Minggu, 24 April 2016

Gerakan Sosial Keturunan Tionghoa di Indonesia dalam Memperjuangkan Identitasnya


[Proposal Penelitian, 12 Oktober 2000]
 
Pendahuluan

Identitas adalah penempatan diri seseorang dalam masyarakat di mana ia berada. Penempatan diri ini merupakan suatu langkah yang selalu dilakukan oleh seseorang sebelum (dan bahkan selama) orang tersebut berhubungan dengan orang-orang lain. Tanpa pemahaman yang jelas mengenai keberadaannya (yaitu mengenai posisinya dalam masyarakat), seseorang akan mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan orang-orang lain. Bahkan tak tertutup kemungkinan orang tersebut mengalami kebingungan di tengah jaringan masyarakat yang sangat rumit ini.

Penempatan diri seseorang dalam masyarakat merupakan suatu proses yang selalu berubah dan tidak pernah berhenti. Hal ini karena masyarakat di mana orang tersebut berada juga merupakan masyarakat yang selalu berubah, dan berada dalam proses yang berkelanjutan. Bentuk jaringan masyarakat pada suatu waktu tertentu akan berbeda dari bentuk jaringan masyarakat yang muncul pada waktu yang lain, baik sebelum maupun sesudahnya. Dengan demikian, penempatan diri seseorang dalam jaringan masyarakat pada suatu waktu tertentu juga akan berbeda dengan penempatan diri seseorang pada jaringan masyarakat di waktu yang lain. Dengan kata lain, identitas seseorang akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu.

Proses penempatan diri seseorang dalam masyarakat biasanya tidak hanya terbatas pada lingkup individu. Dalam jaringan masyarakat yang semakin lama semakin luas dan rumit ini, seseorang cenderung menempatkan dirinya sebagai bagian dari suatu kelompok tertentu di tengah jalinan hubungan dengan kelompok-kelompok lain. Situasi ini, oleh Norbert Elias diilustrasikan sebagai sebuah permainan yang dimainkan secara berkelompok sehingga setiap orang yang bermain akan menempatkan diri sebagai bagian dari kelompoknya. [Norbert Elias, What Is Sociology, Juventa Verlag, Munich, 1970., p 84]

Bila penempatan diri seseorang cenderung berkaitan dengan suatu kelompok tertentu, maka dapat pula dikatakan bahwa identitas seseorang tak dapat lepas dari kelompoknya. Kelompok tersebut dapat berupa suatu kelompok keagamaan, kelompok lokalitas (tempat di mana seseorang tinggal), atau kelompok etnik. Ia dapat pula berupa kelompok bermain ataupun kelompok yang didasarkan pada tempat kerja.

Identitas orang Tionghoa adalah salah satu contoh dari keterkaitan di atas. Orang Tionghoa di Indonesia (yaitu keturunan Tionghoa yang telah menjadi warga negara Indonesia atau yang telah tinggal di Indonesia secara turun-temurun) memiliki identitas yang unik dan berbeda dengan orang-orang Indonesia lainnya. Identitas itu sangat berkaitan erat dengan kelompok dari mana mereka berasal, yaitu kelompok orang-orang keturunan Tionghoa.

Bila pemahaman tentang identitas seperti yang dinyatakan di atas diterapkan untuk memahami orang Tionghoa dan identitasnya, maka kita dapat mendefinisikan identitas orang Tionghoa sebagai penempatan diri orang Tionghoa dalam jaringan masyarakat Indonesia. Penempatan diri tersebut merupakan suatu proses yang telah berlangsung lama dan berubah-ubah sejak kedatangan mereka di Indonesia hingga saat ini. Oleh sebab itu, dapat pula dikatakan bahwa identitas orang Tionghoa selalu berada dalam proses perubahan.

Pendapat bahwa identitas orang Tionghoa selalu berada dalam proses perubahan bukanlah pendapat yang tak mendasar. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan terhadap orang-orang Tionghoa di negara-negara Asia Tenggara. Pendapat ini juga didukung oleh kenyataan-kenyataan yang terjadi di Indonesia.

Penelitian-penelitian mengenai orang-orang Tionghoa di Asia Tenggara selama dekade 1970-an menunjukkan bahwa orang-orang Tionghoa di Asia Tenggara telah berubah dan mampu melakukan perubahan lebih lanjut. Penelitian-penelitian tersebut dikumpulkan oleh Wang Gungwu serta dikelompokkan berdasarkan ciri dan waktu kemunculannya. Dari pengelompokan itu, Wang menyimpulkan bahwa setidaknya ada tujuh macam cara orang-orang Tionghoa di Asia Tenggara memandang keberadaan diri mereka. Dengan kata lain, terdapat tujuh macam identitas ketionghoaan yang tumbuh pada orang-orang Tionghoa di Asia Tenggara pada waktu-waktu yang berbeda. Pertumbuhan dari masing-masing jenis identitas itu berkaitan erat dengan situasi sosial politik yang melingkupi mereka. [Wang Gungwu, “The Study of Chinese Identities in Southeast Asia,” dalam Wang (ed), China and The Chinese Overseas, Times Academic Press, Singapore, 1991., pp 198-221]

Hal yang sama juga terjadi pada orang-orang Tionghoa di Indonesia. Cara orang Tionghoa di Indonesia menempatkan dirinya juga selalu berubah dari waktu ke waktu, sesuai dengan situasi sosial politik yang melingkupinya. Pada masa menjelang penjajahan Belanda berakhir, yaitu ketika wacana tentang Kemerdekaan Indonesia mulai diperbincangkan, pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang Tionghoa adalah mengenai bagaimana sebaiknya posisi orang Tionghoa berkaitan dengan wacana tersebut.

Setidaknya ada tiga pandangan yang dipegang oleh para elit politik Tionghoa di Hindia Belanda, sehubungan dengan pertanyaan semacam ini. Yang pertama adalah pandangan yang menekankan bahwa orang Tionghoa sebaiknya mempertahankan posisinya sebagai warga negara Tiongkok (yang pada masa itu sedang mengalami transisi dari negara yang berbentuk kerajaan, yaitu dinasti Qing, menjadi negara republik, yaitu Republik Tiongkok). Pandangan ini diajukan dengan alasan bahwa hanya Tiongkoklah yang sanggup dan akan melindungi kepentingan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda.

Pandangan kedua beranggapan bahwa orang Tionghoa sebaiknya berusaha untuk lebih diakui sebagai warga negara Hindia Belanda. Para elit politik yang mendukung pandangan ini biasanya berusaha untuk mengusahakan agar orang-orang Tionghoa dapat duduk di Dewan Rakyat (Volksraad), untuk mewakili kepentingan orang-orang Tionghoa sebagai suatu kelompok. Pandangan ketiga justru menekankan agar orang-orang Tionghoa di Indonesia turut terlibat dalam perjuangan Kemerdekaan Indonesia bersama dengan orang-orang Indonesia lainnya. Para pendukung pandangan ni biasanya menjalin hubungan dengan para tokoh nasionalis pribumi. [Diskusi mengenai pandangan politik orang-orang Tionghoa di Jawa dibahas secara rinci oleh Leo Suryadinata dalam bukunya, Peranakan Chinese Politics in Java 1917-1942, Singapore University Press, Singapore, 1981]

Selanjutnya, setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan dan berdiri sebagai sebuah negara bangsa yang baru, pertanyaan orang-orang Tionghoa di Indonesia pun mengalami perubahan. Saat itu wacana yang dominan di kalangan orang-orang Tionghoa (dan juga di kalangan elit pemerintahan Indonesia), bukan lagi mengenai pilihan antara menjadi warga negara Indonesia atau menjadi warga negara Tiongkok, meskipun harus diakui bahwa ketentuan yang mengharuskan orang Tionghoa memilih kewarganegaraannya juga sempat menjadi perbincangan hebat. [Pembahasan yang rinci mengenai topik ini ada pada Suryadinata, Pribumi Indonesians, The Chinese Minority and China, Heinemann Educational Books (Asia) LTD, Singapore, 1977., pp 115-127]

Namun yang lebih ditekankan oleh orang Tionghoa pada masa itu adalah bagaimana caranya agar orang-orang Tionghoa – khususnya yang telah memilih untuk menjadi warga negara Indonesia – dapat menjadi bagian dari bangsa yang baru ini. Dalam perbedaan mengenai topik tersebut, setidaknya ada dua pendapat yang saling bertentangan. Pendapat pertama menyatakan bahwa orang Tionghoa dapat menjadi bagian dari bangsa Indonesia tanpa harus kehilangan ciri-cirinya yang khas sebagai orang Tionghoa. Para elit politik yang berpandangan demikian biasanya disebut sebagai kelompok yang mempertahankan pandangan “integrasi.” Mereka juga tergabung dalam suatu badan yang diberi nama Badan Permusyawaratan Kemerdekaan Indonesia (Baperki). Dalam perkembangan selanjutnya, para tokoh Baperki sering dihubungkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pandangan kedua, yang berlawanan dengan pandangan pertama, menganggap bahwa satu-satunya cara agar orang-orang Tionghoa dapat diterima menjadi bagian dari bangsa Indonesia adalah melalui cara berasimilasi dengan orang-orang Indonesia asli, sehingga ciri-ciri mereka sebagai orang Tionghoa hilang. Asimilasi ini dapat ditempuh melalui berbagai cara, di antaranya dengan melakukan pernikahan campuran, atau dengan memeluk agama mayoritas penduduk Indonesia, yaitu agama Islam. [Diskusi mengenai kelompok integrasi dan asimilasi ini terdapat dalam Charles A. Coppel, Indonesian Chinese in Crisis, Oxford University Press, Kuala Lumpur, 1983. Khususnya pada halaman 43-51] Para elit politik yang mendukung pandangan ini membentuk suatu lembaga yang dinamakan Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB). Konon lembaga ini mendapat dukungan dari Angkatan Darat.

Dengan berakhirnya pemerintahan Orde Lama dan berdirinya pemerintahan Orde Baru, maka wacana yang muncul di kalangan orang Tionghoa di Indonesia pun kembali berubah. Saat itu wacana mengenai integrasi yang didukung oleh Baperki dapat dikatakan tenggelam dari permukaan bersama dengan dibubarkannya Baperki. Sebagai akibatnya, pandangan yang menjadi populer yang berkaitan dengan orang Tionghoa di Indonesia adalah pandangan tentang asimilasi. Pandangan ini bahkan dijadikan kebijakan resmi pemerintah dalam menangani hal-hal yang berkaitan dengan orang Tionghoa. Sejak saat itu segala upaya dilakukan, baik oleh pemerintah maupun oleh orang-orang Tionghoa sendiri, untuk mencari cara agar proses asimilasi orang Tionghoa dapat terlaksana dengan baik.

Uraian di atas kiranya cukup untuk membuktikan bahwa identitas orang Tionghoa, baik di Asia Tenggara maupun di Indonesia secara khusus, selalu berada dalam proses perubahan. Perubahan tersebut terjadi karena jaringan masyarakat yang ada baik di Asia Tenggara maupun di Indonesia juga selalu berada dalam proses perubahan. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka kita dapat berasumsi bahwa identitas orang Tionghoa yang tumbuh akhir-akhir ini, yaitu sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru, juga telah berbeda dari identitas orang Tionghoa pada masa-masa sebelumnya.

Dalam upaya memahami bagaimana cara penempatna diri (identitas) orang Tionghoa dalam masyarakat Indonesia pasca Orde Baru, setidaknya ada tiga hal yang tak boleh diabaikan begitu saja. Pertama adalah bentuk masyarakat Indonesia pada masa pasca Orde Baru itu sendiri. Hal ini penting untuk dipahami karena penempatan diri seseorang dalam masyarakat selalu berkaitan erat dengan bentuk jaringan dari masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, kita tidak mungkin memahami identitas seseorang tanpa terlebih dahulu memahami bentuk jaringan masyarakat di mana ia berada.

Hal kedua adalah bentuk jaringan masyarakat Indonesia sebelum pemerintah Orde Baru berakhir. Hal ini sangat berkaitan dengan hal pertama di atas karena untuk memahami perubahan pada suatu jaringan masyarakat, seseorang harus mencari penjelasan pada bentuk-bentuk jaringan masyarakat sebelumnya yang biasanya merupakan pendahulu dari jaringan masyarakat yang sedang diteliti itu. [Elias, Op. Cit., p 162]

Hal ketiga, yang juga tidak boleh dilupakan adalah pemahaman mengenai jaringan masyarakat global yang semakin lama semakin kuat menerpa seluruh dunia. Hal ini perlu diperhatikan karena masyarakat Indonesia pada hakikatnya adalah bagian dari jaringan masyarakat dunia yang bersama-sama dengan bagian masyarakat lain membentuk jaringan masyarakat dunia yang utuh. Sedangkan masyarakat Indonesia pasca Orde Baru pada hakikatnya terbentuk di bawah pengaruh global masyarakat dunia akhir-akhir ini.

Berkaitan dengan hal pertama, yaitu bagaimana bentuk jaringan masyarakat Indonesia pasca Orde Baru, maka kita akan menjumpai sebuah jaringan yang sangat kompleks. Situasi Indonesia pada periode tersebut ditandai dengan munculnya berbagai gerakan dan kelompok yang memperjuangkan identitas mereka masing-masing. Kelompok-kelompok tersebut dapat berupa kelompok keagamaan, kelompok etnik, maupun kelompok kedaerahan.

Situasi masyarakat Indonesia pada saat itu juga diwarnai dengan semakin lepasnya kontrol pemerintah terhadap masyarakat. Masyarakat semakin bebas menyuarakan aspirasi mereka. Sementara media penyampaian informasi pun semakin mudah dan cepat, baik melalui media cetak maupun informasi. Sementara itu peranan komputer dalam menyediakan informasi yang murah dan cepat membuat berita dari dalam dan luar negeri dapat diakses dengan mudah. Hal-hal tersebut mewarnai situasi masyarakat di Indonesia sejak menjelang kejatuhan pemerintahan Orde Baru hingga saat ini.

