Kamis, 24 Maret 2016

Terorisme dan Aktor Reformasi



[Artikel untuk Koran, ditulis tahun 2000]

Tampaknya ada kegamangan di sejumlah media massa untuk mengidentifikasi apakah peristiwa yang baru saja dialami Matori Abdul Jalil itu merupakan (percobaan) pembunuhan politik (political assassination) atau terorisme. Dari segi tertentu, kedua istilah itu memang terlihat sejalan. Dalam kedua aktivitas itu senantiasa ada korban dan tujuan. Namun perbedaan yang paling mendasar mungkin terletak pada fakta bahwa pembunuhan politik biasanya merupakan upaya untuk melenyapkan, melumpuhkan, atau mengurangi kekuatan lawan melalui pembunuhan atas suatu personifikasi karakter tertentu yang dianggap paling menonjol. Sedangkan dalam terorisme, tujuannya lebih terletak pada menimbulkan sensasi, perhatian besar, bercampur rasa takut.

Encyclopedia of Sociology (1992: 2168-2171) memberikan penjelasan sebagai berikut: Terorisme pada hakikatnya adalah penggunaan atau ancaman kekerasan yang dirancang untuk menciptakan suasana ketakutan dan kegentingan, yang pada gilirannya diharapkan mampu memberikan hasil politik tertentu. Lebih jauh, terorisme dapat didefinisikan secara objektif oleh kualitas tindakan, bukan oleh identitas pelaku, atau bukan oleh akibat yang ditimbulkannya. Tujuan terorisme condong bersifat politis. Tindakan kekerasan atau ancaman yang dilakukan adalah upaya untuk memperoleh publisitas maksimal, dan pelaku biasanya merupakan anggota suatu kelompok yang terorganisasi. Dan puncaknya adalah tindakan terorisme ditujukan untuk menghasilkan kerusakan psikologis. Dalam kaitan ini, tidak perlu ada hubungan antara korban dengan target terorisme yang sebenarnya. Korbannya dapat siapa saja, karena targetnya adalah kelompok atau publik tertentu yang lebih luas.

Berdasarkan uraian di atas, kita dapat menilai apa yang dilakukan oleh Zulfikar, Sabar, dan Tarmo terhadap Matori jelas bukan merupakan upaya pembunuhan politik, tetapi terorisme. Dalam kategori pembunuhan politik, lebih baik membunuh orang-orang di lingkaran yang lebih dekat dengan Presiden Gus Dur ketimbang Matori, bila pembunuhan terhadap Gus Dur dipandang lebih sulit. Ini juga tidak terkait dengan profesionalisme pembunuh. Tidak menjadi masalah caranya: apakah Matori terbunuh, luka berat, atau hanya luka ringan; dilakukan oleh kelompok AMIN (Angkatan Mujahidin Islam Nusantara), AMAN, ADRI, atau siapa pun. Faktanya, peristiwa itu secara mendadak memperoleh pemberitaan yang luar biasa. Semua perhatian publik seakan terfokus, bahkan terbius. Para anggota legislatif seakan merasa perlu sekarang untuk mempersenjatai diri. Berbagai pihak mengajukan komentar, analisis, dan spekulasi terhadap peristiwa berdarah tersebut. Dor! Tiba-tiba sosok Ketua Umum PKB dan Wakil Ketua MPR yang lama dilupakan wartawan kembali menjadi pahlawan.

Mereka yang berseberangan dengan Matori dengan sinis menyebut peristiwa itu sebagai suatu rekayasa pribadi. Sementara mereka yang lebih objektif menyebut peristiwa itu sebagai rekayasa kelompok-kelompok tertentu yang tidak sejalan dengan agenda pemerintahan Presiden Gus Dur.

Berbeda dengan upaya polisi dan pengadilan yang pada intinya berusaha menangkap sosok individual para pelaku terorisme, lengkap dengan motif, alibi atau tujuan pribadinya, tulisan berikut berusaha menggambarkan sosok aktor sistemik yang berpotensi untuk melakukan teror yang, sialnya, berperan dalam kegiatan reformasi.


Orde Baru & Reformasi

Salah satu warisan rezim sebelumnya yang paling akut adalah upaya manipulasi unsur-unsur dalam negara (state) dalam komposisi sedemikian, sehingga seakan negara tereduksi menjadi pemerintah semata, mengebiri – kalau tidak dapat dikatakan menghilangkan – peran legislatif dan yudikatif. Kedudukan MPR/DPR dan MA (serta badan peradilan lainnya) tidak lebih sebagai kosmetik, imbuhan atau gincu untuk menguatkan sosok angker lembaga eksekutif.

Tidak semua anggota masyarakat memiliki akses ke negara. Dalam rentang tiga dasawarsa, hanya mereka yang menjadi anggota birokrasi dan militer yang dapat menguasai pemerintah (baca: negara). Melanjutkan logika mencong ini, lebih gila lagi, kedua pihak yang memonopoli negara ini juga berupaya untuk memanipulasi masyarakat (society) bukan sekadar sebagai subordinat bagi negara, melainkan nyaris melenyapkannya sama sekali. Dengan menerapkan korporatisme negara, eksistensi masyarakat terbatas pada representasi yang ditetapkan dan dipilih secara sepihak oleh para penguasa negara.

Selama berkuasanya rezim apalagi setelah tumbang, banyak pihak yang merasa berkepentingan untuk mengadakan reformasi, memulihkan kondisi yang tidak adil dan tidak benar ini. Inti reformasi yang hakiki adalah menempatkan negara dalam posisinya sebagai lembaga yang terbagi atau terpisah kekuasaannya. Sebagai legislatif, MPR/DPR membuat perundang-undangan, memilih dan meminta pertanggungjawaban Presiden; sebagai eksekutif, pemerintah menjalankan kebijakan sesuai perundang-undangan; dan sebagai yudikatif, pengadilan memberikan sanksi bagi para pelanggar, baik yang dilakukan negara (pejabat atau lembaganya) maupun masyarakat (sebagai warga negara). Tidak ada lagi sentralisasi kekuasaan.

Seiring dengan hal tersebut, reformasi juga menuntut agar eksistensi masyarakat diakui. Negara justru adalah representasi masyarakat. Bukan sebaliknya. Karena itu, warga masyarakat bebas untuk membuat organisasi apa pun, utamanya partai politik (parpol), suatu sarana yang memungkinkan mereka memiliki akses yang sama untuk terpilih menjadi pejabat negara, khususnya dalam bidang legislatif dan eksekutif. Tidak ada lagi eksklusifisme.

Dalam batas tertentu, sistem kenegaraan kita sekarang sedang menuju ke arah reformasi yang hakiki. Terpilihnya Gus Dur dan Megawati sebagai kepala negara dan pemerintahan dengan baik menandai bagaimana warga negara biasa (satu dari LSM dan satu dari parpol) dapat menjadi pucuk pimpinan nasional. Demikian pula terpilihnya berbagai anggota parpol dari masyarakat biasa sebagai anggota dan pimpinan legislatif seperti tercermin dari terpilihnya Amien Rais dan Akbar Tanjung.

Namun, reformasi juga menyisakan sejumlah agenda yang belum rampung dan berpotensi untuk menjadi kerikil sandungan atau bahkan bom waktu.Di tingkat kenegaraan, anggota birokrasi yang berlindung di balik kerudung profesionalisme, dan militer yang berlindung di balik jubah Dwi-Fungsi yang memang sudah terlanjur mengecap hak monopoli itu, secara sistematis mulai disingkirkan. Dalam berbagai kesempatan, baik secara terang-terangan maupun diam-diam, mereka tentu saja tidak tinggal diam, bahkan mengadakan perlawanan. Masih di tingkat kenegaraan, sejumlah parpol di legislatif yang merasa berhasil mendudukkan pimpinan nasional, memandang Presiden sudah tidak lagi memperhatikan kepentingan mereka dan kedudukannya bahkan semakin dominan. Kendati belum berani melakukan perlawanan, tetapi mereka juga tidak perlu merasa harus menyembunyikan ketidaksukaan mereka.

Di tingkat kemasyarakatan, banyak orang menyangsikan pemerintahan sekarang mampu mengadili berbagai kesalahan dan kezaliman rezim masa lampau. Di pihak lain, banyak pula yang menyuarakan kekhawatiran mereka atas bahaya separatisme dan berbagai aksi kerusuhan yang masih marak terjadi hingga sekarang. Di atas segalanya, ada faksi agama tertentu yang merasa sebagai korban kejahilan dan satu-satunya oposan yang konsisten terhadap rezim Orde baru, mereka lebih dari merasa berhak untuk tampil mengendalikan pemerintahan reformasi. Namun ketika mereka mengetahui pemerintahan baru ternyata tetap bersifat sekuler, mereka juga mulai menunjukkan perlawanan.  


Terorisme Masyarakat atau Negara?

Ada kecenderungan populer untuk mengasosiasikan bahwa pelaku terorisme adalah anggota masyarakat. Sebagai pihak yang memiliki berbagai keterbatasan sumber daya, masyarakat memang sering tidak punya pilihan lain selain melakukan aksi sensasional untuk memperoleh dukungan warga masyarakat yang lebih luas. Dengan dalih mereka merupakan pihak yang sering mengalami represi dan opresi sewenang-wenang oleh negara, mereka seakan meminta pengertian publik bila mereka terpaksa bertindak kejam. Justru karena asosiasi makna semacam ini, negara seakan memperoleh legitimasi untuk menjelek-jelekkan sosok pelaku teror sebagai senantiasa kelompok masyarakat yang subversif, karenanya harus dilibas habis.

Dalam praktiknya, ini pula yang menyebabkan mengapai di sini komunisme – dulu, dan Islam – dulu hingga sekarang, sering dituduh sebagai pelaku teror. Satu hal yang dilupakan orang, sebenarnya terorisme lebih lazim ditemukan justru dalam pemerintahan demokratis dan maju semacam Amerika Serikat dan Eropa Barat. Dalam pemerintahan yang totaliter, terorisme semacam ini praktis hampir tidak pernah ada. Alasannya sederhana saja, karena negara justru bertindak sebagai pemonopoli terorisme.

Setelah pemerintahan baru mengancam tindakan tegas terhadap para pelakunya, di samping telah tingginya kadar imunitas masyarakat sendiri, perlawanan fatal diam-diam yang mungkin dilakukan oleh faksi-faksi tertentu dalam negara (dengan segala bentuk aliansinya), modus operandinya bukan lagi kerusuhan, tetapi terorisme. Dengan kapasitas destruksi yang tidak lagi kolosal, terorisme dapat dilakukan dengan lebih efektif, efisien, dan tentu saja lebih aman.

M. Iqbal Djajadi 
Penulis adalah staf pengajar sosiologi (S1 dan S2) di FISIP-UI. Mengajar mata kuliah Gerakan Sosial, Sosiologi Organisasi, dan Sosiologi Industri. Banyak meneliti dan menulis masalah kerusuhan dan aksi kekerasan kolektif lainnya, serta masalah integrasi nasional. Salah satu artikel yang diterbitkan adalah “Reformasi dan Kerusuhan” dalam Selo Soemardjan, (ed.), Kisah Perjuangan Reformasi (Sinar Harapan, 1999). Artikel lainnya tentang “Kondisi Integrasi Nasional Indonesia” dengan editor yang sama diharapkan terbit tahun ini (Gramedia, 2000). Bersama Sukiyat, Iwan Gardono, Hamdi Muluk, penelitian penulis tentang Kerusuhan Tasikmalaya memperoleh penghargaan penelitian terbaik 1998 di lingkungan Universitas Indonesia.

Pengangguran di Perkotaan dan Gejolak Sosial Politik



[Paper Akhir Mata Kuliah Kebijakan Publik, Pascasarjana Universitas Indonesia, Januari 1997]

Salah satu masalah perkotaan yang semakin menonjol saat ini adalah pengangguran. Tujuan pembangunan yang paling hakiki adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk, sedemikian sehingga pengangguran dapat dipandang sebagai indikator negatif keberhasilan pembangunan. Hal ini menjadi semakin kontras lagi bila dipertimbangkan fakta bahwa sejak Pelita III Trilogi Kebijakan Pembangunan Nasional lebih mengutamakan asas pemerataan.

Ada beberapa pertimbangan teoritik mengapa fenomena pengangguran di perkotaan, terutama kota-kota besar, perlu mendapat perhatian lebih serius dari para aparat penentu kebijakan. Pertama, walaupun pengangguran juga terjadi di daerah pedesaan, namun bersifat tidak terbuka. Sebagian peneliti menyebut gejala tersebut sebagai involusi pertanian (Geertz, 1982). Sebagian peneliti lainnya menyebut sebagai pengangguran tersembunyi atau bekerja tidak dalam kapasitas penuh.

Selain pertimbangan mekanisme sosial tertentu, kedua, masalah pengangguran juga relatif tidak dialami oleh daerah pedesaan karena adanya aliran migrasi penduduk ke kota (Jones dalam Booth & McCawley, 1985).  Penduduk desa yang umumnya berusia muda dan tidak memiliki keterampilan yang memadai seakan mengalirkan potensi penganggur yang efeknya dirasakan secara total di kota, dan tidak di tempat asalnya.

Dan pertimbangan ketiga, karena pengangguran berpotensi menimbulkan gejala sosial politik di kota (lihat misalnya Prasodjo, 1993). Pada dasarnya mereka yang tidak bekerja bukan saja berarti tidak memiliki penghasilan, melainkan juga tidak produktif dan teralienasi serta tidak memiliki harga diri (tentang hal ini lihat misalnya Simanjuntak, 1985: 13). Kondisi ini bila dikaitkan dengan gejolak anak muda dan disiram oleh isu-isu sensitif lainnya, dengan mudah dapat menimbulkan suatu ledakan sosial. Dalam nuansa pernyataan-pernyataan di atas, menarik kiranya untuk menyimak pendapat seorang ilmuwan berikut ini dalam suatu buku demografi (Rahardjo dalam Tirtosudarmo 1996: vii).
           
Peristiwa 27 Juli 1996 di Jakarta ..... antara lain memperlihatkan ..... bahwa masalah sosial di perkotaan, apalagi di ibu kota, memang perlu mendapat perhatian secara serius. (Hal itu menyiratkan bahwa ada) .... kesenjangan sosial yang mendalam antara mereka yang beruntung dan yang tidak beruntung dari pertumbuhan ekonomi, merupakan salah satu underlying factors ...... adalah besarnya jumlah penduduk yang berusia muda yang terlibat dalam kerusuhan massal tersebut. Dari perspektif ilmu sosial kami menduga bahwa keterlibatan penduduk usia muda atau pemuda dalam kerusuhan massal ini bukanlah sesuatu yang (sic) terjadi begitu saja. Ada alasan-alasan sosial, ekonomi, maupun politik yang mengkondisikan besarnya jumlah kaum muda yang terlibat dalam Peristiwa 27 Juli itu. 

Senada dengan pernyataan sebelumnya, Kwik Kian Gie menduga kondisi demografis atau ekonomis tertentu bertanggung jawab atas munculnya gejolak sosial-politik. Hanya saja selain masalah kesenjangan sosial, Kwik juga, dengan mengutip Sumitro Djojohadikusumo, menyatakan secara spesifik mengenai potensi pengangguran yang diyakininya sangat besar di Indonesia sekarang ini sebagai faktor yang menyebabkan terjadinya kerusuhan (Kompas 6 Januari 1997).

Paper ini berupaya menunjukkan apakah ada kondisi demografis tertentu yang menyebabkan gejolak sosial-politik lebih cenderung terjadi di Jakarta, dan bukan di kota-kota besar lainnya. Secara lebih khusus, saya berusaha menelaah kondisi pemuda penganggur di Jakarta dengan membandingkan kondisi serupa di Semarang (Jawa Tengah) dan di Surabaya (Jawa Timur). Secara teoritik, paper ini mengajukan hipotesis bahwa bila Jakarta memang lebih rentan untuk mengalami gejolak sosial-politik, tentu saja kondisi pengangguran di ibu kota ini berbeda dengan Semarang dan Surabaya.

Dalam upaya ini, beberapa pagar pembatas perlu didirikan. Pertama, paper ini menerima begitu saja asumsi bahwa Peristiwa 27 Juli 1996 (dan juga, hingga batas tertentu, peristiwa perkelahian pelajar) sebagai indikator gejolak sosial-politik puncak. Tidak dipermasalahkan di sini validitas pengukurannya. Jadi, bila ada yang beranggapan, misalnya, Surabaya juga mengalami gejolak politik yang tidak kurang hebatnya, baik yang bertalian dengan peristiwa penggusuran pimpinan PDI oleh pemerintah maupun peristiwa lainnya (seperti pembakaran sejumlah gereja dan kerusuhan sepak bola), atau Semarang juga pernah bergejolak ketika aparat keamanan masuk ke kampus Universitas Diponegoro; paper ini jelas tidak akan mampu untuk menjawabnya.

Lagi pula, kedua, paper ini sesungguhnya lebih berupaya menggambarkan kondisi pengangguran di tiga kota itu sendiri. Kondisi pengangguran, apalagi gejolak sosial-politik, di kota-kota lain (seperti Medan, Ujung Pandang, Situbondo, dan Tasikmalaya) tidak akan dibahas. Hal ini semata bertalian dengan keterbatasan data yang dapat diperoleh. Dengan demikian, ketiga, sama sekali tidak ada maksud untuk mengadakan hubungan variabel secara ketat dalam terminologi statistik. Gejolak sosial-politik tentu saja bukan merupakan variabel dependen; dan kondisi pengangguran jelas bukan variabel independen. Sebaliknya, kondisi yang disebut pertama tadi hanya merupakan titik pangkal normatif yang mengarah kepada ‘hipotesis’ univariat mengenai kemungkinan adanya perbedaan kondisi pemuda penganggur di Jakarta pada satu pihak dengan Semarang dan Surabaya pada pihak lainnya.

Sebagian besar data yang digunakan dalam paper ini bertumpu pada hasil Survei Pendidikan dan Ketenagakerjaan Usia Muda di Daerah Perkotaan 1994 (Tirtosudarmo ed., 1996).


Pengangguran Secara Nasional

Secara nasional, ada kecenderungan jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mengalami peningkatan. Pada tahun 1985 penduduk yang tidak bekerja sama sekali jumlahnya 1,37 juta orang (2,14%). Jumlah itu meningkat menjadi 6,25 juta orang (7,24%). Ini berarti pertumbuhan penganggur tiap tahun rata-rata 16,4%. Peninjauan lebih jauh memperlihatkan umumnya pengangguran terbuka terjadi pada mereka yang berpendidikan SLTP ke atas. Hal ini lebih jelas terlihat lagi pada penduduk yang berpendidikan tinggi (diploma hingga doktor). Bila pada 1985 mereka yang menganggur dalam golongan ini baru mencapai 5,3%, pada satu dasawarsa berikutnya angkanya mencapai 12,36%. Dalam rentang waktu yang sama dalam golongan SLTA angkanya berturut-turut adalah 11,6% menjadi 15,8%; sedangkan dalam golongan SLTP adalah 4,5% menjadi 10,2% (Kompas 27 Desember 1996).

Secara umum kondisi ini kurang lebih sejalan dengan keadaan pengangguran terbuka di perkotaan. Tabel 1 memperlihatkan umumnya pada 1990 mereka yang menganggur adalah penduduk yang berusia 20-24 tahun (51%) diikuti oleh 25-29 tahun (20%) – yakni mereka yang secara normatif berada pada jenjang akademi dan perguruan tinggi – 15-19 tahun (18%) – pada jenjang SLTA. Komposisi ini pada prinsipnya tidak berubah sejak 1976. Perbedaannya hanya terletak pada laju peningkatan. Mereka yang berada dalam rentang usia 20-24 tahun cenderung terus meningkat. Demikian pula mereka yang berusia 25-29 tahun. Tendensi menurun hanya diperlihatkan oleh mereka yang berusia 15-19 tahun. 



Tabel 1 dan Tabel 2

Seperti temuan sebelumnya, Tabel 2 menunjukkan persentase terbesar pengangguran terbuka pada 1990 adalah mereka yang berasal dari lulusan SLTA (59%) dengan sumbangan terbesar dari SLTA umum diikuti oleh SLTP (17%), dan akademi ke atas (7%). Namun secara keseluruhan, peningkatan jumlah pengangguran terbuka yang sangat signifikan justru terjadi pada penduduk yang berpendidikan universitas. Selama 14 tahun mereka yang berasal dari ‘menara gading’ ini meningkat sebesar 317%, yakni dari 0,4% pada 1976 menjadi 3,6% pada 1996; sedangkan mereka yang berasal dariakademi meningkat sebesar 110%, yakni dari 1,6% menjadi 3,3%.

Ledakan drastis pengangguran secara konsisten semacam ini tidak terjadi pada penduduk yang berasal dari jenjang pendidikan lainnya. Satu-satunya pengecualian adalah penduduk yang berasal dari SLTA umum. Tahun 1986, secara mendadak banyak penduduk lulusan SLTA yang menganggur (dari 15% menjadi 36%). Di luar itu mereka yang tidak bersekolah, tidak tamat SD, dan tamat SD proporsinya justru cenderung menurun, sedangkan pada tingkat SLTP cenderung tetap.

Akhirnya, menarik juga untuk menyimak fakta bahwa pada tahun 1990 perempuan penganggur (6,52%) cenderung lebih banyak ketimbang pria (5,65%). Dilihat dari perkembangan pada 1976, jumlah ini merupakan peningkatan bagi kaum perempuan (5,06%); sedangkan bagi kaum pria hal ini merupakan penurunan (5,65%).


Pengangguran di Tiga Kota

Sejauh ini paper telah membentangkan hasil temuan sensus mengenai kondisi pengangguran terbuka pada tingkat nasional. Kini perhatian dipusatkan pada hasil survei di tiga kota yang dilakukan tahun 1994. Secara khusus ingin diketahui sampai seberapa jauh tingkat kesesuaian di antara kedua penelitian tersebut.
Tabel 3 menunjukkan secara total tingkat pengangguran di Jakarta, Semarang, dan Surabaya adalah 6,1%. Dari satu segi angka ini dapat dipandang tidak jauh berbeda dengan angka 7,2% pada tingkat nasional, terlebih bila diingat ada kesenjangan waktu ketika data dikumpulkan, dan mekanisme perata-rataan (antara kota besar dan kota kecil).

 
Tabel 3

Selanjutnya diketahui pula bahwa pengangguran di tiga kota umumnya didominasi oleh mereka yang berada pada usia 20-24 tahun (50%). Sebagai bandingannya, pada tingkat nasional angka itu adalah 51%. Berdasarkan tingkat pendidikan, mayoritas penganggur di tiga kota berasal dari SLTA (35%). Angka ini cukup jauh berbeda dengan kondisi nasional (59%), namun secara tipikal polanya masih sama.

Satu-satunya perbedaan yang mencolok di antara kedua penelitian ini terletak pada kondisi jenis penganggur menurut jenis kelamin. Dengan menghitung kembali proporsi penganggur pria-perempuan pada tingkat nasional (n=1.159.470 orang) pada 1990, sedemikian sehingga data dapat dibandingkan, diketahui perempuan cenderung lebih banyak menganggur (53,6%) ketimbang pria (46,4%). Kondisi ini jelas berbeda dengan temuan di tiga kota. Justru pria (61%) yang lebih banyak menganggur dibandingkan perempuan (39%) – suatu keadaan yang pada tingkat nasional pernah terjadi pada tahun 1976.

Kendati demikian, secara keseluruhan paper ini menilai bahwa tingkat kesesuaian di antara kedua penelitian yang berbeda level ini masih cukup tinggi. Di luar masalah representativitas penarikan sampel yang dialami survei tim LIPI ini, perbedaan temuan dalam jenis kelamin itu sendiri bukanmerupakan faktor yang signifikan untuk digunakan sebagai sarana analisis pembeda. Lagi pula ada satu kelebihan survei, yakni mengetengahkan sejumlah aspek yang tidak diliput oleh sensus.

Termasuk ke dalam pernyataan terakhir itu adalah status perkawinan dan lama menganggur. Berdasarkan survei diketahui mayoritas penganggur adalah mereka yang belum kawin (95%). Dan hampir separuh pemuda yang menjadi respondennya (45%) mengaku menganggur lebih dari 24 bulan (2 tahun).


Analisis Pembeda di Antara 3 Kota

Bagian ini secara langsung berusaha mendeskripsikan ‘hipotesis’ paper yang menduga bahwa kondisi pengangguran di Jakarta cenderung berbeda dengan 2 kota besar lainnya (Semarang dan Surabaya). Secara lebih khusus ada dugaan kuat bahwa kondisi pengangguran di Jakarta cenderung lebih ‘serius.’
Tabel 3 menunjukkan persentase responden yang menganggur memang relatif lebih banyak dialami oleh mereka yang tinggal di Jakarta (7,2%) dibandingkan Surabaya (5,6%), apalagi Semarang (2,8%). Jakarta juga unggul dalam aspek mayoritas pria penganggur (66%). Namun dalam aspek-aspek selanjutnya, Jakarta tidak lagi dalam posisi memimpin atau dominan.

Dalam aspek usia misalnya, terutama dalam rentang 20-24 tahun, penganggur asal Semarang menduduki peringkat teratas (64%), sedangkan Surabaya peringkat bawah (43%). Dalam aspek pendidikan, penganggur asal Jakarta yang menamatkan SLTA justru berada pada posisi paling bawah. Para penganggur asal Surabaya yang lulusan SLTA menempati posisi paling atas. Dalam lama menganggur lebih dari 2 tahun, responden Semarang secara meyakinkan jauh lebih banyak dibandingkan Jakarta dan Surabaya. Kedua kota yang disebut terakhir ini cenderung memiliki pola yang sama. Dalam status perkawinan, para responden yang berasal dari tiga kota itu relatif memiliki pola yang seragam.      



  Tabel 4

Temuan berikutnya, Tabel 4, berusaha merincikan perbedaan-perbedaan yang mungkin ada di tiga kota yang disurvei. Dengan memusatkan perhatian pada tingkat pendidikan SLTA, terlihat kontras yang tajam terjadi pada para pria-perempuan penganggur yang berasal dari Surabaya (62:14). Kondisi kontras sebaliknya malah ditunjukkan Semarang (25:60). Dalam konteks ini komposisi jenis kelamin para penganggur muda Jakarta walau sejalan dengan Surabaya namun cenderung lebih seimbang (37:27).

Komposisi usia para penganggur menurut jenis kelamin di Jakarta cenderung agak menyebar (Tabel 5). Kecuali pada rentang usia 15-19 tahun, pria penganggur relatif lebih banyak ketimbang perempuan yang secara kontras berkumpul pada rentang usia 20-24 tahun. Dilihat dari aspek penyebarannya, Jakarta tentu saja unik. Namun dilihat dari perimbangan komposisi jenis kelamin pada usia 20-24 tahun, Jakarta agak cenderung menyerupai Semarang. Perbedaan tegas diperagakan oleh Surabaya. Sebagian besar penganggur kota buaya yang berada pada usia 20-24 tahun umumnya adalah pria ketimbang perempuan (62:24).

 
Tabel 5 & Tabel 6

Dengan memusatkan perhatian pada angka gabungan (pria dan perempuan), Tabel 6 menunjukkan bahwa para penganggur muda Jakarta umumnya berasal dari jurusan pendidikan humaniora atau ilmu sosial dan teknologi (46% dan 32%). Keadaan ini agak mirip dengan Surabaya. Perbedaannya terletak pada fakta bahwa dikota buaya lebih banyak penganggur yang berasal dari jurusan teknologi (40% dan 50%); dan kondisi distribusinya yang cenderung lebih memusat ketimbang Jakarta. Dalam konstelasi ini, penganggur Semarang umumnya berasal dari jurusan ilmu sosial.

Mengapa responden tidak mencari pekerjaan, sehingga mereka menganggur? Tabel 7 memberikan jawabannya. Dengan melihat kolom total, terlihat secara umum para penganggur di tiga kota agak cenderung menyatakan “tidak mampu” (34%) dan “tidak ada lowongan” (23%). Dalam konteks ini, praktis tidakada perbedaan mendasar antara responden pria dan perempuan. Berdasarkan aspek pendidikan terlihat penganggur lulusan SLTP relatif lebih merasa tidak mampu ketimbang lulusan SLTA (40:25). Sebaliknya lebih banyak lulusan SLTA yang mengatakan tidak ada lowongan ketimbang penganggur lulusan SLTP (28:31).

Dispesifikasi berdasarkan asal kota, dua alasan dominan yang diajukan secara seragam, baik oleh responden Jakarta maupun Surabaya, adalah “tidak mampu” dan “tidak ada lowongan” (masing-masing dengan komposisi 33:25 dan 31:26). Sementara itu umumnya responden Semarang mengaku “tidak mampu” (57%).


Tabel 7 &Tabel 8

Tabel selanjutnya, Tabel 8, menyatakan bahwa lebih dari separuh dari total responden di tiga kota (53%) mengaku tidak memiliki biaya untuk mengikuti kursus. Dan berdasarkan jenjang pendidikan, ada kecenderungan penganggur lulusan SLTP berpendapat bahwa mereka tidak ada biaya daripada lulusan SLTA (59:42). Secara kontras hal itu terutama diungkapkan olehpara penganggur muda Jakarta (58%) ketimbang Surabaya (48%), apalagi Semarang (29%). 
Siapakah yang menanggung biaya hidup responden sehari-hari selama mereka menganggur? Tabel 9 secara meyakinkan sebagian besar penganggur di tiga kota provinsi ini menyebut orangtua (83%). Berdasarkan persentase dapat disimpulkan, sebenarnya tidak ada perbedaan mendasar di antara para responden yang berlainan domisili ini. Baik Jakarta, Surabaya, maupun Semarang, semuanya sama-sama mengandalkan orangtua ketimbang saudara.



Tabel 9 & Tabel 10

Penelaahan selanjutnya (Tabel 10) memberikan gambaran bahwa umumnya aktivitas para penganggur muda di tiga kota besar itu adalah “bermain dengan teman” (63%). Sesuai dengan ekspektasi normatif, bukan hal yang mengherankan bila kecenderungan ini paling jelas terlihat pada pria penganggur (77%). Sedangkan pada perempuan penganggur lebih dari separuhnya mengaku lebih banyak “mengurus rumah tangga” (53%) ketimbang “bermain dengan teman.”

Dispesifikasi berdasarkan domisili kota terlihat kecenderungan bermain dengan teman lebih banyak terdapat di Jakarta (69%) daripada di Surabaya (50%), apalagi di Semarang (43%). Hal yang turut juga membedakan penganggur Jakarta dengan kedua kota lainnya adalah kecenderungan perempuan penganggur di Jakarta yang relatif lebih banyak bermain dengan teman ketimbang mengurus rumah tangga (50:41). Temuan yang tak kalah menarik adalah tendensi umum untuk beralih aktivitas dari bermain dengan teman menjadi mengurus rumah tangga berdasarkan jenjang pendidikan tidak terjadi di Surabaya. Berbeda dengan responden di Jakarta (76:58) dan Semarang (55:20), penganggur lulusan SLTA di kota pahlawan justru lebih banyak bermain dengan teman daripada penganggur lulusan SLTP (42:61).


Analisis dan Diskusi

Apakah kondisi pengangguran di Jakarta berbeda secara signifikan dengan Semarang dan Surabaya? Secara statistik paper ini memang tidak mungkin untuk menjawabnya dengan tuntas. Namun secara indikatif, sejumlah temuan yang telah dipaparkan di atas cenderung memberikan jawaban negatif. Perbedaan mencolok yang secara eksklusif membedakan Jakarta dengan kedua kota besar lainnya hanya terletak pada beberapa aspek, yakni proporsi pengangguran; komposisi pria dan perempuan penganggur yang cenderung lebih seimbang; ketidakmampuan untuk mengikuti kursus; dan kecenderungan mengisi waktu menganggur dengan bermain.

Namun perlu ditekankan secara khusus di sini, apa yang disebut sebagai perbedaan itu pun hanya terletak pada gradasi persentase kasar yang masih dapat diperdebatkan signifikansinya secara statistik. Sebagai contoh, apakah selisih sebesar 1,6% di antara Jakarta dan Surabaya dalam hal tingkat pengangguran cukup memadai untuk dipakai sebagai pijakan pembedaan? Bila merujuk pada konvensi (rule of thumb) metodologis tertentu, hal ini jelas tidak memadai mengingat persyaratan minimal yang dituntut adalah sebesar 10%.

Dalam kondisi ini tentu saja lebih aman untuk mengatakan bahwa keadaan pengangguran di Jakarta cenderung kurang memperlihatkan ciri-ciri yang eksklusif, sebaliknya justru bersifat tumpang-tindih. Secara khusus mungkin tidak berlebihan bila dikatakan, Jakarta lebih banyak menunjukkan persamaan dengan Surabaya; dan secara bersama-sama keduanya agak relatif berbeda dengan Semarang.

Apakah kondisi pengangguran di Jakarta memang bersifat rentan untuk menghasilkan suatu gejolak sosial-politik? Dari satu segi tertentu justru gabungan kondisi pengangguran di Jakarta dan Surabaya, serta kondisi teoritik lainnya yang lebih memungkinkan meletupkan gejolak. Secara teoritik, dalam ruang lingkup demografi semata, diduga potensi gejolak lebih tinggi bila: 1) tingkat pengangguran adalah tinggi (terutama di atas 10-20%); 2) pengangguran itu secara dominan lebih banyak dialami oleh pria, belum menikah, lulusan SLTA, dan berada pada rentang usia 20-24 tahun; 3) mengalami masa menganggur yang lama (dua tahun lebih); 4) dibiayai oleh saudara dan/atau teman; 5) para penganggur itu lebih banyak bermain ketimbang mengurus rumah tangga; 6) adanya ketidakmampuan finansial untuk melanjutkan sekolah dan/atau kursus; dan 7) adanya kesenjangan sosial yang tinggi.

Berdasarkan identifikasi empirik di atas, terlihat bahwa Jakarta tidak memenuhi keenam persyaratan tersebut secara lengkap. Lebih jauh, persyaratan ketujuh juga tidak dapat dipenuhi. Gini Rasio yang dihitung menurut persentase pengeluaran untuk DKI Jakarta, praktis tidak berbeda dengan Jawa Timur sebagai representasi Surabaya (0,304:0,300). Justru ketimpangan terjadi di provinsi Yogyakarta, Timor Timur, dan Jawa Barat (BPS, Indikator Kesejahteraan Rakyat, 1992).


Penutup

Dalam beberapa waktu terakhir ini, cukup banyak ilmuwan dan/atau pakar yang mengajukan faktor demografis dan/atau ekonomis yang bersifat makro sebagai penyebab terjadinya gejolak sosial-politik yang semakin marak di sejumlah kota di Indonesia. Dalam segala keterbatasan paper ini, saya beranggapan bahwa pernyataan mereka itu amsih berupa sinyalemen kasar yang perlu diuji secara teliti dalam suatu penelitian ilmiah.

Dari satu segi paper ini, betapa pun, secara sederhana dan tidak langsung telah mendemonstrasikan bahwa secara demografis Jakarta seharusnya tidak perlu mengalami Peristiwa 27 Juli 1996. Secara deduksi logis, paper ini juga percaya – demikian pula halnya dengan Situbondo, Tasikmalaya, dan Sambas Kalimantan Barat. Bahkan secara demografis kota-kota itu lebih tidak mungkin lagi mengalami kerusuhan.
Faktor-faktor demografis mungkin merupakan kondisi yang perlu, namun belum mencukupi (necessary but not sufficient) untuk menghasilkan gejolak sosial-politik yang mengguncang sejumlah kota. Hal yang perlu dicermati adalah fakta bahwa masih ada faktor lain, terutama yang bukan bersifat demografis dan makro tetapi antropologis, sosiologis, dan politis yang bersifat mikro atau meso. Dan seluruh faktor tersebut bekerja dalam suatu mekanisme yang lebih rumit daripada yang diduga banyak orang.


Referensi

Ananta, Aris (ed.). Ciri Demografis Kualitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 1993.

BPS. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: BPS, 1992.

Geertz, Clifford. Involusi Pertanian. Jakarta: LP3ES, 1982.

Jones, G.W. “Perkembangan Angkatan Kerja,” dalam Anne Booth dan Peter McCawley, Ekonomi Orde Baru. Jakarta: LP3ES, 1985.

Kwik Kian Gie, "Diagnosis Ekonomis, Gejolak Kerusuhan" dalam Analisis Kwik Kian Gie dalam Kompas 6 Januari 1997.

Prasodjo, Iwan. "Pengangguran dan Setengah Pengangguran di Perkotaan" dalam Prisma, 2. Jakarta: LP3ES, 1993.

Simanjuntak, Payaman J. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 1985. 

Singarimbun, Masri. Penduduk dan Perubahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Tirtosudarmo, Riwanto. Dinamika Sosial Pemuda di Perkotaan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.

Pandangan Penghuni terhadap Rumah yang Dibangun Perumnas dan BTN



[Materi Diskusi Dwi-mingguan Jurusan Sosiologi FISIP-UI, tahun 1989]


Pendahuluan

Rumah bukanlah sekadar perwujudan struktur fisik yang digunakan sebagai tempat tinggal manusia – suatu tempat berlindung dari ancaman alam eksternal. Rumah adalah, terutama, merupakan perwujudan ekspresi-ekspresi sosio-kultural para penghuninya.

Berangkat dari kerangka berpikir ini, studi berikut berupaya untuk melengkapi studi dasar yang telah dilakukan sebelumnya. Bila studi terdahulu lebih menekankan pada aspek rumah sebagai struktur fisik yang disorot dari perspektif teknik dan ekonomik; studi ini, sebaliknya, lebih menekankan pendekatan sosiologis dalam usahanya untuk mencapai tiga tujuan. Tiga tujuan yang dimaksud adalah, pertama, mendeskripsikan cara atau metode yang dialami penghuni dalam memperoleh rumah BTN yang sekarang mereka tempati. Kedua, mendeskripsikan kepuasan penghuni terhadap rumah yang mereka huni. Ketiga, mendeskripsikan sikap mereka terhadap peraturan-peraturan perumahan yang ditetapkan BTN dan Perum Perumnas.

Penghuni rumah BTN yang dipilih menjadi sampel penelitian ini ditetapkan secara purposif menurut beberapa pertimbangan tertentu. Penghuni yang diwawancarai (responden) adalah kepala rumah tangga dan atau istri/suaminya. Pertimbangannya adalah karena hanya mereka yang diduga memiliki pengetahuan komprehensif mengenai ketiga aspek informasi tujuan yang ingin diketahui dalam studi ini.

Pertimbangan kedua, penghuni yang diwawancarai juga dipilih menurut tipe-tipe rumah yang mereka tempati. Tipe rumah kurang lebih menggambarkan keadaan status sosial ekonomi penghuninya. Karena KPR-BTN memang ditujukan bagi golongan berpenghasilan rendah, studi ini lebih condong mengambil penghuni yang menempati rumah-rumah berukuran kecil, yakni tipe 54 ke bawah.

Pertimbangan ketiga, studi ini membedakan responden berdasarkan pengembang (developer) yang membangun rumah mereka. Dalam hal ini, pengembang dibedakan antara Perumnas dan pengembang swasta. Asumsinya, pengembang yang berbeda akan melahirkan perbedaan pula pada ketiga aspek informasi seperti dinyatakan dalam tujuan penelitian.

Pertimbangan selanjutnya adalah lokasi proyek secara geografis. Dengan asumsi yang serupa, lokasi proyek yang dipilih meliputi tiga kota besar di Indonesia, yakni Jakarta, Medan, dan Yogyakarta. Jakarta dipilih karena merupakan kota terbesar dan memiliki perumahan KPR-BTN yang paling banyak dan paling kompleks. Sedangkan Medan dan Yogyakarta dipilih karena secara kasar bisa dianggap mewakili gambaran wilayah provinsi Indonesia bagian Barat dan Timur.

Selain pertimbangan-pertimbangan di atas, secara purposif ada juga beberapa responden yang dipilih menurut masalah khusus tertentu yang dialami mereka. Masalah khusus tersebut antara lain penghuni yang memperoleh rumah melalui mekanisme informal; penghuni yang mengubah fungsi rumahnya menjadi tempat usaha; penghuni yang menunggak angsuran rumah, dan sebagainya.

Lengkapnya, jumlah penghuni dan lokasi proyek serta pengembang yang menjadi sampel studi ini dapat dikemukakan sebagai berikut: Total penghuni yang diwawancarai seluruhnya sebanyak 38 orang; 19 orang ditarik dari Jakarta, 9 orang dari Medan, dan 10 orang dari Yogyakarta. Menurut pengembang dan lokasi proyek, tempat-tempat yang dikunjungi adalah Perumnas Klender, Perumnas Depok, Pondok Ranji, Jati Makmur, dan Bulak Macan Permai untuk wilayah Jakarta. Adapun lokasi proyek yang dikunjungi di Medan meliputi Perumnas Sukarame, Perumnas Mandala, Johor Indah-Padang Bulan, Tanjung Sari, dan Tanjung Selamat. Sedangkan lokasi proyek di Yogyakarta adalah Perumnas Minomartani, Perumnas Condong Catur, Gowok, dan Sonosewu, Bantul (perincian lebih lengkap terlampir).

Guna mencapai ketiga tujuan studi ini, metode yang diterapkan di sini adalah metode deskriptif dengan teknik wawancara mendalam sebagai sarana pengumpulan datanya. Dalam hal ini, peneliti memakai pedoman wawancara yang terdiri dari 38 items pertanyaan, yang pada umumnya membutuhkan waktu wawancara rata-rata 2 jam untuk setiap responden. Studi lapangan dilaksanakan pada tanggal 12-19 Agustus di Jakarta; tanggal 19-20 Agustus di Yogyakarta; dan tanggal 22-24 Agustus di Medan.


Deskripsi tentang Cara Penghuni Memperoleh Rumah

Pada umumnya penghuni memperoleh informasi mengenai perumahan BTN yang sekarang mereka tempati ini dari jaringan informal yang mereka miliki. Sebagian besar mereka peroleh dari kolega, teman-teman kerja di kantor mereka. Sebagian lainnya memperoleh informasi tersebut dari teman dekat, tetangga, sanak saudara yang biasanya tinggal berdekatan dengan lokasi perumahan BTN atau bahkan telah menempati rumah itu lebih dahulu.

Suatu hal menarik untuk diketengahkan di sini adalah fakta bahwa relatif hanya sedikit  penghuni yang mengandalkan perolehan megenai perumahan BTN dari media massa. Media massa yang digunakan dalam hal ini umumnya surat kabar dan hanya satu orang yang memperoleh informasi dari radio. Sedangkan jenis media massa lainnya seperti televisi, majalah, pamflet atau brosur dan leaflet sama sekali tidak ada yang menyebut.

Fakta ini barangkali merujuk pada suatu fenomena masih pentingnya peranan jaringan informasi informal di tengah meruyaknya sistem komunikasi modern sekarang ini. Di samping kenyataan, memang tingkat penggunaan media massa di Indonesia yang masih rendah, keadaan ini juga memperlihatkan sisi lain dari informasi mengenai rumah itu sendiri. Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Sebagai suatu kebutuhan pokok yang memiliki arti penting dan relatif sukar dijangkau oleh penghasilan rata-rata penduduk kota besar di Indonesia, mereka memerlukan informasi yang memiliki kredibilitas tertentu.

Informasi yang diperlukan adalah informasi yang bersifat tatap muka langsung. Hal ini dikarenakan mereka ingin mengetahui secara konkret mengenai, umpamanya, kenyamanan hunian yang ditinjau langsung dari persepsi teman-teman mereka, yang dalam pandangan mereka memiliki kesamaan citra dengan persepsi mereka sendiri. Hal ini tentu saja berbeda dengan informasi yang diperoleh dari media massa yang mereka anggap cenderung berbau “iklan” yang tidak mengungkapkan kenyataan sebenarnya.

Selain itu, fakta ini juga berarti sebagian besar penghuni masih besar ketergantungan sosialnya satu sama lain. Responden tidak berani bertindak – membeli rumah – sebelum memperoleh dukungan dari kelompok referensinya. Artinya, dengan kata lain, mereka baru berani membeli rumah bila rekan-rekan atau sanak saudara mereka juga melakukan hal yang sama; atau, setelah mereka memperoleh rekomendasi yang “positif” dari orang lain yang dekat dengan mereka. Dalam spirit yang sama, sebagian kecil dari merekaada juga yang pindah oleh karena ingin tinggal berdekatan dengan orang-orang yang telah mereka kenal baik.

Diidentifikasi secara umum, ada dua pola tentang bagaimana responden dulu memperoleh rumah KPR-BTN: melalui jalur formal sesuai dengan prosedur yang berlaku dan melalui jalur informal – suatu cara yang bisa dikatakan bertentangan dengan peraturan yang ditetapkan BTN. Melalui jalur formal itu sendiri, masih dibagi lagi ke dalam dua cara: secara perorangan dan kolektif. Selanjutnya, prosedur kolektif masih dibagi lagi ke dalam dua cara, yakni secara kelompok atas nama lembaga atau perusahaan tanpa atau dengan campur tangan yang minimal; dan cara di mana perusahaan ikut campur langsung memberikan fasilitas-fasilitas tertentu kepada para karyawannya.


Prosedur Formal

Kecuali di Perumnas Sukarame Medan, mayoritas responden mengaku tidak mengalami kesulitan atau hambatan apa pun ketika mereka mengurus surat permohonan rumah. Baik secara perorangan atau kolektif, masing-masing hanya diminta untuk mengisi berbagai formulir yang disediakan BTN/Perumnas/pengembang dengan ongkos-ongkos yang wajar, sesuai peraturan. Formulir yang mereka harus isi antara lain surat keterangan tidak punya rumah yang dikonfirmasi secara berjenjang mulai dari RT-RW hingga kelurahan. Lainnya adalah fotokopi KTP, surat keterangan telah menikah, kartu jumlah anggota keluarga, daftar gaji, dan sebagainya.

Menarik diperhatikan di sini, bagaimana perbedaan carayang ditempuh responden yang mengajukan surat permohonan secara kolektif. Cara pertama pada dasarnya tidak melibatkan instansi, tempat dimana responden bekerja. Oleh karena mereka melihat relatif sulit mengurus surat-surat permohonan rumah secara perorangan, lalu atas prakarsa mereka sendiri, mereka menawarkan rekan-rekan sekerja untuk bersama-sama bergabung mengajukan surat permohonan dan meminjam nama perusahaan mereka sebagai nama kelompok. Tidak ada bantuan atau fasilitas-fasilitas yang diberikan perusahaan guna keperluan tersebut. Biasanya pihak lembaga atau perusahaan hanya sekadar memberikan rekomendasi di bidang pengurusan surat-surat tertentu. Hal inilah yang dialami oleh, misalnya, Syahri yang memperoleh rumah di Perumnas Klender atas nama istrinya yang bekerja di Kejaksaan Agung.

Cara kedua dilakukan dengan melibatkan perusahaan secara langsung, bahkan turut memberikan kontribusinya. Walaupun yang mengambil prakarsa tetap para karyawan yang tergabung dalam SPSI, namun perusahaan turun tangan dengan memberikan pinjaman uang yang selanjutnya digunakan sebagai modal untuk membeli rumah BTN secara langsung. Dengan demikian karyawan tidak berhubungan langsung dengan BTN atau pengembang, melainkan dengan SPSI perusahaan tersebut. Dalam kaitan ini, karyawan malah bisa menikmati fasilitas kredit rumah yang lebih murah ketimbang yang ditentukan BTN. Kasus ini terjadi di perumahan Bank of Tokyo Jati Makmur, Jakarta Timur.

Hal lain yang juga menarik untuk ditelaah di sini adalah perbedaan tipis yang dialami oleh para responden yang memperoleh rumah melalui Perumnas dan pengembang swasta. Kendati sama-sama menempuh jalur formal, namun ada tendensi bahwa persyaratan yang berlaku di pengembang swasta relatif lebih longgar. Berdasarkan pengakuan nyonya Ririen yang tinggal di kompleks perumahan Johor Indah-Medan, misalnya, surat keterangan sudah menikah atau jumlah anggota keluarga sama sekali tidak diperlukan. Hal yang paling penting adalah, menurutnya, kemampuan finansial seseorang dalam membayar rumah. Hal yang sama juga dikemukakan oleh salah seorang responden di Sonosewu-Bantul, Yogyakarta. Demikian pula dalam hal penjualan kembali rumah yang telah ditempati, seperti diungkapkan ibu Mimie – seorang responden yang tinggal di Pondok Ranji, Jakarta.


Prosedur Informal  

Beberapa cara yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan BTN dapat dikemukakan di sini. Cara pertama adalah dengan menjual kembali atau mengontrakkan rumah yang telah ditempati kepada pihak kedua/pihak ketiga. Dalam kasus menjual kembali, pada umumnya penghuni rumah semula telah melunasi angsuran rumah mereka. Dan kalau ada yang belum lunas, biasanya dibuat suatu kesepakatan yang menetapkan pihak pertama sebagai yang bertanggung jawab dalam hal pembayaran sisa uang angsuran tersebut. Dengan membuat akta notaris pengalihan hak pemilikan baru, yang tidak lagi melibatkan BTN/Perumnas, secara hukum penjualan tersebut menjadi sah.

Penghuni pihak kedua yang mengontrak rumah dari pihak pertama biasanya tidak berhubungan langsung dengan BTN/pengembang. Dalam masalah pembayaran angsuran rumah yang belum lunas, pihak pengontrak dibebaskan dari kewajiban tersebut. Tidak ada pengalihan hak pemilikan rumah secara hukum; dan pembayaran angsuran rumah tetap merupakan tanggung jawab sepenuhnya si pemilik rumah. Pihak kedua hanya berkewajiban untuk membayar biaya pemeliharaan rumah tertentu seperti listrik, air, kebersihan, dan sebagainya. Hal ini misalnya dialami oleh seorang responden yang bertempat tinggal di Bulak Macan Permai, Jakarta.

Cara kedua adalah pihak kedua menempati rumah pihak pertama untuk jangka waktu tertentu tanpa dipungut bayaran sewa, tanpa perjanjian kontrak secara legal, dan tentu saja, tanpa harus mengalami pengalihan hak pemilikan sama sekali. “Dasarnya adalah keinginan untuk menolong dan saling percaya,” demikian ungkap seorang responden di perumahan Tanjung Sari, Medan.

Menurutnya, ia dan keluarganya boleh tinggal di rumah tersebut karena rumah itu tidak dihuni oleh pemiliknya. Kendati mereka tidak bertalian darah, melainkan hanya teman kerja; namun kesadaran bahwa pemilik tersebut telah punya rumah sendiri yang memadai di pusat kota Medan serta perlunya rumah tersebut ditempati dan dirawat, menyebabkan pihak pertama merelakan meminjamkan rumahnya secara cuma-cuma.


Kepuasan Sosial Atas Kondisi Rumah

Secara teoritis, ada dua perspektif utama dalam menilai kepuasan responden terhadap rumah yang mereka tempati sekarang ini. Pertama, perspektif yang melihat rumah sebagai suatu objek struktur fisik. Dan kedua, perspektif yang melihat rumah sebagaisuatu objek sosio-kultural. Mengingat kaitan erat di antara dua konsep tersebut, analisis yang dilakukan nanti pada prinsipnya tidak akan dipisahkan tersendiri.

Mengekspresikan perasaan puas atau tidak puas responden terhadap kondisi rumah yang mereka tempati sekarang, haruslah diungkapkan dalam terminologi relatif, sesuai dengan sudut pandang sumber penilaiannya. Bila sudut pandangnya adalah perbandingannya langsung, ketika mereka masuk untuk pertama kali ke rumah baru mereka, dengan kondisidan status rumah yang mereka tempati sebelum pindah, pada umumnya – tidak peduli dari kelas sosial-ekonomi mana pun – responden menyatakan kepuasannya.

Masalah yang paling utama adalah “to be or not to be.” Kendati sering dikemukakan kritik bahwa fasilitas KPR-BTN banyak dipakai oleh orang yang tidak berhak, namun studi ini sendiri mengungkapkan kecenderungan bahwa sebagian besar penghuni yang diwawancarai memang tidak memiliki rumah sebelumnya dan/atau menempati rumah yang tidak layak untuk ditempati.

Sebagai akibatnya, walaupun mungkin kondisi objektif rumah yang mereka masuki pertama kali itu banyak yang menunjukkan kekurangan, namun mereka tetap merasakan kepuasannya. Instalasi listrik belum terpasang, air belum mengalir, keretakan pada tembok dan jendela, serta masih banyak lagi; semuanya masih bisa ditoleransi oleh para penghuni. Fakta bahwa mereka, sekarang, telah memiliki rumah sendiri berfungsi sebagai semacam “peredam” yang meluluhkan keinginan mereka untuk menyatakan keluhan-keluhan.

Terlebih lagi sebagian penghuni yang sebelumnya bukan saja tidak memiliki rumah sendiri, melainkan juga tinggal di rumah-rumah bedeng atau petak di suatu perkampungan kumuh yang berdiri di atas tanah liar. Memiliki rumah tipe T-21 di Perumnas misalnya, bisa dirasakan sebagai segala-galanya. Bahkan tak jarang, sebagian dari mereka yang religius, menerimanya sebagai anugerah – suatu pemberian Tuhan yang wajib disyukuri, diterima tanpa reserve. Bagi sebagian lain yang tradisional, hal itu diterima dalam konsepsi nrimo, yakni suatu sikap yang sedikit menyerupai konsep anugerah, namun bersifat fatalistik – menerima apa adanya, tak berdaya seperti nasib atau takdir umpamanya.

Mungkin saja bisa ditelusuri, pandangan semacam di atas tersebut dilahirkan oleh suatu cara pandang yang mencerminkan pemikiran tipikal kelas sosial-ekonomi golongan bawah. Fakta bahwa hanya ada 7 responden yang menempati rumah bertipe M-70 misalnya, kurang lebih mendukung anggapan semacam itu. Golongan bawah memang sering dipandang sebagai suatu kelompok sosial yang memiliki visi pemikiran yang sempit, konvensional, dan kurang kontemporer.

Konsekuensinya adalah wajar bila mengharapkan mereka sebagai orang yang tidak mempunyai relevance structure yang memadai dalam menilai suatu rumah sebgai layak atau tidak layak. Sungguh pun demikian, harapan seperti ini tampaknya tidak memperoleh dukungan empiris. Kenyataannya, golongan menengah ke atas pun yang sering diklaim sebagai orang yang mempunyai relevance structure yang terisi dengan kriteria-kriteria normatif “modern” itu juga memiliki suatu cara pandang yang hampir sama – naifnya.

Ambil saja contoh kasus ibu Ani yang sekarang tinggal di rumah susun tipe F-21 Perumnas Sukarame, Medan. Awalnya, ia dan suaminya bermukim di sebuah bangunan megah berhalaman luas dalam suatu lingkungan resik dan elit di kawasan kotanya. Karena itu, dari satu segi, tidak mengherankan bila ia memiliki wawasan normatif yang tinggi mengenai kriteria keindahan suatu rumah; terlebih bila diingat bahwa ia juga pernah berlangganan majalah-majalah tentang interior dan eksterior rumah semajam Asri.

Namun, ketika ia dikonfrontasikan dengan fakta yang memperlihatkan kondisi rumahnya yang jauh dari harapan normatifnya, ia malah hanya bisa mengurut dada. Ia memang menyatakan kekecewaannya. Tetapi dengan segera ia menemukan dalih pelipur laranya. Bagaimanapun, ia kini telah memiliki rumah sendiri. Dan hal ini yang paling penting. “Sebagus apa pun rumah, kalau bukan milik sendiri apalah artinya, “ katanya dengan nada filosofis.

Kendati demikian, tentu saja, memiliki rumah sendiri tidaklah menjelaskan seluruh persoalan. Masih ada alasan lain, yang pada akhirnya diketahui dipakai responden sebagai kompensasi sedemikian rupa, sehingga walaupun secara objektif mereka bisa saja tidak merasa puas; namun tetap saja kecenderungannya menyatakan kepuasan. Justru di sini perspektif masalah kepuasan terhadap rumah itu sekarang mengalami pergeseran.

Bila ada perspektif pertama, kepuasan terhadap rumah dinilai dari saat mereka pertama kali pindah; maka pada perspektif kedua ini, kepuasan dinilai dari waktu setelah mereka berdiam cukup lama di rumah tersebut.

Berbeda dengan tingkat kepuasan yang dinyatakan pada perspektif pertama yang condong “tidak murni” oleh karena hanya sekadar merupakan fungsi kompensasi; tingkat kepuasan pada perspektif kedua mungkin lebih melukiskan gambaran yang sebenarnya. Fakta memang memperlihatkan bahwa, kecuali di Perumnas Sukarame Medan yang para penghuninya relatif belum lama pindah, mayoritas responden cenderung menyatakan kepuasannya ketika ditanya penilaian mereka terhadap kondisi rumah yang telah lama mereka tempati itu.

Hal ini bisa dimengerti. Pada tingkat pertama, oleh karena mereka sekarang telah mengadakan perbaikan dan perombakan rumah, sesuai kebutuhan dan selera mereka. Hampir tidak ada lagi rumah responden yang menyerupai rumah para tetangga mereka atau menyerupai bentuk semula.

Masing-masing telah mengecat kembali rumahnya, mengganti pintu dan jendela, memberi pagar, menambah ruangan, mengganti tegel dengan porselen, memperindah pekarangan dengan berbagai tanaman hias, bahkan ada yang merombak sama sekali bangunan asli dan menggantinya dengan model yang sedang digemari – model Spanyol dengan pilar-pilar kokoh.

Dengan kondisi seperti demikian, tidak mengherankan bila rata-rata penghuni yang diwawancarai mengemukakan kepuasan yang tinggi terhadap kondisi rumah mereka sekarang. Masalahnya sederhana. Bagi mereka, rumah merupakan suatu sarana untuk objektivasi diri – menunjukkan kehadiran mereka secara konkret di dunia eksternal. Dengan kata lain, rumah adalah manifestasi dari kedirian (self) mereka sendiri. Pernyataannya adalah bukan ekspresi verbal rumahku. Sebaliknya, pesan paling penting, sebenarnya adalah diriku, atau bahkan aku sendiri; konsep “rumah” adalah hanya semacam predikat.

Dalam konteks ini, konsekuensinya, tentu saja tidak akan ada satu orang pun yang akan menilai negatif rumah mereka sendiri. Itu sama saja artinya dengan menilai negatif diri mereka sendiri. Bagaimanapun, setiap penghuni, seperti juga manusia lainnya, memiliki konsepsi atau citra diri tertentu yang harus dipertahankannya. Tanpa hal itu, manusia bukanlah manusia – melainkan sesosok makhluk tanpa kesadaran.

Pada tingkatan selanjutnya, kepuasan pada kondisi rumah yang sekarang juga berasal dari fasilitas-fasilitas lingkungan perumahan. Bila sebelumnya, penilaian responden lebih cenderung ditekankan pada rumah itu sendiri; sekarang wawasan penilaiannya bergerak lebih luas, mencakup lingkungan perumahan yang tadinya kurang diperhitungkan. Dari satu segi, hal ini mungkin membuka suatu peluang yang lebih besar untuk lahirnya suatu ketidakpuasan.

Namun faktanya hal itu tidak terjadi. Wawasan penilaian yang semakin luas ternyata tidak menimbulkan masalah ketidakpuasan seperti diduga semula. Minimal hal inilah yang secara menyolok terjadi di kawasan perumahan di Jakarta. Ketersediaan fasilitas-fasilitas pemukiman dengan cepat dapat dipenuhi oleh karena, mungkin, terjadinya perkembangan perumahan yang pesat; sedemikian rupa sehingga secara ekonomis fasilitas-fasilitas banyak didirikan orang karena menguntungkan, tanpa harus diatur lagi oleh suatu instansi yang berwenang.    


Sikap Terhadap Peraturan-Peraturan Perumahan

Berdasarkan wawancara dengan para penghuni rumah, diketahui bahwa ada sedikit perbedaan di antara responden yang tinggal di perumahan yang dibangun Perumnas dan pengembang swasta. Terdapat kecenderungan, sepanjang respondennya adalah kepala rumah tangga pria, penghuni yang disebut terakhir ini kurang mengetahui peraturan-peraturan yang ditetapkan BTN. Perbedaan tersebut tampak jelas terutama pada peraturan yang melarang menyewakan dan menjual kembali atau pengalihan hak pemilikan rumah kepada orang lain.

Berbeda dengan penghuni perumahan yang dibangun pihak swasta, penghuni perumahan Perumnas rata-rata mengetahui sebagian besar peraturan yang diberlakukan oleh BTN/Perumnas. Fakta ini, hingga derajat tertentu, barangkali mencerminkan relatif ketatnya pelaksanaan prosedur yang ditetapkan pihak yang disebut terakhir ini, sebagaimana telah disinggung sebelumnya.

Hal ini misalnya dengannada tegas dinyatakan oleh pak Humpus, seorang penghuni Perumnas Mandala, Medan, “Aku tahu, tahulah. Bagaimana mungkin kita tak tahu? Waktu teken kontrak, disertakan lampiran-lampiran peraturan dan perjanjian. Ada macam-macam peraturan misalnya saja tidak boleh nunggak angsuran lebih dari tanggal dua puluh setiap bulan; tidak boleh dijual (kembali); tidak boleh diganti atau ditambah bangunannya; tidak boleh (di)pakai dagang; dan banyak lagi. Melanggar, kena sanksi hukumlah.”

Pernyataan di atas jelas cukup kontras dibandingkan dengan jawaban seorang penghuni yang tinggal di Bulak Macan Permai, Jakarta, “Ya, harus membayar tiap-tiap bukan paling lambat tanggal 10, tidak boleh nunggak; sanksinya paling-paling teguran, itu kalau penunggakannya kelewatan sampai tahunan. Yang lain-lainnya enggak tahu.”

Mengetahui peraturan hukum yang berlaku, tidak berarti otomatis penghuni akan mematuhinya. Terlebih dahulu perlu diketahui bagaimana penilaian penghuni rumah itu sendiri terhadap peraturan tersebut. Bila penilaiannya positif, secara teoritis, besar kemungkinan mereka akan mematuhi. Namun bila penilaiannya negatif, sukar diharapkan mereka akan mematuhi peraturan-peraturan perumahan tersebut.

Ternyata sebagian besar responden cenderung menyatakan mereka sama sekali tidak merasa keberatan mengenai peraturan-peraturan tersebut. Dalam hal ini tidak ada perbedaan di antara penghuni yang bermukim di perumahan yang dibangun Perumnas maupun pengembang swasta. Secara tipikal hal ini misalnya diungkapkan oleh seorang penghuni di Gowok, Yogyakarta, “Peraturan cukup jelas, tidak memberatkan, cukup mudah.”

Selintas, pernyataan tadi menunjukkan kecenderungan kepatuhan hukum. Namun setelah ditelusuri lebih jauh, keadaannya tidaklah tepat demikian. Fakta tetap memperlihatkan bahwa pelanggaran masih saja terjadi. Responden yang menyatakan kalimat terakhir tadi misalnya, kenyataannya pernah menunggak selama 5 bulan; mengubah dan menambah bangunan rumahnya; bahkan menjadikan rumahnya sebagai tempat usaha.

Ditinjau dari sudut ini, pernyataan tidak memberatkan rupanya malah mengandung konotasi yang sebaliknya. Artinya, tidak menjadi soal apa pun isi peraturannya, sepanjang tidak membawa implikasi hukuman. Dan memang kenyataannya rata-rata responden pada umumnya belum kena sanksi hukuman, kendati terang-terangan melanggar hukum. Beberapa dari mereka pernah mendengar ada penghuni di lingkungan perumahan mereka yang dikenakan sanksi, namun tak seorang pun yang dapat mengidentifikasi secara jelas identitas orang yang bersangkutan.

Keberanian responden melanggar peraturan sebagaimana diungkapkan di atas, dari satu segi memang dimungkinkan, karena kenyataannya di antara mereka sendiri umumnya tidak terdapat tekanan-tekanan sosial yang menuntut mereka untuk mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku.

Terkecuali dalam bidang pemeliharaan rumah, mayoritas responden cenderung akan menunjukkan reaksi pasif, tidak mau peduli dengan urusan orang lain bila tetangganya diketahui menunggak angsuran rumah. Begitu pula sebalinya, mereka memperkirakan hal yang sama akan ditampilkan oleh tetangga mereka seandainya sekarang giliran responden sendiri yang menunggak. Seorang penghuni rumah T-21 di Depok mengatakannya dalam ucapan verbal berikut:

“Kita diam saja, karena kalau ditegur, takut menyinggung perasaan orang tersebut. Walaupun tahu, kita pura-pura tidak tahu. (Sebaliknya kalau saya yang melanggar) Saya rasa mereka akan diam saja. Karena, ya, itu tadi; mungkin mereka merasa nggak enak juga kalau menegur saya karena menunggak angsuran. Itu kan bukan urusan mereka.”

Hal yang sama diperlihatkan pula dalam reaksi mereka terhadap peraturan yang melarang menyewakan dan menjual kembali atau mengalihkan hak pemilikan rumah kepada orang lain. Diekspresikan dalam terminologi seorang responden yang membeli rumah dari pihak kedua di Perumnas Klender, “Masa bodoh, itu risiko pemilik rumah. Itu masalah pribadi, mungkin dia tentunya sudah tahu peraturannya – supaya jangan salah paham.”


Kesimpulan

Suatu penelaahan terhadap tiga aspek tujuan studi ini memperlihatkan penemuan sebagai berikut: Pertama, pentingnya jaringan komunikasi informal sebagai suatu cara yang dipakai peneliti guna memperoleh informasi mengenai rumah. Seiring dengan itu, ditemukan pula adanya dua pola utama untuk memperoleh rumah – dengan prosedur formal dan dengan prosedur informal.

Kedua, pada umumnya responden menyatakan kepuasannya terhadap rumah yang mereka tempati. Kendati perspektifnya mengalami beberapa pergeseran menurut aspek-aspek penilaian tertentu, namun kepuasan senantiasa tampil ke depan, khususnya kepuasan terhadap rumah secara sosial.

Ketiga, dimilikinya aspek kognitif dan aspek afektif yang positif tentang peraturan rumah tidak menjamin tidak akan terjadi pelanggaran atas peraturan-peraturan perumahan. Dan hal itu lebih dimungkinkan oleh karena di antara mereka sendiri tidak ditemukan tekanan-tekanan sosial normatif yang memaksa mereka untuk patuh terhadap peraturan.


M. Iqbal Djajadi