Minggu, 24 Januari 2016

Kenakalan Remaja - Benarkah Orangtua Biang Keladinya?

[Dimuat di Majalah Sosio edisi Perdana, Maret 1986. Majalah Ikatan Keluarga Sosiologi FISIP-UI] 

Rame-rame membicarakan soal kenakalan yang dilakukan para remaja, kata kunci yang pas dalam obrolan semacam itu pastilah berkaitan dengan sebab-musababnya: orangtuanya sih kagak bener! Orangtua dianggap terlampau terasyik-masyuk mengejar profit ekonomis dalam kegiatan sehari-hari mereka, sehingga curahan waktu yang semestinya cukup banyak diluangkan untuk mengasuh atau memperhatikan anak menjadi terabaikan; anak lebih dijejalkan dengan “kasih sayang” material ketimbang rohani; anak lebih dipercayakan dalam pengasuhan dan perkembangan kepribadiannya kepada para baby sitter atau bedinde daripada oleh orangtua sendiri, malah, demikian kilah orang-orang, banyak juga yang membiarkan si anak untuk tumbuh dan berkembang sendiri tanpa bimbingan siapa pun.

Nah lu, kalau begitu kondisinya, jangan tanya deh masalah akibatnya. Anak kehilangan tokoh ideal, figur sentral tempat si anak mengarahkan orientasi sikap dan perilakunya; kehilangan kontrol dan kekangan, lepas tak terkendali memuntahkan segenap hura-hura jiwa mudanya. Maka jadilah dia pemboat, tukang tenggeng, perek, okem, generasi punk dan sejibun ‘profesi’ lainnya.

Namun benarkah orangtua yang bersalah, atau lebih halusnya, yang bertanggung jawab gitu? Bah! Saya harap tak ada seorang oknum pun di IKS (Ikatan Keluarga Sosiologi –red) atau yang berdiri di bawah naungan panji sosiologi akan mengkonfirmasikan pernyataan setolol dan senaif itu. Itu hanya cocok bagi psikologi dan para jurnalis serta orang-orang awam lainnya.

Bagi sosiolog? Well, saudara harus lebih dari itu. Saudara mempelajari fenomena kenakalan remaja bukan berdasarkan “individu” atau satuan-satuan analisa mikro yang seakan berdiri sendiri, melainkan mempelajarinya secara keseluruhan sekaligus interaksi di antara unit-unit pembentuknya. Ringkasnya, pelajari strukturnya dong! Serta, jangan lupa, masuklah ke dalam masalah yang sedang diteliti itu sampai ke akar-akarnya – debunking – istilah kerennya.

Lalu kalo begitu, apakah kita sebagai sosiolog harus menolak pendapat bahwa orangtualah yang bersalah? Benar banget. Di samping kualat nyalah-nyalahin orangtua sendiri, ada dua alasan fundamental yang ilmiah. Pertama, dengan kemampuan debunking, kenakalan remaja yang sering dipermasalahkan itu ternyata sangat terbatas ruang lingkupnya: hanya untuk kelas menengah ke atas dan yang berada di perkotaan kok!

Apa sih batasan kenakalan remaja, khususnya kata “remaja” itu? Itu kan meliputi segala lapisan. Dan ini tentu saja berarti kenakalan remaja bukan didominasi oleh lapisan menengah ke atas saja; sebaliknya, mereka yang berasal dari golongan bawahlah yang paling banyak. Lantas, terang sekali sebab utama kenakalan itu tidak bisa dititikberatkan pada kesalahan orangtua yang kurang memperhatikan anak-anaknya gara-gara mencari duit. Apakah si Soni, anak tukang bakso, itu menjadi badung oleh karena bapak-ibunya menelantarkannya denganmembiarkan pengasuhan pada bedinde? Bodoh sekali bukan kalau kita membiarkan pertanyaan itu diiyakan. Itu sih hanya berlaku bagi si Hadar, anak gedongan yang sleboran.

Jadi kita tidak bisa main generalisasi sebab tunggal saja. Ingat kita kan ada dalam teritorial ilmu-ilmu sosial, sedangkan pak Manasse (Prof. Dr. Manasse Malo, sosiolog – red) udah kebangetan sekali sekali mewanti-wantikan agar jangan sembarangan jika narik inferensi itu. Batasan populasi dan penarikan sampelnya harus jelas serta representatif. Begitulah.

Alasan kedua, berhubungan dengan kaidah struktural dan analisa multivariat dalam sosiologi pada khususnya. Masyarakat atau sistem sosial yang menjadi obyek studi sosiologi itu terdiri dari berbagai komponen yang rumit sekali perjalinannya; satu komponen dalam masyarakat tertentu, semacam keluarga misalnya, eksistensi dan bahkan karakter dasariahnya amat ditentukan atau mendapat pengaruh dari beratus-ratus kompunen lainnya yang membentuk masyarakat yang bersangkutan. Walhasil, dengan hanya menunjuk pada satu sebab tunggal belaka seperti yang diperlihatkan dalam persoalan kenakalan remaja, jelas amat gegabah. Sombong bener tuh orang yang menyatakan demikian.

Orangtua dalam satu hal bisa disalahkan dan, konsekuensinya bisa diminta pertanggungan jawabnya. Tapi itu belum selesai. Lalu siapa yang menciptakan kondisi sehingga orangtua itu sangat ‘bersemangat’ cari duit; siapa yang menciptakan teknologi yang sedemikian gilanya itu sehingga, dengan bantuan para pengusaha yang tak kurang gilanya – nguber duit, tercipta lingkungan yang ‘mesum’ yang jelas sekali tak menunjang pertumbuhan sosial anak yang baik dan sehat; siapa yang memberi izin, membiarkan kesemuanya tadi terus berkembang? Siapa yang membuat anak-anak jadi lebih cerdas dan diliputi ‘rasa ingin tahu’ yang sedemikian gedenya itu, sehingga mereka ingin selalu mencoba dan bertualang? Dan banyak lagi lainnya.

Ayo coba jawab! Anda benar-benar gila kalau masih ngotot menunjuk orangtua sebagai biang keladi penyebab kenakalan remaja. Itu berarti ada dua. Satu, Anda bukan sosiolog sama sekali, dan kedua, Anda tidak akan pernah masuk surga. 

*Penulis: Mahasiswa FISIP-UI, jurusan Sosiologi angkatan 1981
    

Tidak ada komentar: