[Materi Diskusi Dwi-mingguan Jurusan
Sosiologi FISIP-UI, tahun 1989]
Pendahuluan
Rumah bukanlah sekadar perwujudan
struktur fisik yang digunakan sebagai tempat tinggal manusia – suatu tempat
berlindung dari ancaman alam eksternal. Rumah adalah, terutama, merupakan
perwujudan ekspresi-ekspresi sosio-kultural para penghuninya.
Berangkat dari kerangka berpikir ini,
studi berikut berupaya untuk melengkapi studi dasar yang telah dilakukan sebelumnya.
Bila studi terdahulu lebih menekankan pada aspek rumah sebagai struktur fisik
yang disorot dari perspektif teknik dan ekonomik; studi ini, sebaliknya, lebih
menekankan pendekatan sosiologis dalam usahanya untuk mencapai tiga tujuan.
Tiga tujuan yang dimaksud adalah, pertama, mendeskripsikan cara atau metode
yang dialami penghuni dalam memperoleh rumah BTN yang sekarang mereka tempati.
Kedua, mendeskripsikan kepuasan penghuni terhadap rumah yang mereka huni.
Ketiga, mendeskripsikan sikap mereka terhadap peraturan-peraturan perumahan
yang ditetapkan BTN dan Perum Perumnas.
Penghuni rumah BTN yang dipilih menjadi
sampel penelitian ini ditetapkan secara purposif menurut beberapa pertimbangan
tertentu. Penghuni yang diwawancarai (responden) adalah kepala rumah tangga dan
atau istri/suaminya. Pertimbangannya adalah karena hanya mereka yang diduga
memiliki pengetahuan komprehensif mengenai ketiga aspek informasi tujuan yang
ingin diketahui dalam studi ini.
Pertimbangan kedua, penghuni yang
diwawancarai juga dipilih menurut tipe-tipe rumah yang mereka tempati. Tipe
rumah kurang lebih menggambarkan keadaan status sosial ekonomi penghuninya.
Karena KPR-BTN memang ditujukan bagi golongan berpenghasilan rendah, studi ini
lebih condong mengambil penghuni yang menempati rumah-rumah berukuran kecil,
yakni tipe 54 ke bawah.
Pertimbangan ketiga, studi ini
membedakan responden berdasarkan pengembang (developer) yang membangun rumah mereka. Dalam hal ini, pengembang
dibedakan antara Perumnas dan pengembang swasta. Asumsinya, pengembang yang
berbeda akan melahirkan perbedaan pula pada ketiga aspek informasi seperti
dinyatakan dalam tujuan penelitian.
Pertimbangan selanjutnya adalah lokasi
proyek secara geografis. Dengan asumsi yang serupa, lokasi proyek yang dipilih meliputi
tiga kota besar di Indonesia, yakni Jakarta, Medan, dan Yogyakarta. Jakarta
dipilih karena merupakan kota terbesar dan memiliki perumahan KPR-BTN yang
paling banyak dan paling kompleks. Sedangkan Medan dan Yogyakarta dipilih
karena secara kasar bisa dianggap mewakili gambaran wilayah provinsi Indonesia
bagian Barat dan Timur.
Selain pertimbangan-pertimbangan di
atas, secara purposif ada juga beberapa responden yang dipilih menurut masalah
khusus tertentu yang dialami mereka. Masalah khusus tersebut antara lain
penghuni yang memperoleh rumah melalui mekanisme informal; penghuni yang
mengubah fungsi rumahnya menjadi tempat usaha; penghuni yang menunggak angsuran
rumah, dan sebagainya.
Lengkapnya, jumlah penghuni dan lokasi
proyek serta pengembang yang menjadi sampel studi ini dapat dikemukakan sebagai
berikut: Total penghuni yang diwawancarai seluruhnya sebanyak 38 orang; 19
orang ditarik dari Jakarta, 9 orang dari Medan, dan 10 orang dari Yogyakarta.
Menurut pengembang dan lokasi proyek, tempat-tempat yang dikunjungi adalah
Perumnas Klender, Perumnas Depok, Pondok Ranji, Jati Makmur, dan Bulak Macan
Permai untuk wilayah Jakarta. Adapun lokasi proyek yang dikunjungi di Medan
meliputi Perumnas Sukarame, Perumnas Mandala, Johor Indah-Padang Bulan, Tanjung
Sari, dan Tanjung Selamat. Sedangkan lokasi proyek di Yogyakarta adalah
Perumnas Minomartani, Perumnas Condong Catur, Gowok, dan Sonosewu, Bantul
(perincian lebih lengkap terlampir).
Guna mencapai ketiga tujuan studi ini,
metode yang diterapkan di sini adalah metode deskriptif dengan teknik wawancara
mendalam sebagai sarana pengumpulan datanya. Dalam hal ini, peneliti
memakai pedoman wawancara yang terdiri dari 38 items pertanyaan, yang pada umumnya membutuhkan waktu wawancara
rata-rata 2 jam untuk setiap responden. Studi lapangan dilaksanakan pada
tanggal 12-19 Agustus di Jakarta; tanggal 19-20 Agustus di Yogyakarta; dan
tanggal 22-24 Agustus di Medan.
Deskripsi
tentang Cara Penghuni Memperoleh Rumah
Pada umumnya penghuni memperoleh
informasi mengenai perumahan BTN yang sekarang mereka tempati ini dari jaringan
informal yang mereka miliki. Sebagian besar mereka peroleh dari kolega,
teman-teman kerja di kantor mereka. Sebagian lainnya memperoleh informasi
tersebut dari teman dekat, tetangga, sanak saudara yang biasanya tinggal
berdekatan dengan lokasi perumahan BTN atau bahkan telah menempati rumah itu
lebih dahulu.
Suatu hal menarik untuk diketengahkan di
sini adalah fakta bahwa relatif hanya sedikit
penghuni yang mengandalkan perolehan megenai perumahan BTN dari media
massa. Media massa yang digunakan dalam hal ini umumnya surat kabar dan hanya
satu orang yang memperoleh informasi dari radio. Sedangkan jenis media massa
lainnya seperti televisi, majalah, pamflet
atau brosur dan leaflet sama sekali
tidak ada yang menyebut.
Fakta ini barangkali merujuk pada suatu
fenomena masih pentingnya peranan jaringan informasi informal di tengah
meruyaknya sistem komunikasi modern sekarang ini. Di samping kenyataan, memang
tingkat penggunaan media massa di Indonesia yang masih rendah, keadaan ini juga
memperlihatkan sisi lain dari informasi mengenai rumah itu sendiri. Rumah
merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Sebagai suatu kebutuhan pokok
yang memiliki arti penting dan relatif sukar dijangkau oleh penghasilan
rata-rata penduduk kota besar di Indonesia, mereka memerlukan informasi yang
memiliki kredibilitas tertentu.
Informasi yang diperlukan adalah
informasi yang bersifat tatap muka langsung. Hal ini dikarenakan mereka ingin
mengetahui secara konkret mengenai, umpamanya, kenyamanan hunian yang ditinjau
langsung dari persepsi teman-teman mereka, yang dalam pandangan mereka memiliki
kesamaan citra dengan persepsi mereka sendiri. Hal ini tentu saja berbeda
dengan informasi yang diperoleh dari media massa yang mereka anggap cenderung
berbau “iklan” yang tidak mengungkapkan kenyataan sebenarnya.
Selain itu, fakta ini juga berarti
sebagian besar penghuni masih besar ketergantungan
sosialnya satu sama lain. Responden tidak berani bertindak – membeli rumah –
sebelum memperoleh dukungan dari kelompok
referensinya. Artinya, dengan kata lain, mereka baru berani membeli rumah
bila rekan-rekan atau sanak saudara mereka juga melakukan hal yang sama; atau,
setelah mereka memperoleh rekomendasi yang “positif” dari orang lain yang dekat
dengan mereka. Dalam spirit yang sama, sebagian kecil dari merekaada juga yang
pindah oleh karena ingin tinggal berdekatan dengan orang-orang yang telah
mereka kenal baik.
Diidentifikasi secara umum, ada dua pola
tentang bagaimana responden dulu memperoleh rumah KPR-BTN: melalui jalur formal
sesuai dengan prosedur yang berlaku dan melalui jalur informal – suatu cara
yang bisa dikatakan bertentangan dengan peraturan yang ditetapkan BTN. Melalui
jalur formal itu sendiri, masih dibagi lagi ke dalam dua cara: secara
perorangan dan kolektif. Selanjutnya, prosedur kolektif masih dibagi lagi ke
dalam dua cara, yakni secara kelompok atas nama lembaga atau perusahaan tanpa
atau dengan campur tangan yang minimal; dan cara di mana perusahaan ikut campur
langsung memberikan fasilitas-fasilitas tertentu kepada para karyawannya.
Prosedur Formal
Kecuali di Perumnas Sukarame Medan,
mayoritas responden mengaku tidak mengalami kesulitan atau hambatan apa pun
ketika mereka mengurus surat permohonan rumah. Baik secara perorangan atau
kolektif, masing-masing hanya diminta untuk mengisi berbagai formulir yang
disediakan BTN/Perumnas/pengembang dengan ongkos-ongkos yang wajar, sesuai
peraturan. Formulir yang mereka harus isi antara lain surat keterangan tidak
punya rumah yang dikonfirmasi secara berjenjang mulai dari RT-RW hingga
kelurahan. Lainnya adalah fotokopi KTP, surat keterangan telah menikah, kartu
jumlah anggota keluarga, daftar gaji, dan sebagainya.
Menarik diperhatikan di sini, bagaimana
perbedaan carayang ditempuh responden yang mengajukan surat permohonan secara
kolektif. Cara pertama pada dasarnya tidak melibatkan instansi, tempat dimana
responden bekerja. Oleh karena mereka melihat relatif sulit mengurus
surat-surat permohonan rumah secara perorangan, lalu atas prakarsa mereka
sendiri, mereka menawarkan rekan-rekan sekerja untuk bersama-sama bergabung
mengajukan surat permohonan dan meminjam nama perusahaan mereka sebagai nama
kelompok. Tidak ada bantuan atau fasilitas-fasilitas yang diberikan perusahaan
guna keperluan tersebut. Biasanya pihak lembaga atau perusahaan hanya sekadar
memberikan rekomendasi di bidang pengurusan surat-surat tertentu. Hal inilah
yang dialami oleh, misalnya, Syahri yang memperoleh rumah di Perumnas Klender
atas nama istrinya yang bekerja di Kejaksaan Agung.
Cara kedua dilakukan dengan melibatkan
perusahaan secara langsung, bahkan turut memberikan kontribusinya. Walaupun
yang mengambil prakarsa tetap para karyawan yang tergabung dalam SPSI, namun
perusahaan turun tangan dengan memberikan pinjaman uang yang selanjutnya
digunakan sebagai modal untuk membeli rumah BTN secara langsung. Dengan
demikian karyawan tidak berhubungan langsung dengan BTN atau pengembang,
melainkan dengan SPSI perusahaan tersebut. Dalam kaitan ini, karyawan malah
bisa menikmati fasilitas kredit rumah yang lebih murah ketimbang yang
ditentukan BTN. Kasus ini terjadi di perumahan Bank of Tokyo Jati Makmur,
Jakarta Timur.
Hal lain yang juga menarik untuk
ditelaah di sini adalah perbedaan tipis yang dialami oleh para responden yang
memperoleh rumah melalui Perumnas dan pengembang swasta. Kendati sama-sama
menempuh jalur formal, namun ada tendensi bahwa persyaratan yang berlaku di
pengembang swasta relatif lebih longgar. Berdasarkan pengakuan nyonya Ririen
yang tinggal di kompleks perumahan Johor Indah-Medan, misalnya, surat
keterangan sudah menikah atau jumlah anggota keluarga sama sekali tidak
diperlukan. Hal yang paling penting adalah, menurutnya, kemampuan finansial
seseorang dalam membayar rumah. Hal yang sama juga dikemukakan oleh salah
seorang responden di Sonosewu-Bantul, Yogyakarta. Demikian pula dalam hal
penjualan kembali rumah yang telah ditempati, seperti diungkapkan ibu Mimie –
seorang responden yang tinggal di Pondok Ranji, Jakarta.
Prosedur Informal
Beberapa cara yang tidak sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan BTN dapat dikemukakan di sini. Cara pertama adalah
dengan menjual kembali atau mengontrakkan rumah yang telah ditempati kepada
pihak kedua/pihak ketiga. Dalam kasus menjual kembali, pada umumnya penghuni
rumah semula telah melunasi angsuran rumah mereka. Dan kalau ada yang belum
lunas, biasanya dibuat suatu kesepakatan yang menetapkan pihak pertama sebagai
yang bertanggung jawab dalam hal pembayaran sisa uang angsuran tersebut. Dengan
membuat akta notaris pengalihan hak pemilikan baru, yang tidak lagi melibatkan
BTN/Perumnas, secara hukum penjualan tersebut menjadi sah.
Penghuni pihak kedua yang mengontrak
rumah dari pihak pertama biasanya tidak berhubungan langsung dengan BTN/pengembang.
Dalam masalah pembayaran angsuran rumah yang belum lunas, pihak pengontrak
dibebaskan dari kewajiban tersebut. Tidak ada pengalihan hak pemilikan rumah
secara hukum; dan pembayaran angsuran rumah tetap merupakan tanggung jawab
sepenuhnya si pemilik rumah. Pihak kedua hanya berkewajiban untuk membayar
biaya pemeliharaan rumah tertentu seperti listrik, air, kebersihan, dan
sebagainya. Hal ini misalnya dialami oleh seorang responden yang bertempat
tinggal di Bulak Macan Permai, Jakarta.
Cara kedua adalah pihak kedua menempati
rumah pihak pertama untuk jangka waktu tertentu tanpa dipungut bayaran sewa,
tanpa perjanjian kontrak secara legal, dan tentu saja, tanpa harus mengalami
pengalihan hak pemilikan sama sekali. “Dasarnya adalah keinginan untuk menolong
dan saling percaya,” demikian ungkap seorang responden di perumahan Tanjung
Sari, Medan.
Menurutnya, ia dan keluarganya boleh
tinggal di rumah tersebut karena rumah itu tidak dihuni oleh pemiliknya.
Kendati mereka tidak bertalian darah, melainkan hanya teman kerja; namun
kesadaran bahwa pemilik tersebut telah punya rumah sendiri yang memadai di
pusat kota Medan serta perlunya rumah tersebut ditempati dan dirawat,
menyebabkan pihak pertama merelakan meminjamkan rumahnya secara cuma-cuma.
Kepuasan
Sosial Atas Kondisi Rumah
Secara teoritis, ada dua perspektif utama
dalam menilai kepuasan responden terhadap rumah yang mereka tempati sekarang
ini. Pertama, perspektif yang melihat rumah sebagai suatu objek struktur fisik. Dan kedua, perspektif yang melihat rumah
sebagaisuatu objek sosio-kultural.
Mengingat kaitan erat di antara dua konsep tersebut, analisis yang dilakukan
nanti pada prinsipnya tidak akan dipisahkan tersendiri.
Mengekspresikan perasaan puas atau tidak
puas responden terhadap kondisi rumah yang mereka tempati sekarang, haruslah
diungkapkan dalam terminologi relatif, sesuai dengan sudut pandang sumber
penilaiannya. Bila sudut pandangnya adalah perbandingannya langsung, ketika
mereka masuk untuk pertama kali ke rumah baru mereka, dengan kondisidan status
rumah yang mereka tempati sebelum pindah, pada umumnya – tidak peduli dari
kelas sosial-ekonomi mana pun – responden menyatakan kepuasannya.
Masalah yang paling utama adalah “to be or not to be.” Kendati sering
dikemukakan kritik bahwa fasilitas KPR-BTN banyak dipakai oleh orang yang tidak
berhak, namun studi ini sendiri mengungkapkan kecenderungan bahwa sebagian
besar penghuni yang diwawancarai memang tidak memiliki rumah sebelumnya
dan/atau menempati rumah yang tidak layak untuk ditempati.
Sebagai akibatnya, walaupun mungkin
kondisi objektif rumah yang mereka masuki pertama kali itu banyak yang
menunjukkan kekurangan, namun mereka tetap merasakan kepuasannya. Instalasi
listrik belum terpasang, air belum mengalir, keretakan pada tembok dan jendela,
serta masih banyak lagi; semuanya masih bisa ditoleransi oleh para penghuni.
Fakta bahwa mereka, sekarang, telah memiliki rumah sendiri berfungsi sebagai
semacam “peredam” yang meluluhkan keinginan mereka untuk menyatakan
keluhan-keluhan.
Terlebih lagi sebagian penghuni yang
sebelumnya bukan saja tidak memiliki rumah sendiri, melainkan juga tinggal di
rumah-rumah bedeng atau petak di suatu perkampungan kumuh yang berdiri di atas
tanah liar. Memiliki rumah tipe T-21 di Perumnas misalnya, bisa dirasakan
sebagai segala-galanya. Bahkan tak jarang, sebagian dari mereka yang religius,
menerimanya sebagai anugerah – suatu
pemberian Tuhan yang wajib disyukuri, diterima tanpa reserve. Bagi sebagian lain yang tradisional, hal itu diterima
dalam konsepsi nrimo, yakni suatu
sikap yang sedikit menyerupai konsep anugerah,
namun bersifat fatalistik – menerima apa adanya, tak berdaya seperti nasib atau
takdir umpamanya.
Mungkin saja bisa ditelusuri, pandangan
semacam di atas tersebut dilahirkan oleh suatu cara pandang yang mencerminkan
pemikiran tipikal kelas sosial-ekonomi golongan bawah. Fakta bahwa hanya ada 7
responden yang menempati rumah bertipe M-70 misalnya, kurang lebih mendukung
anggapan semacam itu. Golongan bawah memang sering dipandang sebagai suatu
kelompok sosial yang memiliki visi pemikiran yang sempit, konvensional, dan
kurang kontemporer.
Konsekuensinya adalah wajar bila
mengharapkan mereka sebagai orang yang tidak mempunyai relevance structure yang memadai dalam menilai suatu rumah sebgai
layak atau tidak layak. Sungguh pun demikian, harapan seperti ini tampaknya
tidak memperoleh dukungan empiris. Kenyataannya, golongan menengah ke atas pun
yang sering diklaim sebagai orang yang mempunyai relevance structure yang terisi dengan kriteria-kriteria normatif
“modern” itu juga memiliki suatu cara pandang yang hampir sama – naifnya.
Ambil saja contoh kasus ibu Ani yang
sekarang tinggal di rumah susun tipe F-21 Perumnas Sukarame, Medan. Awalnya, ia
dan suaminya bermukim di sebuah bangunan megah berhalaman luas dalam suatu
lingkungan resik dan elit di kawasan kotanya. Karena itu, dari satu segi, tidak
mengherankan bila ia memiliki wawasan normatif yang tinggi mengenai kriteria
keindahan suatu rumah; terlebih bila diingat bahwa ia juga pernah berlangganan
majalah-majalah tentang interior dan eksterior rumah semajam Asri.
Namun, ketika ia dikonfrontasikan dengan
fakta yang memperlihatkan kondisi rumahnya yang jauh dari harapan normatifnya,
ia malah hanya bisa mengurut dada. Ia memang menyatakan kekecewaannya. Tetapi
dengan segera ia menemukan dalih pelipur laranya. Bagaimanapun, ia kini telah
memiliki rumah sendiri. Dan hal ini yang paling penting. “Sebagus apa pun
rumah, kalau bukan milik sendiri apalah artinya, “ katanya dengan nada
filosofis.
Kendati demikian, tentu saja, memiliki
rumah sendiri tidaklah menjelaskan seluruh persoalan. Masih ada alasan lain,
yang pada akhirnya diketahui dipakai responden sebagai kompensasi sedemikian
rupa, sehingga walaupun secara objektif mereka bisa saja tidak merasa puas;
namun tetap saja kecenderungannya menyatakan kepuasan. Justru di sini
perspektif masalah kepuasan terhadap rumah itu sekarang mengalami pergeseran.
Bila ada perspektif pertama, kepuasan
terhadap rumah dinilai dari saat mereka pertama kali pindah; maka pada
perspektif kedua ini, kepuasan dinilai dari waktu setelah mereka berdiam cukup
lama di rumah tersebut.
Berbeda dengan tingkat kepuasan yang
dinyatakan pada perspektif pertama yang condong “tidak murni” oleh karena hanya
sekadar merupakan fungsi kompensasi; tingkat kepuasan pada perspektif kedua
mungkin lebih melukiskan gambaran yang sebenarnya. Fakta memang memperlihatkan
bahwa, kecuali di Perumnas Sukarame Medan yang para penghuninya relatif belum
lama pindah, mayoritas responden cenderung menyatakan kepuasannya ketika
ditanya penilaian mereka terhadap kondisi rumah yang telah lama mereka tempati
itu.
Hal ini bisa dimengerti. Pada tingkat
pertama, oleh karena mereka sekarang telah mengadakan perbaikan dan perombakan
rumah, sesuai kebutuhan dan selera mereka. Hampir tidak ada lagi rumah
responden yang menyerupai rumah para tetangga mereka atau menyerupai bentuk
semula.
Masing-masing telah mengecat kembali
rumahnya, mengganti pintu dan jendela, memberi pagar, menambah ruangan,
mengganti tegel dengan porselen, memperindah pekarangan dengan berbagai tanaman
hias, bahkan ada yang merombak sama sekali bangunan asli dan menggantinya
dengan model yang sedang digemari – model Spanyol dengan pilar-pilar kokoh.
Dengan kondisi seperti demikian, tidak
mengherankan bila rata-rata penghuni yang diwawancarai mengemukakan kepuasan
yang tinggi terhadap kondisi rumah mereka sekarang. Masalahnya sederhana. Bagi
mereka, rumah merupakan suatu sarana untuk objektivasi
diri – menunjukkan kehadiran mereka secara konkret di dunia eksternal.
Dengan kata lain, rumah adalah manifestasi dari kedirian (self) mereka sendiri. Pernyataannya adalah bukan ekspresi verbal rumahku. Sebaliknya, pesan paling
penting, sebenarnya adalah diriku,
atau bahkan aku sendiri; konsep
“rumah” adalah hanya semacam predikat.
Dalam konteks ini, konsekuensinya, tentu
saja tidak akan ada satu orang pun yang akan menilai negatif rumah mereka
sendiri. Itu sama saja artinya dengan menilai negatif diri mereka sendiri.
Bagaimanapun, setiap penghuni, seperti juga manusia lainnya, memiliki konsepsi
atau citra diri tertentu yang harus dipertahankannya. Tanpa hal itu, manusia
bukanlah manusia – melainkan sesosok makhluk tanpa kesadaran.
Pada tingkatan selanjutnya, kepuasan
pada kondisi rumah yang sekarang juga berasal dari fasilitas-fasilitas
lingkungan perumahan. Bila sebelumnya, penilaian responden lebih cenderung
ditekankan pada rumah itu sendiri; sekarang wawasan penilaiannya bergerak lebih
luas, mencakup lingkungan perumahan yang tadinya kurang diperhitungkan. Dari
satu segi, hal ini mungkin membuka suatu peluang yang lebih besar untuk
lahirnya suatu ketidakpuasan.
Namun faktanya hal itu tidak terjadi.
Wawasan penilaian yang semakin luas ternyata tidak menimbulkan masalah
ketidakpuasan seperti diduga semula. Minimal hal inilah yang secara menyolok
terjadi di kawasan perumahan di Jakarta. Ketersediaan fasilitas-fasilitas
pemukiman dengan cepat dapat dipenuhi oleh karena, mungkin, terjadinya
perkembangan perumahan yang pesat; sedemikian rupa sehingga secara ekonomis
fasilitas-fasilitas banyak didirikan orang karena menguntungkan, tanpa harus
diatur lagi oleh suatu instansi yang berwenang.
Sikap
Terhadap Peraturan-Peraturan Perumahan
Berdasarkan wawancara dengan para
penghuni rumah, diketahui bahwa ada sedikit perbedaan di antara responden yang
tinggal di perumahan yang dibangun Perumnas dan pengembang swasta. Terdapat
kecenderungan, sepanjang respondennya adalah kepala rumah tangga pria, penghuni
yang disebut terakhir ini kurang mengetahui peraturan-peraturan yang ditetapkan
BTN. Perbedaan tersebut tampak jelas terutama pada peraturan yang melarang
menyewakan dan menjual kembali atau pengalihan hak pemilikan rumah kepada orang
lain.
Berbeda dengan penghuni perumahan yang
dibangun pihak swasta, penghuni perumahan Perumnas rata-rata mengetahui
sebagian besar peraturan yang diberlakukan oleh BTN/Perumnas. Fakta ini, hingga
derajat tertentu, barangkali mencerminkan relatif ketatnya pelaksanaan prosedur
yang ditetapkan pihak yang disebut terakhir ini, sebagaimana telah disinggung
sebelumnya.
Hal ini misalnya dengannada tegas
dinyatakan oleh pak Humpus, seorang penghuni Perumnas Mandala, Medan, “Aku
tahu, tahulah. Bagaimana mungkin kita tak tahu? Waktu teken kontrak, disertakan lampiran-lampiran peraturan dan perjanjian.
Ada macam-macam peraturan misalnya saja tidak boleh nunggak angsuran lebih dari
tanggal dua puluh setiap bulan; tidak boleh dijual (kembali); tidak boleh
diganti atau ditambah bangunannya; tidak boleh (di)pakai dagang; dan banyak
lagi. Melanggar, kena sanksi hukumlah.”
Pernyataan di atas jelas cukup kontras
dibandingkan dengan jawaban seorang penghuni yang tinggal di Bulak Macan
Permai, Jakarta, “Ya, harus membayar tiap-tiap bukan paling lambat tanggal 10,
tidak boleh nunggak; sanksinya paling-paling teguran, itu kalau penunggakannya
kelewatan sampai tahunan. Yang lain-lainnya enggak tahu.”
Mengetahui peraturan hukum yang berlaku,
tidak berarti otomatis penghuni akan mematuhinya. Terlebih dahulu perlu
diketahui bagaimana penilaian penghuni rumah itu sendiri terhadap peraturan
tersebut. Bila penilaiannya positif, secara teoritis, besar kemungkinan mereka
akan mematuhi. Namun bila penilaiannya negatif, sukar diharapkan mereka akan
mematuhi peraturan-peraturan perumahan tersebut.
Ternyata sebagian besar responden
cenderung menyatakan mereka sama sekali tidak merasa keberatan mengenai
peraturan-peraturan tersebut. Dalam hal ini tidak ada perbedaan di antara
penghuni yang bermukim di perumahan yang dibangun Perumnas maupun pengembang
swasta. Secara tipikal hal ini misalnya diungkapkan oleh seorang penghuni di
Gowok, Yogyakarta, “Peraturan cukup jelas, tidak memberatkan, cukup mudah.”
Selintas, pernyataan tadi menunjukkan
kecenderungan kepatuhan hukum. Namun setelah ditelusuri lebih jauh, keadaannya
tidaklah tepat demikian. Fakta tetap memperlihatkan bahwa pelanggaran masih
saja terjadi. Responden yang menyatakan kalimat terakhir tadi misalnya,
kenyataannya pernah menunggak selama 5 bulan; mengubah dan menambah bangunan
rumahnya; bahkan menjadikan rumahnya sebagai tempat usaha.
Ditinjau dari sudut ini, pernyataan
tidak memberatkan rupanya malah mengandung konotasi yang sebaliknya. Artinya,
tidak menjadi soal apa pun isi peraturannya, sepanjang tidak membawa implikasi
hukuman. Dan memang kenyataannya rata-rata responden pada umumnya belum kena
sanksi hukuman, kendati terang-terangan melanggar hukum. Beberapa dari mereka
pernah mendengar ada penghuni di lingkungan perumahan mereka yang dikenakan
sanksi, namun tak seorang pun yang dapat mengidentifikasi secara jelas
identitas orang yang bersangkutan.
Keberanian responden melanggar peraturan
sebagaimana diungkapkan di atas, dari satu segi memang dimungkinkan, karena
kenyataannya di antara mereka sendiri umumnya tidak terdapat tekanan-tekanan
sosial yang menuntut mereka untuk mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku.
Terkecuali dalam bidang pemeliharaan
rumah, mayoritas responden cenderung akan menunjukkan reaksi pasif, tidak mau
peduli dengan urusan orang lain bila tetangganya diketahui menunggak angsuran
rumah. Begitu pula sebalinya, mereka memperkirakan hal yang sama akan
ditampilkan oleh tetangga mereka seandainya sekarang giliran responden sendiri
yang menunggak. Seorang penghuni rumah T-21 di Depok mengatakannya dalam ucapan
verbal berikut:
“Kita diam saja, karena kalau ditegur,
takut menyinggung perasaan orang tersebut. Walaupun tahu, kita pura-pura tidak
tahu. (Sebaliknya kalau saya yang melanggar) Saya rasa mereka akan diam saja.
Karena, ya, itu tadi; mungkin mereka merasa nggak enak juga kalau menegur saya
karena menunggak angsuran. Itu kan bukan urusan mereka.”
Hal yang sama diperlihatkan pula dalam
reaksi mereka terhadap peraturan yang melarang menyewakan dan menjual kembali
atau mengalihkan hak pemilikan rumah kepada orang lain. Diekspresikan dalam
terminologi seorang responden yang membeli rumah dari pihak kedua di Perumnas
Klender, “Masa bodoh, itu risiko pemilik rumah. Itu masalah pribadi, mungkin
dia tentunya sudah tahu peraturannya – supaya jangan salah paham.”
Kesimpulan
Suatu penelaahan terhadap tiga aspek
tujuan studi ini memperlihatkan penemuan sebagai berikut: Pertama, pentingnya
jaringan komunikasi informal sebagai suatu cara yang dipakai peneliti guna
memperoleh informasi mengenai rumah. Seiring dengan itu, ditemukan pula adanya
dua pola utama untuk memperoleh rumah – dengan prosedur formal dan dengan
prosedur informal.
Kedua, pada umumnya responden menyatakan
kepuasannya terhadap rumah yang mereka tempati. Kendati perspektifnya mengalami
beberapa pergeseran menurut aspek-aspek penilaian tertentu, namun kepuasan
senantiasa tampil ke depan, khususnya kepuasan terhadap rumah secara sosial.
Ketiga, dimilikinya aspek kognitif dan
aspek afektif yang positif tentang peraturan rumah tidak menjamin tidak akan
terjadi pelanggaran atas peraturan-peraturan perumahan. Dan hal itu lebih
dimungkinkan oleh karena di antara mereka sendiri tidak ditemukan
tekanan-tekanan sosial normatif yang memaksa mereka untuk patuh terhadap
peraturan.
M. Iqbal Djajadi