Senin, 24 Oktober 2016

Berapa Banyak Konflik Etnik di Kalimantan Barat? - Meninjau Kembali Pengertian Konflik dan Etnik

Paper yang dipresentasikan pada Diskusi Berseri Madanika pada Rabu, 2 Maret 2005 di P3M Pontianak

Iqbal Djajadi


Selama ini literatur dan pandangan populer cenderung menggambarkan Kalimantan Barat (Kalbar) sebagai wilayah yang banyak mengalami konflik etnik. Berbagai studi dan reportase media massa selama ini menyebutkan bahwa provinsi yang memiliki ibukota yang terletak di garis Katulistiwa itu setidaknya telah mengalami konflik etnik mulai dari 9 hingga belasan kali insiden. 

Dengan meninjau kembali pengertian dasar konflik etnik, paper yang sangat singkat ini berusaha mengusik keberlakuan fakta di atas dengan mengajukan alternatif fakta lainnya: bahwa  mungkin Kalbar sebenarnya tidak pernah mengalami konflik etnik sama sekali. Bila pun pernah, jumlahnya mungkin tidak sebanyak sebagaimana anggapan selama ini. 



Pendahuluan 

Salah satu konsep yang dapat dipandang sebagai yang paling populer dalam satu dasawarsa terakhir ini mungkin adalah konflik etnik. Kendati populeritasnya sudah  meredup dikalahkan oleh konsep-konsep lain seperti reformasi, otonomi Dati II dan Pilkada misalnya, namun publik mungkin masih mengingatnya. Banyak orang yang membicarakan dan mendiskusikan konsep ini. Uniknya, praktis hampir tidak ada satu pun pihak yang merasa perlu untuk mendefinisikan konflik etnik. Baik wartawan maupun ilmuwan tampaknya menganggap publik secara umum sudah tahu dengan sendirinya, konsep ini dianggap sama terangnya dengan, misalnya, matahari, bulan, bintang dan, tentu saja, lampu Philip.

Paper berikut berusaha menangkap pengertian konflik etnik, mengeksplisitkan sejumlah asumsi-asumsi tersembunyi, dan berdasarkan itu melakukan evaluasi yang kritis terhadap daftar konflik etnik yang selama ini beredar luas di kalangan publik. 



Pengertian Konflik, Etnik dan Konflik Etnik 

Sukar untuk mengetahui persis apa yang dimaksud dengan konflik, namun pengamatan yang saya lakukan selama 5 tahun di lapangan setidaknya membersitkan kesan bahwa pada umumnya konflik merujuk kepada situasi peperangan, satu pertikaian yang bermula dari tindakan penganiayaan dan/atau pembunuhan antar-etnik yang bersifat individual namun kemudian berkembang menjadi pertikaian kolektif dengan cara yang keras di suatu wilayah yang luas sedemikian sehingga menimbulkan korban jiwa dan harta yang relatif besar.

Sebagaimana konsep sebelumnya, sukar untuk memahami apa yang dimaksud dengan etnik atau suku. Semua orang tampaknya seakan beranggapan bahwa Dayak, Melayu, Madura, Cina dan lainnya memang merupakan kelompok-kelompok etnik. Mereka adalah eksis, ril, dan dapat dibedakan satu sama lainnya Secara implisit, tersirat anggapan bahwa semua individu yang terdapat dalam, atau yang menjadi anggota suatu kelompok etnik itu tinggal dalam satu wilayah yang relatif terbatas dan jelas batas-batasnya, serta memiliki tingkat interaksi yang tinggi; sedemikian sehingga masing-masing kelompok etnik dapat dipandang relatif homogen dan memiliki solidaritas. Dan karena itu, para individu tersebut secara aklamasi, dari sejak awal hingga akhir, menerima identitas bersama yang bersifat tunggal.

Dengan menggunakan istilah konflik etnik, publik tampaknya berusaha menggambarkan transformasi dari kekerasan individual menjadi sesuatu yang bersifat kolektif. Mengikuti pemikiran Durkheim, publik membayangkan seolah individu-individu dalam kelompok etnik di Kalbar sebagai atom-atom yang serupa dan setara, dan justru karena kesamaan itulah terjadi integrasi di antara mereka. 

Dalam kondisi semacam ini, manipulasi pada satu atom akan menimbulkan reaksi yang sama pada atom-atom lainnya. Ini berarti, konkretnya, bila ada pihak yang menganiaya atau membunuh satu individu, maka individu-individu lain dalam kelompok etniknya akan melakukan pembalasan secara kolektif. Hukum yang berlaku pada solidariti mekanik adalah “hutang nyawa bayar nyawa,” bersifat represif.



Analisis 

Analisis berikut berangkat dari suatu kondisi di mana data yang tersedia sebenarnya tidak lengkap sehingga menyulitkan pengamat untuk melakukan penilaian final. Daftar-daftar umumnya tidak menjelaskan asal mula pertikaian, dan keterangan berapa banyak pelaku dan korban. Umumnya daftar tidak menyebutkan nama korban dan/atau pelaku, hanya nama kelompok etniknya. Beberapa daftar tidak konsisten dalam penentuan waktu dan tempat kejadian.

Walau demikian, dalam beberapa kasus terbatas, pengamatan yang seksama menunjukkan bahwa daftar ternyata menyampur-adukan antara satu insiden berlevel individual yang berperan sebagai faktor pencetus dengan insiden berlevel kolektif yang berperan sebagai akibat. 

Sebagai contoh, kita dapat mempertanyakan mengapa usaha melarikan diri beberapa pekerja paksa Madura dari majikan Bugis di Ketapang pada 1933 oleh pihak tertentu dianggap sebagai konflik etnik. Tidak ada korban jiwa sama sekali, sang majikan ternyata meminta bantuan pada polisi bukan kepada orang-orang Bugis, dan ketika polisi berhasil menangkap para pekerja itu tidak ada reaksi dari Madura. Artinya, kita sama sekali tidak melihat adanya konfrontasi fisik di antara Bugis versus Madura sebagai akibat penangkapan kembali para pekerja ‘paksa’ tersebut. 

Pada 1951 (1952?) Congken membunuh Pung Jin di Singkawang, namun penelusuran di lapangan sejauh ini belum berhasil mengidentifikasi bahwa pembunuhan itu terbukti telah menimbulkan reaksi berupa pertikaian kolektif antara Madura dan Dayak. Demikian pula halnya dengan insiden di Tumbang Titi Ketapang pada 1994, tidak ada korban jiwa sama sekali, dan hanya berlangsung dalam lokasi yang kecil di satu desa. Beberapa terluka, termasuk anggota polisi yang bertugas untuk melerai. Dan yang paling penting, tidak ada reaksi kolektif baik di antara Dayak maupun Madura sebagai akibat insiden tersebut.

Mengapa para penulis atau peneliti yang menyusun daftar ini memasukkan kasus-kasus pidana penganiayaan dan/atau pembunuhan tertentu yang bersifat individual kendati semua kasus tersebut tidak menimbulkan reaksi kolektif?  Anehnya, siapa pun penyusunnya, ia atau mereka ternyata tidak memasukkan semua kasus pidana tersebut ke dalam daftar konflik etnik.

Pengamatan sepintas menunjukkan bahwa hanya kasus pidana yang dilakukan individu yang berasal dari Madura saja yang dimasukkan, sedangkan pelaku tindak pidana yang berasal dari etnik lain dengan individu Madura sebagai korban, penyusun nampaknya ‘malas’ untuk memasukkannya. Satu kasus yang menarik misalnya, di Tebas pada 1995 beberapa perampok Melayu pernah merampas perhiasan satu keluarga Madura yang kemudian mengakibatkan sang istri meninggal. 

Lebih aneh lagi, bila memang niat penyusun hanya ingin sekadar menyusun semacam “daftar dosa” kasus-kasus pidana individual yang dilakukan Madura, mengapa mereka tidak memasukkan seluruh kasus tersebut. Satu laporan yang dibuat tim peneliti FISIP-UNTAN pada tahun 2000 pernah memasukkan berbagai kasus pidana individual Madura di Sambas sejak 1950-an dalam suatu tabel yang relatif lengkap. Anehnya, mereka sama sekali tidak menyebut, atau memasukkan berbagai kasus itu ke dalam daftar yang disebut secara eksplisit sebagai konflik etnik.

Sebaliknya, penyusun daftar konflik etnik Kalbar nampaknya juga tidak tergerak untuk memasukkan sejumlah kasus tindak pidana individual dari etnik non-Madura yang notabene sempat berkembang menjadi kolektif. Misalnya saja,  sebagai akibat kericuhan individual pada Desember 1999 di Pontianak, puluhan individu Dayak melakukan semacam parade kekuatan yang kemudian memancing ribuan individu Melayu melakukan penyerangan sehingga mengorbankan 6 orang Dayak terluka satu di antaranya cacat permanen, dan 1 orang Dayak tewas. 

Dibandingkan insiden Ketapang 1933 dan Tumbang Titi 1994, jelas insiden Gang Landak merupakan suatu peristiwa besar apalagi bila dipertimbangkan situasi yang yang sempat tegang selama beberapa hari bukan saja di Pontianak, melainkan juga di Darit, tempat asal sebagian besar korban Dayak. Anehnya, penyusun juga lagi-lagi tidak memasukkan hal itu ke dalam daftar konflik etnik Kalbar.

Benarkah ada konflik etnik di Kalbar? Bila kriterianya hanya sekadar dari besarnya korban jiwa dan materi serta luasnya area pertikaian, insiden penumpasan PGRS/Paraku pada 1967 seharusnya tidak pelak lagi dapat disebut sebagai konflik etnik. Namun anehnya, sebagain besar tabel konflk etnik, khususnya yang dibuat sebelum 2002, praktis hampir tidak ada yang memasukan insiden pertikaian fisik antara Dayak versus Cina tersebut.

Benarkah ada konflik etnik antara Dayak versus Madura pada 1997, atau Melayu versus Madura pada 1999? Jawabannya mungkin ya bila kriterianya sebagaimana dikemukakan di alinea terakhir. Namun bila kita kembali pada hakikat konflik etnik sebagai pertikaian antara sebagian besar anggota kelompok etnik, mungkin jawabannya menjadi meragukan.

Tidak seperti asumsi teoritik, Dayak terdiri dari banyak sub-etnik yang tinggal terpencar-pencar di wilayah yang luas. Berapa persentase individu dan sub-etnik Dayak yang terlibat dalam pengusiran dan pembunuhan Madura? Demikian pula halnya dengan Melayu yang kendati tidak sekaya Dayak, namun tetap terdiri dari banyak sub-etnik Berapa persentase individu dan sub-etnik Melayu yang terlibat dalam pengusiran dan pembunuhan Madura? Sebaliknya, berapa persentase individu dan sub-etnik Madura yang menjadi korban?

Ketika sejumlah individu Dayak dan Melayu melakukan pengusiran dan pembunuhan pada sejumlah individu Madura di sejumlah lokasi, jauh lebih banyak individu Dayak dan individu Melayu tetap hidup berdampingan secara damai di lokasi-lokasi lain. Di beberapa lokasi, Melayu justru berusaha membedakan dirinya dari Melayu yang lainnya.Hal yang sama, hingga batas tertentu, juga berlaku pada Dayak dan juga Madura.  Bahkan di lokasi pertikaian fisik sekalipun, sejumlah individu Dayak dan Melayu justru menolong individu-individu Madura.

Dalam konteks ini, jelas terlihat bahwa kelompok etnik tidak dapat dianalogikan sebagai benda dan memiliki mekanisme yang mekanik. Ketika individu-individu yang berasal dari kelompok etnik berlainan terlibat dalam pertikaian, sering kelompok etniknya tidak bereaksi sama, tidak terdorong untuk mengembangkan solidariti dan bertindak untuk melakukan aksi pembalasan. Bahkan dalam situasi ketika ada sejumlah individu berusaha melakukan provokasi, kelompok etnik tidak terpancing.



Penutup 

Paper ini tidak bermaksud menyimpulkan bahwa di Kalbar sama sekali tidak ada konflik etnik. Paper ini hanya mengajak kita untuk bersikap lebih kritis, tidak asal mengutip, tetapi mengembangkan pemikiran yang logis dan mengujinya secara empirik. Konflik etnik memang ada di Kalbar, namun tidak sebesar atau sesering yang dibayangkan. Dan sadar atau tidak, mungkin saja dengan cara berpikir demikian tidak akan ada lagi konflik etnik berikutnya di masa depan nanti.



Undangan Diskusi 

Sejak kapan istilah konflik etnik muncul; siapa yang mengintroduksikannya; mengapa Kalbar digambarkan sebagai wilayah yang sering mengalami konflik etnik; apa kepentingan, manifes dan laten, pihak-pihak yang menggambarkan situasi itu; dan apa konsekuensinya?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar