Minggu, 24 April 2016

Integrasi Nasional Indonesia di Ambang Keruntuhan?



[Makalah Simposium Satelit Kepedulian Universitas Indonesia terhadap Integrasi Bangsa Indonesia, 21 April 1999]


Dalam beberapa bulan terakhir ini berkembang suatu keyakinan umum bahwa kerusuhan di Indonesia cenderung meningkat secara dramatis. Bagi kalangan intelektual tertentu, hal ini dijadikan sebagai indikasi integrasi bangsa ini berada di ambang keruntuhan. Singkatnya, Indonesia mulai terancam disintegrasi nasional. Sedangkan intelektual lain menyatakan hal ini merupakan indikasi Indonesia sedang menapak ke arah terjadinya revolusi sosial.

Makalah singkat ini pada dasarnya berupaya mengklarifikasi keyakinan populer di atas secara empirik. Dengan tegas makalah ini menyimpulkan bahwa per definisi kerusuhan di Indonesia cenderung menurun; yang meningkat justru aksi kekerasan kolektif lainnya di luar kerusuhan. Kondisi ini sebenarnya bukan merupakan indikasi dari adanya kemungkinan disintegrasi sosial. Kondisi ini juga bukan merupakan indikasi dari kemungkinan adanya revolusi sosial, tetapi merujuk kepada anarki.

Dengan kata lain, makalah ini menyimpulkan bahwa secara umum Indonesia masih cukup jauh dari nasib seperti yang dialami oleh, misalnya, India, Uni Soviet, dan Yugoslavia. Namun bukan berarti penyakit yang sekarang diidap Indonesia merupakan sesuatu yang ringan dan akan sembuh dengan sendirinya seperti penyakit pilek. Beberapa terapi jangka panjang, menengah, dan pendek perlu dilakukan secara sadar dan terencana bila Republik Indonesia masih ingin tetap bertahan hidup, setidaknya hingga abad ke-21.

Semua kesimpulan di atas pada dasarnya merupakan induksi dari data sekunder yang terliput di berbagai media massa cetak dan juga buku, disertasi, serta laporan. Mengingat cakupan waktunya yang terentang panjang mulai dari tahun 1946 hingga 16 April 1999, penulis sepenuhnya menyadari belum semua data aksi kekerasan kolektif yang tercakup; dan dari semua data yang dianalisis (381 kasus) belum tentu semuanya memiliki bobot validitas dan reliabilitas yang sama. Kesimpulan ini sebaiknya dipandang sesuatu yang tentatif, belum sepenuhnya konklusif. Dari berbagai diskusi yang kemudian berkembang, di samping pengumpulan data yang lebih ekstensif, penulis berharap dapat menyempurnakan materi dan kesimpulan makalah ini.


A.     Bukan Peningkatan Kerusuhan, Tetapi Aksi Kekerasan Kolektif

Apakah benar keyakinan umum yang menyatakan ada peningkatan drastis dalam jumlah kerusuhan di Indonesia?

Sebelum menjawab hal itu, makalah ini perlu membatasi lebih dulu konsep kerusuhan. Bagaimana pun, kerusuhan adalah hanya salah satu jenis dari konsep yang lebih besar dari apa yang disebut sebagai aksi kekerasan kolektif. Kerusuhan adalah “aksi kolektif yang spontan, tidak terorganisasi, tidak bertujuan, yang biasanya melibatkan penggunaan kekerasan, baik untuk menghancurkan, menjarah barang, dan atau menyerang orang lain (Djajadi, 1997:11). Sebagai suatu bentuk aksi kekerasan kolektif, kerusuhan tentu saja harus dibedakan dengan perusakan, penjarahan, tawuran, sabotase, operasi militer, kudeta, perang internal, (percobaan) pembunuhan, dan sebagainya. Aspek paling menonjol yang membedakan ketujuh aksi kekerasan kolektif tersebut dari kerusuhan adalah sifatnya yang tidak spontan, relatif terorganisasi, dan memiliki tujuan khusus.

Yang lebih penting, kerusuhan (riot) bukan merupakan prediktor yang baik bagi integrasi nasional. Uni Sovyet misalnya, sebelum mengalami disintegrasi nasional, tidak menunjukkan peningkatan kerusuhan yang signifikan. Pertanda yang cukup menyolok justru peningkatan konflik etnik antara Armenia dengan Azerbaijan, dan antara Abkhazes dengan Georgian (United Nations, 1994:277).

