[Disampaikan Iqbal Djajadi pada
Penataran Penelitian, Penulisan, dan Bicara (P3B) yang diselenggarakan oleh
Majelis Agama Buddha Niciren Syosyu Indonesia. Mega Mendung, 25-27 Agustus
1989]
PENGANTAR
Dipandang dari satu segi, pada
prinsipnya ilmu merupakan himpunan pengetahun yang benar. Artinya, pengetahuan
tersebut telah melalui serangkaian pengujian empiris dengan bantuan metodologi
keilmuan tertentu. Pokok inilah yang secara populer dikenal sebagai pengetahuan ilmiah, yakni pengetahuan
yang telah dibuktikan kebenarannya.
Teori-teori ilmiah ditarik dengan cara
ketat dari fakta-fakta pengalaman yang diperoleh melalui pengamatan dan
eksperimen. Ilmu didasarkan pada pokok yang bisa dilihat, dengar, raba, dan
sebagainya. Pendapat atau kesukaan subyektif serta dugaan-dugaan spekulatif
perorangan tidak mempunyai tempat dalam ilmu. Ringkasnya, ilmu itu obyektif.
Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang dapat dipercaya, oleh karena telah
diuji kebenarannya secara obyektif.
Seorang ilmuwan atau orang yang memiliki
pengetahuan ilmiah dituntut memiliki sifat-sifat tertentu seperti terbuka,
jujur, teliti, kritis, tidak mudah percaya tanpa adanya bukti-bukti, tidak
cepat puas dengan hasil pekerjaannya, dan sebagainya. Sifat-sifat tersebut
merupakan pencerminan sikap ilmiah yang pada gilirannya mempengaruhi cara
berpikir dan bertindak ilmuwan yang bersangkutan.
Pengetahuan ilmiah yang telah dimiliki
seseorang disertai sikap ilmiah yang ditunjukkannya dalam cara berpikirnya itu
pada hakikatnya merupakan dasar dalam melakukan pekerjaannya, sehingga
menghasilkan karya-karya yang berkualifikasi ilmiah pula. Dengan kata lain,
karya ilmiah adalah hasil atau produk manusia atas dasar pengetahuan, sikap, dan
cara berpikir ilmiah.
Sudah sewajarnya jika setiap karya
ilmiah berimplikasi pada adanya kebenaran
ilmiah, yakni kebenaran yang tidak hanya didasarkan atas penalaran (rasio);
melainkan juga bisa dibuktikan secara empiris. Rasionalitas dan empirisme
inilah yang menjadi tumpuan berpikir manusia. Rasionalisme mengandalkan pada
kapasitas otak yang bernalar; sedangkan empirisme menyandarkan diri pada
bukti-bukti fakta nyata. Gabungan kedua cara inilah yang kemudian disebut
sebagai berpikir ilmiah. Dan salah
satu bentuk kongkrit cara berpikir tersebut ditampilkan dalam bentuk karya
ilmiah penulisan makalah.
Makalah berikut ini secara singkat
berusaha memaparkan sejumlah petunjuk teknis yang diharapkan bermanfaat bagi
para peserta pemula dalam menulis makalah ilmiah. Ada dua jenis makalah yang
dibahas, yakni makalah berdasar kepustakaan dan makalah yang disajikan berdasar
hasil penelitian empiris. Selain itu akan disajikan pula suatu pembahasan
tentang salah satu cara mempresentasikan materi yang dikemukakan makalah, yakni
seminar.
Materi pokok yang disajikan berikut ini
tidak dimaksudkan sebagai suatu uraian komprehensif dan utuh sebagaimana
lazimnya yang ditampilkan makalah dalam pengertian yang sebenarnya; melainkan
hanya berfungsi sebagai gagasan pemikiran global yang merangsang diskusi lebih
lanjut. Pokok pemikiran yang sesungguhnya akan disampaikan secara langsung
dalam presentasi.
PEDOMAN
TEKNIK PENULISAN MAKALAH ILMIAH
Sebagaimana dapat disimak dalam
referensi yang disajikan dalam makalah ini, cukup banyak tersedia buku pedoman
yang mengetengahkan teknik penulisan. Pokok yang dikedepankan berikut ini
kurang lebih hanya meringkaskan dan menggarisbawahi apa yang telah disinggung
oleh buku-buku yang tersedia.
Pada prinsipnya, suatu tulisan ilmiah
apa pun bentuknya harus memenuhi 6 persyaratan yang akan dijelaskan di bawah
ini.
Pertama adalah sistematika, yakni suatu organisasi pemikiran secara global yang
logis dan biasanya dituangkan dalam bentuk pembabakan menurut subjudul-subjudul
formal agar pembaca mudah memahami isi tulisan.
Kedua adalah koherensi, yakni suatu organisasi pemikiran yang lebih subtil dalam
bentuk pertautan-pertautan logika di antara alinea-alinea kalimat yang
membentuk struktur tulisan secara total.
Ketiga adalah deskriptif, yakni suatu kemampuan untuk melukiskan suatu gejala
secara lengkap dan utuh. Tidak sekadar menyatakan kesimpulan, tapi menyajikan
semacam premis mayor dan minornya.
Kemudian persyaratan lainnya adalah analitis, yakni suatu kemampuan untuk
menguraikan suatu gejala ke dalam bentuk-bentuk penjelasan yang lebih detil,
namun tetap masih dalam satu kesatuan fungsi. Kelima adalah argumentatif, yakni kemampuan untuk
mengemukakan alasan-alasan atau kerangka pemikiran berpendapat yang logis dan
dapat dipertanggungjawabkan.
Dan terakhir adalah format bahasa, yakni suatu kemampuan untuk menggunakan berbagai
istilah teknis keilmuan secara tepat dan benar. Jadi yang dikemukakan
bukanlahdalam bentuk bahasa awam, serta memenuhi beberapa konvensi naskah yang
bersifat teknis tertentu seperti notasi catatan kaki, referensi, spasi, ukuran
kertas, dan sebagainya.
MAKALAH
PENELITIAN: DESAIN RISET
Ada beberapa jenis makalah penelitian,
namun dengan pertimbangan tertentu, dalam makalah ini sengaja disajikan hanya
dalam bentuk desain riset.
1.
Latar
Belakang Masalah
Pada dasarnya mengemukakan
kondisi-kondisi obyektif yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian.
Kondisi obyektif tersebut bisa merupakan data atau fakta obyektif, atau studi
literatur, atau permasalahan teoritis.
Hal ini merujuk kepada fakta bahwa suatu
masalah tidak pernah berdiri sendiri dan terisolasi dari faktor-faktor lain.
Masalah senantiasa berada pada suatukonstelasi fakta-fakta yang beraneka ragam.
Bisa pula dinyatakan bahwa dalam bagian
ini, Anda menyertakan alasan-alasan yang bukan bersifat subyektif mengapa Anda
melakukan penelitian ini. Semacam motif ataudorongan dari sudut pandang
tertentu, mengapa Anda bermaksud mengadakan penelitian ini. Perlu ditegaskan
bahwa dalam bagian ini Anda tidak mengungkapkan pokok permasalahan Anda karena untuk itu telah disediakan sub-bab
tersendiri.
2.
Perumusan
Permasalahan
Hal yang paling pokok adalah diskrepansi
atau kesenjangan antara gagasan normatif dengan kenyataan aktual yang
dinyatakan secara eksplisit. Ini penting, mengingat – pertama, ilmuwan harus menyatakan
secara tegas dan jelas permasalahan yang diajukannya; dan kedua, oleh karena
apa yang dinyatakan sebagai masalah oleh pihak yang satu belum tentu dianggap
sebagai masalah oleh pihak lain.
Perlu dikemukakan di sini bahwa yang
disebut gagasan normatif itu bisa mengambil bentuk atau wujud bermacam-macam.
Bisa merupakan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, bisa pula norma-norma
keilmuan tertentu; namun karena ini adalah rencana penelitian ilmiah, Anda
tentu diminta untuk mengambil pilihan yang disebut terakhir. Anda tidak usah
khawatir, sebab banyak norma yang berlaku dalam dunia keilmuan, khususnya ilmu
sosial, seringkali berasal dari norma-norma masyarakat biasa. Ambil contoh
kasus pelacuran. Yang membedakan adalah cara pandang dan penyampaiannya (dalam
tulisan).
Dirumuskan dalam bentuk populer, bagian
ini meminta Anda untuk menyatakan kepada pembaca: ini lho masalah saya; dan
saya sertakan pula argumentasi kenapa saya mengatakan bahwa ini adalah suatu
masalah. Ada baiknya, dari satu segi, bila apa yang dirumuskan dalam
permasalahan ini:
-
Diidentifikasi
oleh pakar-pakar
-
Memiliki
konsekuensi-konsekuensi negatif
-
Bersifat manifes
dan laten
-
Memiliki lingkup
keterbatasan berdasar segmen/lapisan masyarakat, waktu, lokasi
Dipandang perlu bila identifikasi
variabel independen dikeluarkan dari bagian ini.
Sekitar polemik semantik mengenai
istilah permasalahan dan bukannya
masalah; pada dasarnya menggarisbawahi penegasan bahwa yang dikemukakan
peneliti adalah masalah teoritis bukan masalah sosial. Komponen lain yang
termasuk dalam bagian ini adalah tujuan penelitian dan signifikansi.
Berdasarkan kerangka Jujun, dalam bagian
ini termasuk latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah,
dan perumusan masalah, tujuan penelitian, dan kegunaan penelitian.
3.
Kerangka
Teori
-
Berdasarkan
fungsinya, teori secara komprehensif dibedakan ke dalam fungsi eksplanatif dan
fungsi prediktif.
-
Sekitar istilah
kerangka teori – kerangka pemikiran – kerangka konsep dan sebagainya.
-
Berdasarkan
fungsinya terdiri dari empat bagian: mengkonseptualisasikan pokok permasalahan
dalam wawasan konsep ilmiah tertentu; mengidentifikasi variabel independen
beserta alasan yang melatarbelakanginya; menguraikan konsep ke dalam pengertian
konseptual dan dimensi konsep; mengadakan hubungan variabel dependen dan
independen.
Penting pula dikemukakan suatu ringkasan
mengenai tinjauan literatur atau hasil-hasil studi sebelumnya. Sesuai dengan
pendekatan kuantitatif, dasar pemikiran yang dikemukakan haruslah, secara
normatif, cukup kokoh. Namun yang lebih penting lagi, tinjauan pustaka semacam
itu berfungsi sebagai pedoman dalam:
-
Mengkonseptualisasi
substansi masalah ke dalam konsep-konsep yang baku dalam dunia keilmuan
tertentu;
-
Mengidentifikasi
sejumlah variabel independen yang selama ini digunakan; hal itu bermanfaat bagi
peneliti yang bersangkutan untuk mengadakan pilihannya sendiri;
-
Mengadakan revisi
atau klarifikasi terhadap teori-teori lama;
-
Menegaskan posisi
pendekatan/paradigma yang dipilih.
Ada beberapa istilah yang bisa dipakai:
kerangka teori, kerangka pemikiran, pertimbangan teoritis, kerangka konseptual,
pendekatan studi, dan tinjauan pustaka serta sederet istilah lainnya yang
sewarna. Namun secara sadar, istilah yang disebut terakhir tadi dikeluarkan,
karena tidak menggambarkan fungsinya.
Asumsi
Merupakan dasar pemikiran yang paling
hakiki sebagaimana tercermin dalam materi tulisan yang telah dikemukakan
sebelumnya; suatu model atau skema pemikiran yang paling sederhana; berfungsi
sebagai wadah yang membatasi keberlakuan
model analisa penelitian; sarana hipotesis; dikemukakan dalam bentuk ringkas.
Padanan asumsi adalah, pada hakikatnya,
merupakan proposisi, namun yang terikat pada fungsi yang dikemukakan secara
sadar oleh peneliti sebagai tempat bersandarnya penelitian. Asumsi sebaiknya
dinyatakan secara eksplisit.
Asumsi adalah propisis yang dianggap
benar, dan tidak perlu dibuktikan kebenarannya oleh peneliti yang bersangkutan.
Untuk keperluan pengujian, (sebagian kecil) asumsi tersebut perlu dirumuskan
dalam bentuk proposisi sebagai hipotesis, sebab asumsi adalah terdiri dari
konsep dan bukannya variabel. (Namun perlu ditekankan di sini, bagi peneliti
lain, asumsi bisa dibuktikan).
Hipotesis
Pokok yang diuji dalam penelitian
empiris adalah bukan konsep, melainkan variabel,
yakni suatu konsep yang telah diberi nilai. Hipotesis yang baik tentunya harus
memenuhi beberapa persyaratan: 1) melibatkan lebih dari satu variabel yang
jelas prosedur pengukurannya; 2) menunjukkan arah dan sifat pengukurannya.
Model
Analisa
Suatu penyajian kerangka pemikiran
secara visual yang berisi tema penelitian yang paling umum.
4.
Metodologi
Penelitian
Penekanan pada pengertian metodologi dan bukannya metode mempunyai alasan obyektif
tersendiri. Sebagaimana disandanng oleh namanya, metodologi terdiri dari dua
kata metode dan logos yang artinya ilmu atau logika pemikiran dalam rangka
mengetahui atau meneliti.
Penekanannya adalah pada proses; bahwa
ilmu memiliki serangkaian tata normatif guna mengadakan penelitian; kewajiban
mutlak bagi peneliti untuk menyajikan hal tersebut. Pokok yang penting adalah
bukan pada hasil kesimpulannya; melainkan pada tata caranya.
Perumusan
Populasi
-
Target
-
Sampling
Perumusan populasi yang dijelaskan
secara eksplisit adalah penting. Pertama, untuk mengadakan penilaian tentang
keterwakilan sampel terhadap populasi; dan kedua, untuk mengadakan generalisasi
atau proses induksi.
Penarikan
Sampel
Pedoman besarnya sampel disesuaikan dengan,
terutama, besar nilai alpha guna keperluan pengujian hipotesis; dan,
karakteristik responden atau anggota sampel. Perlu dihindarkan alasan-alasan
klise perihal keterbatasan dana dan tenaga.
Pengukuran
-
Teknik skala yang
digunakan
-
Operasionalisasi
konsep
-
Estimasi tentang
validitas dan reliabilitas data
PRESENTASI
MAKALAH DALAM SEMINAR
Seminar
dari satu segi merupakan kelompok
mahasiswa tingkat lanjut (khususnya program doktoral) yang belajar dengan
melakukan penelitian, yang hasilnya secara berkala dilaporkan melalui diskusi
dan laporan. Seminar berarti juga pertemuan dengan tujuan saling bertukar
informasi serta membahasnya. Selain itu, seminar bisa merupakan kuliah tingkat
lanjut yang dicirikan oleh keleluasaan bicara dan diskusi.
Simposium
berarti pertemuan yang mengundang
beberapa ahli (ilmuwan) untuk memberikan prasaran tentang satu pokok masalah
atau tentang berbagai masalah yang berkaitan.
Lokakarya
dan sanggar kerja. Kedua konsep ini berpadanan dengan kata workshop yang bermakna “program
pendidikan yang padat dan singkat, yang menekankan partisipasi aktif peserta
dalam usaha memecahkan masalah.”
Rapat
dinas merupakan pertemuan resmi di
lingkungan jawatan dalam rangka menyampaikan informasi dan/atau membicarakan
berbagai masalah kedinasan.
Rapat
kerja (Raker) adalah jenis rapat
dinas yang dihadiri kelompok yang mengutamakan pemecahan masalah melalui
partisipasi para anggota/karyawan.
Musyawarah
kerja adalah rapat kerja yang
dihadiri oleh semua unsur jawatan.
Penataran
adalah peningkatan mutu, kemampuan,
kepandaian, keterampilan, dan pengetahuan. Sering dianggap sama dengan upgrading walau punya makna yang
berlainan.
Kursus
bermakna pelajaran atau kuliah
tentang suatu pengetahuan atau kepandaian yang diberikan dalam waktu yang
dibatasi.
Diskusi
panel adalah pertukaran pikiran dalam
suasana resmi di antara sekelompok orang (panel), di hadapan khalayak tentang
suatu pokok yang bercorak kemasyarakatan atau kepentingan umum. Jadi, anggota
panel harus menanggapi pendapat anggota lain dan tidak semata membacakan
makalahnya sendiri.
Catatan
kaki ialah keterangan-keterangan
atas teks karangan yang ditempatkan pada kaki halaman karangan yang
bersangkutan.
Untuk membuat catatan kaki, perlu
diperhatikan beberapa prinsip:
1.
Hubungan catatan
kaki dan teks
Hubungan
antara keduanya ini dinyatakan dengan menggunakan nomor urut penunjukan pada
teks maupun pada catatan kaki. Nomor ini ditempatkan agak ke atas setengah
spasi dari teks.
2.
Nomor urut
penunjukan
Nomor
urut ini berlaku untuk tiap bab atau untuk seluruh karangan, sebab tidak
praktis untuk mulai nomor urut baru pada setiap halaman.
o
Bila nomor urut
penunjukan hanya berlaku untuk tiap bab, maka tiap bab selalu dimulai dengan
nomor urut 1 untuk catatan yang pertama, dan sumber yang pertama kali disebut
dalamsatu bab harus disebut secara lengkap pula pada bab berikutnya.
o
Bila nomor urut
penunjukan berlaku untuk seluruh karangan, sumber hanya disebut secara lengkap
pada pertama kali. Penunjukan berikutnya atas sumber yang sama dalam seluruh
karangan akan menggunakan singkatan ibid.,
atau nama singkat pengarang ditambah singkatan Op.cit., atau Loc.cit.;
tanpa mempersoalkan apakah itu terdapat pada penyebutan pertama dalam bab
berikutnya.
3. Teknik pembuatan catatan kaki
Untuk
sebuah naskah yang diketik, penempatan
catatan kaki meminta sejumlah persyaratan teknis tertentu:
a.
Harus disediakan
ruang atau tempat cukup pada kaki halaman, sehingga margin bawah tidak boleh
lebih sempit dari 3 cm sesudah diketik baris terakhir catatan kaki.
b.
Sesudah baris
terakhir dari teks, dalam jarak 3 spasi harus dibuat sebuah garis, mulai dari
margin kiri sepanjang 15 ketikan dengan huruf pika atau 18 ketikan dengan huruf
elite
[ ___________ ]
[ ___________ ]
c.
Dalam jarak dua
spasi dari garis tadi, dan jarak 5-7 ketikan dari margin kiri, diketik nomor
penunjukan.
d.
Langsung setelah
nomor penunjukan, setengah spasi ke bawah mulai diketik baris pertama dari
catatan kaki.
e.
Jarak antar baris
dalam catatan kaki adalah spasi rapat sedangkan jarak antar catatan kaki pada
halaman yang sama (kalau ada) ialah dua spasi.
f.
Baris kedua dari
setiap catatan kaki selalu dimulai dari margin kiri.
Unsur-unsur catatan kaki:
1.
Pengarang
Nama
pengarang dalam catatan kaki dicantumkan sesuai urutan biasa, yaitu gelar
(kalau ada), nama kecil, nama keluarga. Misalnya: Prof. Dr. Muhammad Thalib,
Dr. B.C. Hansip. Pada penunjukan kedua dan selanjutnya, cukup digunakan nama
singkat misalnya: Thalib, Hansip.
Bila
terdapat lebih dari seorang pengarang, maka semua nama pengarang dicantumkan,
kalau ada dua atau tiga nama. Jika ada empat nama atau lebih, gantikan saja
dengan singkatan et.al.
Penunjukan
pada kumpulan karangan/bunga rampai/antologi, ditambah dengan singkatan ed. (editor) di belakang nama
penyunting, dipisahkan dengan tanda koma.
Jika tidak
ada nama pengarang atau editor, catatan kaki dimulai dengan judul buku atau
judul artikel.
2.
Judul
Semua
judul digarisbawahi atau dicetak dengan huruf miring, sedangkan judul artikel
ditempatkan dalam tanda kutip.
Sesudah
catatan kaki pertama, penyebutan kedua dan selanjutnya untuk sumber yang sama,
judul buku diganti dengan singkatan: Ibid.,
Op.cit., atau Loc.cit.
3.
Data publikasi
Tempat
dan tahun penerbitan semua buku dapat dicantumkan pada catatan kaki pertama,
untuk penyebutan selanjutnya ditiadakan. Tempat dan tahun terbit ditempatkan
dalam tanda kurung, dipisahkan dengan koma, misalnya: (Jakarta, 1988).
Data
publikasi untuk majalah, tak perlu memuat nama tempat dan penerbit, tapi harus
mencantumkan nomor jilid dan nomor halaman, tanggal, bulan, dan tahun.
4.
Jilid dan nomor
halaman
Untuk
buku yang terdiri dari satu jilid, digunakan singkatan (hal.) untuk menunjukkan
nomor halaman. Jika sebuah buku terdiri dari beberapa jilid, harus dicantumkan
nomor jilid (dengan angka romawi) dan nomor halaman. Misalnya: MISI, I (April,
1963) hal. 47-58.
Contoh catatan kaki:
__________________
⁷Alton C. Morris, et.al.,
College English, the first year (New York, 1964), hal. 51-56.
⁸Ibid. Hal.
70.
⁹Tajuk Rencana dalam Kompas, 17 Mei, 1989, hal. 4.
Bibliografi/Daftar
Kepustakaan merupakan sebuah daftar yang berisi judul
buku-buku, artikel-artikel, dan bahan-bahan penerbitan lainnya yang bertalian
dengan sebuah karangan atau sebagian karangan yang digarap.
Unsur-unsur bibliografi:
1.
Nama pengarang dikutip secara lengkap.
2. Judul
buku, termasuk judul tambahannya.
3. Data
publikasi: penerbit, tempat terbit, tahun terbit, cetakan ke berapa, nomor
jilid.
4.
Untuk sebuah artikel, diperlukan juga
judul artikel, nama majalah, jilid, nomor dan tahun.
Contoh bibliografi:
Hockett, Charles F. A Course
in Modern Linguistics. New York: The MacMillan Company, 1963.
-
Nama keluarga (Hockett) ditulis lebih
dulu, baru nama kecil atau inisial (Charles F.), kemudian gelar-gelar.
-
Jika buku disusun oleh sebuah komisi
atau lembaga, maka nama komisi atau lembaga itu dipakai menggantikan nama
pengarang.
-
Jika tidak ada nama pengarang, maka
urutan harus dimulai dengan judul buku. Perhatikan huruf pertama buku tersebut
untuk penyusunan secara alfabetis.
-
Judul buku harus digarisbawahi atau
dicetak dengan huruf miring.
-
Urutan data publikasi: tempat
publikasi, penerbit, dan penanggalan. Jika ada banyak tempat publikasi, cukup mencantumkan
tempat yang pertama.
-
Perhatikan penggunaan titik setelah
tiap keterangan: sesudah nama pengarang, sesudah judul buku, sesudah data publikasi,
dan kalau ada sesudah jumlah halaman.
-
Pencantuman jumlah halaman buku tidak
merupakan hal yang wajib, dapat ditiadakan.
-
Perhatikan penggunaan titik dua
sesudah tempat terbit dan tanda koma sesudah nama penerbit.
REFERENSI
Asy’ari, Imam. Petunjuk Teknis
Menulis Naskah Ilmiah. (Surabaya: Usaha Nasional, 1984).
Chalmers, A.F. Apa Itu Yang
Dinamakan Ilmu? (Jakarta: Hasta Mitra, 1983).
Keraf, Gorys. Komposisi. (Flores:
Penerbit Nusa Indah, 1980).
Moeliono, Anton M., et.al.
Masalah Bahasa yang Dapat Anda Atasi Sendiri. (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1987).
Murray, Sheila L. Bagaimana
Mengorganisasi & Menyelenggarakan Seminar: Apa yang Perlu Dilakukan &
Kapan Kita Melaksanakannya. (Bandung: Angkasa, 1986).
Stemerding, A.H.S. Teknik
Rapat dan Diskusi Kelompok. (Jakarta: LPPM-Balai Aksara, 1985).
Sudjana, Nana. Tuntunan
Penyusunan Karya Ilmiah: Makalah-Skripsi-Tesis-Disertasi. (Bandung: Sinar
Baru, 1988).
Suriasumantri, Jujun S. Ilmu
Dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu. (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1978).
_______________. Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer. (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1984).
Suryadi & Ig. Silmenes Porang. Penuntun Penyusunan Paper, Skripsi, Thesis, Disertasi beserta Cara
Pengetikannya. (Surabaya: Usaha Nasional, 1980).
Suseno, Slamet. Teknik
Penulisan Ilmiah Populer. (Jakarta: Gramedia, 1989).
Tarigan, Henry Guntur. Berbicara
sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. (Bandung: Angkasa, 1988).
Wahyu dan Muhamad Masduki. Petunjuk
Praktis Membuat Skripsi. (Surabaya: Usaha Nasional, 1987).
Zelko, Harold P. Teknik
Diskusi dan Rapat Modern: Merencanakan, Mempersiapkan, Memimpin, Melaksanakan
Diskusi dan Konperensi dalam Bentuk-Bentuk Modern. (Jakarta: Gunung Jati,
1984).