruh jaringan global yang
sedang menerpa dunia secara keseluruhan. Tampaknya tak ada satu tempat pun di
bumi ini yang terbebas dari pengaruh global ini.
Dunia global yang membentuk masyarakat
baru tersebut, menurut Manuel Castells tercipta sebagai akibat dari revolusi
teknologi informasi dan restrukturisasi kapitalisme. Sistem masyarakat baru ini
dipengaruhi oleh aktivitas-aktivitas ekonomi yang ciri-ciri khasnya adalah
adanya organisasi-organisasi yang membentuk jaringan secara luas; fleksibilitas
dan ketidakstabilan kerja serta individualisasi tenaga kerja; munculnya suatu
budaya virtual yang dibangun di dalam sistem media yang sangat beragam namun
saling berhubungan; serta berubahnya ruang dan waktu menjadi suatu materi yang
tak terbatas. [Manuel Castells, The Power
of Identity, Bluckwells Publishers Inc, Malden, Massachusetts, 1999., pp
1-2]
Arus globalisasi, baik dalam bentuk
ekonomi maupun teknologi ini, menurut Castells, membuat negara bangsa modern
kehilangan banyak kekuasaannya. Ia tergilas oleh jaringan global dari kekayaan,
kekuasaan, dan informasi. Legitimasinya di mata rakyatnya juga akan menurun.
Sebagai akibatnya, negara yang seharusnya merupakan salah satu sumber dari
identitas rakyatnya, yaitu identitas yang oleh Castells disebut sebagai legitimizing identities akan kehilangan
potensi untuk mempertahankan kapasitas itu. Hal ini membuat rakyatnya mengalami
kehilangan identitas dan berada dalam tahap kebingungan, sehingga mereka
cenderung untuk mencari sumber-sumber baru bagi identitasnya.
Castells berargumen bahwa salah satu
wujud dari pencarian identitas baru ini muncul dalam bentuk resistance identities, yaitu identitas-identitas
yang digunakan sebagai alat pertahanan terhadap proses globalisasi yang membuat
manusia merasa bingung. Identitas-identitas ini dapat berupa identitas
keagamaan, identitas lokalitas, identitas kebangsaan (yang dalam penjelasan
Castells lebih memiliki nuansa etnik), dan lain-lain. Kelompok yang berlindung
dalam identitas-identitas semacam ini cenderung membentuk suatu kelompok untuk
memperjuangkan identitasnya itu. [Castells, Op.
Cit., pp 354-357] Tampaknya pembentukan kelompok-kelompok identitas itu
telah terjadi pula dalam masyarakat Indonesia pasca Orde Baru.
Di sisi lain, dengan semakin kuatnya
arus informasi, maka hal-hal yang menjadi wacana umum dan dominan, khususnya di
negara-negara barat, dapat masuk ke seluruh penjuru dunia. Salah satu di
antaranya, yang sangat berpengaruh juga di Indonesia adalah wacana tentang Hak
Asasi Manusia (HAM). Wacana ini kini menjadi begitu populer dan selalu
diperjuangkan di berbagai tempat. Ia juga menjadi wacana yang terbukti cukup
penting dan berperan dalam perubahan masyarakat.
Pembahasan mengenai pentingnya HAM dalam
sebuah perubahan masyarakat dapat dijumpai dalam sebuah tulisan dari Amartya
Sen. Dalam tulisannya itu, Sen menjelaskan bahwa kebebasan-kebebasan manusia –
yang ia bedakan menjadi lima macam, yaitu kebebasan politik, fasilitas ekonomi,
kesempatan sosial, jaminan transparansi, dan perlindungan keamanan – ternyata
bukan hanya menjadi tujuan dari pembangunan, namun juga merupakan
alat/instrumen dalam mewujudkan program pembangunan tersebut. [Amartya Sen, Development as Freedom, Alfred A. Knopf,
New York, 1999., pp 10, 38]
Kelima jenis kebebasan tersebut bukan
sesuatu yang berdiri sendiri, namun saling terkait satu sama lain. Dengan
demikian, pencapaian kebebasan pada salah satu jenis akan merangsang
kebebasan-kebebasan lainnya. Sebagai contoh, kebebasan seseorang untuk
berpartisipasi dalam bidang politik sangat berkaitan erat dengan kesempatan
orang tersebut memperoleh pendidikan yang baik, yang oleh Sen dikategorikan
sebagai kesempatan sosial. Tanpa pendidikan yang cukup, seseorang akan
mengalami kesulitan dalam memahami situasi-situasi sekitar yang seharusnya
dapat diakses dari surat kabar. Jadi, bila seseorang telah memperoleh
kesempatan sosial yang layak, maka ia akan mendapatkan kebebasan-kebebasan
lainnya.
Bila kesimpulan tersebut – yang
merupakan hasil pengamatan dari Sen – kita hubungkan dengan gerakan HAM yang
muncul akhir-akhir ini, maka dapat kita katakan bahwa munculnya gerakan-gerakan
itu merupakan akibat dari pembebasan-pembebasan yang telah dialami manusia
sebelumnya (misalnya fasilitas ekonomi atau kesempatan pendidikan), dan akan
merangsang terbukanya akses pada kebebasan-kebebasan yang lain (misalnya
kebebasan politik maupun jaminan keamanan).
Bila kita kembali pada pembicaraan
mengenai identitas orang Tionghoa, maka akan tampak bahwa perpaduan dari ketiga
hal di atas – yaitu jaringan masyarakat Indonesia pasca Orde Baru, selama Orde
Baru, dan jaringan masyarakat dunia pada era globalisasi – telah merangsang
orang Tionghoa untuk mempertanyakan kembali penempatan dirinya di tengah
masyarakat Indonesia pasca Orde Baru.
Bentuk jaringan masyarakat yang baru
sejak menjelang pemerintahan Orde Baru berakhir, tampaknya membuat orang
Tionghoa sadar bahwa pemahaman akan identitas yang selama ini mereka pegang
telah menjadi kurang relevan lagi. Sedangkan jaringan global dunia yang juga
menerpa Indonesia akhir-akhir ini telah memberikan dukungan yang kuat bati
usaha mereka untuk memperjuangkan kembali identitas mereka.
Salah satu faktor yang memiliki potensi
dalam menyadarkan orang Tionghoa bahwa Indonesia yang sekarang telah mengalami
perubahan adalah masuknya modal asing dalam jumlah yang besar ke Indonesia. Di
antara modal asing tersebut, termasuk pula modal dari Republik Rakyat Tiongkok
(RRT) yang menjalin kembali hubungan baik dengan Indonesia sejak awal tahun
1990-an, sejak normalisasi hubungan diplomatik antara Republik Indonesia (RI)
dengan RRT. Sejak normalisasi hubungan ini, hubungan perdagangan antara para
pengusaha nasional Indonesia dengan para pengusaha RRT menjadi semakin terbuka.
Perusahaan-perusahaan dari RRT pun mulai membuka cabang di Indonesia. Hal yang
sama juga terjadi dengan Taiwan yang selama ini memang telah menjalin hubungan
dagang dengan Indonesia.
Sebagai akibat dari hubungan dagang
antara Indonesia dengan RRT dan Taiwan adalah dibutuhkan tenaga kerja yang
bukan hanya mampu untuk sedikit berkomunikasi dalam bahasa Tionghoa (Mandarin),
namun juga mampu untuk berhubungan dengan orang-orang Tionghoa (para pengusaha
dan mitra kerja dari RRT dan Taiwan) yang tentu saja memiliki budaya berbeda.
Situasi tersebut berpotensi memunculkan
kembali pertanyaan tentang identitas ketionghoaan yang selama ini telah cukup
lama terpendam. Pertanyaan semacam ini dapat saja terlontar ketika seorang
Indonesia keturunan Tionghoa yang sebagian besar tidak lagi mampu berbahasa
Mandarin harus berhubungan lagi dengan orang-orang dari “tanah leluhur.” Ini
merupakan reaksi wajar mengingat orang Tionghoa dari negara asal sering pula
menyebut rekan mereka di negeri seberang sebagai “Chinese” walaupun orang tersebut tidak mengerti bahasa Mandarin,
bahkan budaya mereka pun jauh berbeda.
Faktor lain yang juga berpotensi dalam
mempengaruhi kesadaran orang Tionghoa untuk kembali mempertanyakan identitasnya
adalah semakin melemah dan kaburnya konsep bangsa di tengah masyarakat
Indonesia, khususnya pasca Orde Baru. Seperti dinyatakan Benedict Anderson,
konsep bangsa sesungguhnya merupakan konsep tentang masyarakat yang dibayangkan,
karena masing-masing anggota masyarakat itu sesungguhnya tidak saling mengenal,
namun memiliki suatu bayangan tentang masyarakat tersebut dalam pikiran mereka.
Konsep ini memiliki akar dalam dua macam sistem budaya, yaitu keagamaan dan
kerajaan dinasti, yang diwarnai dengan semangat pengorbanan dan kepahlawanan.
Ketika kedua sistem itu mulai memudar seiring dengan tumbuhnya ilmu pengetahuan
sekuler di Eropa Barat pada abad ke-17 dan 18, maka semangat tersebut berubah
bentuk menjadi semangat kebangsaan. [Benedict Anderson, Imagined Communities, Reflection on the Origin and Spread of
Nationalism, Verso Editions and NLB, London, 1983., pp 15, 19-20]
Seorang penulis lain menambahkan bahwa
munculnya semangat kebangsaan tersebut juga dimungkinkan oleh faktor lain yang
merupakan faktor penentu, yaitu munculnya negara – khususnya negara modern –
yang memiliki otoritas tertinggi untuk mengatur masyarakat yang berada di dalam
batas-batas wilayahnya. [B. Herry Priyono, “Bangsa, Negara, dan Rakyat (dari
sketsa tentang Nasionalisme)” dalam Wibowo, Op.
Cit., pp 174-222]
Namun dalam kaitan dengan Indonesia
pasca Orde Baru di mana arus globalisasi telah masuk ke dalam berbagai segi
kehidupan di Indonesia, negara sebagaimana dinyatakan oleh Castells di atas,
telah kehilangan sebagian dari legitimasinya (bila bukan seluruhnya). Akibatnya
semangat kebangsaan yang sedikit banyak dipengaruhi oleh keberadaan negara itu,
agaknya mulai tergusur kembali oleh semangat keagamaan dan juga semangat
kedaerahan. Tampaknya situasi semacam inilah yang telah mulai muncul dalam
jaringan masyarakat di Indonesia, khususnya sejak rezim Orde Baru berhenti
berkuasa.
Kelompok-kelompok identitas muncul dalam
bentuk kelompok keagamaan yang bersifat fundamental atau kelompok kedaerahan.
Ada banyak sekali kelompok yang mendasarkan identitas keagamaan atau identitas
kedaerahan sebagai pijakan dan tujuan dari perjuangan mereka. Dengan munculnya
kelompok-kelompok tersebut, keberadaan Indonesia sebagai suatu bangsa
dipertanyakan kembali. Konsep bangsa yang pernah tumbuh di Indonesia pada awal
abad ke-20 kini kehilangan perekatnya. Sehubungan dengan itu, maka tuntutan
bagi orang Tionghoa untuk meleburkan diri dan berasimilasi ke dalam bangsa
Indonesia – seperti yang dianjurkan oleh pemerintah selama Orde Baru berkuasa –
kini menjadi tuntutan yang kurang relevan lagi. Situasi ini tentu dapat membuat
orang Tionghoa mempertanyakan kembali identitas mereka.
Faktor lain yang juga berpotensi dalam
menyadarkan Orang Tionghoa akan pentingnya mempertanyakan kembali identitas
mereka adalah masuknya wacana-wacana tentang HAM ke Indonesia, sebagai akibat
dari proses globalisasi pada berbagai bidang, khususnya informasi. Berkaitan
dengan wacana tersebut, orang Tionghoa pun mulai sadar dan bersedia
memperjuangkan hak-haknya, khususnya hak untuk diperlakukan secara sama dengan
warga negara Indonesia yang lain.
Dengan mengalirnya berbagai informasi
tentang HAM, orang-orang Tionghoa menjadi sadar bahwa selama ini mereka belum
memperoleh hak-hak mereka. Bila kita menjadikan kelima kebebasan yang diajukan
oleh Sen di atas sebagai acuan, maka akan terlihat bahwa orang Tionghoa di
Indonesia hanya menikmati sebagian kecil dari kebebasan-kebebasan itu.
Selama ini sebagian orang Tionghoa di
Indonesia – bukan seluruhnya, memang memiliki akses yang cukup besar dalam
bidang ekonomi, sehingga orang-orang tersebut pada gilirannya tentu dapat
“membeli” kebebasan-kebebasan lain, misalnya jaminan keamanan. Namun bagi
sebagian orang Tionghoa lainnya, kebebasan secara utuh agaknya sangat sulit
untuk dinikmati, khususnya pada saat-saat ertentu.
Di antara kelima kebebasan yang diajukan
Sen, kebebasan politik merupakan hal yang paling kurang dinikmati oleh orang
Tionghoa. Memang kebebasan ini merupakan hal yang baru bagi masyarakat di Indonesia.
Bukan saja orang Tionghoa, orang Indonesia pribumi pun akan merasa bahwa ia
tidak memiliki kebebasan dalam hal politik. Namun, orang Tionghoa paling
mendapat tekanan dalam hal ini. Sejak dibubarkannya Baperki, sedikit sekali
orang Tionghoa di Indonesia yang ikut berpartisipasi di bidang politik. Apabila
sebagian dari mereka turut berpartisipasi, maka partisipasi itu harus dalam
bentuk yang sejalan dengan kebijakan pemerintah, misalnya melalui LPKB atau
bergabung dalam partai politik yang dominan dalam pemerintahan Orde Baru, yaitu
Golongan Karya (Golkar).
Dalam kesempatan sosial, orang Tionghoa
juga mengalami hambatan yang cukup sulit. Hak mereka untuk mewujudkan ciri khas
ketionghoaan mereka dalam bersosialisasi dengan orang-orang lain sangat dibatasi.
Namun pada saat yang bersamaan mereka akan selalu menyandang gelar “Tionghoa”
yang terlihat baik melalui Kartu Tanda Penduduk (KTP) maupun dalam Akta Lahir,
serta diharuskan selalu mengajukan surat kewarganegaraan, meskipun mereka lahir
di Indonesia dan dari orangtua yang berwarga negara Indonesia.
Jaminan keamanan jugamerupakan hal yang
sangat sulit diperoleh bagi orang Tionghoa, khususnya di kota-kota besar,
seperti Jakarta. Mereka menjadi sasaran berbagai kejahatan di kota-kota besar.
Mereka juga menjadi sasaran kemarahan masyarakat, ketika terjadi ketegangan
antara kelompok masyarakat pribumi dengan pemerintah. Sepanjang sejarah
berdirinya Indonesia, entah telah berapa kali terjadi kekerasan anti Cina.
Peristiwa yang merupakan titik kulminasi tertinggi adalah peristiwa kerusuhan
Mei 1998, di mana bukan hanya toko-toko milik orang Tionghoa dibakar, tetapi
juga terjadi pembunuhan dan pemerkosaan terhadap gadis-gadis Tionghoa, meskipun
hal ini selalu dibantah oleh pemerintah.
Kurangnya akses bagi orang Tionghoa
terhadap kebebasan seperti yang dibahas di atas, agaknya semakin disadari oleh
orang Tionghoa sejak akses terhadap informasi menjadi lebih mudah diperoleh di
Indonesia. Kesadaran mereka juga semakin kuat setelah masalah tentang hak-hak
mereka menjadi pusat perhatian dunia, khususnya sejak peristiwa Mei 1998.
Desakan dari dunia internasional agar
pemerintah memperhatikan hak asasi orang Tionghoa agaknya menjadi sebuah
dukungan bagi orang-orang Tionghoadi Indonesia dalam memperjuangkan kembali identitas
mereka. Organisasi-organisasi yang membawa identitas ketionghoaan atau
memperjuangkan hak-hak orang Tionghoa bermunculan sejak peristiwa kerusuhan
itu. Misalnya Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), suatu yayasan yang unik karena
didirikan dan dipimpin oleh seorang keturunan Tionghoa, namun banyak anggotanya
orang-orang Indonesia asli. Yayasan ini berusaha memperjuangkan agar
diskriminasi rasial yang telah berakar di Indonesia dihapuskan.
Kesadaran orang Tionghoa untuk
memperjuangkan identitasnya yang muncul dalam situasi-situasi yang kompleks di
atas, tampaknya tak akan menjadi sebuah kesadaran yang terus diperjuangkan bila
era globalisasi di bidang teknologi informasi belum mencapai Indonesia. Justru
kecanggihan teknologi tersebut yang membuat perjuangan mereka menjadi semakin
kuat hari demi hari. Segala berita mengenai ketidakadilan dan diskriminasi yang
menimpa orang-orang Tionghoa di Indonesia dapat menembus dunia internasional
melalui teknologi internet.
Berbagai organisasi yang memperjuangkan
identitas orang Tionghoa juga menggunakan fasilitas “mailing list” dalam berdiskusi mengenai topik-topik yang berkaitan
dengan hal-hal itu. Semua ini hanya dimungkinkan sejak teknologi informasi
mengalami revolusi di akhir abad ke-20 dan di awal abad ke-21. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa globalisasi dalam berbagai bidang, khususnya bidang
teknologi, memiliki peran penting dalam menumbuhkan kesadaran orang Tionghoa
akan pentingnya mempertanyakan kembali identitas mereka. Globalisasi juga
berperan penting dalam menyediakan sarana bagi orang Tionghoa dalam
memperjuangkan kesadaran mereka.
Pertanyaan
Penelitian
Berdasarkan situasi yang digambarkan di
atas, yaitu bentuk masyarakat yang baru di Indonesia pasca Orde Baru telah
menumbuhkan kesadaran dan kesediaan bagi orang Tionghoa di Indonesia untuk
memperjuangkan kembali identitas mereka, maka pertanyaan yang diajukan dalam
penelitian ini adalah:
1.
Bagaimanakah
orang Tionghoa memahami identitasnya – yaitu menempatkan diri – sebagai bagian
dari sebuah jaringan masyarakat Indonesia pasca Orde Baru yang semakin kompleks
dan berbeda dari jaringan masyarakat Indonesia sebelumnya?
2. Sejauh mana pemahaman baru orang Tionghoa akan
identitasnya tersebut di atas telah mengalami perubahan atau berbeda dari
pemahaman orang Tionghoa akan identitasnya pada waktu yang lampau?
3. Dalam jaringan masyarakat yang global, kompleks, dan
memiliki saling keterkaitan ini, bagaimana orang Tionghoa di Indonesia
memperjuangkan identitasnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar