tahun 2010 di
Kabupaten Ketapang, Kamis, 3 Desember
2010
M. Iqbal Djajadi
Staf Pengajar di
Departemen Sosiologi, FISIP-UI
Pengantar
Sejumlah tulisan telah mencoba memberikan penjelasan tentang hal itu, namun saya pribadi merasa belum menemukan jawaban yang memuaskan. Karena itu, saya menyambut baik undangan panitia seminar, dan menggunakan kesempatan ini untuk menemukan penjelasan yang sebenarnya. Apakah mungkin Ketapang memiliki kearifan lokal yang tidak dimiliki oleh kabupaten/kota lainnya di Kalbar? Dan bila kita dapat menemukan kearifan lokal Ketapang, mungkinkah kita menerapkannya di seluruh wilayah Kalbar?
Tulisan berikut tidak berusaha menjawab kedua pertanyaan di atas dengan mengidentifikasi apalagi mengartikulasi apa saja yang menjadi kearifan lokal Ketapang yang dapat diterapkan di Kalbar, tetapi memberikan pemahaman yang utuh dan peroporsional tentang arti kearifan lokal; sedemikian sehingga dapat digunakan oleh seluruh peserta kongres sebagai panduan untuk menemukan dan merumuskan kearifan lokal Kalbar.
Kerangka Pemikiran
Dalam bentuknya yang paling nyata, kebudayaan pada hakikatnya merujuk kepada badan pengetahuan sejumlah orang yang tergabung dalam suatu kelompok tentang manusia, alam dan relasi di antara keduanya. Manifestasi hal itu terlihat pada bahasa, yakni kumpulan kata atau konsep yang bertalian satu sama lainnya untuk membentuk pengertian dan memberikan makna bagi para penggunanya. Setiap kelompok mengembangkan kosa kata yang khas untuk merepresentasikan berbagai benda dan fenomena yang ada di sekitarnya, mengembangkan hubungan yang khas di antara berbagai kata tersebut dengan suatu cara terpola yang memungkinkan para anggotanya untuk berkomunikasi dan saling memahami. Pola itu bukan sekedar merujuk pada nama suatu wujud, melainkan juga menentukan aktivasi, asosiasi dan signifikansinya.
Dalam suatu perbincangan misalnya, pola itu akan menentukan kata mana, dari sekian banyak kata yang tersedia dalam bahasa yang, seperti sakelar lampu, perlu dinyalakan; menentukan kata mana yang perlu dihubungkan satu sama lain; dan bagaimana kesemua kata-kata tersebut diterapkan dan konteks penerapannya.
Dengan demikian, dalam bahasa, kita sebenarnya bukan hanya menemukan perbendaharaan kata khas, melainkan juga suatu pola pemikiran khas, kerangka kemasukakalan sekaligus kebermaknaan hidup suatu kelompok. Bila orang mendengar pihak lainnya menyebut kata-kata kunci yang sesuai, membuat relasi semua kata-kata tersebut dalam suatu kalimat yang sesuai, dan menyampaikannya untuk satu maksud tertentu yang juga sesuai dengan itu, maka ia memperoleh pemahaman, dan ketika ia menanggapi hal itu dengan suatu modus yang sama, orang lain pun memahaminya, sedemikian sehingga dalam proses komunikasi lahirlah suatu kesepahaman yang bermakna secara sosial.
Dalam bentuknya yang tersembunyi, pengetahuan sebagai manisfetasi kebudayaan bila diperas hingga ke esensinya maka yang tersisa adalah nilai, sesuatu yang dengan mana para anggota kelompok menentukan apa yang disebut sebagai benar (truth), baik (good), dan bagus (beautiful). Kebenaran menyangkut apa yang dianggap orang sebagai sesuatu yang menggambarkan kenyataan; kebaikan menyangkut apa yang dianggap memberikan manfaat bagi seluruh anggota kelompok (moral); sedangkan kebagusan atau keindahan menyangkut apa yang dianggap memberikan efek menyenangkan.
Ketika ketiga jenis nilai-nilai tersebut dijabarkan menjadi norma, maka mereka berubah menjadi pedoman bertindak bagi suatu kelompok. Dalam konsepsi yang populer disebut sebagai pranata (lembaga atau institusi) itu, setiap kelompok menentukan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh para anggota, lengkap dengan imbalan dan sanksinya.
Setiap manusia hidup dalam satu kelompok, dan masing masing kelompok, karena menempati suatu lokasi dan lingkungan tertentu dalam suatu periode yang relatif terisolasi cukup panjang, cenderung mengembangkan bahasa unik, dan, konsekuensinya, pola pemikiran khas; sedemikian sehingga menyulitkan anggota-anggota yang berlainan kelompok untuk berkomunikasi dan saling memahami.
Apa yang dianggap relevan atau logik untuk satu anggota dianggap tidak relevan atau logik oleh anggota lainnya. Apa yang dianggap benar, baik dan bagus oleh satu anggota, justru dianggap salah, buruk, dan jelek oleh anggota lainnya; apa yang harus dilakukan oleh satu anggota, justru tidak boleh dilakukan oleh anggota lain, dan sebaliknya. Sebagai konsekuensinya, adalah dapat dipahami bila dalam kasus tertentu situasinya berubah memburuk, dari salah pengertian, kemudian berkembang menjadi konflik, bahkan kekerasan di antara kedua kelompok yang berlainan tersebut.
Namun begitu, perlu dipahami pula bahwa salah pengertian yang berujung pada konflik dan kekerasan itu bukan semata bersumber pada hubungan inter-kelompok, melainkan juga intra-kelompok. Walau berada dalam satu kelompok dan karena itu, satu kebudayaan, bukan berarti semua anggota memiliki pola pemikiran yang sama. Tidak ada sosialisasi yang sempurna dan lengkap, senantiasa ada peluang kecacatan dan kehilangan materi sosialisasi yang diberikan baik dalam terminologi generasi atau pun keluarga.
Pola pemikiran yang berlainan juga dapat timbul sebagai akibat ketidaksamaan dalam sosialisasi. Dalam satu generasi sekalipun, dalam kelompok itu sendiri, setiap keluarga atau unit sosial sejenis mungkin mengembangkan sosialisasi yang berbeda satu sama lainnya. Dengan demikian apa yang tampil dalam individu-individu adalah bentuk-bentuk kebudayaan yang parsial dan fragmental, tidak utuh.
Situasinya berkembang menjadi lebih rumit lagi bila dipertimbangkan fakta bahwa bumi yang kita tempati terdiri dari sedemikian banyak kelompok manusia yang mengimplikasikan begitu banyaknya perbedaan dalam pola pemikiran dan pola tindakan. Melalui kontak yang intensif, damai atau tidak, berbagai individu yang berasal dari berbagai kelompok sekarang bertemu, bekerjasama dan berinteraksi satu sama lainnya.
Dan melalui modernisasi di segala bidang, terutama dalam di dunia keilmuan dan teknologi, berkembang suatu bahasa baru yang mengedepankan pola pemikiran dan pola tindakan yang rasional. Di bawah naungan rasionalisme, orang berusaha menarik kesesuaian yang optimal antara cara dan tujuan, sedemikian sehingga apa yang terjadi adalah suatu proses dalam skala masif untuk menanggalkan konteks, struktur dan, konsekuensinya, mengabaikan makna kata-kata dari mana mereka sebenarnya berasal.
Dunia hingga kini memang masih terdiri dari berbagai kelompok (baik dalam negara, bangsa, agama atau pun suku) mengikuti situasi lingkungan, kebudayaan, pengetahuan, bahasa, kata, nilai dan norma yang juga berlainan satu sama lainnya. Namun dengan mekanisme adopsi kata-kata asing yang masif, dan yang lebih penting lagi, spirit dalam struktur pemikiran yang menghubungkan kata-kata itu, dunia sekarang seakan telah berubah menjadi dunia dengan satu lingkungan, satu kebudayaan, satu pengetahuan, satu bahasa, satu kata, satu nilai, dan satu norma.
Arti Kearifan Lokal & Limitasinya
Dalam perspektif inilah, kita sekarang berusaha mengembangkan pengertian kearifan lokal. Kearifan lokal sebenarnya merujuk kepada satu atau seperangkat kata (kalimat) yang berisikan nilai dan norma tertentu yang dikembangkan oleh suatu kelompok yang tinggal di suatu lokasi tertentu.
Lingkungan dan pengalaman hidup yang khas telah mengajarkan manusia untuk mengembangkan pola pemikiran dan pola tindakan tertentu, karena hanya dengan cara itulah mereka dapat berdamai dengan lingkungan, dengan diri mereka sendiri, dengan sesamanya, dan dengan anggota kelompok lain. Dengan kata lain, kearifan lokal adalah sesuatu yang bersifat fungsional bagi kehidupan suatu kelompok tertentu.
Ini adalah perkembangan yang relatif baru. Beberapa dasawarsa sebelumnya, tidak ada pengakuan atas eksistensi kearifan lokal, bahkan istilahnya itu sendiri pun tidak ada. Di bawah hegemoni rasionalisme, tidak ada tempat bagi lokalitas. Dunia seakan tidak toleran terhadap pola pemikiran dan pola tindakan yang bersifat lokal. Hanya ada boleh satu pola, hanya boleh ada satu kebenaran, kebaikan dan kebagusan, dan karena itu juga hanya ada boleh satu hukum atau rumus universal atas segala sesuatunya. Setiap kali ada satu kesalahan, orang seakan dipaksa untuk menjatuhkan vonis yang sama. Dan setiap kali ada masalah, orang juga seakan dipaksa untuk menyelesaikannya dengan satu cara yang sama.
Lahirnya istilah kearifan lokal menandai setidaknya perubahan pola pemikiran, mulai meruntuhkan asas rasionalisme yang dominan sekarang. Alih-alih hanya satu, sebenarnya ada banyak cara untuk mencapai tujuan, Satu cara mungkin efektif untuk diterapkan dalam satu kelompok, namun tidak demikian pada kelompok lainnya. Sayangnya, tidak semua orang nampaknya menyadari fakta sederhana ini. Sejumlah orang beranggapan bahwa sekali menemukan satu jenis kearifan lokal, mereka berusaha mengangkat hal itu menjadi sesuatu yang umum, berusaha diterapkan juga pada kelompok-kelompok lainnya. Bukan hal yang mengejutkan tentunya bila hal itu kemudian ternyata tidak memenuhi hasil yang diharapkan, sebaliknya justru menemukan sejumlah masalah baru.
Orang-orang lainnya mungkin tidak senaif itu, mereka beranggapan bahwa setiap kelompok memiliki kearifan lokal yang khas, berlainan satu sama lainnya dan karena itu menerapkan cara yang berbeda untuk masing-masing kelompok. Sayangnya, mereka juga tetap tidak memperoleh hasil yang diharapkan. Mengapa hal itu terjadi dapat dijelaskan sebagai berikut:
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, pertama, tidak ada sosialisasi yang sempurna dan paripurna: Setiap individu hanya memperoleh sedikit saja ajaran-ajaran yang ada dalam kebudayaannya dari agen-agen yang mentransmisikannya. Kedua, apa yang dianggap sebagai suatu kelompok sebenarnya mungkin saja terdiri dari berbagai sub-kelompok yang sangat besar variasinya. Ketiga, setiap sub-kelompok bukan saja tinggal di lingkungan yang khas, melainkan juga mengalami pengalaman yang unik baik dengan sesamanya mau pun dengan kelompok lainnya. Keempat, ada sub-kelompok yang berada pada posisi paling vokal, dan mungkin juga dominan, dalam mengartikulasikan nilai dan norma sub-kelompoknya dengan cara sedemikian sehingga mengesankan bahwa hal itu merupakan kerangka pemikiran dan tindakan bagi kelompok secara agregat. Sejalan dengan itu, kelima, ada agen yang sangat dominan (terutama negara dan lembaga-lembaga internasional), yang, sadar atau tidak, setelah melakukan ‘penelitian,’ menyangka bahwa apa yang mereka temukan dalam sub-kelompok itu sebenarnya berlaku juga untuk seluruh kelompok. Terakhir, seiring dengan perjalanan waktu, nilai-nilai mungkin telah mengalami erosi yang cukup sinifikan, beberapa di antaranya bahkan telah berubah atau digantikan oleh nilai yang lain.
Apa pun penyebabnya, bekerja sendirian atau bersama, faktor-faktor itu telah membuat apa yang dianggap sebagai kearifan lokal, mungkin hanya berlaku dalam satu sub-kelompok atau sub-lokal yang lebih kecil skalanya, atau lebih buruk lagi, tinggal merupakan suatu kebenaran, kebaikan, dan kebagusan di masa lampau. Orang-orang masih mengingatnya, namun praktis hanya merupakan kenangan sejarah. Singkatnya, sudah tidak relevan lagi.
Dalam pemahaman yang disebut terakhir ini, penting kiranya kita untuk memahami keterkaitan kebudayaan dengan unsur-unsur sosial lainnya. Sebagai kebudayaan, kearifan lokal secara teoritik, seharusnya merupakan ekspresi dari realitas sosial, karena hanya dengan cara itulah kearifan lokal menjadi relevan baik sebagai pedoman penafsiran mau pun sebagai pedoman perilaku bagi para anggota yang ada dalam suatu kelompok. Guna merealisasikan aspek yang disebut terakhir itu, kearifan lokal juga harus memperoleh dukungan baik dari pranata mau pun struktur sosial.
Sebagaimana telah disinggung di atas, pranata merujuk kepada kumpulan nilai-nilai yang telah bertransformasi mejadi norma, sedangkan struktur sosial merujuk kepada pola relasi di antara para anggota suatu kelompok berdasarkan aspek apa yang sebenarnya sangat dihargai dalam kenyataan. Kendati sama-sama memiliki peran sebagai pedoman perilaku, namun struktur sosial memiliki dasar pijakan yang realistik. Bila dalam pranata, orang berupaya bertindak berdasarkan pertimbangan peraturan hukum atau konvensi yang relatif abstrak, maka dalam wawasan struktur sosial, orang merujuk tindakannya kepada apa yang dipastikan akan memberikan imbalan langsung, baik berupa kekayaan, kekuasaan atau pun prestise (kehormatan).
Diungkapkan dalam terminologi lain, kearifan lokal baru menjadi suatu pedoman penafsiran, bila ia memang benar-benar merupakan pedoman perilaku normatif, dan memang benar-benar merupakan pedoman perilaku empirik bagi para anggotanya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam ungkapan keseharian, ini setara dengan “satu kata, satu perbuatan,” ada kesesuaian antara pernyataan simbolik dengan kenyataan empirik. Tanpa dukungan pranata dan struktur sosial, kearifan lokal hanya merupakan kata-kata indah yang tanpa makna dan tanpa daya-guna.
Ketidakarifan Lokal, Nasional dan Global
Ada cukup banyak tulisan yang telah mengulas berbagai kearifan lokal Kalbar bertalian dengan konservasi alam dan pengobatan. Namun hingga kini orang masih bertanya-tanya apa sebenarnya yang menjadi kearifan lokal Kalbar dalam bidang sosial. Salah satu tema yang paling banyak disinggung oleh para penulis adalah hukum adat.
Sejumlah tulisan menyatakan bahwa hukum adat cukup efektif untuk menyelesaikan berbagai kasus perdata dan pidana, termasuk kasus kriminal atau kekerasan kolektif yang berpotensi untuk memicu lahirnya kekerasan etnik. Tulisan-tulisan lain menyatakan keperihatinannya mengenai sikap negara yang cenderung tidak mengakui keberlakuan hukum adat, dan dengan lebih mengutamakan hukum positif, negara menjadi lebih cenderung memihak kepentingan kapitalis nasional dan internasional. Maraknya kekerasan etnik di Kalbar pada dasarnya dapat dilihat sebagai tanggapan, protes terhadap kerusakan lingkungan ekologis dan sosial yang ditempati oleh orang Dayak dan Melayu.
Ketika pemerintah pusat menetapkan kebijakan yang mengundang para pengusaha nasional dan internasional untuk datang dan berivestasi di Kalbar, para pejabat di Jakarta telah menjatuhkan vonis yang fatal bagi kelestarian hidup warga lokal. Mereka tidak mengakui hak atas tanah tradisional penduduk asli, mereka juga tidak mengakui hukum adat yang berlaku. Ketika para pengusaha itu beroperasi, mereka bukan saja mengundang dan merangsang para migran suku lain untuk menetap di Kalbar, melainkan juga menghancurkan hutan, memarginalkan, bahkan memiskinkan warga lokal. Bukan hal yang mengherankan bila warga lokal seakan tidak memiliki pilihan lain selain bereaksi keras terhadap apa pun masalah yang terjadi, termasuk insiden individual inter-etnik. Banyak pihak yang percaya bahwa seandainya pemerintah mengakui hukum adat, kasus kekerasan etnik pada 1997 dan 1999 mungkin tidak akan terjadi.
Pertanyaannya sekarang, apakah hukum adat benar-benar merupakan kearifan lokal? Lalu bagaimana dengan fakta bahwa dalam satu suatu periode singkat, paska insiden kekerasan etnik, hukum adat yang sama juga sempat disalahgunakan oleh sejumlah warga lokal untuk kepentingan mereka sendiri, sedemikian sehingga alih-alih menegaskan status hukum adat sebagai kearifan lokal, sebagai rekasi atas ketidakarifan nasional dan global selama ini, ia malah seakan berubah menjadi ketidakarifan lokal.
Dalam upaya untuk menemukan kearifan lokal Kalbar, kita juga harus mampu melakukan beberapa upaya untuk menempatkan beberepa kata atau konsep kunci berikut dalam konteks dan struktur pemikiran yang tepat. Banyak tulisan, termasuk yang dibuat oleh warga lokal sendir,i cenderung mempopulerkan istilah Ngayau, Mangkok Merah, Tariu, Matok, Pandagi, Kamank, dan konsep-konsep asosiatif lainnya. Hal ini tentu saja dapat memberi kesan kepada dunia luar bahwa semua itu, lagi-lagi merujuk kepada ketidakarifan lokal: bahwa warga lokal cenderung mengutamakan cara kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Dan bila hal ini dibiarkan, ketidakarifan lokal pada gilirannya justru sekarang berpotensi untuk menghasilkan ketidakarifan nasional, dan ketidakarifan global.
Penutup
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, kearifan lokal pada dasarnya merujuk kepada pengakuan dunia moderen bahwa ada banyak cara tradisional untuk menyelesaikan masalah, bukan hanya satu cara yang paling logis menurut asas rasionalisme. Dalam upaya untuk menemukannya, kita dapat menemukan kearifan lokal itu dalam bentuk satu kata atau kalimat yang masih dihargai dan dijalankan oleh orang-orang dalam satu kelompok. Kita harus menghindarkan diri dari rekayasa kearifan lokal dalam arti negatif, namun kita dapat menguatkan suatu kearifan lokal dengan kesediaan kita untuk membayar harganya, biaya yang harus dikeluarkan untuk menyesuaikan antara nilai, norma dan relasi; antara kebudayaan, pranata dan struktur sosial.
Semoga saja kongres kebudayaan ini dapat menemukan kearifan lokal Kalbar.
Jakarta, 29 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar