Rame-rame membicarakan soal kenakalan yang dilakukan para remaja, kata kunci yang pas dalam obrolan semacam itu pastilah berkaitan dengan sebab-musababnya: orangtuanya sih kagak bener! Orangtua dianggap terlampau terasyik-masyuk mengejar profit ekonomis dalam kegiatan sehari-hari mereka, sehingga curahan waktu yang semestinya cukup banyak diluangkan untuk mengasuh atau memperhatikan anak menjadi terabaikan; anak lebih dijejalkan dengan “kasih sayang” material ketimbang rohani; anak lebih dipercayakan dalam pengasuhan dan perkembangan kepribadiannya kepada para baby sitter atau bedinde daripada oleh orangtua sendiri, malah, demikian kilah orang-orang, banyak juga yang membiarkan si anak untuk tumbuh dan berkembang sendiri tanpa bimbingan siapa pun.
Nah lu, kalau begitu kondisinya, jangan
tanya deh masalah akibatnya. Anak kehilangan tokoh ideal, figur sentral tempat
si anak mengarahkan orientasi sikap dan perilakunya; kehilangan kontrol dan
kekangan, lepas tak terkendali memuntahkan segenap hura-hura jiwa mudanya. Maka
jadilah dia pemboat, tukang tenggeng, perek, okem, generasi punk dan sejibun
‘profesi’ lainnya.
Namun benarkah orangtua yang bersalah,
atau lebih halusnya, yang bertanggung jawab gitu? Bah! Saya harap tak ada
seorang oknum pun di IKS (Ikatan Keluarga Sosiologi –red) atau yang berdiri di
bawah naungan panji sosiologi akan mengkonfirmasikan pernyataan setolol dan
senaif itu. Itu hanya cocok bagi psikologi dan para jurnalis serta orang-orang
awam lainnya.
Bagi sosiolog? Well, saudara harus lebih dari itu. Saudara mempelajari fenomena
kenakalan remaja bukan berdasarkan “individu” atau satuan-satuan analisa mikro
yang seakan berdiri sendiri, melainkan mempelajarinya secara keseluruhan
sekaligus interaksi di antara unit-unit pembentuknya. Ringkasnya, pelajari
strukturnya dong! Serta, jangan lupa, masuklah ke dalam masalah yang sedang
diteliti itu sampai ke akar-akarnya – debunking
– istilah kerennya.
Lalu kalo begitu, apakah kita sebagai
sosiolog harus menolak pendapat bahwa orangtualah yang bersalah? Benar banget.
Di samping kualat nyalah-nyalahin orangtua sendiri, ada dua alasan fundamental
yang ilmiah. Pertama, dengan kemampuan debunking,
kenakalan remaja yang sering dipermasalahkan itu ternyata sangat terbatas
ruang lingkupnya: hanya untuk kelas menengah ke atas dan yang berada di
perkotaan kok!
Apa sih batasan kenakalan remaja,
khususnya kata “remaja” itu? Itu kan meliputi segala lapisan. Dan ini tentu
saja berarti kenakalan remaja bukan didominasi oleh lapisan menengah ke atas
saja; sebaliknya, mereka yang berasal dari golongan bawahlah yang paling
banyak. Lantas, terang sekali sebab utama kenakalan itu tidak bisa
dititikberatkan pada kesalahan orangtua yang kurang memperhatikan anak-anaknya
gara-gara mencari duit. Apakah si Soni, anak tukang bakso, itu menjadi badung
oleh karena bapak-ibunya menelantarkannya denganmembiarkan pengasuhan pada bedinde? Bodoh sekali bukan kalau kita
membiarkan pertanyaan itu diiyakan. Itu sih hanya berlaku bagi si Hadar, anak
gedongan yang sleboran.
Jadi kita tidak bisa main generalisasi
sebab tunggal saja. Ingat kita kan ada dalam teritorial ilmu-ilmu sosial,
sedangkan pak Manasse (Prof. Dr. Manasse Malo, sosiolog – red) udah kebangetan
sekali sekali mewanti-wantikan agar jangan sembarangan jika narik inferensi
itu. Batasan populasi dan penarikan sampelnya harus jelas serta representatif.
Begitulah.
Alasan kedua, berhubungan dengan kaidah
struktural dan analisa multivariat dalam sosiologi pada khususnya. Masyarakat
atau sistem sosial yang menjadi obyek studi sosiologi itu terdiri dari berbagai
komponen yang rumit sekali perjalinannya; satu komponen dalam masyarakat
tertentu, semacam keluarga misalnya, eksistensi dan bahkan karakter dasariahnya
amat ditentukan atau mendapat pengaruh dari beratus-ratus kompunen lainnya yang
membentuk masyarakat yang bersangkutan. Walhasil, dengan hanya menunjuk pada
satu sebab tunggal belaka seperti yang diperlihatkan dalam persoalan kenakalan
remaja, jelas amat gegabah. Sombong bener tuh orang yang menyatakan demikian.
Orangtua dalam satu hal bisa disalahkan
dan, konsekuensinya bisa diminta pertanggungan jawabnya. Tapi itu belum
selesai. Lalu siapa yang menciptakan kondisi sehingga orangtua itu sangat ‘bersemangat’
cari duit; siapa yang menciptakan teknologi yang sedemikian gilanya itu
sehingga, dengan bantuan para pengusaha yang tak kurang gilanya – nguber duit,
tercipta lingkungan yang ‘mesum’ yang jelas sekali tak menunjang pertumbuhan
sosial anak yang baik dan sehat; siapa yang memberi izin, membiarkan kesemuanya
tadi terus berkembang? Siapa yang membuat anak-anak jadi lebih cerdas dan
diliputi ‘rasa ingin tahu’ yang sedemikian gedenya itu, sehingga mereka ingin
selalu mencoba dan bertualang? Dan banyak lagi lainnya.
Ayo coba jawab! Anda benar-benar gila
kalau masih ngotot menunjuk orangtua sebagai biang keladi penyebab kenakalan
remaja. Itu berarti ada dua. Satu, Anda bukan sosiolog sama sekali, dan kedua,
Anda tidak akan pernah masuk surga.
*Penulis: Mahasiswa FISIP-UI, jurusan Sosiologi angkatan 1981
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.