Minggu, 24 Januari 2016

Teknik Penulisan Makalah Ilmiah dan Presentasinya dalam Seminar



[Disampaikan Iqbal Djajadi pada Penataran Penelitian, Penulisan, dan Bicara (P3B) yang diselenggarakan oleh Majelis Agama Buddha Niciren Syosyu Indonesia. Mega Mendung, 25-27 Agustus 1989]


PENGANTAR

Dipandang dari satu segi, pada prinsipnya ilmu merupakan himpunan pengetahun yang benar. Artinya, pengetahuan tersebut telah melalui serangkaian pengujian empiris dengan bantuan metodologi keilmuan tertentu. Pokok inilah yang secara populer dikenal sebagai pengetahuan ilmiah, yakni pengetahuan yang telah dibuktikan kebenarannya.

Teori-teori ilmiah ditarik dengan cara ketat dari fakta-fakta pengalaman yang diperoleh melalui pengamatan dan eksperimen. Ilmu didasarkan pada pokok yang bisa dilihat, dengar, raba, dan sebagainya. Pendapat atau kesukaan subyektif serta dugaan-dugaan spekulatif perorangan tidak mempunyai tempat dalam ilmu. Ringkasnya, ilmu itu obyektif. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang dapat dipercaya, oleh karena telah diuji kebenarannya secara obyektif.

Seorang ilmuwan atau orang yang memiliki pengetahuan ilmiah dituntut memiliki sifat-sifat tertentu seperti terbuka, jujur, teliti, kritis, tidak mudah percaya tanpa adanya bukti-bukti, tidak cepat puas dengan hasil pekerjaannya, dan sebagainya. Sifat-sifat tersebut merupakan pencerminan sikap ilmiah yang pada gilirannya mempengaruhi cara berpikir dan bertindak ilmuwan yang bersangkutan.

Pengetahuan ilmiah yang telah dimiliki seseorang disertai sikap ilmiah yang ditunjukkannya dalam cara berpikirnya itu pada hakikatnya merupakan dasar dalam melakukan pekerjaannya, sehingga menghasilkan karya-karya yang berkualifikasi ilmiah pula. Dengan kata lain, karya ilmiah adalah hasil atau produk manusia atas dasar pengetahuan, sikap, dan cara berpikir ilmiah.

Sudah sewajarnya jika setiap karya ilmiah berimplikasi pada adanya kebenaran ilmiah, yakni kebenaran yang tidak hanya didasarkan atas penalaran (rasio); melainkan juga bisa dibuktikan secara empiris. Rasionalitas dan empirisme inilah yang menjadi tumpuan berpikir manusia. Rasionalisme mengandalkan pada kapasitas otak yang bernalar; sedangkan empirisme menyandarkan diri pada bukti-bukti fakta nyata. Gabungan kedua cara inilah yang kemudian disebut sebagai berpikir ilmiah. Dan salah satu bentuk kongkrit cara berpikir tersebut ditampilkan dalam bentuk karya ilmiah penulisan makalah.

Makalah berikut ini secara singkat berusaha memaparkan sejumlah petunjuk teknis yang diharapkan bermanfaat bagi para peserta pemula dalam menulis makalah ilmiah. Ada dua jenis makalah yang dibahas, yakni makalah berdasar kepustakaan dan makalah yang disajikan berdasar hasil penelitian empiris. Selain itu akan disajikan pula suatu pembahasan tentang salah satu cara mempresentasikan materi yang dikemukakan makalah, yakni seminar.

Materi pokok yang disajikan berikut ini tidak dimaksudkan sebagai suatu uraian komprehensif dan utuh sebagaimana lazimnya yang ditampilkan makalah dalam pengertian yang sebenarnya; melainkan hanya berfungsi sebagai gagasan pemikiran global yang merangsang diskusi lebih lanjut. Pokok pemikiran yang sesungguhnya akan disampaikan secara langsung dalam presentasi.


PEDOMAN TEKNIK PENULISAN MAKALAH ILMIAH

Sebagaimana dapat disimak dalam referensi yang disajikan dalam makalah ini, cukup banyak tersedia buku pedoman yang mengetengahkan teknik penulisan. Pokok yang dikedepankan berikut ini kurang lebih hanya meringkaskan dan menggarisbawahi apa yang telah disinggung oleh buku-buku yang tersedia.

Pada prinsipnya, suatu tulisan ilmiah apa pun bentuknya harus memenuhi 6 persyaratan yang akan dijelaskan di bawah ini.

Pertama adalah sistematika, yakni suatu organisasi pemikiran secara global yang logis dan biasanya dituangkan dalam bentuk pembabakan menurut subjudul-subjudul formal agar pembaca mudah memahami isi tulisan.

Kedua adalah koherensi, yakni suatu organisasi pemikiran yang lebih subtil dalam bentuk pertautan-pertautan logika di antara alinea-alinea kalimat yang membentuk struktur tulisan secara total.

Ketiga adalah deskriptif, yakni suatu kemampuan untuk melukiskan suatu gejala secara lengkap dan utuh. Tidak sekadar menyatakan kesimpulan, tapi menyajikan semacam premis mayor dan minornya.

Kemudian persyaratan lainnya adalah analitis, yakni suatu kemampuan untuk menguraikan suatu gejala ke dalam bentuk-bentuk penjelasan yang lebih detil, namun tetap masih dalam satu kesatuan fungsi. Kelima adalah argumentatif, yakni kemampuan untuk mengemukakan alasan-alasan atau kerangka pemikiran berpendapat yang logis dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dan terakhir adalah format bahasa, yakni suatu kemampuan untuk menggunakan berbagai istilah teknis keilmuan secara tepat dan benar. Jadi yang dikemukakan bukanlahdalam bentuk bahasa awam, serta memenuhi beberapa konvensi naskah yang bersifat teknis tertentu seperti notasi catatan kaki, referensi, spasi, ukuran kertas, dan sebagainya.


MAKALAH PENELITIAN: DESAIN RISET

Ada beberapa jenis makalah penelitian, namun dengan pertimbangan tertentu, dalam makalah ini sengaja disajikan hanya dalam bentuk desain riset.


1.      Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya mengemukakan kondisi-kondisi obyektif yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian. Kondisi obyektif tersebut bisa merupakan data atau fakta obyektif, atau studi literatur, atau permasalahan teoritis.

Hal ini merujuk kepada fakta bahwa suatu masalah tidak pernah berdiri sendiri dan terisolasi dari faktor-faktor lain. Masalah senantiasa berada pada suatukonstelasi fakta-fakta yang beraneka ragam.

Bisa pula dinyatakan bahwa dalam bagian ini, Anda menyertakan alasan-alasan yang bukan bersifat subyektif mengapa Anda melakukan penelitian ini. Semacam motif ataudorongan dari sudut pandang tertentu, mengapa Anda bermaksud mengadakan penelitian ini. Perlu ditegaskan bahwa dalam bagian ini Anda tidak mengungkapkan pokok permasalahan Anda  karena untuk itu telah disediakan sub-bab tersendiri.


2.      Perumusan Permasalahan

Hal yang paling pokok adalah diskrepansi atau kesenjangan antara gagasan normatif dengan kenyataan aktual yang dinyatakan secara eksplisit. Ini penting, mengingat – pertama, ilmuwan harus menyatakan secara tegas dan jelas permasalahan yang diajukannya; dan kedua, oleh karena apa yang dinyatakan sebagai masalah oleh pihak yang satu belum tentu dianggap sebagai masalah oleh pihak lain.

Perlu dikemukakan di sini bahwa yang disebut gagasan normatif itu bisa mengambil bentuk atau wujud bermacam-macam. Bisa merupakan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, bisa pula norma-norma keilmuan tertentu; namun karena ini adalah rencana penelitian ilmiah, Anda tentu diminta untuk mengambil pilihan yang disebut terakhir. Anda tidak usah khawatir, sebab banyak norma yang berlaku dalam dunia keilmuan, khususnya ilmu sosial, seringkali berasal dari norma-norma masyarakat biasa. Ambil contoh kasus pelacuran. Yang membedakan adalah cara pandang dan penyampaiannya (dalam tulisan).

Dirumuskan dalam bentuk populer, bagian ini meminta Anda untuk menyatakan kepada pembaca: ini lho masalah saya; dan saya sertakan pula argumentasi kenapa saya mengatakan bahwa ini adalah suatu masalah. Ada baiknya, dari satu segi, bila apa yang dirumuskan dalam permasalahan ini:

-          Diidentifikasi oleh pakar-pakar
-          Memiliki konsekuensi-konsekuensi negatif
-          Bersifat manifes dan laten
-          Memiliki lingkup keterbatasan berdasar segmen/lapisan masyarakat, waktu, lokasi

Dipandang perlu bila identifikasi variabel independen dikeluarkan dari bagian ini.

Sekitar polemik semantik mengenai istilah permasalahan dan bukannya masalah; pada dasarnya menggarisbawahi penegasan bahwa yang dikemukakan peneliti adalah masalah teoritis bukan masalah sosial. Komponen lain yang termasuk dalam bagian ini adalah tujuan penelitian dan signifikansi.

Berdasarkan kerangka Jujun, dalam bagian ini termasuk latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, dan perumusan masalah, tujuan penelitian, dan kegunaan penelitian.


3.      Kerangka Teori

-          Berdasarkan fungsinya, teori secara komprehensif dibedakan ke dalam fungsi eksplanatif dan fungsi prediktif.
-          Sekitar istilah kerangka teori – kerangka pemikiran – kerangka konsep dan sebagainya.
-          Berdasarkan fungsinya terdiri dari empat bagian: mengkonseptualisasikan pokok permasalahan dalam wawasan konsep ilmiah tertentu; mengidentifikasi variabel independen beserta alasan yang melatarbelakanginya; menguraikan konsep ke dalam pengertian konseptual dan dimensi konsep; mengadakan hubungan variabel dependen dan independen.

Penting pula dikemukakan suatu ringkasan mengenai tinjauan literatur atau hasil-hasil studi sebelumnya. Sesuai dengan pendekatan kuantitatif, dasar pemikiran yang dikemukakan haruslah, secara normatif, cukup kokoh. Namun yang lebih penting lagi, tinjauan pustaka semacam itu berfungsi sebagai pedoman dalam:

-          Mengkonseptualisasi substansi masalah ke dalam konsep-konsep yang baku dalam dunia keilmuan tertentu;
-          Mengidentifikasi sejumlah variabel independen yang selama ini digunakan; hal itu bermanfaat bagi peneliti yang bersangkutan untuk mengadakan pilihannya sendiri;
-          Mengadakan revisi atau klarifikasi terhadap teori-teori lama;
-          Menegaskan posisi pendekatan/paradigma yang dipilih.

Ada beberapa istilah yang bisa dipakai: kerangka teori, kerangka pemikiran, pertimbangan teoritis, kerangka konseptual, pendekatan studi, dan tinjauan pustaka serta sederet istilah lainnya yang sewarna. Namun secara sadar, istilah yang disebut terakhir tadi dikeluarkan, karena tidak menggambarkan fungsinya.

Asumsi
Merupakan dasar pemikiran yang paling hakiki sebagaimana tercermin dalam materi tulisan yang telah dikemukakan sebelumnya; suatu model atau skema pemikiran yang paling sederhana; berfungsi sebagai wadah yang membatasi keberlakuan model analisa penelitian; sarana hipotesis; dikemukakan dalam bentuk ringkas.

Padanan asumsi adalah, pada hakikatnya, merupakan proposisi, namun yang terikat pada fungsi yang dikemukakan secara sadar oleh peneliti sebagai tempat bersandarnya penelitian. Asumsi sebaiknya dinyatakan secara eksplisit.

Asumsi adalah propisis yang dianggap benar, dan tidak perlu dibuktikan kebenarannya oleh peneliti yang bersangkutan. Untuk keperluan pengujian, (sebagian kecil) asumsi tersebut perlu dirumuskan dalam bentuk proposisi sebagai hipotesis, sebab asumsi adalah terdiri dari konsep dan bukannya variabel. (Namun perlu ditekankan di sini, bagi peneliti lain, asumsi bisa dibuktikan).

Hipotesis
Pokok yang diuji dalam penelitian empiris adalah bukan konsep, melainkan variabel, yakni suatu konsep yang telah diberi nilai. Hipotesis yang baik tentunya harus memenuhi beberapa persyaratan: 1) melibatkan lebih dari satu variabel yang jelas prosedur pengukurannya; 2) menunjukkan arah dan sifat pengukurannya.

Model Analisa
Suatu penyajian kerangka pemikiran secara visual yang berisi tema penelitian yang paling umum.


4.      Metodologi Penelitian

Penekanan pada pengertian metodologi dan bukannya metode mempunyai alasan obyektif tersendiri. Sebagaimana disandanng oleh namanya, metodologi terdiri dari dua kata metode dan logos yang artinya ilmu atau logika pemikiran dalam rangka mengetahui atau meneliti.

Penekanannya adalah pada proses; bahwa ilmu memiliki serangkaian tata normatif guna mengadakan penelitian; kewajiban mutlak bagi peneliti untuk menyajikan hal tersebut. Pokok yang penting adalah bukan pada hasil kesimpulannya; melainkan pada tata caranya.

Perumusan Populasi
-          Target
-          Sampling

Perumusan populasi yang dijelaskan secara eksplisit adalah penting. Pertama, untuk mengadakan penilaian tentang keterwakilan sampel terhadap populasi; dan kedua, untuk mengadakan generalisasi atau proses induksi.

Penarikan Sampel
Pedoman besarnya sampel disesuaikan dengan, terutama, besar nilai alpha guna keperluan pengujian hipotesis; dan, karakteristik responden atau anggota sampel. Perlu dihindarkan alasan-alasan klise perihal keterbatasan dana dan tenaga.

Pengukuran
-          Teknik skala yang digunakan
-          Operasionalisasi konsep
-          Estimasi tentang validitas dan reliabilitas data


PRESENTASI MAKALAH DALAM SEMINAR

Seminar dari satu segi merupakan kelompok mahasiswa tingkat lanjut (khususnya program doktoral) yang belajar dengan melakukan penelitian, yang hasilnya secara berkala dilaporkan melalui diskusi dan laporan. Seminar berarti juga pertemuan dengan tujuan saling bertukar informasi serta membahasnya. Selain itu, seminar bisa merupakan kuliah tingkat lanjut yang dicirikan oleh keleluasaan bicara dan diskusi.

Simposium berarti pertemuan yang mengundang beberapa ahli (ilmuwan) untuk memberikan prasaran tentang satu pokok masalah atau tentang berbagai masalah yang berkaitan.

Lokakarya dan sanggar kerja. Kedua konsep ini berpadanan dengan kata workshop yang bermakna “program pendidikan yang padat dan singkat, yang menekankan partisipasi aktif peserta dalam usaha memecahkan masalah.”

Rapat dinas merupakan pertemuan resmi di lingkungan jawatan dalam rangka menyampaikan informasi dan/atau membicarakan berbagai masalah kedinasan.

Rapat kerja (Raker) adalah jenis rapat dinas yang dihadiri kelompok yang mengutamakan pemecahan masalah melalui partisipasi para anggota/karyawan.

Musyawarah kerja adalah rapat kerja yang dihadiri oleh semua unsur jawatan.

Penataran adalah peningkatan mutu, kemampuan, kepandaian, keterampilan, dan pengetahuan. Sering dianggap sama dengan upgrading walau punya makna yang berlainan.

Kursus bermakna pelajaran atau kuliah tentang suatu pengetahuan atau kepandaian yang diberikan dalam waktu yang dibatasi.

Diskusi panel adalah pertukaran pikiran dalam suasana resmi di antara sekelompok orang (panel), di hadapan khalayak tentang suatu pokok yang bercorak kemasyarakatan atau kepentingan umum. Jadi, anggota panel harus menanggapi pendapat anggota lain dan tidak semata membacakan makalahnya sendiri.

Catatan kaki ialah keterangan-keterangan atas teks karangan yang ditempatkan pada kaki halaman karangan yang bersangkutan.

Untuk membuat catatan kaki, perlu diperhatikan beberapa prinsip:

1.      Hubungan catatan kaki dan teks
Hubungan antara keduanya ini dinyatakan dengan menggunakan nomor urut penunjukan pada teks maupun pada catatan kaki. Nomor ini ditempatkan agak ke atas setengah spasi dari teks.

2.      Nomor urut penunjukan
Nomor urut ini berlaku untuk tiap bab atau untuk seluruh karangan, sebab tidak praktis untuk mulai nomor urut baru pada setiap halaman.

o   Bila nomor urut penunjukan hanya berlaku untuk tiap bab, maka tiap bab selalu dimulai dengan nomor urut 1 untuk catatan yang pertama, dan sumber yang pertama kali disebut dalamsatu bab harus disebut secara lengkap pula pada bab berikutnya.

o   Bila nomor urut penunjukan berlaku untuk seluruh karangan, sumber hanya disebut secara lengkap pada pertama kali. Penunjukan berikutnya atas sumber yang sama dalam seluruh karangan akan menggunakan singkatan ibid., atau nama singkat pengarang ditambah singkatan Op.cit., atau Loc.cit.; tanpa mempersoalkan apakah itu terdapat pada penyebutan pertama dalam bab berikutnya.

3.      Teknik pembuatan catatan kaki
Untuk  sebuah naskah yang diketik, penempatan catatan kaki meminta sejumlah persyaratan teknis tertentu:

a.      Harus disediakan ruang atau tempat cukup pada kaki halaman, sehingga margin bawah tidak boleh lebih sempit dari 3 cm sesudah diketik baris terakhir catatan kaki.

b.      Sesudah baris terakhir dari teks, dalam jarak 3 spasi harus dibuat sebuah garis, mulai dari margin kiri sepanjang 15 ketikan dengan huruf pika atau 18 ketikan dengan huruf elite 
      [  ___________   ]

c.       Dalam jarak dua spasi dari garis tadi, dan jarak 5-7 ketikan dari margin kiri, diketik nomor penunjukan.

d.      Langsung setelah nomor penunjukan, setengah spasi ke bawah mulai diketik baris pertama dari catatan kaki.

e.      Jarak antar baris dalam catatan kaki adalah spasi rapat sedangkan jarak antar catatan kaki pada halaman yang sama (kalau ada) ialah dua spasi.

f.        Baris kedua dari setiap catatan kaki selalu dimulai dari margin kiri.

Unsur-unsur catatan kaki:

1.      Pengarang
Nama pengarang dalam catatan kaki dicantumkan sesuai urutan biasa, yaitu gelar (kalau ada), nama kecil, nama keluarga. Misalnya: Prof. Dr. Muhammad Thalib, Dr. B.C. Hansip. Pada penunjukan kedua dan selanjutnya, cukup digunakan nama singkat misalnya: Thalib, Hansip.

Bila terdapat lebih dari seorang pengarang, maka semua nama pengarang dicantumkan, kalau ada dua atau tiga nama. Jika ada empat nama atau lebih, gantikan saja dengan singkatan et.al.

Penunjukan pada kumpulan karangan/bunga rampai/antologi, ditambah dengan singkatan ed. (editor) di belakang nama penyunting, dipisahkan dengan tanda koma.

Jika tidak ada nama pengarang atau editor, catatan kaki dimulai dengan judul buku atau judul artikel.

2.      Judul
Semua judul digarisbawahi atau dicetak dengan huruf miring, sedangkan judul artikel ditempatkan dalam tanda kutip.

Sesudah catatan kaki pertama, penyebutan kedua dan selanjutnya untuk sumber yang sama, judul buku diganti dengan singkatan: Ibid., Op.cit., atau Loc.cit.

3.      Data publikasi
Tempat dan tahun penerbitan semua buku dapat dicantumkan pada catatan kaki pertama, untuk penyebutan selanjutnya ditiadakan. Tempat dan tahun terbit ditempatkan dalam tanda kurung, dipisahkan dengan koma, misalnya: (Jakarta, 1988).

Data publikasi untuk majalah, tak perlu memuat nama tempat dan penerbit, tapi harus mencantumkan nomor jilid dan nomor halaman, tanggal, bulan, dan tahun.

4.      Jilid dan nomor halaman
Untuk buku yang terdiri dari satu jilid, digunakan singkatan (hal.) untuk menunjukkan nomor halaman. Jika sebuah buku terdiri dari beberapa jilid, harus dicantumkan nomor jilid (dengan angka romawi) dan nomor halaman. Misalnya: MISI, I (April, 1963) hal. 47-58.

Contoh catatan kaki:

__________________

            Alton C. Morris, et.al., College English, the first year (New York, 1964), hal. 51-56.

             Ibid. Hal. 70.

            ⁹Tajuk Rencana dalam Kompas, 17 Mei, 1989, hal. 4.


Bibliografi/Daftar Kepustakaan merupakan sebuah daftar yang berisi judul buku-buku, artikel-artikel, dan bahan-bahan penerbitan lainnya yang bertalian dengan sebuah karangan atau sebagian karangan yang digarap.

Unsur-unsur bibliografi:

1.      Nama pengarang dikutip secara lengkap.
2.      Judul buku, termasuk judul tambahannya.
3.      Data publikasi: penerbit, tempat terbit, tahun terbit, cetakan ke berapa, nomor jilid.
4.      Untuk sebuah artikel, diperlukan juga judul artikel, nama majalah, jilid, nomor dan tahun.

Contoh bibliografi:

Hockett, Charles F. A Course in Modern Linguistics. New York: The MacMillan Company, 1963.

-          Nama keluarga (Hockett) ditulis lebih dulu, baru nama kecil atau inisial (Charles F.), kemudian gelar-gelar.
-          Jika buku disusun oleh sebuah komisi atau lembaga, maka nama komisi atau lembaga itu dipakai menggantikan nama pengarang.
-          Jika tidak ada nama pengarang, maka urutan harus dimulai dengan judul buku. Perhatikan huruf pertama buku tersebut untuk penyusunan secara alfabetis.
-          Judul buku harus digarisbawahi atau dicetak dengan huruf miring.
-          Urutan data publikasi: tempat publikasi, penerbit, dan penanggalan. Jika ada banyak tempat publikasi, cukup mencantumkan tempat yang pertama.
-          Perhatikan penggunaan titik setelah tiap keterangan: sesudah nama pengarang, sesudah judul buku, sesudah data publikasi, dan kalau ada sesudah jumlah halaman.
-          Pencantuman jumlah halaman buku tidak merupakan hal yang wajib, dapat ditiadakan.
-          Perhatikan penggunaan titik dua sesudah tempat terbit dan tanda koma sesudah nama penerbit.


REFERENSI

Asy’ari, Imam. Petunjuk Teknis Menulis Naskah Ilmiah. (Surabaya: Usaha Nasional, 1984).

Chalmers, A.F. Apa Itu Yang Dinamakan Ilmu? (Jakarta: Hasta Mitra, 1983).

Keraf, Gorys. Komposisi. (Flores: Penerbit Nusa Indah, 1980).

Moeliono, Anton M., et.al. Masalah Bahasa yang Dapat Anda Atasi Sendiri. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987).

Murray, Sheila L. Bagaimana Mengorganisasi & Menyelenggarakan Seminar: Apa yang Perlu Dilakukan & Kapan Kita Melaksanakannya. (Bandung: Angkasa, 1986).

Stemerding, A.H.S. Teknik Rapat dan Diskusi Kelompok. (Jakarta: LPPM-Balai Aksara, 1985).

Sudjana, Nana. Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah: Makalah-Skripsi-Tesis-Disertasi. (Bandung: Sinar Baru, 1988).

Suriasumantri, Jujun S. Ilmu Dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1978).

_______________. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1984).

Suryadi & Ig. Silmenes Porang. Penuntun Penyusunan Paper, Skripsi, Thesis, Disertasi beserta Cara Pengetikannya. (Surabaya: Usaha Nasional, 1980).

Suseno, Slamet. Teknik Penulisan Ilmiah Populer. (Jakarta: Gramedia, 1989).

Tarigan, Henry Guntur. Berbicara sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. (Bandung: Angkasa, 1988).

Wahyu dan Muhamad Masduki. Petunjuk Praktis Membuat Skripsi. (Surabaya: Usaha Nasional, 1987).

Zelko, Harold P. Teknik Diskusi dan Rapat Modern: Merencanakan, Mempersiapkan, Memimpin, Melaksanakan Diskusi dan Konperensi dalam Bentuk-Bentuk Modern. (Jakarta: Gunung Jati, 1984).

Tentang Pancing dan Ikan: Fungsi Pendidikan & Prasyarat-Prasyarat Strukturalnya


[Artikel untuk Koran, ditulis 15 Februari 1991]

Analogi harus diakui seringkali memudahkan penjelasan. Alih-alih memakai sejumlah besar konsep yang rumit dan abstrak, lebih baik mengambil perumpamaan yang bersahaja. Singkat. Tepat. Hanya saja masalahnya adalah orang cenderung menjadi kurang waspada, tidak menyadari sepenuhnya tentang sejumlah asumsi yang tersirat di dalamnya. Seakan-akan analogi berada dalam saturuang hampa; berdiri sendiri. Seakan-akan analogi mampu menggantikan sepenuhnya suatu gejala yang hendak dijalankan. Dan hal yang juga membahayakan, analogi terlampau memberi aksentuasi tunggal, mengabaikan keanekaragaman nuansa dan akurasi yang terdapat dalam konfigurasi realitas yang sebenarnya.

Analogi tentang pancing dan ikan, tentu saja, termasuk ke dalamnya. Pepatah kuno ini senantiasa dikumandangkan setiap kali orang berbicara tentang pendidikan; dan bagaimana pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana untuk mengangkat dari kemiskinan, meningkatkan taraf hidup masyarakat. Mulai dari ulama, ninik-mamak, dan kaum cendekia hingga kepala negara, semuanya menganjurkan pandangan hidup ini: “Jangan beri ikan, tapi ajarilah orang cara memancing.”

Pesan yang ingin disampaikan melalui analogi ini memang cukup gamblang. Dengan memberi makanan, orang mungkin hanya bisa hidup dalam satu hari; sedangkan dengan memberikan keterampilan, orang bisa bertahan seumur hidup. Lebih jauh lagi, dengan memberi makanan hanya akan menciptakan ketergantungan; sebaliknya, dengan memberi keterampilan, orang dapat mengembangkan kemandirian. Secara tidak langsung pesan ini menggarisbawahi titik peralihan awal dari tata cara berproduksi yang menekankan pada penguasaan alat produksi. Dalam bentuk pesan yang lebih tendensius, singkatnya, pendidikan adalah kunci kehidupan.

Sebenarnya tidak ada yang salah dalam pepatah klise ini. Namun beberapa pertimbangan tertentu harus dikembangkan guna menelaah relevansi analogi tersebut dengan kondisi dan situasi yang berlaku sekarang ini. Dan hal yang lebih penting lagi, perlu dieksplisitkan sejumlah asumsi tentang sejumlah prasyarat struktural yang mewadahinya. Hanya dengan eksplifikasi semacam ini, maka keberlakuan pepatah di atas menjadi tetap relevan.


Tentang Pemilikan Ikan

Prakondisi yang diperlukan sebelum mengajar orang memancing ikan adalah orang yang bersangkutan memang telah memiliki sejumlah ikan terlebih dulu. Fakta ini sama sekali tidak kontradiktif. Pertama, karena ikan diperlukan bagi pemenuhan kebutuhan biologisnya. Kedua, karena ikan adalah semacam aset, suatu alat tukar yang dipakai guna membiayai pendidikan tentang memancing itu sendiri.

Mengajar orang memancing adalah lebih baik daripada memberi ikan. Namun tentunya pepatah ini tidak berlaku pada semua kasus. Dalam sejumlah kasus, hal yang sebaliknya malah dianggap merupakan hal yang paling baik. Misalnya saja dalam konteks masyarakat miskin yang sebagian besar penduduknya menderita kelaparan (hampir tidak pernah makan ikan); memberi pendidikan memancing tentulah menjadi upaya yang sia-sia, sama sekali tidak bermanfaat.

Orang kelaparan tidak pernah bisa belajar; bagian perut jauh lebih penting dibanding bagian kepala. Dan orang miskin tidak pernah bisa membiayai pendidikan, sekalipun dengan alasan untuk mengatasi kemiskinan dan kelaparan yang sekarang mereka alami. Dalam kasus ini, pepatah sebaiknya direvisi menjadi “berilah ikan bila hendak mengajar memancing pada orang kelaparan.”


Tentang Pendidikan Memancing

Satu hal yang patut dikagumi dalam pepatah ini terletak pada pesannya yang menyatakan bahwa orientasi pokok pendidikan adalah, bagaimana pun, bermuara pada pekerjaan. Dalam hal ini pendidikan diarahkan manusia untuk mampu menghidupi dirinya; yakni, memancing. Pendidikan pada dasarnya tidak pernah menjadi tujuan dalam dirinya sendiri. Pendidikan, sebaliknya, justru merupakan sarana yang membekali seorang manusia agar bisa hidup mandiri. Dan kemandirian tersebut bisa diperoleh manusia pada pekerjaan.

Demikian pula dengan pendidikan memancing. Tujuannya adalah menyiapkan orang agar, seusai masa pendidikan, mereka mampu berprofesi sebagai pemancing berkompeten, yang mampu memenuhi sendiri segenap kebutuhan hidupnya, dan juga keluarganya kelak. Guna mencapai tujuan pendidikan tersebut, kurikulum disusun menurut teori dan praktek memancing yang terbukti terbaik.

Dan dengan bantuan para pengajar pemancing yang berpengalaman, orang diajar berbagai teori mulai dari pengetahuan tentang iklim dan cuaca; tentang suhu udara dan air; tentang tipologi lokasi pemancingan; tentang pembuatan peralatan pancing; tentang tipologi dan anatomi ikan, umpan, hingga tata cara memancing, dan sebagainya. Pengajaran diakhiri dengan praktek memancing secara intensif di berbagai lokasi pemancingan dan cuaca yang berbeda. Ijazah dan brevet keahlian memancing diberikan kepada mereka yang minimal berhasil mengumpulkan satu kuintal ikan segar dalam berbagai jenis dan ukuran dalam satu kurun waktu tertentu pada lokasi pemancingan yang berlainan.


Tentang Pancing

Mengajar orang memancing adalah satu hal; ketersediaan alat pancing itu sendiri adalah hal lain. Setelah memahami dan menguasai berbagai teknik dan prosedur memancing, langkah berikutnya adalah mempraktekkannya. Guna keperluan tersebut, alat pancing itu sendiri harus tersedia; atau setidaknya tersedia bahan-bahan baku yang bisa dirakit sendiri menjadi pancing.

Ada berbagai peralatan pancing yang tersedia. Ada yang sederhana, karena hanya merupakan joran yang terbuat dari bambu, tali nilon standar, dan kail seng. Ada pula yang canggih, terbuat dari fiberglas yang dikonstruksi seperti antena yang praktis, dan dilengkapi dengan roda pemutar elektronis; nilon super kuat berukuran ratusan feet; pelampung; sonar; sensor; dan kail yang bisa dikemudikan dengan remote control. Orang bisa memilih peralatan pancing mana yang paling sesuai.

Umumnya orang memilih yang terbaik, karena semakin baik peralatan memancing, maka semakin banyak dan semakin terjamin pula perolehan ikannya. Sayangnya, tentu saja, tidak mungkin semua orang dapat memperoleh pancing yang terbaik. Hanya mereka yang berada dalam kelas sosial-ekonomi tertentu yang mampu memilikinya.


Tentang Kolam

Dengan perut yang telah terisi penuh, pendidikan memancing akhirnya berhasil diselesaikan. Pancing pun tersedia. Masalahnya sekarang, di mana memancingnya? Tentu saja harus ada lokasi pemancingan, sebuah kolam; yakni suatu cekungan tanah yang penuh berisi air sebagai tempat habitat hidup ikan dan berbagai jenis satwa air lainnya. Kolam adalah, dengan kata lain, prasarana fisik yang dibutuhkan sebagai tempat memancing. Tanpa kehadiran kolam, orang tidak mungkin memancing; bahkan mungkin pendidikan memancing itu sendiri menjadi tidak relevan.

Banyak kolam yang tersedia. Secara teoritis pemancing bisa memilih sendiri kolam yang akan digunakannya; apakah berukuran besar, sedang, atau kecil; apakah lokasinya indah dan fasilitasnya lengkap, atau mungkin, sebaliknya, sangat sederhana. Namun pilihannya tersebut pada gilirannya akan membawa konsekuensi biaya. Hal ini terjadi karena, pertama, ia harus membayar uang sewa kepada pemiliknya; atau, kedua, ia membangun dan mengelola sendiri kolamnya.


Tentang Ikan

Kolam telah tersedia. Tapi satu pertanyaan tetap menggantung: apakah kolam tersebut ada ikannya? Tidak semua kolam ada ikan; kolam renang misalnya, tentu tidak pernah dipakai sebagai tempat pemeliharaan ikan. Hanya kolam tertentu yang mengandung ikan. Namun demikian masing-masing kolam tersebut memiliki ukuran, jumlah, dan jenis ikan yang berbeda-beda. Ada kolam yang lengkap memiliki berbagai jenis ikan mulai darikoki yang beratnya hanya beberapa gram, mujair, sepat, hingga ikan mas, gurame yang beratnya bisa mencapai 10 kg; bahkan ada juga arwana. Sedangkan kolam lain mungkin hanya memiliki ikan lele lokal yang ukurannya sangat kecil dibanding lele dumbo.

Walau begitu perlu ditegaskan di sini bahwa tidak semua kolam yang ada ikannya tersebut boleh bebas dipancing. Sebagian kolam, biasanya justru yang paling banyak mengandung ikan, merupakan monopoli individu atau kelompok sosial tertentu. Sebagian lain hanya ditujukan bagi para anggota khusus yang memiliki atribut-atribut eksklusif.

Bagi para pemancing yang tidak termasuk ke dalam dua golongan tersebut, jangan khawatir, masih ada cukup banyak tersedia kolam-kolam ber-ikan lainnya, asalkan mereka memenuhi kondisi berikut ini. Pertama, pemancing bersedia membayar karcis masuk. Kedua, mereka bersedia memancing ikan-ikan yang kekenyangan, karena telah diberi makan sebelumnya oleh pemilik kolam. Dan ketiga, pemancing bersedia memperoleh ikan-ikan kecil dan dalam jumlah yang terbatas.


Tentang Umpan

Ikan tidak mungkin diperoleh bila tidak ada umpan; yakni suatu jenis makanan yang sangat disukai ikan. Tanpa umpan, ikan tidak akan mendekati kail si pemancing, memakannya, dan menyangkutkan diri, menggelepar, dan mengerjat. Guna keperluan itu, para pemancing harus mencari serta meramu sendiri umpannya. Dan agar efektif, mereka perlu meramu beraneka ragam umpan yang spesifik, sesuai dengan jenis ikan yang ingin diperoleh.

Pemancing yang handal telah lama mengetahui bahwa jenis dan jumlah ikan yang diperolehnya akan sangat tergantung pada mutu umpan yang diramunya. Kaidah umum, semakin bermutu umpannya, semakin berkualitas dan semakin banyak ikan yang mungkin diperolehnya.

Umpan modern tidak lagi mengandalkan bahan-bahan yang tidak berselera seperti laron, cacing, ubi, atau terasi; melainkan adonan udang, daging, lengkap dengan saus dan bumbu masak. Tidak cukup dengan itu, pemancing modern juga melengkapi umpan mereka dengan berbagai alat bantu berteknologi canggih, seperti lampu penarik perhatian ikan; sonar pencari jejak gerombolan ikan; dan kail yang mampu bergerak sendiri karena dilengkapi dengan remote control. Kendati begitu sebagaimana pancing, tidak semua orang mampu memiliki akses yang sama untuk memperoleh umpan yang terbaik.


Tentang Pasar Ikan

Sejumlah ikan telah diperoleh. Sebagian ikan yang malang tersebut langsung disantap oleh pemancing beserta keluarganya. Salah satu kebutuhan primer, yang bersifat biologis sekarang telah terpenuhi. Namun sebagai manusia yang lengkap, mereka juga memiliki kebutuhan primer lainnya, sandang dan papan; serta kebutuhan sekunder, tersier, dan seterusnya.

Segenap kebutuhan ini sebenarnya dapat dipenuhi sepanjang tersedia kelebihan ikan yang tidak habis dikonsumsi dalam jumlah yang cukup memadai. Dengan demikian, orang yang bersangkutan dapat menjualnya dengan harga yang sepadan kepada pasar ikan, yakni suatu sarana yang mempertemukan para pemancing yang memiliki kelebihan ikan dengan anggota masyarakat lain yang bukan pemancing, namun sangat membutuhkan ikan sebagai bahan makanan mereka.

Sayangnya ada beberapa kondisi tertentu yang mungkin dapat menghalangi tercapainya pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersier para pemancing tersebut. Pertama, mungkin tidak ada perolehan ikan yang berlebih mengingat sebagian besar pemancing tidak memiliki akses yang sama untuk memiliki pancing, kolam, ikan, dan umpan yang terbaik. Kedua, mungkin secara agregat ada perolehan ikan yang berlebih, namun hanya bisa dijual di bawah harga yang sebenarnya. Hal ini disebabkan oleh, ketiga, hadirnya suatu bentuk kartel yang senantiasa berusaha memanipulasi harga ikan di pasar demi kepentingan sepihak, yakni sekelompok elit yang biasanya juga merupakan pihak yang secara terorganisasi menguasai jalur produksi dari hulu hingga ke hilir.


Kesimpulan

Efektivitas pendidikan memancing tergantung pada sejumlah kondisi berikut ini. Siswa-siswa calon pemancing terlebih dulu harus memiliki cukup banyak ikan. Sebagian untuk memenuhi kebutuhan biologis mereka sendiri. Sedang sebagian lain dipakai untuk membiayai pendidikan memancing; dan sejumlah prasarana penunjangnya, seperti untuk membeli peralatan pancing, membayar karcis masuk ke kolam ikan, dan membeli umpan.

Lebih lanjut, siswa-siswa sekolah pemancingan harus berada dalam kondisi lingkungan yang sedemikian, sehingga mereka mampu mengembangkan perilaku pemancingan yang kondusif. Unsur-unsur yang harus terdapat dalam lingkungan tersebut adalah antara lain, yang terpenting, kolam, ikan, dan pasar ikan. Mereka adalah prasyarat-prasyarat struktural yang sangat penting. Tanpa kehadiran unsur-unsur tadi, tidak mungkin sekolah pemancingan akan berfungsi. Tanpa kehadiran mereka, pepatah “jangan memberi ikan, tapi ajarilah orang cara memancing” hanyalah suatu ungkapan yang tidak berguna. Hampa. Tidak bermakna.

*Iqbal Djajadi, Ketua Forum for Organizational & Industrial Studies (FOIS), Lab Sosiologi FISIP-UI