Paper yang
dipresentasikan dalam Dialog Budaya “Masa Lalu, Masa Kini dan Masa Depan
Kebudayaan Dayak: Refleksi
tentang Proses dan Tantangan Transformasi Kebudayaan Dayak” Senin, 21 Mei
2007, Kantor BPSNT, Pontianak Kalimantan Barat
M. Iqbal Djajadi
FISIP,
Universitas Indonesia
Di pagi buta tanggal 25
Desember 2006, saya bercakap-cakap dengan seorang lelaki berkulit gelap di atas
dek sebuah kapal yang sedang berlabuh sesaat di Muara Kapuas sebelum bergerak menuju Pelabuhan Dwikora
Pontianak. Setelah berbasa-basi, lelaki itu lalu mengenalkan dirinya sebagai
Daeng (bukan nama sebenarnya) dan memberikan pernyataan yang tidak terduga “Saya orang DAYAK.”
Karena melihat paras muka
saya yang mungkin pucat dan menduga pendengaran telah menurun drastik setelah
diombang-ambing ombak besar selama 2 malam, ia menaikkan volume suaranya dengan
mengatakan sekali lagi bahwa ia benar-benar orang Dayak. Mamak dan bapaknya
memang orang Bugis seperti juga datuknya, bangsawan asal Sulawesi Selatan, dan
karena itu ia seharusnya adalah orang Bugis. Pada 1999, ia menikah dengan
seorang gadis Kanayatn di Sungai Ambawang, meninggalkan Islam dan masuk
Katolik, melibatkan diri dalam kegiatan adat, dan memiliki beberapa anak yang
juga beragama Katolik. Ia fasih berbicara dalam bahasa Kanayatn, dan karenanya
sejak saat itulah ia menganggap dirinya sebagai orang Dayak. Tanpa diminta ia
kemudian mengeluarkan KTP dan menyerahkannya kepada saya. Saya melihat ada nama
baptis mendahuli nama aslinya dan agamanya Katolik.
Ini adalah pengalaman pribadi
yang paling menarik sejak saya berada di bumi seribu sungai pada 1998. Saya
belum pernah bertemu dengan orang semacam Daeng. Apakah ia benar-benar orang
Dayak? Berdasarkan kriteria yang selama ini umum digunakan seharusnya Daeng
memang benar orang Dayak. Misalnya saja, berdasarkan lokasi kediaman, ia
dilahirkan, dibesarkan dan tinggal di pedalaman, berdasarkan bahasa, ia fasih
berdialek lokal, dan berdasarkan agama, ia menganut keyakinan yang selama ini
merupakan agama mayoritas yang sekarang sekaligus dianggap merupakan kriteria
penting Kedayakan, dan ia juga ikut terlibat dalam berbagai kegiatan
tradisional suku istri & mertuanya.
Tetapi saat itu saya tetap merasa ada
yang kurang sehingga saya tetap skeptis dengan Kedayakannya. Pada akhir 1999,
sebagai ungkapan protes terhadap komposisi anggota Utusan Daerah Kalimantan
Barat di MPR, seorang aktivis Dayak terkemuka secara tidak langsung menyebutkan
satu kriteria lagi: Kedayakan didefinisikan berdasarkan pengakuan pribadi orang
yang bersangkutan –suatu kriteria yang uniknya kembali dapat dipenuhi oleh
lelaki Bugis tadi.
Pertanyaannya sekarang, apakah orang Dayak dapat
menerimanya, menganggap ia memang sebagai anggota kelompoknya? Berdasarkan
pengakuan Daeng sendiri, setidaknya keluarga istrinya dan orang kampungnya,
semua sudah menganggap ia sebagai “orang sendiri,” bahkan, uniknya, keluarganya
sendiri juga sudah menganggap dia sebagai orang Dayak, bukan lagi Bugis.
Beberapa bulan lagi Kalimantan
Barat segera melangsungkan pemilihan Gubernur baru. Berbeda dengan pemilihan
gubernur sebelumnya, rakyat kali ini akan melakukan pemilihan langsung atas
pimpinan daerah mereka. Siapa pun yang nanti mengendarai mobil dinas berplat
KB-1 adalah orang yang meraih suara terbanyak karena dianggap rakyat sebagai
pihak yang paling potensial membawa aspirasi dan kepentingan mereka.
Ada banyak
definisi tentang apa yang mungkin disebut sebagai aspirasi dan kepentingan
rakyat, namun dengan bercermin pada perkembangan sosial-politik di Kalbar dalam
satu dasawarsa terakhir ini, faktor etnisitas, hingga beberapa derajat, jelas
memainkan peranan yang cukup penting. Dan dari sekian banyak kelompok etnik
yang tinggal di provinsi ini ada dua kelompok yang menonjol: Dayak dan Melayu.
Berdasarkan data statistik yang sering diungkapkan publik disini, proporsi
jumlah Dayak 41% sedangkan Melayu 39%. Dengan komposisi ini, secara statistik,
sudah seharusnya bila orang Dayak yang nanti akan terpilih sebagai gubernur
baru, apalagi bila dipertimbangkan fakta bahwa sudah lama orang-orang Dayak
mengidamkan daerah mereka kembali dipimpin oleh putra daerah yang berasal dari
kelompok mereka sendiri.
Setelah Oevaang Oeray yang menjadi gubernur pada
1960-1966, wilayah ini praktis selalu dipimpin oleh orang-orang dari kelompok
etnik pendatang yang umumnya berprofesi militer. Pada 2002 lalu, Melayu telah
memperoleh kesempatan menjadi gubernur, wajar bila sekarang Dayak tampil lagi.
Dan optimisme ini mungkin semakin membumbung mengingat dalam skala mikro, Dayak
telah membuktikan mampu mentransformasikan keinginan menjadi kenyataan.
Sejumlah Dayak sekarang telah menduduki jabatan bupati di beberapa kabupaten
pedalaman.
Tetapi realitas statistik dan
keinginan kuat tentunya belum cukup menjamin bahwa Dayak akan kembali terpilih
sebagai orang nomor satu. Ada realitas lainnya yang menentukan, salah satunya
adalah realitas sosio-kultural; yakni, suatu fakta yang bertalian tentang
identifikasi diri di kalangan orang Dayak sendiri, dan yang tidak kalah
pentingnya adalah identifikasi diri di kelompok-kelompok etnik lainnya.
Kemenangan Dayak di berbagai kabupaten, dari satu segi, memang wajar mengingat
mereka menang di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas orang Dayak. Hal itu jelas
berbeda dengan situasi provinsi yang terdiri dari banyak kabupaten, dan di
beberapa kabupaten lain di mana Melayu merupakan mayoritas, terbukti justru
anggota kelompok yang disebut terakhir itulah yang terpilih menjadi bupati.
Konsekuensinya, menurut realitas sosio-kultural, kemenangan Dayak sebagai
gubernur ditentukan oleh seberapa jauh orang Dayak menganggap dirinya sebagai
kelompok etnik yang sesungguhnya, dan seberapa jauh orang-orang yang secara
normatif-kolektif merupakan anggota kelompok etnik lain namun secara
empirik-individual justru berorientasi kepada Dayak.
Dengan kata lain, Dayak
dapat menjadi gubernur bila semua anggota kelompok itu dapat bersatu dalam
kesatuan kolektif, memilih hanya satu
calon dari kelompok mereka. Karena dengan cara itulah Dayak dapat memperoleh
suara terbanyak. Dan perolehan suara itu tentunya menjadi semakin besar lagi,
bila ada orang-orang yang melakukan konversi etnik sebagaimana ditunjukkan
dalam kasus Daeng di atas, atau identitasnya memang tidak berubah tapi setidaknya
ia bersimpati kepada Dayak.
Kita tidak mengetahui secara
statistik berapa banyak jumlah orang-orang semacam Daeng. Namun secara
substantif, kita bersama dapat merasakan bahwa orang-orang semacam itu memang
ada dan mungkin terus bertambah. Di masa lampau, Dayak adalah penduduk
mayoritas absolut, namun secara perlahan dalam periode sekitar satu abad,
jumlah & proporsinya terus berkurang karena terjadi konversi etnik dari
Dayak menjadi Melayu yang di sini lazim disebut sebagai Turun Melayu. Karena tekanan sosial-politik, sejumlah orang Dayak tertentu dalam berbagai
kesempatan terpaksa mengaku sebagai Melayu, atau identitas etnik lainnya.
Namun
setidaknya dalam satu dasawarsa terakhir ini, kita bersama menyaksikan semacam
kebangkitan etnik. Di mana-mana, di pedalaman, di pesisir, pedesaan dan
perkotaan, bahkan di Jawa, semakin banyak orang-orang yang dengan lantang
bahkan bangga mengaku sebagai “aku orang Dayak.” Menariknya, orang-orang yang
dulu mengaku sebagai Melayu atau etnik lainnya, sekarang pun terdorong mengakui
Kedayakannya “Aku orang Dayak walau Islam.” Jauh lebih menarik lagi, bahkan
orang-orang yang notabene bukan berasal dari Dayak sekali pun, sekarang
mengaku, beberapa di antaranya sekedar mengaku-aku, sebagai “aku orang Dayak.”
Tidak terlalu berlebihan bila sekarang sebenarnya kita mungkin sedang
menyaksikan suatu proses konversi etnik yang terbalik: Naik Dayak.
Bila situasinya memang
demikian, maka dalam beberapa bulan ke depan Dayak boleh bergembira karena
setelah menunggu sekitar 40 tahun, kini anggota mereka kembali ada yang menjadi
gubernur. Namun sebagaimana akan ditunjukkan paper singkat berikut, realitas
sosio-kultural memiliki mekanisme yang cukup kompleks, di samping itu masih ada
realitas sosial-politik yang juga memiliki mekanisme tersendiri. Dan secara
bersama-sama kedua realitas itu tentu saja berpotensi menggagalkan harapan
politik yang indah tersebut. Hal itu bukan sekedar disebabkan oleh ulah
kelompok lain, tetapi lebih oleh karena proses wajar di kalangan Dayak sendiri.
Pengertian
Kelompok Etnik dan Identitas
Ada banyak pengertian tentang
kelompok etnik, namun yang menarik hampir semua definisi itu pada umumnya
menekankan pada aspek homogenitas dan solidaritas. Kelompok etnik merujuk kepada sekumpulan individu yang saling berinteraksi
pada satu wilayah tertentu yang dalam jangka panjang kemudian menghasilkan
karakteristik yang sama mulai dari bahasa, sistem ekonomi, sosial, politik
hingga kultur Namun perlu ditekankan
bahwa definisi semacam ini baru merupakan suatu penilaian sepihak, satu
pandangan yang biasanya dilakukan oleh otoritas ilmiah atas subyek studinya.
Ilmuwan atau otoritas lainnya dapat menyimpulkan bahwa sejumlah orang adalah
kelompok etnik, namun sepanjang orang-orang yang bersangkutan tidak mengetahui
dan/atau tidak merasa mereka merupakan bagian dari sesuatu yang lebih besar,
maka kelompok etnik itu secara empirik sebenarnya belum ada. Istilah itu hanya merujuk kepada kategori
abstrak, kelompok nominal, hanya di atas
kertas, belum merupakan unit sosial yang ril.
Kelompok etnik baru lahir dan
hadir secara nyata ketika orang-orang itu mulai mengembangkan kesadaran etnik, yakni pengetahuan
bersama yang dimiliki oleh sejumlah orang bahwa mereka semua, terlepas dari
perbedaan-perbedaan kecil pada level individual sebenarnya memiliki kesamaan
pada level kolektif dan saling bertalian erat; sedemikian sehingga membentuk
suatu kelompok yang berbeda dan/atau dapat dibedakan dengan kelompok lainnya.
Dan manifestasi kesadaran inilah yang kemudian ditampilkan pada identitas, yakni satu label, nama distingtif yang merupakan abstraksi dari
eksistensi suatu kelompok dan digunakan individu sebagai lambang
keanggotaannya.
Walau begitu, menyadari dan mengetahui identitas tidak berarti
individu bersangkutan dengan serta merta mau mengakui secara terus terang bahwa
ia menyandang identitas kolektif tertentu. Masih ada beberapa tahap lagi untuk
mencapai kapasitas itu. Kehadiran kelompok etnik semakin menjadi nyata ketika
para anggotanya mengembangkan solidaritas,
yakni kapasitas untuk bertindak secara kolektif dalam rangka mencapai tujuan
bersama.
Dalam konteks inilah suatu kelompok kemudian memiliki rekognisi, yakni suatu pengakuan
sekaligus penghargaan yang diberikan oleh kelompok-kelompok lain terhadap suatu
kelompok tertentu bahwa mereka semua adalah unit yang setara sebagaimana dalam
ekspresi “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah.” Baru dalam situasi inilah, Individu secara
terbuka mengaku bahwa ia, terlepas dari kepribadiannya yang unik, sebenarnya
adalah anggota dari satu kelompok tertentu, suatu sikap yang kemudian
merangsang individu lain untuk menyatakan hal yang sama sedemikian sehingga
keduanya bukan saja mengetahui asal kelompok masing-masing, melainkan juga
mengembangkan pedoman bertindak yang paling sesuai untuk berinteraksi.
Ada asumsi pokok yang secara
implisit melekat dalam definisi semacam di atas: Bahwa pada umumnya kelompok
etnik itu terdiri dari individu-individu yang jumlahnya sedikit dan menempati
satu lokasi geografis yang terbatas. Karena hanya dengan cara itulah mereka
dapat saling mengenal secara akrab dan saling mempengaruhi secara aktif;
sedemikian sehingga pada waktunya nanti menghasilkan kelompok yang solid.
Mengingat asumsi itu, bukan hal yang mengherankan bila ada sejumlah ahli ilmu
sosial yang menekankan pemikiran bahwa etnisitas sebenarnya hanya perluasan
yang sedikit saja kalau tidak dapat dikatakan sama dengan kelompok primer
lainnya seperti keluarga, baik inti mau pun luas. Dengan kata lain, kelompok
etnik adalah sekumpulan individu yang masih ada hubungan darah satu sama
lainnya.
Terlepas dari definisi umum di
atas, anehnya, para ilmuwan sosial selama ini cenderung sangat longgar ketika
mengaplikasi konsep itu ke lapangan empirik. Dalam rentang waktu yang sangat panjang dan wilayah yang sangat luas, para
ahli dengan sangat mudah mengatakan bahwa sejumlah orang yang tinggal di satu
daerah adalah kelompok etnik sedemikian sehingga terkesan bahwa dunia pada
umumnya hanya terdiri dari sedikit kelompok etnik. Pengertian kelompok etnik
secara diam-diam melebar menjadi bangsa, dan kehadiran bangsa dikaitkan secara
erat dengan negara (nation-state)
sedemikian sehingga setiap kelompok etnik memiliki jumlah anggota yang sangat
besar, sangat bervariasi, dan menempati wilayah geografis yang sangat
luas.
Dari sudut pandang sosiologis,
dengan demikian, gambaran kelompok etnik berubah dari yang bersifat homogen
menjadi heterogen, dan dari solidaritas menjadi integrasi. Konsep terakhir ini merujuk kepada ikatan sosial yang
bukan lagi bersumber pada aspek emosional berdasarkan kesamaan dimana
individu-individu berperan secara langsung, tetapi pada rasionalitas
berdasarkan perbedaan & ketergantungan di mana suatu organisasi perwakilan
semacam negara memiliki peran besar.
Sebagai akibatnya, asumsi
pokoknya tentu saja juga mengalami perubahan, kelompok etnik bukan lagi
merupakan kelompok primer, tetapi sekunder, tersier bahkan lebih tinggi lagi.
Selama ini kita cenderung memahamkan bahwa masyarakat terdiri dari
kelompok-kelompok etnik, dan perbedaan yang menyolok antara masyarakat dan
kelompok etnik adalah fakta bahwa unit sosial yang pertama disebut itu
merupakan unit yang paling abstrak. Bila kita tetap menerima kelompok etnik
dalam pengertian semacam itu, sama saja dengan mengatakan bahwa kedua unit itu
adalah sama persis, identik. Dan dalam pemahaman seperti itu, jadi,
individu-individu yang menjadi anggota kelompok etnik tidak lagi saling
berinteraksi tatap muka, bahkan tidak mengenal satu sama lain.
Ben Anderson
(1983/1991) menyebut hal itu sebagai imagined
community (komunitas yang dibayangkan, dianggap ada). Dengan konsep itu ia
hendak menegaskan bahwa apa yang banyak dipahamkan sebagai kelompok etnik atau
bangsa itu sebenarnya bukan merujuk kepada kenyataan (das sein), tetapi hanya harapan atau cita-cita orang-orang tertentu
(das sollen).
Dengan memanfaatkan
ikatan-ikatan yang masih hidup di masyarakat – sesuatu yang Hobsbawm (1994)
sebut sebagai proto nasional—sejumlah orang, biasanya tokoh kritis pada
masanya, merumuskan visi bahwa orang-orang yang hidup di satu wilayah geografis
tertentu melalui perjalanan waktu yang panjang telah mengembangkan
karakteristik yang sama dan ikatan-ikatan yang kuat berdasarkan aspek-aspek
penting tertentu; sedemikian sehingga misi mereka adalah merancang suatu proyek
untuk membangun, merealisasikan komunitas bayangan itu menjadi kenyataan.
Namun apa pun bentuk
kelompoknya, primer atau tersier, nyata atau impian, mereka semua tunduk pada
mekanisme berikut. Guna mempertahankan eksistensinya di suatu lingkungan,
setiap kelompok etnik, seperti juga kelompok-kelompok lainnya, senantiasa
mengusahakan demarkasi; yakni, suatu sistem yang berusaha melaksanakan
mekanisme seleksi; ia memang memerlukan input, namun tidak semua input boleh
masuk, input yang negatif atau membahayakan jelas harus ditolak, karena hanya
dengan cara itulah ia dapat mengolah input menjadi output yang diperlukan
lingkungan; sedemikian sehingga dapat memberikan umpan balik berupa input
selanjutnya.
Suatu kelompok harus menjaga keseimbangan antara input-output.
Namun dalam kasus tertentu, ada kalanya ia harus mengembangkan diri, membiarkan
input lebih banyak, dan dalam kasus lain, ia justru lebih banyak mengeluarkan
output sebelum ia kembali ke posisi keseimbangan semula atau mungkin
keseimbangan baru yang lebih baik.
Dalam kelompok etnik yang
sesungguhnya, prinsip mekanisme serupa ditampilkan dalam bentuk proses inklusi
dan ekslusi yang salah satunya bertalian dengan definisi keanggotaan suatu
kelompok. Tidak semua individu dapat menjadi anggota, hanya individu-individu
yang memenuhi kriteria tertentu, namun kadang-kadang kelompok etnik memang
harus mengembangkan diri dengan memasukkan individu-individu yang lebih besar
karena dengan cara itu ia dapat mencapai posisi tawar yang lebih baik &
menguntungkan.
Dalam situasi itu, kelompok etnik dapat menjadi inklusif, semua
seakan dapat masuk, sebaliknya dapat juga terjadi situasi ekslusif, semua
seakan tidak dapat masuk karena kelompok memilih untuk mempertahankan jumlah
anggota dengan berbagai alasan. Kedua situasi itu jelas ada risikonya,
inklusifitas condong menghasilkan masalah besarnya gaya sentrifugal (dorongan
ke luar), sedangkan ekslusifitas menghasilkan masalah besarnya gaya sentripetal
(dorongan ke dalam).
Di situasi pertama sebagai
akibat besarnya anggota, individu-individu menghadapi anomie dan kehilangan
solidaritas; sedemikian sehingga mereka terdorong untuk melakukan disetnisisasi,
yakni suatu proses pembentukan dan/atau kembalinya suatu kelompok besar
(payung) ke dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil.
Di situasi kedua, sebagai
akibat tidak bertambahnya anggota, individu-individu menghadapi proses
uniformisasi & solidaritas yang berlebihan; sedemikian sehingga mereka
terdorong melakukan etnisisasi, yakni suatu proses pembentukan kelompok
etnik yang cenderung semakin homogen & solid.
Melalui perjalanan waktu, satu saat mungkin
saja kelompok etnik yang mengalami masalah dialektika ekstrim itu kemudian
berusaha mencapai keseimbangan baru, satu siituasi di mana individu-individu kemudian
terdorong melakukan reetnisisasi, yakni suatu proses rekonstruksi,
membongkar kelompok etnik yang lama dan membentuk kelompok etnik yang sama
sekali baru.
Perkembangan Etnisitas & Identitas Dayak
King (1993), seorang antropolog
terkemuka mengatakan bahwa Dayak merupakan satu istilah yang baru dikenal oleh
Belanda pada pertengahan abad ke-18, namun penelaahan Henri Roth (1968)
menunjukkan bahwa hingga akhir abad 18, belum ada satu pun literatur yang
menyebut penduduk Pulau Borneo (nama pulau itu sebelum kelahiran Indonesia)
adalah Dayak. Tulisan yang dibuat Forster (1783) malah menyebut mereka sebagai Borneo
Bejayos. Literatur lainnya menyebut Borneer (Valentijn, 1726). Ada
literatur yang menyatakan bahwa seorang Belanda bernama August Kaderland adalah
orang yang pertama kali menyebut istilah Dayak pada 1895 (Depdikbud 1995/96
seperti dikutip Maunati 2005).
Terlepas dari berbagai perbedaan pendapat itu,
satu hal yang tampaknya disepakati oleh berbagai literatur tersebut bahwa Dayak
kendati mungkin memang berasal dari kata yang ada dalam bahasa lokal, namun
bukan merujuk kepada nama untuk kumpulan individu. Dayak kemungkinan adalah
satu istilah yang diterapkan sepenuhnya oleh pihak luar, terutama Belanda, yang
secara keliru menganggap kata itu sebagai nama kolektif seluruh penduduk dengan
ciri tertentu sebagaimana juga mereka secara keliru menyebut pulau terbesar
kedua di dunia ini sebagai Borneo, yang kemungkinan berasal dari kata Burni,
nama sebuah kerajaan ujung di sebelah utara.
Singkatnya, sebagai konsep
sekali pun, Dayak adalah satu istilah yang baru, tidak diketahui bahkan mungkin
asing bagi orang lokal sekali pun. Dalam jangka waktu yang panjang, penduduk
lokal sendiri hidup dalam suatu dunia yang bermakna menurut kelompok bahasa
atau dialek masing-masing, ikatan keluarga dan adat-istiadat yang distingtif.
Ada ratusan kelompok, setiap kelompok memiliki nama sendiri, biasanya menurut
nama lokasi dan/atau sungai, dengan jumlah masing-masing anggota yang relatif
terbatas. Mereka adalah misalnya, sekadar menyebut contoh, Iban, Taman, Kayan,
Kantuk, Seberuang, Tayan, Ribun, Kanayatn, Bekati, Jelai, Pesaguan, dan
sebagainya. Dan kalau pun para anggota berbagai kelompok itu ingin menggunakan
identitas kolektif, mereka memiliki sebutan sendiri, salah satunya adalah
misalnya, “orang Darat” atau “orang Hulu.”
Istilah Dayak tampaknya hanya
populer di kalangan orang Barat dan sejumlah orang lokal tertentu yang memiliki
akses untuk berhubungan dengan orang Barat dan pemerintahan kolonial. Di
kalangan penduduk lokal, istilah Dayak kemungkinan diperoleh dan berkembang di
Kesultanan Pontianak untuk kemudian menyebar ke kesultanan dan panembahan di
berbagai daerah lainnya di suatu wilayah yang waktu itu oleh Belanda disebut
sebagai Keresidenan Borneo Barat. Tetapi karena wujudnya dalam bentuk dokumen
hukum, kemungkinan besar istilah itu tetap hanya diketahui oleh kalangan yang
sangat terbatas.
Pemerintah Hindia Belanda sendiri secara tidak langsung mulai
mensosialisasikan istilah itu ketika para penjabatnya mengumpulkan sejumlah
tokoh lokal di Tumbang Anoi pada 1894 yang dulu masuk ke Keresidenan Borneo
Timur. Namun karena kondisi prasarana dan sarana transportasi masa itu, di
samping kondisi finansial pemerintah Hindia Belanda saat itu, membuatnya tidak
mungkin mengundang seluruh tokoh secara representatif, karena itu sosialisasi
masih juga tetap terbatas, apalagi para tokoh yang diundang itu sendiri
mengalami kesulitan yang sama, kalau tidak dapat dikatakan tidak ada dorongan
sama sekali.
Sosialisasi istilah Dayak
diperkirakan semakin meluas ketika para misionaris mulai menyebarkan Katolik
pada awal abad 20. Dengan membuka gereja, sekolah dan rumah sakit, secara
perlahan para pastur dan suster mulai mengintroduksikan kata yang dimaksudkan
sebagai nama kolektif itu kepada sejumlah penduduk lokal yang mereka layani.
Namun tidak ada bukti yang kuat bahwa upaya sosialisasi itu mengalami
keberhasilan. Pihak gereja Katolik sendiri dalam satu dokumentasinya mengatakan
bahwa pada tahun 1930-an, banyak orang yang mereka sebut Dayak lebih menyukai
mengaku atau mengaku-aku sebagai “orang Katolik.”
Sebagaimana juga pencitraan
yang terdapat pada literatur Barat pada abad 19-an, sejumlah penduduk lokal
mulai mengasosiasikan Dayak dengan sesuatu yang menggambarkan keterbelakangan,
kebiadaban, kekotoran dan ciri-ciri negatif lainnya. Walau demikian, patut
diperhatikan secara khusus bahwa istilah itu sebenarnya tidak selalu merujuk
kepada identifikasi suatu kelompok tertentu secara konkret, di antara para
individu yang berasal dari berbagai kelompok lain, termasuk kelompok itu sendiri,
juga sering menggunakan kata itu sebagai satu umpatan atau seloroh dengan
sesamanya: “Dayak kau,” “Pantaslah Dayak,” dan sebagainya.
Upaya sosialisasi kata Dayak
mulai mendekati momentumnya ketika di bawah pengaruh seorang pastur Jesuit
Jawa, sejumlah tokoh yang dimotori oleh Palaunsoeka kemudian mendirikan suatu
organisasi bernama Daya in Action yang kemudian berubah menjadi Partai
Persatoean Daya yang anehnya hanya disingkat menjadi dua huruf, PD, pada 1947. Hal ini, bersama berdirinya Kantor Urusan Daya oleh NICA pada 1946 dan
pemakaian satu buku pelajaran di sekolah beberapa tahun sebelumnya, merupakan
suatu perkembangan yang sangat signifikan. Pada masa itulah kata Dayak mulai
diperkenalkan dalam media tulisan formal
yang menjangkau perhatian publik, bukan lagi sekadar bahasa lisan secara
informal sebagaimana awal abad 20.
Menarik juga memperhatikan bagaima pada
periode yang sama pemerintahan DIKB di bawah pimpinan Sultan Hamid II
menyediakan berbagai kursus yang memungkinkan orang-orang dari pedalaman dapat
menjadi pegawai negeri, polisi, dan tentara. Melalui berbagai kampanye yang
dilakukan PD pada awal 1950-an, kata Dayak semakin populer, dan sebagian berkat
itu pula yang mungkin membuat PD memperoleh suara terbesar kedua pada Pemilu
1955 dan suara besar pertama pada Pemilu
1958, yang dua tahun kemudian menempatkan Oevaang Oeray sebagai
Gubernur/KDH pertama yang berasal dari penduduk lokal; dan diikuti oleh banyak
orang-orang yang menduduki jabatan birokrasi, mulai dari Camat, bupati hingga
jabatan di legislatif yang setara dengan posisi wakil gubernur di masa
sekarang.
Walau demikian adalah ada
beberapa detail yang perlu secara saksama kita amati. Tulisan formal yang dibuat
adalah DAYA (tanpa K), bukan DAYAK. Ini bukan sekadar masalah semantik, tetapi
lebih merujuk kepada sikap belum menerima sepenuhnya dari para anggota suatu
kelompok. Daya adalah sesuatu yang berasosiasi dengan kekuatan, sesuatu yang
positif, beda dengan Dayak, yang membuka peluang berbagai asosiasi negatif.
Lebih jauh, para anggota sendiri banyak yang tidak mau disebut sebagai orang
Daya, tetapi “orang PD.” Ini sekali lagi
bukan sekadar masalah semantik, bukan sekadar karena Daya masih mudah
dipelesetkan menjadi Dayak, melainkan juga fakta bahwa baik kata Daya mau pun
Dayak mungkin memang masih belum populer kalau tidak dapat dikatakan tetap
asing. PD popularitasnya lebih tinggi
dan yang mungkin paling penting, singkatan yang sebenarnya kurang lengkap itu
berasosiasi dengan makna yang membanggakan, membuat orang yang membuat pengakuan
memperoleh respek dari pihak lainnya.
Dan yang menarik, fakta bahwa mereka yang
menjadi anggota dan/atau pengurus PD bukan hanya yang berasal dari apa yang
sekarang disebut orang Dayak semata, melainkan juga berbagai anggota kelompok
etnik lain yang sekarang biasa disebut sebagai Cina atau Tionghoa, dan Melayu.
Mereka jelas tidak mau disebut orang Daya, atau Dayak, beberapa orang bahkan
marah dan memukul lawan bicaranya bila mengatakan hal itu, sebaliknya senang
bila orang mengatakan “kau orang PD.”
Pembekuan PD berdasarkan
peraturan pemerintah pada awal 1960-an mungkin berpengaruh pada menghilangnya
“aku orang PD.” Peristiwa Demonstrasi yang diikuti Operasi Penumpasan
PGRS/Paraku pada 1967 hingga awal 1970-an memang sempat membuat kata Dayak
mengemuka secara publik, namun secara faktual nampaknya tidak pernah menjadi
acuan bagi identifikasi diri setiap individu.
Alih-alih munculnya identitas
Dayak, yang menonjol adalah munculnya identitas Menyuke. Hal yang sama juga
terjadi ketika pemerintah pusat, dengan berbagai alasan, mulai menggunakan dan
memanfaatkan konsep Dayak secara luas. Demi kepentingan kooptasi pemerintah
memfasilitasi pembentukan lembaga Kedayakan seperti Dewan Adat Dayak (DAD) pada
akhir 1980-an, dan Majelis Adat Dayak (MAD) pada awal 1990-an; demi kepentingan
pariwisata & politik kebudayaan, pemerintah membangun rumah betang di
Pontianak, membuat rumah adat di TMII Jakarta, mengkordinasi acara Gawai,
mempublikasi sejumlah buku yang mempromosikan Kedayakan, namun secara umum tampaknya belum cukup membuat orang-orang yang menjadi sasaran kebijakan itu
menyadari & mengakui identitas etnik mereka.
Situasi ini mungkin erat
kaitannya dengan fakta lain bahwa, pada saat pemerintah sedang mempromosikan
Kedayakan, dalam periode yang sama pemerintah juga sebenarnya sedang melakukan
pengikisan infrastruktur Kedayakan pada banyak aspek. Pemerintah menghancurkan
hutan yang menjadi lingkungan hidup orang-orang lokal, menghancurkan organisasi
sosial-politik tradisional, tidak mengakui hukum adat, membatasi saluran
politik, dan satu kelompok penduduk lokal yang mendominasi birokrasi pemerintah
daerah menghalangi akses sejumlah penduduk untuk bersekolah dan menjadi pegawai
negeri sipil.
Situasi mulai mengalami
perubahan pada 1980-an. Dengan semakin banyak penduduk lokal yang berpendidikan,
menjadi guru, dosen dan berbagai profesi lainnya, berkembangnya umat Katolik
& Protestan, telah menyebabkan kemunculan berbagai orang-orang kritis.
Dalam konteks ini, menarik juga menyatat perkembangan baru di Untan yang memungkinkan
banyaknya penduduk lokal masuk baik sebagai mahasiswa mau pun dosen Dari
universitas ini sejumlah orang kritis tertentu dengan berkoloborasi dengan
pihak luar, mendirikan Pancur Kasih yang pada gilirannya melahirkan sebuah
organisasi bernama IDRD yang kemudian berubah menjadi Insititut Dayakologi.
Melalui berbagai pertemuan dan terutama terbitnya majalah bulanan Kalimantan
Review (KR), di samping bermunculannya berbagai tokoh dan organisasi lain yang
sejenis, jumlah orang-orang kritis lokal menjadi semakin besar. Dan yang
menarik, berkembangnya orang kritis bukan hanya terjadi di kalangan penduduk
lokal, melainkan juga di kalangan luar, baik dari wilayah Indonesia lainnya
seperti Jawa, mau pun luar negeri. Dengan berbagai fasilitasi material, finansial
dan intelektual, para simpatisan dari luar bersama penduduk lokal melakukan
berbagai kegiatan penting, salah satu di antaranya adalah penyelenggaraannya
satu seminar nasional di Pontianak pada 1992. Dalam pertemuan yang diekspos
oleh media massa nasional itu, para peserta mengeluarkan kesepakatan untuk
menerima Dayak, bukan Daya, sebagai nama kelompok etnik bagi penduduk lokal
yang tinggal di Kalimantan.
Walau demikian, perlu beberapa
tahun lagi, yang membuat orang-orang lokal mulai meninggalkan identitas
kelompok primer mereka. Titik kulminasinya terjadi sejak 1997, saat orang-orang
Dayak berhasil menunjukkan solidaritasnya kepada negara dan kelompok etnik
pendatang. Tidak lama setelah itu, orang-orang lokal dalam jumlah besar secara
terbuka menunjukkan “aku orang Dayak” kepada berbagai pihak dalam masyarakat
dan juga negara. Kekuatan pengakuan diri itu semakin menguat seiring dengan
tumbangnya Orde Baru dan munculnya kebijakan Otonomi Dati II .
Satu demi satu
orang Dayak berhasil terpilih menjadi bupati & wakil bupati, yang kemudian
diikuti oleh semakin banyaknya orang Dayak yang terpilih menjadi anggota
legislatif mulai dari tingkat II, I hingga pusat, serta promosi sejumlah orang
Dayak dalam jabatan strategis di birokrasi pemerintahan daerah. Dan pada akhir
2002, seorang Dayak yang tidak terpilih menjadi bupati di pedalaman akhirnya
berhasil menjadi wakil gubernur. Di luar itu, semakin banyak perusahaan swasta
yang membutuhkan tenaga kerja Dayak, beberapa di antara bahkan merekrut tokoh
Dayak dalam posisi prestisius seperti sebagai manajer, direktur, dan komisaris.
Beberapa pengusaha Dayak yang pada awal 1990-an sudah muncul menjadi semakin
berkembang dan sejumlah pengusaha baru bermunculan. Hal yang sama, hingga
beberapa derajat, juga terjadi pada LSM.
Politik Identitas
Kehadiran Dayak sebagai suatu
kelompok etnik dalam arti yang sesungguhnya dengan cepat merangsang sejumlah
kelompok kecil lainnya untuk mengkosolidasikan diri menjadi satu kelompok
besar. Kecuali mungkin Pontianak, kelompok-kelompok lainnya awalnya menamakan
diri sesuai dengan wilayah geografis dan kerajaan/kesultanan di masa lampau.
Sebelum Dayak memunculkan diri ke permukaan, kelompok-kelompok ini awalnya
hanya memiliki perbatasan yang kabur dengan kelompok-kelompok kecil yang
menjadi tetangganya.
Satu-satunya perbedaan yang menyolok hanyalah pada
orientasi agama. Satu contoh yang paling menarik misalnya, hampir seluruh
bupati di Kapuas Hulu memiliki hubungan keluarga satu sama lainnya. Namun
situasinya dengan cepat dan dramatis berubah sejak 1997. Kelompok-kelompok
kecil itu kemudian mulai menyatukan diri, dan puncaknya pada awal 1999,
mendeklarasikan dirinya sebagai Melayu.
Berbeda dengan Dayak, Melayu
memang berasal dari istilah lokal dan telah lama dikenal di wilayah yang
sekarang bernama Kalimantan Barat itu. Namun sebagaimana Dayak, istilah Melayu
sebenarnya praktis tidak pernah digunakan sebagai nama kelompok etnik, baik
oleh para anggotanya sendiri mau pun penduduk lokal lainnya. Adalah pihak luar,
terutama Belanda, yang secara sepihak menggunakan istilah itu untuk kepentingan
politiknya sendiri. Orang-orang itu sendiri pada masa yang belum lama berlalu
masih mengidentifikasi diri menurut versi mereka masing-masing, dan untuk
tujuan kolektif, mereka juga menggunakan istilah lain seperti “orang Laut.” Dengan memilih istilah baru sebagai “orang
Melayu,” maka ia mungkin satu-satunya di Kalimantan (Indonesia) yang
menggunakan Melayu sebagai idetitas etniknya secara eksplisit.
Dayak dan Melayu dengan segera
terlibat dalam persaingan ketat untuk menduduki jabatan-jabatan strategis,
mulai dari yang bersifat politis seperti kepala daerah, hingga ekspertis
seperti kepala biro atau manajer. Ini
adalah situasi unik karena, hingga beberapa derajat, mungkin dapat dikatakan
tanpa munculnya Dayak, tidak mungkin ada Melayu. Dayak adalah aksi, sedangkan
Melayu reaksi; Dayak adalah tesis, sedangkan Melayu antitesis.
Dengan mudah hal itu kita dapat lihat pada
kenyataan sederhana berikut. Dayak punya panglima, Melayu mengikutinya dengan
mengangkat panglima ‘baru;’ Dayak punya MAD, Melayu mendirikan MABM; Dayak
punya Dayakologi, Melayu mendirikan Pusat Kajian Budaya Melayu; Dayak punya
rumah betang, Melayu mendirikan rumah adat Melayu; Dayak punya gawai, Melayu
mengadakan festival budaya Melayu, dan seterusnya. Dalam beberapa bulan
terakhir ini, Dayak menyatukan diri secara nasional dengan menghapus MAD dan
mendirikan DAD di setiap provinsi di Kalimantan. Publik mungkin tidak akan
terkejut sama sekali bila Melayu tidak berapa lagi akan mengikuti jejak yang
sama.
Apa yang terjadi dalam satu
dasawarsa terakhir ini di Kalimantan Barat adalah berkembangnya politik
identitas, yakni satu situasi dimana para aktor berjuang untuk memperoleh
kekuasaan dengan mengandalkan prinsip rekognisi kelompok yang diwakilinya.
Situasi ini kontras dengan politik ideologis di mana para aktor bertarung dengan
menjual visi dan misi menurut kubu pemikiran tertentu secara bebas sebagaimana
mekanisme pasar. Para pemilih dengan pertimbangan rasionalitas, sebagaimana
layaknya konsumen, memilih untuk membeli atau tidak tanpa harus khawatir dengan
konsekuensi moral tertentu.
Sebaliknya, dalam situasi politik ideologis, para
pemilih hanya membeli semata dengan pertimbangan emosional, bahwa karena calon
adalah “orang diri” atau “orang kite,” sang calon tentu berpihak kepada
pemilih, bahkan bila terpilih dengan mudah ia dapat memberikan fasilitas secara
‘pribadi’ kepada pemilih. Situasi yang sering terjadi dalam kasus ini adalah
pemilih pada kenyataannya tidak memiliki posisi tawar yang cukup untuk menagih
janji atau meminta fasilitas kepada calon yang sekarang.
Dalam kasus ekstrem, politik identitas dapat
berpotensi menyeret ke situasi kritis tertentu, karena tidak dapat menerima
kekalahan di arena kelembagaan, calon yang berpengaruh dapat memobilisasi para
anggotanya bertindak kolektif untuk melanjutkan pertarungan bukan lagi dalam
koridor hukum, tetapi pindah ke jalanan dengan berbagai jenis persenjataan. Dan
sebagaimana dalam pertarungan bebas pada umumnya, para perusuh tidak lagi
mempedulikan siapa sasaran mereka, seluruh orang dan barang, sepanjang dianggap
mewakili eksistensi kelompok lawan, mereka akan membantai semuanya.
Apakah mungkin terjadi
pertikaian berdarah bertalian dengan merebaknya politik identitas di provinsi
ini? Saya pribadi menilai kecil kemungkinannya. Hingga beberapa derajat, secara
umum kita menyaksikan banyak individu yang menyatakan ketidakinginan mereka
untuk terlibat dalam berbagai insiden berdarah yang membawa identitas etnik.
Kita juga mulai menyaksikan suara-suara ketidakpuasan di kalangan rakyat
bertalian dengan identitas etnik.
Di sejumlah lokasi, orang-orang mengeluh
bahwa apa yang disebut sebagai pihak yang membela kelompok etnik tertentu
sebenarnya hanya untuk membela kepentingan pribadi, keluarga atau sub-sukunya.
Di beberapa lokasi, orang-orang yang kritis mengamati bahwa calon yang berasal
dari sub-suku beranggota kecil memiliki kecenderungan untuk memainkan faktor
etnisitas, sedangkan sub-suku besar cenderung memanfaatkan etnisitas untuk
mengintimidasi sub-suku kecil demi mencapai agenda politiknya sendiri. Di
lokasi lain, beberapa orang ‘politisi’ dengan mudah mengubah-ubah identitasnya
sesuai dengan kepentingan politiknya.
Mengingat situasi itu, bukan hal yang
mengherankan bila sekarang muncul orang-orang yang lebih menyukai pejabat atau
pimpinan daerahnya berasal dari kelompok etnik lain dengan alasan lebih
koperatif & mudah mengendalikannya ketimbang bila pejabat itu memiliki
identitas etnik yang sama dengan rakyatnya.
Siapa nanti yang akan terpilih
menjadi Gubernur Kalimantan Barat? Sesuai prinsip keadilan, saya pribadi berharap agar orang Dayak yang
kali ini dapat mendapat kesempatan emas itu. Dan bila calon Dayak benar-benar terpilih sebagai gubernur, ada
kemungkinan orang itu lebih banyak dipilih oleh orang-orang yang melakukan
konversi etnik semacam Daeng, dan orang-orang yang memiliki identitas lain tapi
bersimpati kepada Dayak.
Walau demikian, sekali pun Dayak nanti tidak terpilih,
mereka tidak perlu berkecil hati karena gubernur baru itu, siapa pun dia,
kemungkinan besar merupakan hasil pilihan orang-orang Dayak sendiri, dan
konsekuensinya gubernur itu tetap tidak dapat mengabaikan, kalau tidak dapat
dikatakan justru lebih memperhatikan kepentingan dan aspirasi Dayak. Hingga
beberapa derajat yang sangat terbatas, hal ini telah dibuktikan di Sanggau. Dan
inilah yang mungkini merupakan realitas sosial-politik yang berlaku.
CV Singkat
Nama lengkap M. Iqbal Djajadi,
lahir di Bogor 45 tahun lalu, pendidikan S1 dan S2 di Departemen Sosiologi di Universitas
Indonesia dan sekarang sedang menulis disertasi tentang relasi etnik di
Departemen Antropologi, Universitas Nijmegen. Pekerjaan staf pengajar Sosiologi
di Fakultas Ilmu Sosial & ilmu Politik, Universitas Indonesia. Hobi,
menghabiskan waktu di warung kopi, minum & menyerap ilmu dari orang-orang
Kalimantan Barat.