Sebaliknya, kawasan Amerika Latin hanya sedikit mengalami kerusuhan, selama periode 1946-1960 umpamanya, dari 23 negara hanya ada dua kerusuhan, itu pun hanya ada di dua negara. Di pihak lain, dalam periode yang sama, di kawasan itu tercatat 10 kali peperangan, 37 pemberontakan militer, 39 kudeta militer, dan 51 kudeta pemerintahan (Mukmin, 1981:62). Uniknya, Amerika Latin yang umurnya rata-rata di atas 1 abad tersebut praktis tidak pernah mengalami disintegrasi nasional.

Dalam nuansa yang sama, Amerika Serikat banyak mengalami kerusuhan. Negara ini praktis tidak pernah mengalami kudeta atau pemberontakan militer, namun integrasi nasional negara ini tetap terjaga utuh, kalau tidak dapat dikatakan berkembang – karena ada satu periode jumlah negara bagian mereka terus bertambah, bukannya berkurang karena ada yang melepaskan diri melalui gerakan separatis.

Di kawasan lain, negara-negara Afrika dan Asia Selatan, banyak yang mengalami kerusuhan sekaligus berbagai aksi kekerasan kolektif lainnya. Mereka cukup banyak mengalami masalah disintegrasi nasional.

Jadi, sebenarnya tidak ada indikator yang tunggal dan pasti untuk meramalkan kemungkinan suatu negara akan mengalami disintegrasi nasional atau tidak. Walaupun berbagai aksi kekerasan kolektif lainnya juga tidak dapat diandalkan, namun setidaknya konsep yang lebih umum tersebut dapat memberikan gambaran lain mengenai keadaan atau masalah yang sedang dihadapi oleh negara dan masyarakat bersangkutan.

Berdasarkan penjelasan di atas, data memang menunjukkan bahwa aksi kolektif kekerasan di Indonesia cenderung meningkat. Setelah mengalami periode yang relatif tenang di tahun 1950-1960-an, kekerasan kolektif meningkat pada tahun 1970-1980-an, meningkat drastis memasuki pertengahan tahun 1990-an, dan puncaknya terjadi pada 1998.

Salah satu upaya untuk dapat melihat dengan jernih mengenai ada atau tidaknya peningkatan aksi kekerasan kolektif adalah dengan membuat periodisasi menurut rezim kepala pemerintahan. Pada masa Orde Lama (Orla), secara agregat tercatat ada 65 kasus kekerasan kolektif (17%), pada masa Orde Baru (Orba), jumlahnya meningkat drastis menjadi 168 kasus kekerasan kolektif (44%), dan sedikit menurun menjadi 148 kasus kekerasan kolektif (39%) pada masa Orde Reformasi (Oref). Namun, mengingat relatif singkatnya masa Oref – baru sekitar 10 bulan, tidak berlebihan kiranya bila disebutkan aksi kekerasan kolektif cenderung terus meningkat secara dramatis.

Pengamatan yang saksama menunjukkan, dari 9 jenis aksi kekerasan kolektif, ada 4 jenis aksi kekerasan kolektif yang menonjol, yaitu kerusuhan (20%), perusakan (14%), tawuran (11%), dan operasi militer (9%). Berdasarkan itu, keyakinan bahwa kerusuhan merupakan masalah yang menonjol memang dapat dibenarkan. Namun, ketika kekerasan kolektif itu dirinci berdasarkan periode, terlihat proporsi kerusuhan di Oref sebenarnya justru menurun drastis. Pada masa Orla ada 43%, pada masa Orba 40%, dan pada masa Oref hanya 10%. Hal sebaliknya yang terjadi adalah penjarahan, perusakan, tawuran, dan perang internal.

Kita mungkin dapat berspekulasi kerusuhan di kedua masa sebelumnya mungkin berperan sebagai semacam “katup pengaman.” Sadar atau tidak, pemerintahan kala itu cenderung bersifat permisif. Daripada masyarakat menyerang negara, lebih baik naluri agresi itu disalurkan dalam bentuk lain. Biar saja masyarakat menyerang anggota masyarakat lainnya, toh mereka hanya orang China. Lagi pula, mereka hanya merusak barang, bukan membunuh orang.

Tidak diketahui pasti apa yang sebenarnya terjadi sekarang. Masyarakat tidak lagi menjadikan China sebagai sasaran. Secara pasti, masyarakat sekarang lebih condong memiliki tujuan yang selektif. Mereka hanya akan menyikat gudang atau kendaraan yang menyimpan beras atau sembako, terlepas itu milik China, Jawa, Padang, Haji, atau koperasi. Mereka seakan tidak kenal takut lagi untuk menyerang, merusak, bahkan membakar kantor polisi. Mereka juga akan menyerang untuk membunuh warga lain yang sebenarnya beretnik dan beragama sama. Perbedaannya mungkin hanya sebatas gang atau kali yang memisahkan rumah mereka. Dan yang lebih mengerikan lagi, mereka juga tidak segan-segan untuk membunuh secara kejam dalam suatu modus sistematik dan berjangka waktu lama kepada sesama warga pribumi lainnya. Sedemikian sehingga lebih mengesankan perang internal ketimbang suatu tawuran atau perkelahian massal.

Sekali lagi, bukan kerusuhan yang meningkat di Indonesia sekarang ini, tetapi aksi kekerasan kolektif lainnya. Dan terlihat pula bahwa orientasi aksi kekerasan kolektif mengambil bentuk kekerasan masyarakat pada masyarakat (tawuran di antara unit-unit dalam masyarakat itu sendiri), ketimbang bentuk orientasi aksi lainnya. Ini adalah sesuatu yang sangat dominan di masa Oref (74%). Kondisi ini kontras di masa Orla di mana aksi kekerasan kolektif yang terjadi mengambil bentuk aksi negara (pemerintah pusat) kepada negara (daerah), atau sebaliknya. Kontras pula di masa Orba di mana yang dominan adalah bentuk kekerasan negara kepada masyarakat (22%).


B.      Bukan Disintegrasi Nasional, Tetapi Malintegrasi yang Mengarah Kepada Disintegrasi Sosial

Uraian di atas membentangkan kesimpulan bahwa di Indonesia sekarang ini sedang terjadi peningkatan aksi kekerasan kolektif. Pertanyaannya sekarang, apakah peningkatan tersebut memang merupakan indikasi dari adanya disintegrasi bangsa?

Jawabannya ada dua: teoritik dan empirik. Secara teori, integrasi sebenarnya adalah derajat kekuatan hubungan di antara unit-unit sosial. Integrasi nasional merupakan hubungan di antara negara dengan masyarakat. Konsep ini harus dibedakan dengan integrasi sosial yang merujuk pada hubungan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat itu sendiri. Suatu bangsa dikatakan mengalami disintegrasi nasional bila suatu masyarakat menolak kehadiran negara yang sedang berkuasa, dan memilih membentuk negara sendiri. Suatu bangsa dikatakan mengalami disintegrasi sosial bila kelompok-kelompok dalam masyarakat menolak kehadiran satu sama lain. Berdasarkan teori, jelas terlihat pada umumnya Indonesia belum pantas untuk dikualifikasikan sebagai berada di ambang disintegrasi nasional. Kemungkinan yang paling besar adalah Indonesia saat ini sedang berada dalam posisi malintegrasi sosial, yakni adanya gangguan hubungan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dan hingga batas tertentu, sedang mengarah kepada disintegrasi sosial.

Pada dasarnya disintegrasi nasional merujuk pada adanya gerakan-gerakan separatis yang bertujuan melepaskan diri dari yurisdiksi kekuasaan negara yang berlaku, dan membentuk suatu negara yang sama sekali baru. Seperti seorang suami/istri yang ingin melepaskan diri dari ikatan mereka karena ingin menikah lagi dengan pasangan baru. Orang bersangkutan berupaya memberikan pertanda-pertanda, baik samar maupun tegas. Dalam beberapa kasus, upaya tersebut berjalan penuh pengertian, halus, dan damai. Namun dalam beberapa kasus, upaya tersebut berjalan kacau, kasar, dan penuh kekerasan.

Dalam kedua spektrum tersebut, terentang upaya-upaya mulai dari kunjungan ke Istana penuh gelak tawa, konferensi pers sepihak, pengibaran bendera baru dan/atau pembakaran bendara lama, pembakaran kotak suara hingga penyerangan pos-pos militer. Namun demikian, perlu juga diamati dengan saksama kemungkinan adanya upaya-upaya merajuk penuh tipu daya, seperti seorang suami/istri yang berusaha menarik perhatian pasangannya.

Berbeda dengan disintegrasi sebelumnya, disintegrasi sosial merujuk pada penolakan di antara warga dalam masyarakat, tanpa keinginan untuk memisahkan diri apalagi membentuk negara baru. Pihak-pihak yang bertikai pada hakikatnya dapat menerima kehadiran negara, mereka hanya tidak dapat menerima kehadiran pihak lain sebagai bagian dari suatu masyarakat.

Kembali ke metafora yang sama, disintegrasi sosial adalah bagaikan suami-istri Katolik yang memandang suci ikatan pernikahan mereka dengan menghindarkan diri dari perceraian, walau mereka sudah tidak saling percaya lagi, tidak tinggal sekamar, dan tidak mau bertegur sapa. Dalam bentuk ekstrem, keinginan mereka hanya untuk saling menyakiti, hingga maut memisahkan mereka untuk selamanya.

Sedangkan malintegrasi merujuk pada adanya gangguan temporer di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Mereka jelas menerima kehadiran negara seperti juga kehadiran anggota masyarakat lainnya. Metaforanya kurang lebih seperti suami-istri yang malas bicara satu sama lain, atau sekalinya bertegur sapa mereka bertengkar bahkan berkelahi.

Secara kontekstual, pembedaan antara disintegrasi nasional, disintegrasi sosial, dan malintegrasi sosial dalam kasus Indonesia dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

No
Disintegrasi Nasional
Disintegrasi Sosial
Malintegrasi Sosial
1.
Ditujukan kepada orang, barang, dan simbol
Lebih ditujukan kepada orang
Lebih ditujukan kepada barang
2.
Waktu dan prosesnya berjalan sangat panjang
Waktu dan prosesnya cukup lama
Waktu dan prosesnya berlangsung cepat
3.
Aparat keamanan harus turun tangan, namun masalahnya tetap laten dan tak pernah selesai
Aparat keamanan harus turun tangan secara aktif
Masyarakat sendiri pada dasarnya mampu menyelesaikan masalah mereka
4.
Kasus konkret: Timor Timur, Irian Jaya, dan Aceh
Kasus konkret: Dayak-Madura di Kalimantan Barat
Kasus konkret: Tionghoa-Pribumi, tawuran antar kampung di Jawa


Temuan data empirik membenarkan dugaan bahwa saat ini Indonesia lebih banyak mengalami malintegrasi sosial ketimbang disintegrasi sosial ataupun disintegrasi nasional. Dari keseluruhan aksi kekerasan kolektif yang terjadi mulai tahun 1946 hingga pertengahan April 1999, kondisi malintegrasi sosial adalah yang paling menonjol (53%), dibandingkan disintegrasi sosial apalagi disintegrasi nasional. Penelusuran menurut periode menunjukkan, di masa Oref ada kecondongan disintegrasi sosial mengalami peningkatan dibandingkan masa Orba. Demikian pula malintegrasi.

Perbandingan secara internasional memberikan dukungan empirik tertentu. Secara umum disintegrasi nasional bukanlah suatu proses yang mudah (lihat Sujatmiko, 1999). India yang kehilangan sebagian wilayahnya yang kemudian berubah menjadi Pakistan, Uni Sovyet dan Yugoslavia – semuanya merupakan negara federal, mengalami problema etnik yang serius dalam konteks sejarah yang panjang, relatif tidak memiliki bahasa nasional, dan yang tak kurang penting, proses integrasi (aneksisasi) awalnya terjadi melalui peperangan. Kondisi ini, hingga beberapa derajat, tidak terjadi di Indonesia.

Jadi kesimpulannya, ancaman paling konkret yang sekarang dihadapi Indonesia bukanlah kondisi disintegrasi nasional, tetapi malintegrasi sosial yang mengarah kepada disintegrasi sosial. Tetapi perlu ditegaskan di sini, ancaman ini tetap cukup serius dan perlu dicari jalan pemecahannya.


C.      Bukan Revolusi Sosial, Tetapi Anarki

Apakah peningkatan aksi kekerasan kolektif yang terjadi selama ini di Indonesia merupakan indikasi ke arah revolusi sosial?

Revolusi sosial adalah pergantian drastis elit negara oleh suatu kelas baru (dalam masyarakat). Dalam upaya menyingkirkan elit lama yang merupakan kelas atas yang menguasai negara, kelas baru yang biasanya berada dalam posisi subordinat itu menyiapkan ideologi yang berbeda, serta membentuk organisasi untuk mencapai target dan menerapkan ideologi mereka.