Sementara itu, jaringan masyarakat Indonesia selama pemerintah Orde Baru berada pada puncak kekuasaannya merupakan jalinan antara hubungan yang sangat rumit namun berbeda dari jaringan sesudahnya. Media informasi (khususnya internet) memang telah lama menyentuh belahan bumi ini, namun media cetak dan elektronik lainnya masih berada di bawah pengaruh kekuasaan pemerintah. Kebebasan untuk menyatakan pendapat pun tampaknya sangat kurang bila dibandingkan dengan situasi pada masyarakat Indonesia pasca Orde Baru. Hampir seluruh masyarakat Indonesia mengalami tekanan dalam menyatakan dirinya pada masa Orde Baru.

Tekanan tersebut tentu juga dialami secara langsung oleh orang Tionghoa. Salah satu titik yang paling penting dalam memahami posisi orang Tionghoa dalam masyarakat Indonesia pada saat itu – yaitu sejak Orde Baru memerintah hingga menjelang ia berakhir – adalah diangkatnya pandangan asimilasi menjadi pandangan yang dominan, bahkan pandangan resmi pemerintah Indonesia mengenai orang-orang Tionghoa. Sejak saat itulah kebijakan yang mengatur cara berasimilasi orang Tionghoa ke dalam bangsa Indonesia mulai dilaksanakan. Sejak saat itu pula, orang Tionghoa di Indonesia memasuki suatu proses di mana ia diharuskan berusaha sedapat mungkin untuk menghilangkan ketionghoaannya.

Kebijakan-kebijakan yang muncul kemudian sehubungan dengan kebijakan asimilasi tersebut sangat beragam. Misalnya kebijakan perubahan penggunaan kata Tionghoa – yang saat itu sering digunakan oleh orang-orang Tionghoa – menjadi kata Cina, yang oleh orang-orang Tionghoa dianggap sebagai istilah yang mengandung nada merendahkan; kebijakan penggantian nama Cina menjadi nama Indonesia melalui Keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1967; Instruksi Presiden No. 14/1967 yang mengatur agama, kepercayaan, dan adat istiadat keturunan Cina; Keputusan Presiden No. 240/1967 mengenai kebijakan pokok yang menyangkut WNI keturunan asing; dan Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 mengenai kebijakan pokok penyelesaian masalah Cina.

Kebijakan asimilasi ini memiliki pengaruh yang sangat kuat, baik di kalangan masyarakat maupun di kalangan para peneliti Indonesia mengenai orang-orang Tionghoa. Dalam masyarakat, khususnya di kalangan orang-orang Tionghoa yang lahir setelah kebijakan ini dilaksanakan, kebijakan ini membuat mereka mengalami kebingungan dalam menempatkan diri mereka. Di satu pihak, mereka secara etnik adalah orang Tionghoa, yang dalam keluarga kadang-kadang masih mempraktikkan tradisi-tradisi budaya mereka.

Di pihak lain, mereka sering kali dituntut untuk tidak mengekspresikan keunikan mereka sebagai orang Tionghoa ketika berhubungan dengan orang-orang dari kelompok identitas yang lain. Mereka bahkan sering pula dituntut untuk mengekspresikan “semangat kebangsaan” mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Kegagalan mereka dalam melakukan suatu hal tertentu akan berakibat pada suatu kecurigaan dari kelompok orang Indonesia asli terhadap kesetiaan mereka pada bangsa Indonesia.

Kebijakan asimilasi tersebut juga membuat sentimen anti Tionghoa semakin mengakar di kalangan orang-orang Indonesia asli. Tuntutan dari pemerintah agar orang-orang Tionghoa berasimilasi, sering kali juga menjadi tuntutan dari orang-orang Indonesia lainnya. Ini mengakibatkan mereka mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan orang-orang Tionghoa yang tentu tak dapat sama sekali lepas dari ciri khasnya.   

Di kalangan para peneliti mengenai orang Tionghoa di Indonesia, kebijakan tersebut ternyata memiliki dampak yang serius pula. Penulis-penulis yang berkecimpung dalam permasalahan ini sering terjebak dalam “kungkungan” kebijakan tersebut, sehingga banyak tulisan mereka yang diarahkan untuk mendukung kebijakan itu.

Dalam suatu studi literatur tentang masalah Tionghoa di Indonesia yang dilakukan oleh Thung Ju Lan misalnya, ditunjukkan bahwa penulis-penulis topik ini sering terjebak dalam suatu “bias asimilasi.” [Thung Ju Lan, “Tinjauan Kepustakaan tentang Etnis Cina di Indonesia,” dalam I. Wibowo (ed), Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta., pp 3-23] Sebagai akibatnya, tulisan-tulisan yang berbeda dari kebijakan di atas sangat sulit ditemukan, khususnya sepanjang masa pemerintahan Orde Baru.

Langkanya literatur yang berbeda dengan kebijakan pemerintah tersebut membuat pemahaman masyarakat menjadi lebih terarah pada pandangan tentang asimilasi. Hal ini kemudian akan menguatkan tuntutan mereka agar orang-orang Tionghoa bersedia berasimilasi. Tuntutan ini pada gilirannya menghadapkan orang-orang Tionghoa dalam posisi yang sulit.

Bila seseorang melihat situasi masyarakat Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru berkuasa secara bersamaan dengan masyarakat Indonesia menjelang pemerintahan Orde Baru berakhir, maka ia akan melihat suatu perbedaan yang sangat jauh. Orang tersebut tentu akan bertanya-tanya apakah gerangan yang menyebabkan perubahan tersebut? Mengapa situasi dapat berubah dalam kurun waktu yang relatif singkat?

Perubahan situasi itu tampaknya bukanlah sesuatu yang terjadi dalam waktu singkat, meskipun bila dilihat dari permukaan akan tampak seperti itu. Ia merupakan bagian dari pengaruh jaringan global yang sedang menerpa dunia secara keseluruhan. Tampaknya tak ada satu tempat pun di bumi ini yang terbebas dari pengaruh global ini.

Dunia global yang membentuk masyarakat baru tersebut, menurut Manuel Castells tercipta sebagai akibat dari revolusi teknologi informasi dan restrukturisasi kapitalisme. Sistem masyarakat baru ini dipengaruhi oleh aktivitas-aktivitas ekonomi yang ciri-ciri khasnya adalah adanya organisasi-organisasi yang membentuk jaringan secara luas; fleksibilitas dan ketidakstabilan kerja serta individualisasi tenaga kerja; munculnya suatu budaya virtual yang dibangun di dalam sistem media yang sangat beragam namun saling berhubungan; serta berubahnya ruang dan waktu menjadi suatu materi yang tak terbatas. [Manuel Castells, The Power of Identity, Bluckwells Publishers Inc, Malden, Massachusetts, 1999., pp 1-2]

Arus globalisasi, baik dalam bentuk ekonomi maupun teknologi ini, menurut Castells, membuat negara bangsa modern kehilangan banyak kekuasaannya. Ia tergilas oleh jaringan global dari kekayaan, kekuasaan, dan informasi. Legitimasinya di mata rakyatnya juga akan menurun. Sebagai akibatnya, negara yang seharusnya merupakan salah satu sumber dari identitas rakyatnya, yaitu identitas yang oleh Castells disebut sebagai legitimizing identities akan kehilangan potensi untuk mempertahankan kapasitas itu. Hal ini membuat rakyatnya mengalami kehilangan identitas dan berada dalam tahap kebingungan, sehingga mereka cenderung untuk mencari sumber-sumber baru bagi identitasnya.

Castells berargumen bahwa salah satu wujud dari pencarian identitas baru ini muncul dalam bentuk resistance identities, yaitu identitas-identitas yang digunakan sebagai alat pertahanan terhadap proses globalisasi yang membuat manusia merasa bingung. Identitas-identitas ini dapat berupa identitas keagamaan, identitas lokalitas, identitas kebangsaan (yang dalam penjelasan Castells lebih memiliki nuansa etnik), dan lain-lain. Kelompok yang berlindung dalam identitas-identitas semacam ini cenderung membentuk suatu kelompok untuk memperjuangkan identitasnya itu. [Castells, Op. Cit., pp 354-357] Tampaknya pembentukan kelompok-kelompok identitas itu telah terjadi pula dalam masyarakat Indonesia pasca Orde Baru.

Di sisi lain, dengan semakin kuatnya arus informasi, maka hal-hal yang menjadi wacana umum dan dominan, khususnya di negara-negara barat, dapat masuk ke seluruh penjuru dunia. Salah satu di antaranya, yang sangat berpengaruh juga di Indonesia adalah wacana tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Wacana ini kini menjadi begitu populer dan selalu diperjuangkan di berbagai tempat. Ia juga menjadi wacana yang terbukti cukup penting dan berperan dalam perubahan masyarakat.

Pembahasan mengenai pentingnya HAM dalam sebuah perubahan masyarakat dapat dijumpai dalam sebuah tulisan dari Amartya Sen. Dalam tulisannya itu, Sen menjelaskan bahwa kebebasan-kebebasan manusia – yang ia bedakan menjadi lima macam, yaitu kebebasan politik, fasilitas ekonomi, kesempatan sosial, jaminan transparansi, dan perlindungan keamanan – ternyata bukan hanya menjadi tujuan dari pembangunan, namun juga merupakan alat/instrumen dalam mewujudkan program pembangunan tersebut. [Amartya Sen, Development as Freedom, Alfred A. Knopf, New York, 1999., pp 10, 38]

Kelima jenis kebebasan tersebut bukan sesuatu yang berdiri sendiri, namun saling terkait satu sama lain. Dengan demikian, pencapaian kebebasan pada salah satu jenis akan merangsang kebebasan-kebebasan lainnya. Sebagai contoh, kebebasan seseorang untuk berpartisipasi dalam bidang politik sangat berkaitan erat dengan kesempatan orang tersebut memperoleh pendidikan yang baik, yang oleh Sen dikategorikan sebagai kesempatan sosial. Tanpa pendidikan yang cukup, seseorang akan mengalami kesulitan dalam memahami situasi-situasi sekitar yang seharusnya dapat diakses dari surat kabar. Jadi, bila seseorang telah memperoleh kesempatan sosial yang layak, maka ia akan mendapatkan kebebasan-kebebasan lainnya.

Bila kesimpulan tersebut – yang merupakan hasil pengamatan dari Sen – kita hubungkan dengan gerakan HAM yang muncul akhir-akhir ini, maka dapat kita katakan bahwa munculnya gerakan-gerakan itu merupakan akibat dari pembebasan-pembebasan yang telah dialami manusia sebelumnya (misalnya fasilitas ekonomi atau kesempatan pendidikan), dan akan merangsang terbukanya akses pada kebebasan-kebebasan yang lain (misalnya kebebasan politik maupun jaminan keamanan).

Bila kita kembali pada pembicaraan mengenai identitas orang Tionghoa, maka akan tampak bahwa perpaduan dari ketiga hal di atas – yaitu jaringan masyarakat Indonesia pasca Orde Baru, selama Orde Baru, dan jaringan masyarakat dunia pada era globalisasi – telah merangsang orang Tionghoa untuk mempertanyakan kembali penempatan dirinya di tengah masyarakat Indonesia pasca Orde Baru.

Bentuk jaringan masyarakat yang baru sejak menjelang pemerintahan Orde Baru berakhir, tampaknya membuat orang Tionghoa sadar bahwa pemahaman akan identitas yang selama ini mereka pegang telah menjadi kurang relevan lagi. Sedangkan jaringan global dunia yang juga menerpa Indonesia akhir-akhir ini telah memberikan dukungan yang kuat bati usaha mereka untuk memperjuangkan kembali identitas mereka.

Salah satu faktor yang memiliki potensi dalam menyadarkan orang Tionghoa bahwa Indonesia yang sekarang telah mengalami perubahan adalah masuknya modal asing dalam jumlah yang besar ke Indonesia. Di antara modal asing tersebut, termasuk pula modal dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang menjalin kembali hubungan baik dengan Indonesia sejak awal tahun 1990-an, sejak normalisasi hubungan diplomatik antara Republik Indonesia (RI) dengan RRT. Sejak normalisasi hubungan ini, hubungan perdagangan antara para pengusaha nasional Indonesia dengan para pengusaha RRT menjadi semakin terbuka. Perusahaan-perusahaan dari RRT pun mulai membuka cabang di Indonesia. Hal yang sama juga terjadi dengan Taiwan yang selama ini memang telah menjalin hubungan dagang dengan Indonesia.

Sebagai akibat dari hubungan dagang antara Indonesia dengan RRT dan Taiwan adalah dibutuhkan tenaga kerja yang bukan hanya mampu untuk sedikit berkomunikasi dalam bahasa Tionghoa (Mandarin), namun juga mampu untuk berhubungan dengan orang-orang Tionghoa (para pengusaha dan mitra kerja dari RRT dan Taiwan) yang tentu saja memiliki budaya berbeda.

Situasi tersebut berpotensi memunculkan kembali pertanyaan tentang identitas ketionghoaan yang selama ini telah cukup lama terpendam. Pertanyaan semacam ini dapat saja terlontar ketika seorang Indonesia keturunan Tionghoa yang sebagian besar tidak lagi mampu berbahasa Mandarin harus berhubungan lagi dengan orang-orang dari “tanah leluhur.” Ini merupakan reaksi wajar mengingat orang Tionghoa dari negara asal sering pula menyebut rekan mereka di negeri seberang sebagai “Chinese” walaupun orang tersebut tidak mengerti bahasa Mandarin, bahkan budaya mereka pun jauh berbeda.

Faktor lain yang juga berpotensi dalam mempengaruhi kesadaran orang Tionghoa untuk kembali mempertanyakan identitasnya adalah semakin melemah dan kaburnya konsep bangsa di tengah masyarakat Indonesia, khususnya pasca Orde Baru. Seperti dinyatakan Benedict Anderson, konsep bangsa sesungguhnya merupakan konsep tentang masyarakat yang dibayangkan, karena masing-masing anggota masyarakat itu sesungguhnya tidak saling mengenal, namun memiliki suatu bayangan tentang masyarakat tersebut dalam pikiran mereka. Konsep ini memiliki akar dalam dua macam sistem budaya, yaitu keagamaan dan kerajaan dinasti, yang diwarnai dengan semangat pengorbanan dan kepahlawanan. Ketika kedua sistem itu mulai memudar seiring dengan tumbuhnya ilmu pengetahuan sekuler di Eropa Barat pada abad ke-17 dan 18, maka semangat tersebut berubah bentuk menjadi semangat kebangsaan. [Benedict Anderson, Imagined Communities, Reflection on the Origin and Spread of Nationalism, Verso Editions and NLB, London, 1983., pp 15, 19-20]

Seorang penulis lain menambahkan bahwa munculnya semangat kebangsaan tersebut juga dimungkinkan oleh faktor lain yang merupakan faktor penentu, yaitu munculnya negara – khususnya negara modern – yang memiliki otoritas tertinggi untuk mengatur masyarakat yang berada di dalam batas-batas wilayahnya. [B. Herry Priyono, “Bangsa, Negara, dan Rakyat (dari sketsa tentang Nasionalisme)” dalam Wibowo, Op. Cit., pp 174-222]

Namun dalam kaitan dengan Indonesia pasca Orde Baru di mana arus globalisasi telah masuk ke dalam berbagai segi kehidupan di Indonesia, negara sebagaimana dinyatakan oleh Castells di atas, telah kehilangan sebagian dari legitimasinya (bila bukan seluruhnya). Akibatnya semangat kebangsaan yang sedikit banyak dipengaruhi oleh keberadaan negara itu, agaknya mulai tergusur kembali oleh semangat keagamaan dan juga semangat kedaerahan. Tampaknya situasi semacam inilah yang telah mulai muncul dalam jaringan masyarakat di Indonesia, khususnya sejak rezim Orde Baru berhenti berkuasa.

Kelompok-kelompok identitas muncul dalam bentuk kelompok keagamaan yang bersifat fundamental atau kelompok kedaerahan. Ada banyak sekali kelompok yang mendasarkan identitas keagamaan atau identitas kedaerahan sebagai pijakan dan tujuan dari perjuangan mereka. Dengan munculnya kelompok-kelompok tersebut, keberadaan Indonesia sebagai suatu bangsa dipertanyakan kembali. Konsep bangsa yang pernah tumbuh di Indonesia pada awal abad ke-20 kini kehilangan perekatnya. Sehubungan dengan itu, maka tuntutan bagi orang Tionghoa untuk meleburkan diri dan berasimilasi ke dalam bangsa Indonesia – seperti yang dianjurkan oleh pemerintah selama Orde Baru berkuasa – kini menjadi tuntutan yang kurang relevan lagi. Situasi ini tentu dapat membuat orang Tionghoa mempertanyakan kembali identitas mereka.

Faktor lain yang juga berpotensi dalam menyadarkan Orang Tionghoa akan pentingnya mempertanyakan kembali identitas mereka adalah masuknya wacana-wacana tentang HAM ke Indonesia, sebagai akibat dari proses globalisasi pada berbagai bidang, khususnya informasi. Berkaitan dengan wacana tersebut, orang Tionghoa pun mulai sadar dan bersedia memperjuangkan hak-haknya, khususnya hak untuk diperlakukan secara sama dengan warga negara Indonesia yang lain.

Dengan mengalirnya berbagai informasi tentang HAM, orang-orang Tionghoa menjadi sadar bahwa selama ini mereka belum memperoleh hak-hak mereka. Bila kita menjadikan kelima kebebasan yang diajukan oleh Sen di atas sebagai acuan, maka akan terlihat bahwa orang Tionghoa di Indonesia hanya menikmati sebagian kecil dari kebebasan-kebebasan itu.

Selama ini sebagian orang Tionghoa di Indonesia – bukan seluruhnya, memang memiliki akses yang cukup besar dalam bidang ekonomi, sehingga orang-orang tersebut pada gilirannya tentu dapat “membeli” kebebasan-kebebasan lain, misalnya jaminan keamanan. Namun bagi sebagian orang Tionghoa lainnya, kebebasan secara utuh agaknya sangat sulit untuk dinikmati, khususnya pada saat-saat ertentu.

Di antara kelima kebebasan yang diajukan Sen, kebebasan politik merupakan hal yang paling kurang dinikmati oleh orang Tionghoa. Memang kebebasan ini merupakan hal yang baru bagi masyarakat di Indonesia. Bukan saja orang Tionghoa, orang Indonesia pribumi pun akan merasa bahwa ia tidak memiliki kebebasan dalam hal politik. Namun, orang Tionghoa paling mendapat tekanan dalam hal ini. Sejak dibubarkannya Baperki, sedikit sekali orang Tionghoa di Indonesia yang ikut berpartisipasi di bidang politik. Apabila sebagian dari mereka turut berpartisipasi, maka partisipasi itu harus dalam bentuk yang sejalan dengan kebijakan pemerintah, misalnya melalui LPKB atau bergabung dalam partai politik yang dominan dalam pemerintahan Orde Baru, yaitu Golongan Karya (Golkar).

Dalam kesempatan sosial, orang Tionghoa juga mengalami hambatan yang cukup sulit. Hak mereka untuk mewujudkan ciri khas ketionghoaan mereka dalam bersosialisasi dengan orang-orang lain sangat dibatasi. Namun pada saat yang bersamaan mereka akan selalu menyandang gelar “Tionghoa” yang terlihat baik melalui Kartu Tanda Penduduk (KTP) maupun dalam Akta Lahir, serta diharuskan selalu mengajukan surat kewarganegaraan, meskipun mereka lahir di Indonesia dan dari orangtua yang berwarga negara Indonesia.

Jaminan keamanan jugamerupakan hal yang sangat sulit diperoleh bagi orang Tionghoa, khususnya di kota-kota besar, seperti Jakarta. Mereka menjadi sasaran berbagai kejahatan di kota-kota besar. Mereka juga menjadi sasaran kemarahan masyarakat, ketika terjadi ketegangan antara kelompok masyarakat pribumi dengan pemerintah. Sepanjang sejarah berdirinya Indonesia, entah telah berapa kali terjadi kekerasan anti Cina. Peristiwa yang merupakan titik kulminasi tertinggi adalah peristiwa kerusuhan Mei 1998, di mana bukan hanya toko-toko milik orang Tionghoa dibakar, tetapi juga terjadi pembunuhan dan pemerkosaan terhadap gadis-gadis Tionghoa, meskipun hal ini selalu dibantah oleh pemerintah.

Kurangnya akses bagi orang Tionghoa terhadap kebebasan seperti yang dibahas di atas, agaknya semakin disadari oleh orang Tionghoa sejak akses terhadap informasi menjadi lebih mudah diperoleh di Indonesia. Kesadaran mereka juga semakin kuat setelah masalah tentang hak-hak mereka menjadi pusat perhatian dunia, khususnya sejak peristiwa Mei 1998.

Desakan dari dunia internasional agar pemerintah memperhatikan hak asasi orang Tionghoa agaknya menjadi sebuah dukungan bagi orang-orang Tionghoadi Indonesia dalam memperjuangkan kembali identitas mereka. Organisasi-organisasi yang membawa identitas ketionghoaan atau memperjuangkan hak-hak orang Tionghoa bermunculan sejak peristiwa kerusuhan itu. Misalnya Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), suatu yayasan yang unik karena didirikan dan dipimpin oleh seorang keturunan Tionghoa, namun banyak anggotanya orang-orang Indonesia asli. Yayasan ini berusaha memperjuangkan agar diskriminasi rasial yang telah berakar di Indonesia dihapuskan.

Kesadaran orang Tionghoa untuk memperjuangkan identitasnya yang muncul dalam situasi-situasi yang kompleks di atas, tampaknya tak akan menjadi sebuah kesadaran yang terus diperjuangkan bila era globalisasi di bidang teknologi informasi belum mencapai Indonesia. Justru kecanggihan teknologi tersebut yang membuat perjuangan mereka menjadi semakin kuat hari demi hari. Segala berita mengenai ketidakadilan dan diskriminasi yang menimpa orang-orang Tionghoa di Indonesia dapat menembus dunia internasional melalui teknologi internet.

Berbagai organisasi yang memperjuangkan identitas orang Tionghoa juga menggunakan fasilitas “mailing list” dalam berdiskusi mengenai topik-topik yang berkaitan dengan hal-hal itu. Semua ini hanya dimungkinkan sejak teknologi informasi mengalami revolusi di akhir abad ke-20 dan di awal abad ke-21. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa globalisasi dalam berbagai bidang, khususnya bidang teknologi, memiliki peran penting dalam menumbuhkan kesadaran orang Tionghoa akan pentingnya mempertanyakan kembali identitas mereka. Globalisasi juga berperan penting dalam menyediakan sarana bagi orang Tionghoa dalam memperjuangkan kesadaran mereka.


Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan situasi yang digambarkan di atas, yaitu bentuk masyarakat yang baru di Indonesia pasca Orde Baru telah menumbuhkan kesadaran dan kesediaan bagi orang Tionghoa di Indonesia untuk memperjuangkan kembali identitas mereka, maka pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1.      Bagaimanakah orang Tionghoa memahami identitasnya – yaitu menempatkan diri – sebagai bagian dari sebuah jaringan masyarakat Indonesia pasca Orde Baru yang semakin kompleks dan berbeda dari jaringan masyarakat Indonesia sebelumnya?

2.      Sejauh mana pemahaman baru orang Tionghoa akan identitasnya tersebut di atas telah mengalami perubahan atau berbeda dari pemahaman orang Tionghoa akan identitasnya pada waktu yang lampau?

3.      Dalam jaringan masyarakat yang global, kompleks, dan memiliki saling keterkaitan ini, bagaimana orang Tionghoa di Indonesia memperjuangkan identitasnya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar