[Artikel untuk Koran, ditulis 15 Februari 1991]
Analogi harus diakui seringkali
memudahkan penjelasan. Alih-alih memakai sejumlah besar konsep yang rumit dan
abstrak, lebih baik mengambil perumpamaan yang bersahaja. Singkat. Tepat. Hanya
saja masalahnya adalah orang cenderung menjadi kurang waspada, tidak menyadari
sepenuhnya tentang sejumlah asumsi yang tersirat di dalamnya. Seakan-akan
analogi berada dalam saturuang hampa; berdiri sendiri. Seakan-akan analogi
mampu menggantikan sepenuhnya suatu gejala yang hendak dijalankan. Dan hal yang
juga membahayakan, analogi terlampau memberi aksentuasi tunggal, mengabaikan
keanekaragaman nuansa dan akurasi yang terdapat dalam konfigurasi realitas yang
sebenarnya.
Analogi tentang pancing dan ikan, tentu
saja, termasuk ke dalamnya. Pepatah kuno ini senantiasa dikumandangkan setiap
kali orang berbicara tentang pendidikan; dan bagaimana pendidikan dapat
berfungsi sebagai sarana untuk mengangkat dari kemiskinan, meningkatkan taraf
hidup masyarakat. Mulai dari ulama, ninik-mamak, dan kaum cendekia hingga
kepala negara, semuanya menganjurkan pandangan hidup ini: “Jangan beri ikan,
tapi ajarilah orang cara memancing.”
Pesan yang ingin disampaikan melalui
analogi ini memang cukup gamblang. Dengan memberi makanan, orang mungkin hanya
bisa hidup dalam satu hari; sedangkan dengan memberikan keterampilan, orang
bisa bertahan seumur hidup. Lebih jauh lagi, dengan memberi makanan hanya akan
menciptakan ketergantungan; sebaliknya, dengan memberi keterampilan, orang
dapat mengembangkan kemandirian. Secara tidak langsung pesan ini
menggarisbawahi titik peralihan awal dari tata cara berproduksi yang menekankan
pada penguasaan alat produksi. Dalam bentuk pesan yang lebih tendensius,
singkatnya, pendidikan adalah kunci kehidupan.
Sebenarnya tidak ada yang salah dalam
pepatah klise ini. Namun beberapa pertimbangan tertentu harus dikembangkan guna
menelaah relevansi analogi tersebut dengan kondisi dan situasi yang berlaku
sekarang ini. Dan hal yang lebih penting lagi, perlu dieksplisitkan sejumlah
asumsi tentang sejumlah prasyarat struktural yang mewadahinya. Hanya dengan
eksplifikasi semacam ini, maka keberlakuan pepatah di atas menjadi tetap
relevan.
Tentang
Pemilikan Ikan
Prakondisi yang diperlukan sebelum
mengajar orang memancing ikan adalah orang yang bersangkutan memang telah
memiliki sejumlah ikan terlebih dulu. Fakta ini sama sekali tidak kontradiktif.
Pertama, karena ikan diperlukan bagi pemenuhan kebutuhan biologisnya. Kedua,
karena ikan adalah semacam aset, suatu alat tukar yang dipakai guna membiayai
pendidikan tentang memancing itu sendiri.
Mengajar orang memancing adalah lebih
baik daripada memberi ikan. Namun tentunya pepatah ini tidak berlaku pada semua
kasus. Dalam sejumlah kasus, hal yang sebaliknya malah dianggap merupakan hal
yang paling baik. Misalnya saja dalam konteks masyarakat miskin yang sebagian
besar penduduknya menderita kelaparan (hampir tidak pernah makan ikan); memberi
pendidikan memancing tentulah menjadi upaya yang sia-sia, sama sekali tidak
bermanfaat.
Orang kelaparan tidak pernah bisa
belajar; bagian perut jauh lebih penting dibanding bagian kepala. Dan orang
miskin tidak pernah bisa membiayai pendidikan, sekalipun dengan alasan untuk
mengatasi kemiskinan dan kelaparan yang sekarang mereka alami. Dalam kasus ini,
pepatah sebaiknya direvisi menjadi “berilah ikan bila hendak mengajar memancing
pada orang kelaparan.”
Tentang
Pendidikan Memancing
Satu hal yang patut dikagumi dalam
pepatah ini terletak pada pesannya yang menyatakan bahwa orientasi pokok
pendidikan adalah, bagaimana pun, bermuara pada pekerjaan. Dalam hal ini
pendidikan diarahkan manusia untuk mampu menghidupi dirinya; yakni, memancing.
Pendidikan pada dasarnya tidak pernah menjadi tujuan dalam dirinya sendiri.
Pendidikan, sebaliknya, justru merupakan sarana yang membekali seorang manusia
agar bisa hidup mandiri. Dan kemandirian tersebut bisa diperoleh manusia pada
pekerjaan.
Demikian pula dengan pendidikan
memancing. Tujuannya adalah menyiapkan orang agar, seusai masa pendidikan,
mereka mampu berprofesi sebagai pemancing berkompeten, yang mampu memenuhi
sendiri segenap kebutuhan hidupnya, dan juga keluarganya kelak. Guna mencapai
tujuan pendidikan tersebut, kurikulum disusun menurut teori dan praktek
memancing yang terbukti terbaik.
Dan dengan bantuan para pengajar
pemancing yang berpengalaman, orang diajar berbagai teori mulai dari
pengetahuan tentang iklim dan cuaca; tentang suhu udara dan air; tentang
tipologi lokasi pemancingan; tentang pembuatan peralatan pancing; tentang
tipologi dan anatomi ikan, umpan, hingga tata cara memancing, dan sebagainya.
Pengajaran diakhiri dengan praktek memancing secara intensif di berbagai lokasi
pemancingan dan cuaca yang berbeda. Ijazah dan brevet keahlian memancing
diberikan kepada mereka yang minimal berhasil mengumpulkan satu kuintal ikan
segar dalam berbagai jenis dan ukuran dalam satu kurun waktu tertentu pada
lokasi pemancingan yang berlainan.
Tentang
Pancing
Mengajar orang memancing adalah satu
hal; ketersediaan alat pancing itu sendiri adalah hal lain. Setelah memahami
dan menguasai berbagai teknik dan prosedur memancing, langkah berikutnya adalah
mempraktekkannya. Guna keperluan tersebut, alat pancing itu sendiri harus
tersedia; atau setidaknya tersedia bahan-bahan baku yang bisa dirakit sendiri
menjadi pancing.
Ada berbagai
peralatan pancing yang tersedia. Ada yang sederhana, karena hanya merupakan
joran yang terbuat dari bambu, tali nilon standar, dan kail seng. Ada pula yang
canggih, terbuat dari fiberglas yang dikonstruksi seperti antena yang praktis,
dan dilengkapi dengan roda pemutar elektronis; nilon super kuat berukuran ratusan
feet; pelampung; sonar; sensor; dan
kail yang bisa dikemudikan dengan remote
control. Orang bisa memilih peralatan pancing mana yang paling sesuai.
Umumnya orang
memilih yang terbaik, karena semakin baik peralatan memancing, maka semakin
banyak dan semakin terjamin pula perolehan ikannya. Sayangnya, tentu saja,
tidak mungkin semua orang dapat memperoleh pancing yang terbaik. Hanya mereka
yang berada dalam kelas sosial-ekonomi tertentu yang mampu memilikinya.
Tentang Kolam
Dengan perut yang
telah terisi penuh, pendidikan memancing akhirnya berhasil diselesaikan.
Pancing pun tersedia. Masalahnya sekarang, di mana memancingnya? Tentu saja
harus ada lokasi pemancingan, sebuah kolam; yakni suatu cekungan tanah yang
penuh berisi air sebagai tempat habitat hidup ikan dan berbagai jenis satwa air
lainnya. Kolam adalah, dengan kata lain, prasarana fisik yang dibutuhkan
sebagai tempat memancing. Tanpa kehadiran kolam, orang tidak mungkin memancing;
bahkan mungkin pendidikan memancing itu sendiri menjadi tidak relevan.
Banyak kolam yang
tersedia. Secara teoritis pemancing bisa memilih sendiri kolam yang akan
digunakannya; apakah berukuran besar, sedang, atau kecil; apakah lokasinya
indah dan fasilitasnya lengkap, atau mungkin, sebaliknya, sangat sederhana.
Namun pilihannya tersebut pada gilirannya akan membawa konsekuensi biaya. Hal
ini terjadi karena, pertama, ia harus membayar uang sewa kepada pemiliknya;
atau, kedua, ia membangun dan mengelola sendiri kolamnya.
Tentang Ikan
Kolam telah
tersedia. Tapi satu pertanyaan tetap menggantung: apakah kolam tersebut ada
ikannya? Tidak semua kolam ada ikan; kolam renang misalnya, tentu tidak pernah
dipakai sebagai tempat pemeliharaan ikan. Hanya kolam tertentu yang mengandung
ikan. Namun demikian masing-masing kolam tersebut memiliki ukuran, jumlah, dan
jenis ikan yang berbeda-beda. Ada kolam yang lengkap memiliki berbagai jenis
ikan mulai darikoki yang beratnya hanya beberapa gram, mujair, sepat, hingga
ikan mas, gurame yang beratnya bisa mencapai 10 kg; bahkan ada juga arwana.
Sedangkan kolam lain mungkin hanya memiliki ikan lele lokal yang ukurannya
sangat kecil dibanding lele dumbo.
Walau begitu perlu
ditegaskan di sini bahwa tidak semua kolam yang ada ikannya tersebut boleh
bebas dipancing. Sebagian kolam, biasanya justru yang paling banyak mengandung
ikan, merupakan monopoli individu atau kelompok sosial tertentu. Sebagian lain
hanya ditujukan bagi para anggota khusus yang memiliki atribut-atribut
eksklusif.
Bagi para pemancing
yang tidak termasuk ke dalam dua golongan tersebut, jangan khawatir, masih ada
cukup banyak tersedia kolam-kolam ber-ikan lainnya, asalkan mereka memenuhi
kondisi berikut ini. Pertama, pemancing bersedia membayar karcis masuk. Kedua,
mereka bersedia memancing ikan-ikan yang kekenyangan, karena telah diberi makan
sebelumnya oleh pemilik kolam. Dan ketiga, pemancing bersedia memperoleh
ikan-ikan kecil dan dalam jumlah yang terbatas.