Berdasarkan pengertian tersebut, identifikasi empirik menunjukkan saat ini orang-orang yang menguasai negara masih berasal dari kelas lama (Hanya Soeharto yang jatuh, rezimnya tetap bertahan). Beberapa yang tersingkir atau menyingkirkan diri sekarang sedang bersiap-siap untuk kembali berkuasa melalui wahana partai politik baru. Pada tatanan kepercayaan dasar, kendati Kesaktian Pancasila sudah mulai terkikis, namun praktis belum terlihat adanya ideologi alternatif yang menantang dan memperoleh dukungan publik.

Lebih jauh, kita juga belum melihat adanya organisasi yang menetapkan target dan mewujudkan ideologi tersebut. Kebanyakan organisasi yang ada sekarang adalah LSM atau parpol, suatu badan yang berusaha menetapkan tujuan dan menyiapkan cara-cara untuk mencapai tujuan itu secara sah atau dapat diterima oleh tatanan pranata yang berlaku.

Jadi, peningkatan aksi kekerasan kolektif yang sekarang terjadi bukan mengarah kepada revolusi sosial. Dengan merujuk pada tabel sebelumnya, terlihat ada kecenderungan aksi kekerasan kolektif yang terjadi di antara masyarakat sendiri dan kekerasan masyarakat pada negara. Ini berarti negara semakin kehilangan wibawa, atau tidak lagi memiliki supreme power.

Kondisi ini semakin menegaskan bahwa kondisi Indonesia mengarah kepada anarki, yakni ketiadaan pemerintah yang efektif atau suatu kekacauan politik (dan bukan anomi), yang bila tidak tertangani dengan baik akan mengarah kepada penolakan bahkan penghapusan negara sama sekali (anarchism). Dalam kasus ekstrem kanan, itu berarti supremasi individualisme, sedangkan dalam kasus ekstrem kiri, itu berarti supremasi kolektivisme.


D.     Usulan Terapi

Jadi, bagaimana mengatasi malintegrasi sosial yang menjurus ke arah disintegrasi sosial? Ada tiga pendekatan besar. Pada tataran pertama, kita menerapkan pendekatan kultural; pada tataran kedua, pendekatan hukum; dan pada tataran ketiga, pendekatan struktural.

Tataran pertama menekankan pada aspek kognitif. Upaya-upaya tersebut dapat mengambil bentuk penguatan ideologi negara secara terbuka, serta sosialisasi nilai-nilai yang menekankan pada penghormatan terhadap HAM dan toleransi. Ini adalah pendekatan jangka panjang.

Tataran kedua menekankan pada penegakan norma-norma hukum yang mengandung asas keadilan dan kepastian yang tinggi. Dalam semangat ini, mungkin dipandang perlu juga untuk menciptakan semacam hukum khusus yang mengatur hubungan antar etnik dan agama.

Sedangkan tataran ketiga menekankan pada aspek relasional, baik di tingkat negara, masyarakat, maupun di antara keduanya. Negara harus menerapkan good governance; memberikan otonomi kepada daerah dengan perimbangan keuangan yang lebih adil antara pusat-daerah; menerapkan pemerataan distribusi sumber daya pada satu pihak, dan pada pihak lain proteksi serta privilese kepada golongan bawah dan/atau minoritas tertentu; menjalankan demokratisasi; serta yang tak kurang penting adalah usaha untuk menjadikan birokrasi sebagai organisasi rasional dan membatasi efektivitas organisasi-organisasi kemasyarakatan yang berbasis primordialisme. Akhirnya, yang sekarang dirasakan paling mendesak adalah upaya untuk membatasi secara ketat kegiatan transmigrasi ‘spontan.’
















Kepustakaan

A. Made Tony Supriatna, ed. 1997. 1996: Tahun Kekerasan Potret Pelanggaran HAM di Indonesia. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

Dahrendorf, Ralf. 1959/1986. Konflik dan Konflik (Kelas) dalam Masyarakat Industri. a.b. Ali Mandan. Jakarta: Rajawali.

Djajadi, M. Iqbal. 1999. “Kerusuhan dan Reformasi” dalam Selo Soemardjan, Kisah Perjuangan Reformasi. Jakarta, Sinar Harapan.

Ecip, S. Sinansari. 1998.  Kronologi Situasi Penggulingan Soeharto. Bandung: Penerbit Mizan.

Ensiklopedi Indonesia. Suplemen 1986 & 1990. Edisi Khusus.

Hairus Salim HS & Andi Achdian. 1997. Amuk Banjarmasin. Jakarta: YLBHI.

Herlianto. 1997. Urbanisasi, Pembangunan, dan Kerusuhan Kota. Bandung: Alumni.

Horowitz, Donald. 1985. Ethnic Groups in Conflict. Berkeley: University California Press.

Human Rights Watch/Asia. 1998. Konflik Etnis di Kalimantan Barat. a.b. Herlan Artono. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi.

Istiharto, Andi & Ardiyah. 1999. Mengungkap Fakta & Data: Tragedi Berdarah Era Orde Baru. Jakarta: Pustaka Rifki.

Janowitz, Morris. 1979. “Collective Racial Violence: A Contemporary History” dalam Hugh Davis Graham & Ted Gurr, eds., Violence in America: Historical and Comparative Perspectives, rev. Beverly Hills, California: Sage.

Jary, David & Jary, Julia. 1991. The Harper Collins Dictionary of Sociology. New York: Harper Collins.

Luwarso, Lukas. 1997. Huru-Hara Rengasdengklok. Pengantar Ulil Abshar-Abdalla. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi.

Marx, Gary. 1972. “Issueless Riots” dalam James F. Short & Marvin E. Wolfgang, eds., Collective Violence. Chicago: Aldine-Atherton.

Mendel, William. “Combat in Cities: The LA Riots and Operation RIO,” http://leaf.wwwarmymil/finso

Mukmin, Hidayat. 1981. Pergolakan di Amerika Latin dalam Dasawarsa Ini. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.

Snow, David A. & Paulsen, Ronnelle. 1992. “Crowd and Riots” dalam Edgar F. Borgotta & Marie I. Borgotta, Encyclopediaof Sociology, p395-402). New York: Macmillan.

Siswoyo, P. Bambang. 1981. Huru-Hara Solo Semarang: Suatu Reportase. Bhakti Pertiwi, tanpa kota.

Soedirman, Basofi & Wignyosoebroto, Soetandyo, dkk. 1997. Bonek: Berani Karena Bersama. Surabaya: Hipotesa.

Sujatmiko, Iwan G. 1992. “The Destruction of the Indonesian Communist Party (PKI): a Comparative Analysis of East Java and Bali. A Doctoral Thesis in Harvard University.

Sujatmiko, Iwan G. 1997. “Kerusuhan Sosial di Indonesia.” Belum dipublikasikan.

Soemardjan, Selo, dkk. 1963. Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi. Bandung: Eresco.

Ngadisah. 1997. “Implementasi Perencanaan Sosial dalam Perencanaan Pembangunan Proyek Fisik dan Munculnya Aksi Sosial.” Proposal Penelitian Program S-3 Fakultas Pasca Sarjana. Jakarta.

Pusat Studi dan Pengembangan Informasi (PSPI). 1998. Tanjung Priok Berdarah: Tanggung Jawab Siapa? Kumpulan Fakta dan Data. Jakarta: Gema Insani.

Ricklefs, M.C. 1992. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Tim Relawan untuk Kemanusiaan. 1998. “Data Korban Rangkaian Tragedi Trisakti – Amuk Massa Jakarta Mei 1998. Data di-update 1 Juni 1998.

United Nations. 1994. World Social Situation in the 1990s. New York: United Nations Publication.


M. Iqbal Djajadi – Staf Pengajar Jurusan Sosiologi FISIP-UI. Makalah ini disajikan untuk Simposium Kepedulian UI terhadap Integrasi Bangsa Indonesia. Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia, Rabu 21 April 1999. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya atas dukungan moral dan inspirasi intelektual dari Iwan Gardono Sujatmiko. Penulis juga ingin memberikan ucapan terima kasih atas masukan, komentar cerdas, dan bantuan dari Sardjono Jatiman, M. Hasyim, Erwin Indrajaya. Secara khusus penulis berterima kasih atas bantuan teknis dari Budi Gonjes, Rahmah, Rizal Hikmat, serta tentu saja Cendrawati dan Demi Tristan Djajadi. Namun seperti biasa, penulis sepenuhnya yang bertanggung jawab atas segala isi makalah ini.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar