Senin, 24 Oktober 2016

Berapa Banyak Konflik Etnik di Kalimantan Barat? - Meninjau Kembali Pengertian Konflik dan Etnik

Paper yang dipresentasikan pada Diskusi Berseri Madanika pada Rabu, 2 Maret 2005 di P3M Pontianak

Iqbal Djajadi


Selama ini literatur dan pandangan populer cenderung menggambarkan Kalimantan Barat (Kalbar) sebagai wilayah yang banyak mengalami konflik etnik. Berbagai studi dan reportase media massa selama ini menyebutkan bahwa provinsi yang memiliki ibukota yang terletak di garis Katulistiwa itu setidaknya telah mengalami konflik etnik mulai dari 9 hingga belasan kali insiden. 

Dengan meninjau kembali pengertian dasar konflik etnik, paper yang sangat singkat ini berusaha mengusik keberlakuan fakta di atas dengan mengajukan alternatif fakta lainnya: bahwa  mungkin Kalbar sebenarnya tidak pernah mengalami konflik etnik sama sekali. Bila pun pernah, jumlahnya mungkin tidak sebanyak sebagaimana anggapan selama ini. 



Pendahuluan 

Salah satu konsep yang dapat dipandang sebagai yang paling populer dalam satu dasawarsa terakhir ini mungkin adalah konflik etnik. Kendati populeritasnya sudah  meredup dikalahkan oleh konsep-konsep lain seperti reformasi, otonomi Dati II dan Pilkada misalnya, namun publik mungkin masih mengingatnya. Banyak orang yang membicarakan dan mendiskusikan konsep ini. Uniknya, praktis hampir tidak ada satu pun pihak yang merasa perlu untuk mendefinisikan konflik etnik. Baik wartawan maupun ilmuwan tampaknya menganggap publik secara umum sudah tahu dengan sendirinya, konsep ini dianggap sama terangnya dengan, misalnya, matahari, bulan, bintang dan, tentu saja, lampu Philip.

Paper berikut berusaha menangkap pengertian konflik etnik, mengeksplisitkan sejumlah asumsi-asumsi tersembunyi, dan berdasarkan itu melakukan evaluasi yang kritis terhadap daftar konflik etnik yang selama ini beredar luas di kalangan publik. 



Pengertian Konflik, Etnik dan Konflik Etnik 

Sukar untuk mengetahui persis apa yang dimaksud dengan konflik, namun pengamatan yang saya lakukan selama 5 tahun di lapangan setidaknya membersitkan kesan bahwa pada umumnya konflik merujuk kepada situasi peperangan, satu pertikaian yang bermula dari tindakan penganiayaan dan/atau pembunuhan antar-etnik yang bersifat individual namun kemudian berkembang menjadi pertikaian kolektif dengan cara yang keras di suatu wilayah yang luas sedemikian sehingga menimbulkan korban jiwa dan harta yang relatif besar.

Sebagaimana konsep sebelumnya, sukar untuk memahami apa yang dimaksud dengan etnik atau suku. Semua orang tampaknya seakan beranggapan bahwa Dayak, Melayu, Madura, Cina dan lainnya memang merupakan kelompok-kelompok etnik. Mereka adalah eksis, ril, dan dapat dibedakan satu sama lainnya Secara implisit, tersirat anggapan bahwa semua individu yang terdapat dalam, atau yang menjadi anggota suatu kelompok etnik itu tinggal dalam satu wilayah yang relatif terbatas dan jelas batas-batasnya, serta memiliki tingkat interaksi yang tinggi; sedemikian sehingga masing-masing kelompok etnik dapat dipandang relatif homogen dan memiliki solidaritas. Dan karena itu, para individu tersebut secara aklamasi, dari sejak awal hingga akhir, menerima identitas bersama yang bersifat tunggal.

Dengan menggunakan istilah konflik etnik, publik tampaknya berusaha menggambarkan transformasi dari kekerasan individual menjadi sesuatu yang bersifat kolektif. Mengikuti pemikiran Durkheim, publik membayangkan seolah individu-individu dalam kelompok etnik di Kalbar sebagai atom-atom yang serupa dan setara, dan justru karena kesamaan itulah terjadi integrasi di antara mereka. 

Dalam kondisi semacam ini, manipulasi pada satu atom akan menimbulkan reaksi yang sama pada atom-atom lainnya. Ini berarti, konkretnya, bila ada pihak yang menganiaya atau membunuh satu individu, maka individu-individu lain dalam kelompok etniknya akan melakukan pembalasan secara kolektif. Hukum yang berlaku pada solidariti mekanik adalah “hutang nyawa bayar nyawa,” bersifat represif.



Analisis 

Analisis berikut berangkat dari suatu kondisi di mana data yang tersedia sebenarnya tidak lengkap sehingga menyulitkan pengamat untuk melakukan penilaian final. Daftar-daftar umumnya tidak menjelaskan asal mula pertikaian, dan keterangan berapa banyak pelaku dan korban. Umumnya daftar tidak menyebutkan nama korban dan/atau pelaku, hanya nama kelompok etniknya. Beberapa daftar tidak konsisten dalam penentuan waktu dan tempat kejadian.

Walau demikian, dalam beberapa kasus terbatas, pengamatan yang seksama menunjukkan bahwa daftar ternyata menyampur-adukan antara satu insiden berlevel individual yang berperan sebagai faktor pencetus dengan insiden berlevel kolektif yang berperan sebagai akibat. 

Sebagai contoh, kita dapat mempertanyakan mengapa usaha melarikan diri beberapa pekerja paksa Madura dari majikan Bugis di Ketapang pada 1933 oleh pihak tertentu dianggap sebagai konflik etnik. Tidak ada korban jiwa sama sekali, sang majikan ternyata meminta bantuan pada polisi bukan kepada orang-orang Bugis, dan ketika polisi berhasil menangkap para pekerja itu tidak ada reaksi dari Madura. Artinya, kita sama sekali tidak melihat adanya konfrontasi fisik di antara Bugis versus Madura sebagai akibat penangkapan kembali para pekerja ‘paksa’ tersebut. 

Pada 1951 (1952?) Congken membunuh Pung Jin di Singkawang, namun penelusuran di lapangan sejauh ini belum berhasil mengidentifikasi bahwa pembunuhan itu terbukti telah menimbulkan reaksi berupa pertikaian kolektif antara Madura dan Dayak. Demikian pula halnya dengan insiden di Tumbang Titi Ketapang pada 1994, tidak ada korban jiwa sama sekali, dan hanya berlangsung dalam lokasi yang kecil di satu desa. Beberapa terluka, termasuk anggota polisi yang bertugas untuk melerai. Dan yang paling penting, tidak ada reaksi kolektif baik di antara Dayak maupun Madura sebagai akibat insiden tersebut.

Mengapa para penulis atau peneliti yang menyusun daftar ini memasukkan kasus-kasus pidana penganiayaan dan/atau pembunuhan tertentu yang bersifat individual kendati semua kasus tersebut tidak menimbulkan reaksi kolektif?  Anehnya, siapa pun penyusunnya, ia atau mereka ternyata tidak memasukkan semua kasus pidana tersebut ke dalam daftar konflik etnik.

Pengamatan sepintas menunjukkan bahwa hanya kasus pidana yang dilakukan individu yang berasal dari Madura saja yang dimasukkan, sedangkan pelaku tindak pidana yang berasal dari etnik lain dengan individu Madura sebagai korban, penyusun nampaknya ‘malas’ untuk memasukkannya. Satu kasus yang menarik misalnya, di Tebas pada 1995 beberapa perampok Melayu pernah merampas perhiasan satu keluarga Madura yang kemudian mengakibatkan sang istri meninggal. 

Lebih aneh lagi, bila memang niat penyusun hanya ingin sekadar menyusun semacam “daftar dosa” kasus-kasus pidana individual yang dilakukan Madura, mengapa mereka tidak memasukkan seluruh kasus tersebut. Satu laporan yang dibuat tim peneliti FISIP-UNTAN pada tahun 2000 pernah memasukkan berbagai kasus pidana individual Madura di Sambas sejak 1950-an dalam suatu tabel yang relatif lengkap. Anehnya, mereka sama sekali tidak menyebut, atau memasukkan berbagai kasus itu ke dalam daftar yang disebut secara eksplisit sebagai konflik etnik.

Sebaliknya, penyusun daftar konflik etnik Kalbar nampaknya juga tidak tergerak untuk memasukkan sejumlah kasus tindak pidana individual dari etnik non-Madura yang notabene sempat berkembang menjadi kolektif. Misalnya saja,  sebagai akibat kericuhan individual pada Desember 1999 di Pontianak, puluhan individu Dayak melakukan semacam parade kekuatan yang kemudian memancing ribuan individu Melayu melakukan penyerangan sehingga mengorbankan 6 orang Dayak terluka satu di antaranya cacat permanen, dan 1 orang Dayak tewas. 

Dibandingkan insiden Ketapang 1933 dan Tumbang Titi 1994, jelas insiden Gang Landak merupakan suatu peristiwa besar apalagi bila dipertimbangkan situasi yang yang sempat tegang selama beberapa hari bukan saja di Pontianak, melainkan juga di Darit, tempat asal sebagian besar korban Dayak. Anehnya, penyusun juga lagi-lagi tidak memasukkan hal itu ke dalam daftar konflik etnik Kalbar.

Benarkah ada konflik etnik di Kalbar? Bila kriterianya hanya sekadar dari besarnya korban jiwa dan materi serta luasnya area pertikaian, insiden penumpasan PGRS/Paraku pada 1967 seharusnya tidak pelak lagi dapat disebut sebagai konflik etnik. Namun anehnya, sebagain besar tabel konflk etnik, khususnya yang dibuat sebelum 2002, praktis hampir tidak ada yang memasukan insiden pertikaian fisik antara Dayak versus Cina tersebut.

Benarkah ada konflik etnik antara Dayak versus Madura pada 1997, atau Melayu versus Madura pada 1999? Jawabannya mungkin ya bila kriterianya sebagaimana dikemukakan di alinea terakhir. Namun bila kita kembali pada hakikat konflik etnik sebagai pertikaian antara sebagian besar anggota kelompok etnik, mungkin jawabannya menjadi meragukan.

Tidak seperti asumsi teoritik, Dayak terdiri dari banyak sub-etnik yang tinggal terpencar-pencar di wilayah yang luas. Berapa persentase individu dan sub-etnik Dayak yang terlibat dalam pengusiran dan pembunuhan Madura? Demikian pula halnya dengan Melayu yang kendati tidak sekaya Dayak, namun tetap terdiri dari banyak sub-etnik Berapa persentase individu dan sub-etnik Melayu yang terlibat dalam pengusiran dan pembunuhan Madura? Sebaliknya, berapa persentase individu dan sub-etnik Madura yang menjadi korban?

Ketika sejumlah individu Dayak dan Melayu melakukan pengusiran dan pembunuhan pada sejumlah individu Madura di sejumlah lokasi, jauh lebih banyak individu Dayak dan individu Melayu tetap hidup berdampingan secara damai di lokasi-lokasi lain. Di beberapa lokasi, Melayu justru berusaha membedakan dirinya dari Melayu yang lainnya.Hal yang sama, hingga batas tertentu, juga berlaku pada Dayak dan juga Madura.  Bahkan di lokasi pertikaian fisik sekalipun, sejumlah individu Dayak dan Melayu justru menolong individu-individu Madura.

Dalam konteks ini, jelas terlihat bahwa kelompok etnik tidak dapat dianalogikan sebagai benda dan memiliki mekanisme yang mekanik. Ketika individu-individu yang berasal dari kelompok etnik berlainan terlibat dalam pertikaian, sering kelompok etniknya tidak bereaksi sama, tidak terdorong untuk mengembangkan solidariti dan bertindak untuk melakukan aksi pembalasan. Bahkan dalam situasi ketika ada sejumlah individu berusaha melakukan provokasi, kelompok etnik tidak terpancing.



Penutup 

Paper ini tidak bermaksud menyimpulkan bahwa di Kalbar sama sekali tidak ada konflik etnik. Paper ini hanya mengajak kita untuk bersikap lebih kritis, tidak asal mengutip, tetapi mengembangkan pemikiran yang logis dan mengujinya secara empirik. Konflik etnik memang ada di Kalbar, namun tidak sebesar atau sesering yang dibayangkan. Dan sadar atau tidak, mungkin saja dengan cara berpikir demikian tidak akan ada lagi konflik etnik berikutnya di masa depan nanti.



Undangan Diskusi 

Sejak kapan istilah konflik etnik muncul; siapa yang mengintroduksikannya; mengapa Kalbar digambarkan sebagai wilayah yang sering mengalami konflik etnik; apa kepentingan, manifes dan laten, pihak-pihak yang menggambarkan situasi itu; dan apa konsekuensinya?


Kearifan Ilmiah dan Kearifan Lokal: Pedoman Bagi Perumusan Kearifan Lokal Kalimantan Barat

Paper yang Dipresentasikan dalam Kongres Kebudayaan Kalimantan Barat II 
tahun 2010 di Kabupaten Ketapang, Kamis, 3 Desember 2010 

M. Iqbal Djajadi 
Staf Pengajar di Departemen Sosiologi, FISIP-UI 



Pengantar 

Saya tidak mengetahui alasan panitia memilih Ketapang sebagai tempat penyelenggaraan seminar ini, namun apa pun alasannya, saya merasa ini adalah pilihan yang benar, baik dan bagus. Selama ini Kalbar seakan identik dengan kekerasan etnik tanpa menyadari bahwa Ketapang adalah salah satu dari wilayah provinsi seribu sungai yang praktis tidak pernah mengalami insiden yang membawa korban yang sangat besar. Sebagaimana wilayah-wilayah lainnya, Ketapang terdiri dari berbagai suku, termasuk Madura, dan sebagaimana lainnya, di Ketapang juga tidak pernah sepi dari kejadian kriminalitas dan kekerasan kolektif yang dilakukan oleh anggota satu kelompok dengan anggota kelompok lainnya, namun semuanya tidak pernah memicu terjadinya suatu insiden berdarah inter-etnik yang kolosal.

Sejumlah tulisan telah mencoba memberikan penjelasan tentang hal itu, namun saya pribadi merasa belum menemukan jawaban yang memuaskan. Karena itu, saya menyambut baik undangan panitia seminar, dan menggunakan kesempatan ini untuk menemukan penjelasan yang sebenarnya. Apakah mungkin Ketapang memiliki kearifan lokal yang tidak dimiliki oleh kabupaten/kota lainnya di Kalbar? Dan bila kita dapat menemukan kearifan lokal Ketapang, mungkinkah kita menerapkannya di seluruh wilayah Kalbar?

Tulisan berikut tidak berusaha menjawab kedua pertanyaan di atas dengan mengidentifikasi apalagi mengartikulasi apa saja yang menjadi kearifan lokal Ketapang yang dapat diterapkan di Kalbar, tetapi memberikan pemahaman yang utuh dan peroporsional tentang arti kearifan lokal; sedemikian sehingga dapat digunakan oleh seluruh peserta kongres sebagai panduan untuk menemukan dan merumuskan kearifan lokal Kalbar. 



Kerangka Pemikiran 

Dalam bentuknya yang paling nyata, kebudayaan pada hakikatnya merujuk kepada badan pengetahuan sejumlah orang yang tergabung dalam suatu kelompok tentang manusia, alam dan relasi di antara keduanya. Manifestasi hal itu terlihat pada bahasa, yakni kumpulan kata atau konsep yang bertalian satu sama lainnya untuk membentuk pengertian dan memberikan makna bagi para penggunanya. Setiap kelompok mengembangkan kosa kata yang khas untuk merepresentasikan berbagai benda dan fenomena yang ada di sekitarnya, mengembangkan hubungan yang khas di antara berbagai kata tersebut dengan suatu cara terpola yang memungkinkan para anggotanya untuk berkomunikasi dan saling memahami. Pola itu bukan sekedar merujuk pada nama suatu wujud, melainkan juga menentukan aktivasi, asosiasi dan signifikansinya.

Dalam suatu perbincangan misalnya, pola itu akan menentukan kata mana, dari sekian banyak kata yang tersedia dalam bahasa yang, seperti sakelar lampu, perlu dinyalakan; menentukan kata mana yang perlu dihubungkan satu sama lain; dan bagaimana kesemua kata-kata tersebut diterapkan dan konteks penerapannya. 

Dengan demikian, dalam bahasa, kita sebenarnya bukan hanya menemukan perbendaharaan kata khas, melainkan juga suatu pola pemikiran khas, kerangka kemasukakalan sekaligus kebermaknaan hidup suatu kelompok. Bila orang mendengar pihak lainnya menyebut kata-kata kunci yang sesuai, membuat relasi semua kata-kata tersebut dalam suatu kalimat yang sesuai, dan menyampaikannya untuk satu maksud tertentu yang juga sesuai dengan itu, maka ia memperoleh pemahaman, dan ketika ia menanggapi hal itu dengan suatu modus yang sama, orang lain pun memahaminya, sedemikian sehingga dalam proses komunikasi lahirlah suatu kesepahaman yang bermakna secara sosial.

Dalam bentuknya yang tersembunyi, pengetahuan sebagai manisfetasi kebudayaan bila diperas hingga ke esensinya maka yang tersisa adalah nilai, sesuatu yang dengan mana para anggota kelompok menentukan apa yang disebut sebagai benar (truth), baik (good), dan bagus (beautiful). Kebenaran menyangkut apa yang dianggap orang sebagai sesuatu yang menggambarkan kenyataan; kebaikan menyangkut apa yang dianggap memberikan manfaat bagi seluruh anggota kelompok (moral); sedangkan kebagusan atau keindahan menyangkut apa yang dianggap memberikan efek menyenangkan. 

Ketika ketiga jenis nilai-nilai tersebut dijabarkan menjadi norma, maka mereka berubah menjadi pedoman bertindak bagi suatu kelompok. Dalam konsepsi yang populer disebut sebagai pranata (lembaga atau institusi) itu, setiap kelompok menentukan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh para anggota, lengkap dengan imbalan dan sanksinya.

Setiap manusia hidup dalam satu kelompok, dan masing masing kelompok, karena menempati suatu lokasi dan lingkungan tertentu dalam suatu periode yang relatif terisolasi cukup panjang, cenderung mengembangkan bahasa unik, dan, konsekuensinya, pola pemikiran khas; sedemikian sehingga menyulitkan anggota-anggota yang berlainan kelompok untuk berkomunikasi dan saling memahami. 

Apa yang dianggap relevan atau logik untuk satu anggota dianggap tidak relevan atau logik oleh anggota lainnya. Apa yang dianggap benar, baik dan bagus oleh satu anggota, justru dianggap salah, buruk, dan jelek oleh anggota lainnya; apa yang harus dilakukan oleh satu anggota, justru tidak boleh dilakukan oleh anggota lain, dan sebaliknya. Sebagai konsekuensinya, adalah dapat dipahami bila dalam kasus tertentu situasinya berubah memburuk, dari salah pengertian, kemudian berkembang menjadi konflik, bahkan kekerasan di antara kedua kelompok yang berlainan tersebut.

Namun begitu, perlu dipahami pula bahwa salah pengertian yang berujung pada konflik dan kekerasan itu bukan semata bersumber pada hubungan inter-kelompok, melainkan juga intra-kelompok. Walau berada dalam satu kelompok dan karena itu, satu kebudayaan, bukan berarti semua anggota memiliki pola pemikiran yang sama. Tidak ada sosialisasi yang sempurna dan lengkap, senantiasa ada peluang kecacatan dan kehilangan materi sosialisasi yang diberikan baik dalam terminologi generasi atau pun keluarga. 

Pola pemikiran yang berlainan juga dapat timbul sebagai akibat ketidaksamaan dalam sosialisasi. Dalam satu generasi sekalipun, dalam kelompok itu sendiri, setiap keluarga atau unit sosial sejenis mungkin mengembangkan sosialisasi yang berbeda satu sama lainnya. Dengan demikian apa yang tampil dalam individu-individu adalah bentuk-bentuk kebudayaan yang parsial dan fragmental, tidak utuh.

Situasinya berkembang menjadi lebih rumit lagi bila dipertimbangkan fakta bahwa bumi yang kita tempati terdiri dari sedemikian banyak kelompok manusia yang mengimplikasikan begitu banyaknya perbedaan dalam pola pemikiran dan pola tindakan. Melalui kontak yang intensif, damai atau tidak, berbagai individu yang berasal dari berbagai kelompok sekarang bertemu, bekerjasama dan berinteraksi satu sama lainnya. 

Dan melalui modernisasi di segala bidang, terutama dalam di dunia keilmuan dan teknologi, berkembang suatu bahasa baru yang mengedepankan pola pemikiran dan pola tindakan yang rasional. Di bawah naungan rasionalisme, orang berusaha menarik kesesuaian yang optimal antara cara dan tujuan, sedemikian sehingga apa yang terjadi adalah suatu proses dalam skala masif untuk menanggalkan konteks, struktur dan, konsekuensinya, mengabaikan makna kata-kata dari mana mereka sebenarnya berasal.

Dunia hingga kini memang masih terdiri dari berbagai kelompok (baik dalam negara, bangsa, agama atau pun suku) mengikuti situasi lingkungan, kebudayaan, pengetahuan, bahasa, kata, nilai dan norma yang juga berlainan satu sama lainnya. Namun dengan mekanisme adopsi kata-kata asing yang masif, dan yang lebih penting lagi, spirit dalam struktur pemikiran yang menghubungkan kata-kata itu, dunia sekarang seakan telah berubah menjadi dunia dengan satu lingkungan, satu kebudayaan, satu pengetahuan, satu bahasa, satu kata, satu nilai, dan satu norma. 



Arti Kearifan Lokal & Limitasinya 

Dalam perspektif inilah, kita sekarang berusaha mengembangkan pengertian kearifan lokal. Kearifan lokal sebenarnya merujuk kepada satu atau seperangkat kata (kalimat) yang berisikan nilai dan norma tertentu yang dikembangkan oleh suatu kelompok yang tinggal di suatu lokasi tertentu. 

Lingkungan dan pengalaman hidup yang khas telah mengajarkan manusia untuk mengembangkan pola pemikiran dan pola tindakan tertentu, karena hanya dengan cara itulah mereka dapat berdamai dengan lingkungan, dengan diri mereka sendiri, dengan sesamanya, dan dengan anggota kelompok lain. Dengan kata lain, kearifan lokal adalah sesuatu yang bersifat fungsional bagi kehidupan suatu kelompok tertentu.

Ini adalah perkembangan yang relatif baru. Beberapa dasawarsa sebelumnya, tidak ada pengakuan atas eksistensi kearifan lokal, bahkan istilahnya itu sendiri pun tidak ada. Di bawah hegemoni rasionalisme, tidak ada tempat bagi lokalitas. Dunia seakan tidak toleran terhadap pola pemikiran dan pola tindakan yang bersifat lokal. Hanya ada boleh satu pola, hanya boleh ada satu kebenaran, kebaikan dan kebagusan, dan karena itu juga hanya ada boleh satu hukum atau rumus universal atas segala sesuatunya. Setiap kali ada satu kesalahan, orang seakan dipaksa untuk menjatuhkan vonis yang sama. Dan setiap kali ada masalah, orang juga seakan dipaksa untuk menyelesaikannya dengan satu cara yang sama.

Lahirnya istilah kearifan lokal menandai setidaknya perubahan pola pemikiran, mulai meruntuhkan asas rasionalisme yang dominan sekarang. Alih-alih hanya satu, sebenarnya  ada banyak cara untuk mencapai tujuan, Satu cara mungkin efektif untuk diterapkan dalam satu kelompok, namun tidak demikian pada kelompok lainnya. Sayangnya, tidak semua orang nampaknya menyadari fakta sederhana ini. Sejumlah orang beranggapan bahwa sekali  menemukan satu jenis kearifan lokal, mereka berusaha mengangkat hal itu menjadi sesuatu yang umum, berusaha diterapkan juga pada kelompok-kelompok lainnya. Bukan hal yang mengejutkan tentunya bila hal itu kemudian ternyata tidak memenuhi hasil yang diharapkan, sebaliknya justru menemukan sejumlah masalah baru.

Orang-orang lainnya mungkin tidak senaif itu, mereka beranggapan bahwa setiap kelompok memiliki kearifan lokal yang khas, berlainan satu sama lainnya dan karena itu menerapkan cara yang berbeda untuk masing-masing kelompok. Sayangnya, mereka juga tetap tidak memperoleh hasil yang diharapkan. Mengapa hal itu terjadi dapat dijelaskan sebagai berikut: 

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, pertama, tidak ada sosialisasi yang sempurna dan paripurna: Setiap individu hanya memperoleh sedikit saja ajaran-ajaran yang ada dalam kebudayaannya dari agen-agen yang mentransmisikannya. Kedua, apa yang dianggap sebagai suatu kelompok sebenarnya mungkin saja terdiri dari berbagai sub-kelompok yang sangat besar variasinya. Ketiga, setiap sub-kelompok bukan saja tinggal di lingkungan yang khas, melainkan juga mengalami pengalaman yang unik baik dengan sesamanya mau pun dengan kelompok lainnya. Keempat, ada sub-kelompok yang berada pada posisi paling vokal, dan mungkin juga dominan, dalam mengartikulasikan nilai dan norma sub-kelompoknya dengan cara sedemikian sehingga mengesankan bahwa hal itu merupakan kerangka pemikiran dan tindakan bagi kelompok secara agregat. Sejalan dengan itu, kelima, ada agen yang sangat dominan (terutama negara dan lembaga-lembaga internasional), yang, sadar atau tidak, setelah melakukan ‘penelitian,’ menyangka bahwa apa yang mereka temukan dalam sub-kelompok itu sebenarnya berlaku juga untuk seluruh kelompok. Terakhir, seiring dengan perjalanan waktu, nilai-nilai mungkin telah mengalami erosi yang cukup sinifikan, beberapa di antaranya bahkan telah berubah atau digantikan oleh nilai yang lain. 

Apa pun penyebabnya, bekerja sendirian atau bersama, faktor-faktor itu telah membuat apa yang dianggap sebagai kearifan lokal, mungkin hanya berlaku dalam satu sub-kelompok atau sub-lokal yang lebih kecil skalanya, atau lebih buruk lagi, tinggal merupakan suatu kebenaran, kebaikan, dan kebagusan di masa lampau. Orang-orang masih mengingatnya, namun praktis hanya merupakan kenangan sejarah. Singkatnya, sudah tidak relevan lagi.

Dalam pemahaman yang disebut terakhir ini, penting kiranya kita untuk memahami keterkaitan kebudayaan dengan unsur-unsur sosial lainnya. Sebagai kebudayaan, kearifan lokal secara teoritik, seharusnya merupakan ekspresi dari realitas sosial, karena hanya dengan cara itulah kearifan lokal menjadi relevan baik sebagai pedoman penafsiran mau pun sebagai pedoman perilaku bagi para anggota yang ada dalam suatu kelompok. Guna merealisasikan aspek yang disebut terakhir itu, kearifan lokal juga harus memperoleh dukungan baik dari pranata mau pun struktur sosial.

Sebagaimana telah disinggung di atas, pranata merujuk kepada kumpulan nilai-nilai yang telah bertransformasi mejadi norma, sedangkan struktur sosial merujuk kepada pola relasi di antara para anggota suatu kelompok berdasarkan aspek apa yang sebenarnya sangat dihargai dalam kenyataan. Kendati sama-sama memiliki peran sebagai pedoman perilaku, namun struktur sosial memiliki dasar pijakan yang realistik. Bila dalam pranata, orang berupaya bertindak berdasarkan pertimbangan peraturan hukum atau konvensi yang relatif abstrak, maka dalam wawasan struktur sosial, orang merujuk tindakannya kepada apa yang dipastikan akan memberikan imbalan langsung, baik berupa kekayaan, kekuasaan atau pun prestise (kehormatan).

Diungkapkan dalam terminologi lain, kearifan lokal baru menjadi suatu pedoman penafsiran, bila ia memang benar-benar merupakan pedoman perilaku normatif, dan memang benar-benar merupakan pedoman perilaku empirik bagi para anggotanya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam ungkapan keseharian, ini setara dengan “satu kata, satu perbuatan,” ada kesesuaian antara pernyataan simbolik dengan kenyataan empirik. Tanpa dukungan pranata dan struktur sosial, kearifan lokal hanya merupakan kata-kata indah yang tanpa makna dan tanpa daya-guna. 



Ketidakarifan Lokal, Nasional dan Global 

Ada cukup banyak tulisan yang telah mengulas berbagai kearifan lokal Kalbar bertalian dengan konservasi alam dan pengobatan. Namun hingga kini orang masih bertanya-tanya apa sebenarnya yang menjadi kearifan lokal Kalbar dalam bidang sosial. Salah satu tema yang paling banyak disinggung oleh para penulis adalah hukum adat

Sejumlah tulisan menyatakan bahwa hukum adat cukup efektif untuk menyelesaikan berbagai kasus perdata dan pidana, termasuk kasus kriminal atau kekerasan kolektif yang berpotensi untuk memicu lahirnya kekerasan etnik. Tulisan-tulisan lain menyatakan keperihatinannya mengenai sikap negara yang cenderung tidak mengakui keberlakuan hukum adat, dan dengan lebih mengutamakan hukum positif, negara menjadi lebih cenderung memihak kepentingan kapitalis nasional dan internasional. Maraknya kekerasan etnik di Kalbar pada dasarnya dapat dilihat sebagai tanggapan, protes terhadap kerusakan lingkungan ekologis dan sosial yang ditempati oleh orang Dayak dan Melayu.

Ketika pemerintah pusat menetapkan kebijakan yang mengundang para pengusaha nasional dan internasional untuk datang dan berivestasi di Kalbar, para pejabat di Jakarta telah menjatuhkan vonis yang fatal bagi kelestarian hidup warga lokal. Mereka tidak mengakui hak atas tanah tradisional penduduk asli, mereka juga tidak mengakui hukum adat yang berlaku. Ketika para pengusaha itu beroperasi, mereka bukan saja mengundang dan merangsang para migran suku lain untuk menetap di Kalbar, melainkan juga menghancurkan hutan, memarginalkan, bahkan memiskinkan warga lokal. Bukan hal yang mengherankan bila warga lokal seakan tidak memiliki pilihan lain selain bereaksi keras terhadap apa pun masalah yang terjadi, termasuk insiden individual inter-etnik. Banyak pihak yang percaya bahwa seandainya pemerintah mengakui hukum adat, kasus kekerasan etnik pada 1997 dan 1999 mungkin tidak akan terjadi.

Pertanyaannya sekarang, apakah hukum adat benar-benar merupakan kearifan lokal? Lalu bagaimana dengan fakta bahwa dalam satu suatu periode singkat, paska insiden kekerasan etnik, hukum adat yang sama juga sempat disalahgunakan oleh sejumlah warga lokal untuk kepentingan mereka sendiri, sedemikian sehingga alih-alih menegaskan status hukum adat sebagai kearifan lokal, sebagai rekasi atas ketidakarifan nasional dan global selama ini, ia malah seakan berubah menjadi ketidakarifan lokal.

Dalam upaya untuk menemukan kearifan lokal Kalbar, kita juga harus mampu melakukan beberapa upaya untuk menempatkan beberepa kata atau konsep kunci berikut dalam konteks dan struktur pemikiran yang tepat. Banyak tulisan, termasuk yang dibuat oleh warga lokal sendir,i cenderung mempopulerkan istilah Ngayau, Mangkok Merah, Tariu, Matok, Pandagi, Kamank, dan konsep-konsep asosiatif lainnya. Hal ini tentu saja dapat memberi kesan kepada dunia luar bahwa semua itu, lagi-lagi merujuk kepada ketidakarifan lokal: bahwa warga lokal cenderung mengutamakan cara kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Dan bila hal ini dibiarkan, ketidakarifan lokal pada gilirannya justru sekarang berpotensi untuk menghasilkan ketidakarifan nasional, dan ketidakarifan global. 



Penutup 

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, kearifan lokal pada dasarnya merujuk kepada pengakuan dunia moderen bahwa ada banyak cara tradisional untuk menyelesaikan masalah, bukan hanya satu cara yang paling logis menurut asas rasionalisme. Dalam upaya untuk menemukannya, kita dapat menemukan kearifan lokal itu dalam bentuk satu kata atau kalimat yang masih dihargai dan dijalankan oleh orang-orang dalam satu kelompok. Kita harus menghindarkan diri dari rekayasa kearifan lokal dalam arti negatif, namun kita dapat menguatkan suatu kearifan lokal dengan kesediaan kita untuk membayar harganya, biaya yang harus dikeluarkan untuk menyesuaikan antara nilai, norma dan relasi; antara kebudayaan, pranata dan struktur sosial.

Semoga saja kongres kebudayaan ini dapat menemukan kearifan lokal Kalbar. 


Jakarta, 29 November 2010

Aku Orang Dayak: Surut-Pasang Etnisitas, Identitas, dan Politik Identitas



Paper yang dipresentasikan dalam Dialog Budaya “Masa Lalu, Masa Kini dan Masa Depan Kebudayaan Dayak: Refleksi tentang Proses dan Tantangan Transformasi Kebudayaan Dayak” Senin, 21 Mei 2007, Kantor BPSNT, Pontianak Kalimantan Barat


M. Iqbal Djajadi 
FISIP, Universitas Indonesia


Di pagi buta tanggal 25 Desember 2006, saya bercakap-cakap dengan seorang lelaki berkulit gelap di atas dek sebuah kapal yang sedang berlabuh sesaat di Muara Kapuas  sebelum bergerak menuju Pelabuhan Dwikora Pontianak. Setelah berbasa-basi, lelaki itu lalu mengenalkan dirinya sebagai Daeng (bukan nama sebenarnya) dan memberikan pernyataan yang tidak terduga  “Saya orang DAYAK.” 

Karena melihat paras muka saya yang mungkin pucat dan menduga pendengaran telah menurun drastik setelah diombang-ambing ombak besar selama 2 malam, ia menaikkan volume suaranya dengan mengatakan sekali lagi bahwa ia benar-benar orang Dayak. Mamak dan bapaknya memang orang Bugis seperti juga datuknya, bangsawan asal Sulawesi Selatan, dan karena itu ia seharusnya adalah orang Bugis. Pada 1999, ia menikah dengan seorang gadis Kanayatn di Sungai Ambawang, meninggalkan Islam dan masuk Katolik, melibatkan diri dalam kegiatan adat, dan memiliki beberapa anak yang juga beragama Katolik. Ia fasih berbicara dalam bahasa Kanayatn, dan karenanya sejak saat itulah ia menganggap dirinya sebagai orang Dayak. Tanpa diminta ia kemudian mengeluarkan KTP dan menyerahkannya kepada saya. Saya melihat ada nama baptis mendahuli nama aslinya dan agamanya Katolik.  

Ini adalah pengalaman pribadi yang paling menarik sejak saya berada di bumi seribu sungai pada 1998. Saya belum pernah bertemu dengan orang semacam Daeng. Apakah ia benar-benar orang Dayak? Berdasarkan kriteria yang selama ini umum digunakan seharusnya Daeng memang benar orang Dayak. Misalnya saja, berdasarkan lokasi kediaman, ia dilahirkan, dibesarkan dan tinggal di pedalaman, berdasarkan bahasa, ia fasih berdialek lokal, dan berdasarkan agama, ia menganut keyakinan yang selama ini merupakan agama mayoritas yang sekarang sekaligus dianggap merupakan kriteria penting Kedayakan, dan ia juga ikut terlibat dalam berbagai kegiatan tradisional suku istri & mertuanya. 

Tetapi saat itu saya tetap merasa ada yang kurang sehingga saya tetap skeptis dengan Kedayakannya. Pada akhir 1999, sebagai ungkapan protes terhadap komposisi anggota Utusan Daerah Kalimantan Barat di MPR, seorang aktivis Dayak terkemuka secara tidak langsung menyebutkan satu kriteria lagi: Kedayakan didefinisikan berdasarkan pengakuan pribadi orang yang bersangkutan –suatu kriteria yang uniknya kembali dapat dipenuhi oleh lelaki Bugis tadi. 

Pertanyaannya sekarang, apakah orang Dayak dapat menerimanya, menganggap ia memang sebagai anggota kelompoknya? Berdasarkan pengakuan Daeng sendiri, setidaknya keluarga istrinya dan orang kampungnya, semua sudah menganggap ia sebagai “orang sendiri,” bahkan, uniknya, keluarganya sendiri juga sudah menganggap dia sebagai orang Dayak, bukan lagi Bugis.

Beberapa bulan lagi Kalimantan Barat segera melangsungkan pemilihan Gubernur baru. Berbeda dengan pemilihan gubernur sebelumnya, rakyat kali ini akan melakukan pemilihan langsung atas pimpinan daerah mereka. Siapa pun yang nanti mengendarai mobil dinas berplat KB-1 adalah orang yang meraih suara terbanyak karena dianggap rakyat sebagai pihak yang paling potensial membawa aspirasi dan kepentingan mereka. 

Ada banyak definisi tentang apa yang mungkin disebut sebagai aspirasi dan kepentingan rakyat, namun dengan bercermin pada perkembangan sosial-politik di Kalbar dalam satu dasawarsa terakhir ini, faktor etnisitas, hingga beberapa derajat, jelas memainkan peranan yang cukup penting. Dan dari sekian banyak kelompok etnik yang tinggal di provinsi ini ada dua kelompok yang menonjol: Dayak dan Melayu. 

Berdasarkan data statistik yang sering diungkapkan publik disini, proporsi jumlah Dayak 41% sedangkan Melayu 39%. Dengan komposisi ini, secara statistik, sudah seharusnya bila orang Dayak yang nanti akan terpilih sebagai gubernur baru, apalagi bila dipertimbangkan fakta bahwa sudah lama orang-orang Dayak mengidamkan daerah mereka kembali dipimpin oleh putra daerah yang berasal dari kelompok mereka sendiri. 

Setelah Oevaang Oeray yang menjadi gubernur pada 1960-1966, wilayah ini praktis selalu dipimpin oleh orang-orang dari kelompok etnik pendatang yang umumnya berprofesi militer. Pada 2002 lalu, Melayu telah memperoleh kesempatan menjadi gubernur, wajar bila sekarang Dayak tampil lagi. Dan optimisme ini mungkin semakin membumbung mengingat dalam skala mikro, Dayak telah membuktikan mampu mentransformasikan keinginan menjadi kenyataan. Sejumlah Dayak sekarang telah menduduki jabatan bupati di beberapa kabupaten pedalaman.

Tetapi realitas statistik dan keinginan kuat tentunya belum cukup menjamin bahwa Dayak akan kembali terpilih sebagai orang nomor satu. Ada realitas lainnya yang menentukan, salah satunya adalah realitas sosio-kultural; yakni, suatu fakta yang bertalian tentang identifikasi diri di kalangan orang Dayak sendiri, dan yang tidak kalah pentingnya adalah identifikasi diri di kelompok-kelompok etnik lainnya.

Kemenangan Dayak di berbagai kabupaten, dari satu segi, memang wajar mengingat mereka menang di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas orang Dayak. Hal itu jelas berbeda dengan situasi provinsi yang terdiri dari banyak kabupaten, dan di beberapa kabupaten lain di mana Melayu merupakan mayoritas, terbukti justru anggota kelompok yang disebut terakhir itulah yang terpilih menjadi bupati. Konsekuensinya, menurut realitas sosio-kultural, kemenangan Dayak sebagai gubernur ditentukan oleh seberapa jauh orang Dayak menganggap dirinya sebagai kelompok etnik yang sesungguhnya, dan seberapa jauh orang-orang yang secara normatif-kolektif merupakan anggota kelompok etnik lain namun secara empirik-individual justru berorientasi kepada Dayak.

Dengan kata lain, Dayak dapat menjadi gubernur bila semua anggota kelompok itu dapat bersatu dalam kesatuan kolektif,  memilih hanya satu calon dari kelompok mereka. Karena dengan cara itulah Dayak dapat memperoleh suara terbanyak. Dan perolehan suara itu tentunya menjadi semakin besar lagi, bila ada orang-orang yang melakukan konversi etnik sebagaimana ditunjukkan dalam kasus Daeng di atas, atau identitasnya memang tidak berubah tapi setidaknya ia bersimpati kepada Dayak.

Kita tidak mengetahui secara statistik berapa banyak jumlah orang-orang semacam Daeng. Namun secara substantif, kita bersama dapat merasakan bahwa orang-orang semacam itu memang ada dan mungkin terus bertambah. Di masa lampau, Dayak adalah penduduk mayoritas absolut, namun secara perlahan dalam periode sekitar satu abad, jumlah & proporsinya terus berkurang karena terjadi konversi etnik dari Dayak menjadi Melayu yang di sini lazim disebut sebagai Turun Melayu. Karena tekanan sosial-politik, sejumlah orang Dayak tertentu dalam berbagai kesempatan terpaksa mengaku sebagai Melayu, atau identitas etnik lainnya. 

Namun setidaknya dalam satu dasawarsa terakhir ini, kita bersama menyaksikan semacam kebangkitan etnik. Di mana-mana, di pedalaman, di pesisir, pedesaan dan perkotaan, bahkan di Jawa, semakin banyak orang-orang yang dengan lantang bahkan bangga mengaku sebagai “aku orang Dayak.” Menariknya, orang-orang yang dulu mengaku sebagai Melayu atau etnik lainnya, sekarang pun terdorong mengakui Kedayakannya “Aku orang Dayak walau Islam.” Jauh lebih menarik lagi, bahkan orang-orang yang notabene bukan berasal dari Dayak sekali pun, sekarang mengaku, beberapa di antaranya sekedar mengaku-aku, sebagai “aku orang Dayak.” Tidak terlalu berlebihan bila sekarang sebenarnya kita mungkin sedang menyaksikan suatu proses konversi etnik yang terbalik: Naik Dayak.

Bila situasinya memang demikian, maka dalam beberapa bulan ke depan Dayak boleh bergembira karena setelah menunggu sekitar 40 tahun, kini anggota mereka kembali ada yang menjadi gubernur. Namun sebagaimana akan ditunjukkan paper singkat berikut, realitas sosio-kultural memiliki mekanisme yang cukup kompleks, di samping itu masih ada realitas sosial-politik yang juga memiliki mekanisme tersendiri. Dan secara bersama-sama kedua realitas itu tentu saja berpotensi menggagalkan harapan politik yang indah tersebut. Hal itu bukan sekedar disebabkan oleh ulah kelompok lain, tetapi lebih oleh karena proses wajar di kalangan Dayak sendiri. 



Pengertian Kelompok Etnik dan Identitas 

Ada banyak pengertian tentang kelompok etnik, namun yang menarik hampir semua definisi itu pada umumnya menekankan pada aspek homogenitas dan solidaritas. Kelompok etnik merujuk kepada sekumpulan individu yang saling berinteraksi pada satu wilayah tertentu yang dalam jangka panjang kemudian menghasilkan karakteristik yang sama mulai dari bahasa, sistem ekonomi, sosial, politik hingga kultur  Namun perlu ditekankan bahwa definisi semacam ini baru merupakan suatu penilaian sepihak, satu pandangan yang biasanya dilakukan oleh otoritas ilmiah atas subyek studinya. 

Ilmuwan atau otoritas lainnya dapat menyimpulkan bahwa sejumlah orang adalah kelompok etnik, namun sepanjang orang-orang yang bersangkutan tidak mengetahui dan/atau tidak merasa mereka merupakan bagian dari sesuatu yang lebih besar, maka kelompok etnik itu secara empirik sebenarnya belum ada. Istilah itu hanya merujuk kepada kategori abstrak, kelompok nominal,  hanya di atas kertas, belum merupakan unit sosial yang ril.

Kelompok etnik baru lahir dan hadir secara nyata ketika orang-orang itu mulai mengembangkan kesadaran etnik, yakni pengetahuan bersama yang dimiliki oleh sejumlah orang bahwa mereka semua, terlepas dari perbedaan-perbedaan kecil pada level individual sebenarnya memiliki kesamaan pada level kolektif dan saling bertalian erat; sedemikian sehingga membentuk suatu kelompok yang berbeda dan/atau dapat dibedakan dengan kelompok lainnya. Dan manifestasi kesadaran inilah yang kemudian ditampilkan pada identitas, yakni satu label, nama  distingtif yang merupakan abstraksi dari eksistensi suatu kelompok dan digunakan individu sebagai lambang keanggotaannya.

Walau begitu, menyadari dan mengetahui identitas tidak berarti individu bersangkutan dengan serta merta mau mengakui secara terus terang bahwa ia menyandang identitas kolektif tertentu. Masih ada beberapa tahap lagi untuk mencapai kapasitas itu. Kehadiran kelompok etnik semakin menjadi nyata ketika para anggotanya mengembangkan solidaritas, yakni kapasitas untuk bertindak secara kolektif dalam rangka mencapai tujuan bersama. 

Dalam konteks inilah suatu kelompok kemudian memiliki rekognisi, yakni suatu pengakuan sekaligus penghargaan yang diberikan oleh kelompok-kelompok lain terhadap suatu kelompok tertentu bahwa mereka semua adalah unit yang setara sebagaimana dalam ekspresi “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah.” Baru dalam situasi inilah, Individu secara terbuka mengaku bahwa ia, terlepas dari kepribadiannya yang unik, sebenarnya adalah anggota dari satu kelompok tertentu, suatu sikap yang kemudian merangsang individu lain untuk menyatakan hal yang sama sedemikian sehingga keduanya bukan saja mengetahui asal kelompok masing-masing, melainkan juga mengembangkan pedoman bertindak yang paling sesuai untuk berinteraksi.

Ada asumsi pokok yang secara implisit melekat dalam definisi semacam di atas: Bahwa pada umumnya kelompok etnik itu terdiri dari individu-individu yang jumlahnya sedikit dan menempati satu lokasi geografis yang terbatas. Karena hanya dengan cara itulah mereka dapat saling mengenal secara akrab dan saling mempengaruhi secara aktif; sedemikian sehingga pada waktunya nanti menghasilkan kelompok yang solid. 

Mengingat asumsi itu, bukan hal yang mengherankan bila ada sejumlah ahli ilmu sosial yang menekankan pemikiran bahwa etnisitas sebenarnya hanya perluasan yang sedikit saja kalau tidak dapat dikatakan sama dengan kelompok primer lainnya seperti keluarga, baik inti mau pun luas. Dengan kata lain, kelompok etnik adalah sekumpulan individu yang masih ada hubungan darah satu sama lainnya.

Terlepas dari definisi umum di atas, anehnya, para ilmuwan sosial selama ini cenderung sangat longgar ketika mengaplikasi konsep itu ke lapangan empirik. Dalam rentang waktu yang sangat panjang dan wilayah yang sangat luas, para ahli dengan sangat mudah mengatakan bahwa sejumlah orang yang tinggal di satu daerah adalah kelompok etnik sedemikian sehingga terkesan bahwa dunia pada umumnya hanya terdiri dari sedikit kelompok etnik. Pengertian kelompok etnik secara diam-diam melebar menjadi bangsa, dan kehadiran bangsa dikaitkan secara erat dengan negara (nation-state) sedemikian sehingga setiap kelompok etnik memiliki jumlah anggota yang sangat besar, sangat bervariasi, dan menempati wilayah geografis yang sangat luas.  

Dari sudut pandang sosiologis, dengan demikian, gambaran kelompok etnik berubah dari yang bersifat homogen menjadi heterogen, dan dari solidaritas menjadi integrasi. Konsep terakhir ini merujuk kepada ikatan sosial yang bukan lagi bersumber pada aspek emosional berdasarkan kesamaan dimana individu-individu berperan secara langsung, tetapi pada rasionalitas berdasarkan perbedaan & ketergantungan di mana suatu organisasi perwakilan semacam negara memiliki peran besar.

Sebagai akibatnya, asumsi pokoknya tentu saja juga mengalami perubahan, kelompok etnik bukan lagi merupakan kelompok primer, tetapi sekunder, tersier bahkan lebih tinggi lagi. Selama ini kita cenderung memahamkan bahwa masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok etnik, dan perbedaan yang menyolok antara masyarakat dan kelompok etnik adalah fakta bahwa unit sosial yang pertama disebut itu merupakan unit yang paling abstrak. Bila kita tetap menerima kelompok etnik dalam pengertian semacam itu, sama saja dengan mengatakan bahwa kedua unit itu adalah sama persis, identik. Dan dalam pemahaman seperti itu, jadi, individu-individu yang menjadi anggota kelompok etnik tidak lagi saling berinteraksi tatap muka, bahkan tidak mengenal satu sama lain. 

Ben Anderson (1983/1991) menyebut hal itu sebagai imagined community (komunitas yang dibayangkan, dianggap ada). Dengan konsep itu ia hendak menegaskan bahwa apa yang banyak dipahamkan sebagai kelompok etnik atau bangsa itu sebenarnya bukan merujuk kepada kenyataan (das sein), tetapi hanya harapan atau cita-cita orang-orang tertentu (das sollen). 

Dengan memanfaatkan ikatan-ikatan yang masih hidup di masyarakat – sesuatu yang Hobsbawm (1994) sebut sebagai proto nasional—sejumlah orang, biasanya tokoh kritis pada masanya, merumuskan visi bahwa orang-orang yang hidup di satu wilayah geografis tertentu melalui perjalanan waktu yang panjang telah mengembangkan karakteristik yang sama dan ikatan-ikatan yang kuat berdasarkan aspek-aspek penting tertentu; sedemikian sehingga misi mereka adalah merancang suatu proyek untuk membangun, merealisasikan komunitas bayangan itu menjadi kenyataan.

Namun apa pun bentuk kelompoknya, primer atau tersier, nyata atau impian, mereka semua tunduk pada mekanisme berikut. Guna mempertahankan eksistensinya di suatu lingkungan, setiap kelompok etnik, seperti juga kelompok-kelompok lainnya, senantiasa mengusahakan demarkasi; yakni, suatu sistem yang berusaha melaksanakan mekanisme seleksi; ia memang memerlukan input, namun tidak semua input boleh masuk, input yang negatif atau membahayakan jelas harus ditolak, karena hanya dengan cara itulah ia dapat mengolah input menjadi output yang diperlukan lingkungan; sedemikian sehingga dapat memberikan umpan balik berupa input selanjutnya. 

Suatu kelompok harus menjaga keseimbangan antara input-output. Namun dalam kasus tertentu, ada kalanya ia harus mengembangkan diri, membiarkan input lebih banyak, dan dalam kasus lain, ia justru lebih banyak mengeluarkan output sebelum ia kembali ke posisi keseimbangan semula atau mungkin keseimbangan baru yang lebih baik.

Dalam kelompok etnik yang sesungguhnya, prinsip mekanisme serupa ditampilkan dalam bentuk proses inklusi dan ekslusi yang salah satunya bertalian dengan definisi keanggotaan suatu kelompok. Tidak semua individu dapat menjadi anggota, hanya individu-individu yang memenuhi kriteria tertentu, namun kadang-kadang kelompok etnik memang harus mengembangkan diri dengan memasukkan individu-individu yang lebih besar karena dengan cara itu ia dapat mencapai posisi tawar yang lebih baik & menguntungkan. 

Dalam situasi itu, kelompok etnik dapat menjadi inklusif, semua seakan dapat masuk, sebaliknya dapat juga terjadi situasi ekslusif, semua seakan tidak dapat masuk karena kelompok memilih untuk mempertahankan jumlah anggota dengan berbagai alasan. Kedua situasi itu jelas ada risikonya, inklusifitas condong menghasilkan masalah besarnya gaya sentrifugal (dorongan ke luar), sedangkan ekslusifitas menghasilkan masalah besarnya gaya sentripetal (dorongan ke dalam).

Di situasi pertama sebagai akibat besarnya anggota, individu-individu menghadapi anomie dan kehilangan solidaritas; sedemikian sehingga mereka terdorong untuk melakukan disetnisisasi, yakni suatu proses pembentukan dan/atau kembalinya suatu kelompok besar (payung) ke dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil. 

Di situasi kedua, sebagai akibat tidak bertambahnya anggota, individu-individu menghadapi proses uniformisasi & solidaritas yang berlebihan; sedemikian sehingga mereka terdorong melakukan etnisisasi, yakni suatu proses pembentukan kelompok etnik yang cenderung semakin homogen & solid.  

Melalui perjalanan waktu, satu saat mungkin saja kelompok etnik yang mengalami masalah dialektika ekstrim itu kemudian berusaha mencapai keseimbangan baru, satu siituasi di mana individu-individu kemudian terdorong melakukan reetnisisasi, yakni suatu proses rekonstruksi, membongkar kelompok etnik yang lama dan membentuk kelompok etnik yang sama sekali baru. 



Perkembangan Etnisitas & Identitas Dayak 

King (1993), seorang antropolog terkemuka mengatakan bahwa Dayak merupakan satu istilah yang baru dikenal oleh Belanda pada pertengahan abad ke-18, namun penelaahan Henri Roth (1968) menunjukkan bahwa hingga akhir abad 18, belum ada satu pun literatur yang menyebut penduduk Pulau Borneo (nama pulau itu sebelum kelahiran Indonesia) adalah Dayak. Tulisan yang dibuat Forster (1783) malah menyebut mereka sebagai Borneo Bejayos. Literatur lainnya menyebut Borneer (Valentijn, 1726). Ada literatur yang menyatakan bahwa seorang Belanda bernama August Kaderland adalah orang yang pertama kali menyebut istilah Dayak pada 1895 (Depdikbud 1995/96 seperti dikutip Maunati 2005). 

Terlepas dari berbagai perbedaan pendapat itu, satu hal yang tampaknya disepakati oleh berbagai literatur tersebut bahwa Dayak kendati mungkin memang berasal dari kata yang ada dalam bahasa lokal, namun bukan merujuk kepada nama untuk kumpulan individu. Dayak kemungkinan adalah satu istilah yang diterapkan sepenuhnya oleh pihak luar, terutama Belanda, yang secara keliru menganggap kata itu sebagai nama kolektif seluruh penduduk dengan ciri tertentu sebagaimana juga mereka secara keliru menyebut pulau terbesar kedua di dunia ini sebagai Borneo, yang kemungkinan berasal dari kata Burni, nama sebuah kerajaan ujung di sebelah utara. 

Singkatnya, sebagai konsep sekali pun, Dayak adalah satu istilah yang baru, tidak diketahui bahkan mungkin asing bagi orang lokal sekali pun. Dalam jangka waktu yang panjang, penduduk lokal sendiri hidup dalam suatu dunia yang bermakna menurut kelompok bahasa atau dialek masing-masing, ikatan keluarga dan adat-istiadat yang distingtif. Ada ratusan kelompok, setiap kelompok memiliki nama sendiri, biasanya menurut nama lokasi dan/atau sungai, dengan jumlah masing-masing anggota yang relatif terbatas. Mereka adalah misalnya, sekadar menyebut contoh, Iban, Taman, Kayan, Kantuk, Seberuang, Tayan, Ribun, Kanayatn, Bekati, Jelai, Pesaguan, dan sebagainya. Dan kalau pun para anggota berbagai kelompok itu ingin menggunakan identitas kolektif, mereka memiliki sebutan sendiri, salah satunya adalah misalnya, “orang Darat” atau “orang Hulu.”

Istilah Dayak tampaknya hanya populer di kalangan orang Barat dan sejumlah orang lokal tertentu yang memiliki akses untuk berhubungan dengan orang Barat dan pemerintahan kolonial. Di kalangan penduduk lokal, istilah Dayak kemungkinan diperoleh dan berkembang di Kesultanan Pontianak untuk kemudian menyebar ke kesultanan dan panembahan di berbagai daerah lainnya di suatu wilayah yang waktu itu oleh Belanda disebut sebagai Keresidenan Borneo Barat. Tetapi karena wujudnya dalam bentuk dokumen hukum, kemungkinan besar istilah itu tetap hanya diketahui oleh kalangan yang sangat terbatas. 

Pemerintah Hindia Belanda sendiri secara tidak langsung mulai mensosialisasikan istilah itu ketika para penjabatnya mengumpulkan sejumlah tokoh lokal di Tumbang Anoi pada 1894 yang dulu masuk ke Keresidenan Borneo Timur. Namun karena kondisi prasarana dan sarana transportasi masa itu, di samping kondisi finansial pemerintah Hindia Belanda saat itu, membuatnya tidak mungkin mengundang seluruh tokoh secara representatif, karena itu sosialisasi masih juga tetap terbatas, apalagi para tokoh yang diundang itu sendiri mengalami kesulitan yang sama, kalau tidak dapat dikatakan tidak ada dorongan sama sekali.

Sosialisasi istilah Dayak diperkirakan semakin meluas ketika para misionaris mulai menyebarkan Katolik pada awal abad 20. Dengan membuka gereja, sekolah dan rumah sakit, secara perlahan para pastur dan suster mulai mengintroduksikan kata yang dimaksudkan sebagai nama kolektif itu kepada sejumlah penduduk lokal yang mereka layani. Namun tidak ada bukti yang kuat bahwa upaya sosialisasi itu mengalami keberhasilan. Pihak gereja Katolik sendiri dalam satu dokumentasinya mengatakan bahwa pada tahun 1930-an, banyak orang yang mereka sebut Dayak lebih menyukai mengaku atau mengaku-aku sebagai “orang Katolik.” 

Sebagaimana juga pencitraan yang terdapat pada literatur Barat pada abad 19-an, sejumlah penduduk lokal mulai mengasosiasikan Dayak dengan sesuatu yang menggambarkan keterbelakangan, kebiadaban, kekotoran dan ciri-ciri negatif lainnya. Walau demikian, patut diperhatikan secara khusus bahwa istilah itu sebenarnya tidak selalu merujuk kepada identifikasi suatu kelompok tertentu secara konkret, di antara para individu yang berasal dari berbagai kelompok lain, termasuk kelompok itu sendiri, juga sering menggunakan kata itu sebagai satu umpatan atau seloroh dengan sesamanya: “Dayak kau,” “Pantaslah Dayak,” dan sebagainya.

Upaya sosialisasi kata Dayak mulai mendekati momentumnya ketika di bawah pengaruh seorang pastur Jesuit Jawa, sejumlah tokoh yang dimotori oleh Palaunsoeka kemudian mendirikan suatu organisasi bernama Daya in Action yang kemudian berubah menjadi Partai Persatoean Daya yang anehnya hanya disingkat menjadi dua huruf, PD, pada 1947. Hal ini, bersama berdirinya Kantor Urusan Daya oleh NICA pada 1946 dan pemakaian satu buku pelajaran di sekolah beberapa tahun sebelumnya, merupakan suatu perkembangan yang sangat signifikan. Pada masa itulah kata Dayak mulai diperkenalkan dalam media  tulisan formal yang menjangkau perhatian publik, bukan lagi sekadar bahasa lisan secara informal sebagaimana awal abad 20.

Menarik juga memperhatikan bagaima pada periode yang sama pemerintahan DIKB di bawah pimpinan Sultan Hamid II menyediakan berbagai kursus yang memungkinkan orang-orang dari pedalaman dapat menjadi pegawai negeri, polisi, dan tentara. Melalui berbagai kampanye yang dilakukan PD pada awal 1950-an, kata Dayak semakin populer, dan sebagian berkat itu pula yang mungkin membuat PD memperoleh suara terbesar kedua pada Pemilu 1955 dan suara besar pertama pada Pemilu 1958, yang dua tahun kemudian menempatkan Oevaang Oeray sebagai Gubernur/KDH pertama yang berasal dari penduduk lokal; dan diikuti oleh banyak orang-orang yang menduduki jabatan birokrasi, mulai dari Camat, bupati hingga jabatan di legislatif yang setara dengan posisi wakil gubernur di masa sekarang.

Walau demikian adalah ada beberapa detail yang perlu secara saksama kita amati. Tulisan formal yang dibuat adalah DAYA (tanpa K), bukan DAYAK. Ini bukan sekadar masalah semantik, tetapi lebih merujuk kepada sikap belum menerima sepenuhnya dari para anggota suatu kelompok. Daya adalah sesuatu yang berasosiasi dengan kekuatan, sesuatu yang positif, beda dengan Dayak, yang membuka peluang berbagai asosiasi negatif.

Lebih jauh, para anggota sendiri banyak yang tidak mau disebut sebagai orang Daya, tetapi “orang PD.” Ini sekali lagi bukan sekadar masalah semantik, bukan sekadar karena Daya masih mudah dipelesetkan menjadi Dayak, melainkan juga fakta bahwa baik kata Daya mau pun Dayak mungkin memang masih belum populer kalau tidak dapat dikatakan tetap asing. PD popularitasnya lebih tinggi dan yang mungkin paling penting, singkatan yang sebenarnya kurang lengkap itu berasosiasi dengan makna yang membanggakan, membuat orang yang membuat pengakuan memperoleh respek dari pihak lainnya. 

Dan yang menarik, fakta bahwa mereka yang menjadi anggota dan/atau pengurus PD bukan hanya yang berasal dari apa yang sekarang disebut orang Dayak semata, melainkan juga berbagai anggota kelompok etnik lain yang sekarang biasa disebut sebagai Cina atau Tionghoa, dan Melayu. Mereka jelas tidak mau disebut orang Daya, atau Dayak, beberapa orang bahkan marah dan memukul lawan bicaranya bila mengatakan hal itu, sebaliknya senang bila orang mengatakan “kau orang PD.”

Pembekuan PD berdasarkan peraturan pemerintah pada awal 1960-an mungkin berpengaruh pada menghilangnya “aku orang PD.” Peristiwa Demonstrasi yang diikuti Operasi Penumpasan PGRS/Paraku pada 1967 hingga awal 1970-an memang sempat membuat kata Dayak mengemuka secara publik, namun secara faktual nampaknya tidak pernah menjadi acuan bagi identifikasi diri setiap individu. 

Alih-alih munculnya identitas Dayak, yang menonjol adalah munculnya identitas Menyuke. Hal yang sama juga terjadi ketika pemerintah pusat, dengan berbagai alasan, mulai menggunakan dan memanfaatkan konsep Dayak secara luas. Demi kepentingan kooptasi pemerintah memfasilitasi pembentukan lembaga Kedayakan seperti Dewan Adat Dayak (DAD) pada akhir 1980-an, dan Majelis Adat Dayak (MAD) pada awal 1990-an; demi kepentingan pariwisata & politik kebudayaan, pemerintah membangun rumah betang di Pontianak, membuat rumah adat di TMII Jakarta, mengkordinasi acara Gawai, mempublikasi sejumlah buku yang mempromosikan Kedayakan, namun secara umum tampaknya belum cukup membuat orang-orang yang menjadi sasaran kebijakan itu menyadari & mengakui identitas etnik mereka. 

Situasi ini mungkin erat kaitannya dengan fakta lain bahwa, pada saat pemerintah sedang mempromosikan Kedayakan, dalam periode yang sama pemerintah juga sebenarnya sedang melakukan pengikisan infrastruktur Kedayakan pada banyak aspek. Pemerintah menghancurkan hutan yang menjadi lingkungan hidup orang-orang lokal, menghancurkan organisasi sosial-politik tradisional, tidak mengakui hukum adat, membatasi saluran politik, dan satu kelompok penduduk lokal yang mendominasi birokrasi pemerintah daerah menghalangi akses sejumlah penduduk untuk bersekolah dan menjadi pegawai negeri sipil.

Situasi mulai mengalami perubahan pada 1980-an. Dengan semakin banyak penduduk lokal yang berpendidikan, menjadi guru, dosen dan berbagai profesi lainnya, berkembangnya umat Katolik & Protestan, telah menyebabkan kemunculan berbagai orang-orang kritis. Dalam konteks ini, menarik juga menyatat perkembangan baru di Untan yang memungkinkan banyaknya penduduk lokal masuk baik sebagai mahasiswa mau pun dosen Dari universitas ini sejumlah orang kritis tertentu dengan berkoloborasi dengan pihak luar, mendirikan Pancur Kasih yang pada gilirannya melahirkan sebuah organisasi bernama IDRD yang kemudian berubah menjadi Insititut Dayakologi. 

Melalui berbagai pertemuan dan terutama terbitnya majalah bulanan Kalimantan Review (KR), di samping bermunculannya berbagai tokoh dan organisasi lain yang sejenis, jumlah orang-orang kritis lokal menjadi semakin besar. Dan yang menarik, berkembangnya orang kritis bukan hanya terjadi di kalangan penduduk lokal, melainkan juga di kalangan luar, baik dari wilayah Indonesia lainnya seperti Jawa, mau pun luar negeri. Dengan berbagai fasilitasi material, finansial dan intelektual, para simpatisan dari luar bersama penduduk lokal melakukan berbagai kegiatan penting, salah satu di antaranya adalah penyelenggaraannya satu seminar nasional di Pontianak pada 1992. Dalam pertemuan yang diekspos oleh media massa nasional itu, para peserta mengeluarkan kesepakatan untuk menerima Dayak, bukan Daya, sebagai nama kelompok etnik bagi penduduk lokal yang tinggal di Kalimantan.

Walau demikian, perlu beberapa tahun lagi, yang membuat orang-orang lokal mulai meninggalkan identitas kelompok primer mereka. Titik kulminasinya terjadi sejak 1997, saat orang-orang Dayak berhasil menunjukkan solidaritasnya kepada negara dan kelompok etnik pendatang. Tidak lama setelah itu, orang-orang lokal dalam jumlah besar secara terbuka menunjukkan “aku orang Dayak” kepada berbagai pihak dalam masyarakat dan juga negara. Kekuatan pengakuan diri itu semakin menguat seiring dengan tumbangnya Orde Baru dan munculnya kebijakan Otonomi Dati II . 

Satu demi satu orang Dayak berhasil terpilih menjadi bupati & wakil bupati, yang kemudian diikuti oleh semakin banyaknya orang Dayak yang terpilih menjadi anggota legislatif mulai dari tingkat II, I hingga pusat, serta promosi sejumlah orang Dayak dalam jabatan strategis di birokrasi pemerintahan daerah. Dan pada akhir 2002, seorang Dayak yang tidak terpilih menjadi bupati di pedalaman akhirnya berhasil menjadi wakil gubernur. Di luar itu, semakin banyak perusahaan swasta yang membutuhkan tenaga kerja Dayak, beberapa di antara bahkan merekrut tokoh Dayak dalam posisi prestisius seperti sebagai manajer, direktur, dan komisaris. Beberapa pengusaha Dayak yang pada awal 1990-an sudah muncul menjadi semakin berkembang dan sejumlah pengusaha baru bermunculan. Hal yang sama, hingga beberapa derajat, juga terjadi pada LSM. 



Politik Identitas 

Kehadiran Dayak sebagai suatu kelompok etnik dalam arti yang sesungguhnya dengan cepat merangsang sejumlah kelompok kecil lainnya untuk mengkosolidasikan diri menjadi satu kelompok besar. Kecuali mungkin Pontianak, kelompok-kelompok lainnya awalnya menamakan diri sesuai dengan wilayah geografis dan kerajaan/kesultanan di masa lampau. Sebelum Dayak memunculkan diri ke permukaan, kelompok-kelompok ini awalnya hanya memiliki perbatasan yang kabur dengan kelompok-kelompok kecil yang menjadi tetangganya. 

Satu-satunya perbedaan yang menyolok hanyalah pada orientasi agama. Satu contoh yang paling menarik misalnya, hampir seluruh bupati di Kapuas Hulu memiliki hubungan keluarga satu sama lainnya. Namun situasinya dengan cepat dan dramatis berubah sejak 1997. Kelompok-kelompok kecil itu kemudian mulai menyatukan diri, dan puncaknya pada awal 1999, mendeklarasikan dirinya sebagai Melayu.

Berbeda dengan Dayak, Melayu memang berasal dari istilah lokal dan telah lama dikenal di wilayah yang sekarang bernama Kalimantan Barat itu. Namun sebagaimana Dayak, istilah Melayu sebenarnya praktis tidak pernah digunakan sebagai nama kelompok etnik, baik oleh para anggotanya sendiri mau pun penduduk lokal lainnya. Adalah pihak luar, terutama Belanda, yang secara sepihak menggunakan istilah itu untuk kepentingan politiknya sendiri. Orang-orang itu sendiri pada masa yang belum lama berlalu masih mengidentifikasi diri menurut versi mereka masing-masing, dan untuk tujuan kolektif, mereka juga menggunakan istilah lain seperti “orang Laut.”  Dengan memilih istilah baru sebagai “orang Melayu,” maka ia mungkin satu-satunya di Kalimantan (Indonesia) yang menggunakan Melayu sebagai idetitas etniknya secara eksplisit.

Dayak dan Melayu dengan segera terlibat dalam persaingan ketat untuk menduduki jabatan-jabatan strategis, mulai dari yang bersifat politis seperti kepala daerah, hingga ekspertis seperti kepala biro atau manajer. Ini adalah situasi unik karena, hingga beberapa derajat, mungkin dapat dikatakan tanpa munculnya Dayak, tidak mungkin ada Melayu. Dayak adalah aksi, sedangkan Melayu reaksi; Dayak adalah tesis, sedangkan Melayu antitesis. 

Dengan mudah hal itu kita dapat lihat pada kenyataan sederhana berikut. Dayak punya panglima, Melayu mengikutinya dengan mengangkat panglima ‘baru;’ Dayak punya MAD, Melayu mendirikan MABM; Dayak punya Dayakologi, Melayu mendirikan Pusat Kajian Budaya Melayu; Dayak punya rumah betang, Melayu mendirikan rumah adat Melayu; Dayak punya gawai, Melayu mengadakan festival budaya Melayu, dan seterusnya. Dalam beberapa bulan terakhir ini, Dayak menyatukan diri secara nasional dengan menghapus MAD dan mendirikan DAD di setiap provinsi di Kalimantan. Publik mungkin tidak akan terkejut sama sekali bila Melayu tidak berapa lagi akan mengikuti jejak yang sama.

Apa yang terjadi dalam satu dasawarsa terakhir ini di Kalimantan Barat adalah berkembangnya politik identitas, yakni satu situasi dimana para aktor berjuang untuk memperoleh kekuasaan dengan mengandalkan prinsip rekognisi kelompok yang diwakilinya. Situasi ini kontras dengan politik ideologis di mana para aktor bertarung dengan menjual visi dan misi menurut kubu pemikiran tertentu secara bebas sebagaimana mekanisme pasar. Para pemilih dengan pertimbangan rasionalitas, sebagaimana layaknya konsumen, memilih untuk membeli atau tidak tanpa harus khawatir dengan konsekuensi moral tertentu.

Sebaliknya, dalam situasi politik ideologis, para pemilih hanya membeli semata dengan pertimbangan emosional, bahwa karena calon adalah “orang diri” atau “orang kite,” sang calon tentu berpihak kepada pemilih, bahkan bila terpilih dengan mudah ia dapat memberikan fasilitas secara ‘pribadi’ kepada pemilih. Situasi yang sering terjadi dalam kasus ini adalah pemilih pada kenyataannya tidak memiliki posisi tawar yang cukup untuk menagih janji atau meminta fasilitas kepada calon yang sekarang. 

Dalam kasus ekstrem, politik identitas dapat berpotensi menyeret ke situasi kritis tertentu, karena tidak dapat menerima kekalahan di arena kelembagaan, calon yang berpengaruh dapat memobilisasi para anggotanya bertindak kolektif untuk melanjutkan pertarungan bukan lagi dalam koridor hukum, tetapi pindah ke jalanan dengan berbagai jenis persenjataan. Dan sebagaimana dalam pertarungan bebas pada umumnya, para perusuh tidak lagi mempedulikan siapa sasaran mereka, seluruh orang dan barang, sepanjang dianggap mewakili eksistensi kelompok lawan, mereka akan membantai semuanya.

Apakah mungkin terjadi pertikaian berdarah bertalian dengan merebaknya politik identitas di provinsi ini? Saya pribadi menilai kecil kemungkinannya. Hingga beberapa derajat, secara umum kita menyaksikan banyak individu yang menyatakan ketidakinginan mereka untuk terlibat dalam berbagai insiden berdarah yang membawa identitas etnik. Kita juga mulai menyaksikan suara-suara ketidakpuasan di kalangan rakyat bertalian dengan identitas etnik.

Di sejumlah lokasi, orang-orang mengeluh bahwa apa yang disebut sebagai pihak yang membela kelompok etnik tertentu sebenarnya hanya untuk membela kepentingan pribadi, keluarga atau sub-sukunya. Di beberapa lokasi, orang-orang yang kritis mengamati bahwa calon yang berasal dari sub-suku beranggota kecil memiliki kecenderungan untuk memainkan faktor etnisitas, sedangkan sub-suku besar cenderung memanfaatkan etnisitas untuk mengintimidasi sub-suku kecil demi mencapai agenda politiknya sendiri. Di lokasi lain, beberapa orang ‘politisi’ dengan mudah mengubah-ubah identitasnya sesuai dengan kepentingan politiknya.

Mengingat situasi itu, bukan hal yang mengherankan bila sekarang muncul orang-orang yang lebih menyukai pejabat atau pimpinan daerahnya berasal dari kelompok etnik lain dengan alasan lebih koperatif & mudah mengendalikannya ketimbang bila pejabat itu memiliki identitas etnik yang sama dengan rakyatnya.

Siapa nanti yang akan terpilih menjadi Gubernur Kalimantan Barat? Sesuai prinsip keadilan, saya pribadi berharap agar orang Dayak yang kali ini dapat mendapat kesempatan emas itu. Dan bila calon Dayak benar-benar terpilih sebagai gubernur, ada kemungkinan orang itu lebih banyak dipilih oleh orang-orang yang melakukan konversi etnik semacam Daeng, dan orang-orang yang memiliki identitas lain tapi bersimpati kepada Dayak.

Walau demikian, sekali pun Dayak nanti tidak terpilih, mereka tidak perlu berkecil hati karena gubernur baru itu, siapa pun dia, kemungkinan besar merupakan hasil pilihan orang-orang Dayak sendiri, dan konsekuensinya gubernur itu tetap tidak dapat mengabaikan, kalau tidak dapat dikatakan justru lebih memperhatikan kepentingan dan aspirasi Dayak. Hingga beberapa derajat yang sangat terbatas, hal ini telah dibuktikan di Sanggau. Dan inilah yang mungkini merupakan realitas sosial-politik yang berlaku.

CV Singkat 

Nama lengkap M. Iqbal Djajadi, lahir di Bogor 45 tahun lalu, pendidikan S1 dan S2 di Departemen Sosiologi di Universitas Indonesia dan sekarang sedang menulis disertasi tentang relasi etnik di Departemen Antropologi, Universitas Nijmegen. Pekerjaan staf pengajar Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial & ilmu Politik, Universitas Indonesia. Hobi, menghabiskan waktu di warung kopi, minum & menyerap ilmu dari orang-orang Kalimantan Barat.