Tentang Umpan
Ikan tidak mungkin
diperoleh bila tidak ada umpan; yakni suatu jenis makanan yang sangat disukai
ikan. Tanpa umpan, ikan tidak akan mendekati kail si pemancing, memakannya, dan
menyangkutkan diri, menggelepar, dan mengerjat. Guna keperluan itu, para
pemancing harus mencari serta meramu sendiri umpannya. Dan agar efektif, mereka
perlu meramu beraneka ragam umpan yang spesifik, sesuai dengan jenis ikan yang
ingin diperoleh.
Pemancing yang
handal telah lama mengetahui bahwa jenis dan jumlah ikan yang diperolehnya akan
sangat tergantung pada mutu umpan yang diramunya. Kaidah umum, semakin bermutu
umpannya, semakin berkualitas dan semakin banyak ikan yang mungkin
diperolehnya.
Umpan modern tidak
lagi mengandalkan bahan-bahan yang tidak berselera seperti laron, cacing, ubi,
atau terasi; melainkan adonan udang, daging, lengkap dengan saus dan bumbu
masak. Tidak cukup dengan itu, pemancing modern juga melengkapi umpan mereka
dengan berbagai alat bantu berteknologi canggih, seperti lampu penarik
perhatian ikan; sonar pencari jejak gerombolan ikan; dan kail yang mampu
bergerak sendiri karena dilengkapi dengan remote
control. Kendati begitu sebagaimana pancing, tidak semua orang mampu
memiliki akses yang sama untuk memperoleh umpan yang terbaik.
Tentang Pasar Ikan
Sejumlah ikan telah
diperoleh. Sebagian ikan yang malang tersebut langsung disantap oleh pemancing
beserta keluarganya. Salah satu kebutuhan primer, yang bersifat biologis
sekarang telah terpenuhi. Namun sebagai manusia yang lengkap, mereka juga
memiliki kebutuhan primer lainnya, sandang dan papan; serta kebutuhan sekunder,
tersier, dan seterusnya.
Segenap kebutuhan
ini sebenarnya dapat dipenuhi sepanjang tersedia kelebihan ikan yang tidak
habis dikonsumsi dalam jumlah yang cukup memadai. Dengan demikian, orang yang
bersangkutan dapat menjualnya dengan harga yang sepadan kepada pasar ikan,
yakni suatu sarana yang mempertemukan para pemancing yang memiliki kelebihan
ikan dengan anggota masyarakat lain yang bukan pemancing, namun sangat membutuhkan
ikan sebagai bahan makanan mereka.
Sayangnya ada
beberapa kondisi tertentu yang mungkin dapat menghalangi tercapainya pemenuhan
kebutuhan sekunder dan tersier para pemancing tersebut. Pertama, mungkin tidak
ada perolehan ikan yang berlebih mengingat sebagian besar pemancing tidak
memiliki akses yang sama untuk memiliki pancing, kolam, ikan, dan umpan yang
terbaik. Kedua, mungkin secara agregat ada perolehan ikan yang berlebih, namun
hanya bisa dijual di bawah harga yang sebenarnya. Hal ini disebabkan oleh,
ketiga, hadirnya suatu bentuk kartel yang senantiasa berusaha memanipulasi
harga ikan di pasar demi kepentingan sepihak, yakni sekelompok elit yang
biasanya juga merupakan pihak yang secara terorganisasi menguasai jalur
produksi dari hulu hingga ke hilir.
Kesimpulan
Efektivitas pendidikan memancing
tergantung pada sejumlah kondisi berikut ini. Siswa-siswa calon pemancing
terlebih dulu harus memiliki cukup banyak ikan. Sebagian untuk memenuhi
kebutuhan biologis mereka sendiri. Sedang sebagian lain dipakai untuk membiayai
pendidikan memancing; dan sejumlah prasarana penunjangnya, seperti untuk
membeli peralatan pancing, membayar karcis masuk ke kolam ikan, dan membeli
umpan.
Lebih lanjut, siswa-siswa sekolah
pemancingan harus berada dalam kondisi lingkungan yang sedemikian, sehingga
mereka mampu mengembangkan perilaku pemancingan yang kondusif. Unsur-unsur yang
harus terdapat dalam lingkungan tersebut adalah antara lain, yang terpenting,
kolam, ikan, dan pasar ikan. Mereka adalah prasyarat-prasyarat struktural yang
sangat penting. Tanpa kehadiran unsur-unsur tadi, tidak mungkin sekolah
pemancingan akan berfungsi. Tanpa kehadiran mereka, pepatah “jangan memberi
ikan, tapi ajarilah orang cara memancing” hanyalah suatu ungkapan yang tidak
berguna. Hampa. Tidak bermakna.
*Iqbal Djajadi, Ketua Forum for
Organizational & Industrial Studies (FOIS), Lab Sosiologi FISIP-UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar