Kamis, 24 Maret 2016

Pengangguran di Perkotaan dan Gejolak Sosial Politik



[Paper Akhir Mata Kuliah Kebijakan Publik, Pascasarjana Universitas Indonesia, Januari 1997]

Salah satu masalah perkotaan yang semakin menonjol saat ini adalah pengangguran. Tujuan pembangunan yang paling hakiki adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk, sedemikian sehingga pengangguran dapat dipandang sebagai indikator negatif keberhasilan pembangunan. Hal ini menjadi semakin kontras lagi bila dipertimbangkan fakta bahwa sejak Pelita III Trilogi Kebijakan Pembangunan Nasional lebih mengutamakan asas pemerataan.

Ada beberapa pertimbangan teoritik mengapa fenomena pengangguran di perkotaan, terutama kota-kota besar, perlu mendapat perhatian lebih serius dari para aparat penentu kebijakan. Pertama, walaupun pengangguran juga terjadi di daerah pedesaan, namun bersifat tidak terbuka. Sebagian peneliti menyebut gejala tersebut sebagai involusi pertanian (Geertz, 1982). Sebagian peneliti lainnya menyebut sebagai pengangguran tersembunyi atau bekerja tidak dalam kapasitas penuh.

Selain pertimbangan mekanisme sosial tertentu, kedua, masalah pengangguran juga relatif tidak dialami oleh daerah pedesaan karena adanya aliran migrasi penduduk ke kota (Jones dalam Booth & McCawley, 1985).  Penduduk desa yang umumnya berusia muda dan tidak memiliki keterampilan yang memadai seakan mengalirkan potensi penganggur yang efeknya dirasakan secara total di kota, dan tidak di tempat asalnya.

Dan pertimbangan ketiga, karena pengangguran berpotensi menimbulkan gejala sosial politik di kota (lihat misalnya Prasodjo, 1993). Pada dasarnya mereka yang tidak bekerja bukan saja berarti tidak memiliki penghasilan, melainkan juga tidak produktif dan teralienasi serta tidak memiliki harga diri (tentang hal ini lihat misalnya Simanjuntak, 1985: 13). Kondisi ini bila dikaitkan dengan gejolak anak muda dan disiram oleh isu-isu sensitif lainnya, dengan mudah dapat menimbulkan suatu ledakan sosial. Dalam nuansa pernyataan-pernyataan di atas, menarik kiranya untuk menyimak pendapat seorang ilmuwan berikut ini dalam suatu buku demografi (Rahardjo dalam Tirtosudarmo 1996: vii).
           
Peristiwa 27 Juli 1996 di Jakarta ..... antara lain memperlihatkan ..... bahwa masalah sosial di perkotaan, apalagi di ibu kota, memang perlu mendapat perhatian secara serius. (Hal itu menyiratkan bahwa ada) .... kesenjangan sosial yang mendalam antara mereka yang beruntung dan yang tidak beruntung dari pertumbuhan ekonomi, merupakan salah satu underlying factors ...... adalah besarnya jumlah penduduk yang berusia muda yang terlibat dalam kerusuhan massal tersebut. Dari perspektif ilmu sosial kami menduga bahwa keterlibatan penduduk usia muda atau pemuda dalam kerusuhan massal ini bukanlah sesuatu yang (sic) terjadi begitu saja. Ada alasan-alasan sosial, ekonomi, maupun politik yang mengkondisikan besarnya jumlah kaum muda yang terlibat dalam Peristiwa 27 Juli itu. 

Senada dengan pernyataan sebelumnya, Kwik Kian Gie menduga kondisi demografis atau ekonomis tertentu bertanggung jawab atas munculnya gejolak sosial-politik. Hanya saja selain masalah kesenjangan sosial, Kwik juga, dengan mengutip Sumitro Djojohadikusumo, menyatakan secara spesifik mengenai potensi pengangguran yang diyakininya sangat besar di Indonesia sekarang ini sebagai faktor yang menyebabkan terjadinya kerusuhan (Kompas 6 Januari 1997).

Paper ini berupaya menunjukkan apakah ada kondisi demografis tertentu yang menyebabkan gejolak sosial-politik lebih cenderung terjadi di Jakarta, dan bukan di kota-kota besar lainnya. Secara lebih khusus, saya berusaha menelaah kondisi pemuda penganggur di Jakarta dengan membandingkan kondisi serupa di Semarang (Jawa Tengah) dan di Surabaya (Jawa Timur). Secara teoritik, paper ini mengajukan hipotesis bahwa bila Jakarta memang lebih rentan untuk mengalami gejolak sosial-politik, tentu saja kondisi pengangguran di ibu kota ini berbeda dengan Semarang dan Surabaya.

Dalam upaya ini, beberapa pagar pembatas perlu didirikan. Pertama, paper ini menerima begitu saja asumsi bahwa Peristiwa 27 Juli 1996 (dan juga, hingga batas tertentu, peristiwa perkelahian pelajar) sebagai indikator gejolak sosial-politik puncak. Tidak dipermasalahkan di sini validitas pengukurannya. Jadi, bila ada yang beranggapan, misalnya, Surabaya juga mengalami gejolak politik yang tidak kurang hebatnya, baik yang bertalian dengan peristiwa penggusuran pimpinan PDI oleh pemerintah maupun peristiwa lainnya (seperti pembakaran sejumlah gereja dan kerusuhan sepak bola), atau Semarang juga pernah bergejolak ketika aparat keamanan masuk ke kampus Universitas Diponegoro; paper ini jelas tidak akan mampu untuk menjawabnya.

Lagi pula, kedua, paper ini sesungguhnya lebih berupaya menggambarkan kondisi pengangguran di tiga kota itu sendiri. Kondisi pengangguran, apalagi gejolak sosial-politik, di kota-kota lain (seperti Medan, Ujung Pandang, Situbondo, dan Tasikmalaya) tidak akan dibahas. Hal ini semata bertalian dengan keterbatasan data yang dapat diperoleh. Dengan demikian, ketiga, sama sekali tidak ada maksud untuk mengadakan hubungan variabel secara ketat dalam terminologi statistik. Gejolak sosial-politik tentu saja bukan merupakan variabel dependen; dan kondisi pengangguran jelas bukan variabel independen. Sebaliknya, kondisi yang disebut pertama tadi hanya merupakan titik pangkal normatif yang mengarah kepada ‘hipotesis’ univariat mengenai kemungkinan adanya perbedaan kondisi pemuda penganggur di Jakarta pada satu pihak dengan Semarang dan Surabaya pada pihak lainnya.

Sebagian besar data yang digunakan dalam paper ini bertumpu pada hasil Survei Pendidikan dan Ketenagakerjaan Usia Muda di Daerah Perkotaan 1994 (Tirtosudarmo ed., 1996).


Pengangguran Secara Nasional

Secara nasional, ada kecenderungan jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mengalami peningkatan. Pada tahun 1985 penduduk yang tidak bekerja sama sekali jumlahnya 1,37 juta orang (2,14%). Jumlah itu meningkat menjadi 6,25 juta orang (7,24%). Ini berarti pertumbuhan penganggur tiap tahun rata-rata 16,4%. Peninjauan lebih jauh memperlihatkan umumnya pengangguran terbuka terjadi pada mereka yang berpendidikan SLTP ke atas. Hal ini lebih jelas terlihat lagi pada penduduk yang berpendidikan tinggi (diploma hingga doktor). Bila pada 1985 mereka yang menganggur dalam golongan ini baru mencapai 5,3%, pada satu dasawarsa berikutnya angkanya mencapai 12,36%. Dalam rentang waktu yang sama dalam golongan SLTA angkanya berturut-turut adalah 11,6% menjadi 15,8%; sedangkan dalam golongan SLTP adalah 4,5% menjadi 10,2% (Kompas 27 Desember 1996).

Secara umum kondisi ini kurang lebih sejalan dengan keadaan pengangguran terbuka di perkotaan. Tabel 1 memperlihatkan umumnya pada 1990 mereka yang menganggur adalah penduduk yang berusia 20-24 tahun (51%) diikuti oleh 25-29 tahun (20%) – yakni mereka yang secara normatif berada pada jenjang akademi dan perguruan tinggi – 15-19 tahun (18%) – pada jenjang SLTA. Komposisi ini pada prinsipnya tidak berubah sejak 1976. Perbedaannya hanya terletak pada laju peningkatan. Mereka yang berada dalam rentang usia 20-24 tahun cenderung terus meningkat. Demikian pula mereka yang berusia 25-29 tahun. Tendensi menurun hanya diperlihatkan oleh mereka yang berusia 15-19 tahun. 



Tabel 1 dan Tabel 2

Seperti temuan sebelumnya, Tabel 2 menunjukkan persentase terbesar pengangguran terbuka pada 1990 adalah mereka yang berasal dari lulusan SLTA (59%) dengan sumbangan terbesar dari SLTA umum diikuti oleh SLTP (17%), dan akademi ke atas (7%). Namun secara keseluruhan, peningkatan jumlah pengangguran terbuka yang sangat signifikan justru terjadi pada penduduk yang berpendidikan universitas. Selama 14 tahun mereka yang berasal dari ‘menara gading’ ini meningkat sebesar 317%, yakni dari 0,4% pada 1976 menjadi 3,6% pada 1996; sedangkan mereka yang berasal dariakademi meningkat sebesar 110%, yakni dari 1,6% menjadi 3,3%.

Ledakan drastis pengangguran secara konsisten semacam ini tidak terjadi pada penduduk yang berasal dari jenjang pendidikan lainnya. Satu-satunya pengecualian adalah penduduk yang berasal dari SLTA umum. Tahun 1986, secara mendadak banyak penduduk lulusan SLTA yang menganggur (dari 15% menjadi 36%). Di luar itu mereka yang tidak bersekolah, tidak tamat SD, dan tamat SD proporsinya justru cenderung menurun, sedangkan pada tingkat SLTP cenderung tetap.

Akhirnya, menarik juga untuk menyimak fakta bahwa pada tahun 1990 perempuan penganggur (6,52%) cenderung lebih banyak ketimbang pria (5,65%). Dilihat dari perkembangan pada 1976, jumlah ini merupakan peningkatan bagi kaum perempuan (5,06%); sedangkan bagi kaum pria hal ini merupakan penurunan (5,65%).


Pengangguran di Tiga Kota

Sejauh ini paper telah membentangkan hasil temuan sensus mengenai kondisi pengangguran terbuka pada tingkat nasional. Kini perhatian dipusatkan pada hasil survei di tiga kota yang dilakukan tahun 1994. Secara khusus ingin diketahui sampai seberapa jauh tingkat kesesuaian di antara kedua penelitian tersebut.
Tabel 3 menunjukkan secara total tingkat pengangguran di Jakarta, Semarang, dan Surabaya adalah 6,1%. Dari satu segi angka ini dapat dipandang tidak jauh berbeda dengan angka 7,2% pada tingkat nasional, terlebih bila diingat ada kesenjangan waktu ketika data dikumpulkan, dan mekanisme perata-rataan (antara kota besar dan kota kecil).

 
Tabel 3

Selanjutnya diketahui pula bahwa pengangguran di tiga kota umumnya didominasi oleh mereka yang berada pada usia 20-24 tahun (50%). Sebagai bandingannya, pada tingkat nasional angka itu adalah 51%. Berdasarkan tingkat pendidikan, mayoritas penganggur di tiga kota berasal dari SLTA (35%). Angka ini cukup jauh berbeda dengan kondisi nasional (59%), namun secara tipikal polanya masih sama.

Satu-satunya perbedaan yang mencolok di antara kedua penelitian ini terletak pada kondisi jenis penganggur menurut jenis kelamin. Dengan menghitung kembali proporsi penganggur pria-perempuan pada tingkat nasional (n=1.159.470 orang) pada 1990, sedemikian sehingga data dapat dibandingkan, diketahui perempuan cenderung lebih banyak menganggur (53,6%) ketimbang pria (46,4%). Kondisi ini jelas berbeda dengan temuan di tiga kota. Justru pria (61%) yang lebih banyak menganggur dibandingkan perempuan (39%) – suatu keadaan yang pada tingkat nasional pernah terjadi pada tahun 1976.

Kendati demikian, secara keseluruhan paper ini menilai bahwa tingkat kesesuaian di antara kedua penelitian yang berbeda level ini masih cukup tinggi. Di luar masalah representativitas penarikan sampel yang dialami survei tim LIPI ini, perbedaan temuan dalam jenis kelamin itu sendiri bukanmerupakan faktor yang signifikan untuk digunakan sebagai sarana analisis pembeda. Lagi pula ada satu kelebihan survei, yakni mengetengahkan sejumlah aspek yang tidak diliput oleh sensus.

Termasuk ke dalam pernyataan terakhir itu adalah status perkawinan dan lama menganggur. Berdasarkan survei diketahui mayoritas penganggur adalah mereka yang belum kawin (95%). Dan hampir separuh pemuda yang menjadi respondennya (45%) mengaku menganggur lebih dari 24 bulan (2 tahun).


Analisis Pembeda di Antara 3 Kota

Bagian ini secara langsung berusaha mendeskripsikan ‘hipotesis’ paper yang menduga bahwa kondisi pengangguran di Jakarta cenderung berbeda dengan 2 kota besar lainnya (Semarang dan Surabaya). Secara lebih khusus ada dugaan kuat bahwa kondisi pengangguran di Jakarta cenderung lebih ‘serius.’
Tabel 3 menunjukkan persentase responden yang menganggur memang relatif lebih banyak dialami oleh mereka yang tinggal di Jakarta (7,2%) dibandingkan Surabaya (5,6%), apalagi Semarang (2,8%). Jakarta juga unggul dalam aspek mayoritas pria penganggur (66%). Namun dalam aspek-aspek selanjutnya, Jakarta tidak lagi dalam posisi memimpin atau dominan.

Dalam aspek usia misalnya, terutama dalam rentang 20-24 tahun, penganggur asal Semarang menduduki peringkat teratas (64%), sedangkan Surabaya peringkat bawah (43%). Dalam aspek pendidikan, penganggur asal Jakarta yang menamatkan SLTA justru berada pada posisi paling bawah. Para penganggur asal Surabaya yang lulusan SLTA menempati posisi paling atas. Dalam lama menganggur lebih dari 2 tahun, responden Semarang secara meyakinkan jauh lebih banyak dibandingkan Jakarta dan Surabaya. Kedua kota yang disebut terakhir ini cenderung memiliki pola yang sama. Dalam status perkawinan, para responden yang berasal dari tiga kota itu relatif memiliki pola yang seragam.      



  Tabel 4

Temuan berikutnya, Tabel 4, berusaha merincikan perbedaan-perbedaan yang mungkin ada di tiga kota yang disurvei. Dengan memusatkan perhatian pada tingkat pendidikan SLTA, terlihat kontras yang tajam terjadi pada para pria-perempuan penganggur yang berasal dari Surabaya (62:14). Kondisi kontras sebaliknya malah ditunjukkan Semarang (25:60). Dalam konteks ini komposisi jenis kelamin para penganggur muda Jakarta walau sejalan dengan Surabaya namun cenderung lebih seimbang (37:27).

Komposisi usia para penganggur menurut jenis kelamin di Jakarta cenderung agak menyebar (Tabel 5). Kecuali pada rentang usia 15-19 tahun, pria penganggur relatif lebih banyak ketimbang perempuan yang secara kontras berkumpul pada rentang usia 20-24 tahun. Dilihat dari aspek penyebarannya, Jakarta tentu saja unik. Namun dilihat dari perimbangan komposisi jenis kelamin pada usia 20-24 tahun, Jakarta agak cenderung menyerupai Semarang. Perbedaan tegas diperagakan oleh Surabaya. Sebagian besar penganggur kota buaya yang berada pada usia 20-24 tahun umumnya adalah pria ketimbang perempuan (62:24).

 
Tabel 5 & Tabel 6

Dengan memusatkan perhatian pada angka gabungan (pria dan perempuan), Tabel 6 menunjukkan bahwa para penganggur muda Jakarta umumnya berasal dari jurusan pendidikan humaniora atau ilmu sosial dan teknologi (46% dan 32%). Keadaan ini agak mirip dengan Surabaya. Perbedaannya terletak pada fakta bahwa dikota buaya lebih banyak penganggur yang berasal dari jurusan teknologi (40% dan 50%); dan kondisi distribusinya yang cenderung lebih memusat ketimbang Jakarta. Dalam konstelasi ini, penganggur Semarang umumnya berasal dari jurusan ilmu sosial.

Mengapa responden tidak mencari pekerjaan, sehingga mereka menganggur? Tabel 7 memberikan jawabannya. Dengan melihat kolom total, terlihat secara umum para penganggur di tiga kota agak cenderung menyatakan “tidak mampu” (34%) dan “tidak ada lowongan” (23%). Dalam konteks ini, praktis tidakada perbedaan mendasar antara responden pria dan perempuan. Berdasarkan aspek pendidikan terlihat penganggur lulusan SLTP relatif lebih merasa tidak mampu ketimbang lulusan SLTA (40:25). Sebaliknya lebih banyak lulusan SLTA yang mengatakan tidak ada lowongan ketimbang penganggur lulusan SLTP (28:31).

Dispesifikasi berdasarkan asal kota, dua alasan dominan yang diajukan secara seragam, baik oleh responden Jakarta maupun Surabaya, adalah “tidak mampu” dan “tidak ada lowongan” (masing-masing dengan komposisi 33:25 dan 31:26). Sementara itu umumnya responden Semarang mengaku “tidak mampu” (57%).


Tabel 7 &Tabel 8

Tabel selanjutnya, Tabel 8, menyatakan bahwa lebih dari separuh dari total responden di tiga kota (53%) mengaku tidak memiliki biaya untuk mengikuti kursus. Dan berdasarkan jenjang pendidikan, ada kecenderungan penganggur lulusan SLTP berpendapat bahwa mereka tidak ada biaya daripada lulusan SLTA (59:42). Secara kontras hal itu terutama diungkapkan olehpara penganggur muda Jakarta (58%) ketimbang Surabaya (48%), apalagi Semarang (29%). 
Siapakah yang menanggung biaya hidup responden sehari-hari selama mereka menganggur? Tabel 9 secara meyakinkan sebagian besar penganggur di tiga kota provinsi ini menyebut orangtua (83%). Berdasarkan persentase dapat disimpulkan, sebenarnya tidak ada perbedaan mendasar di antara para responden yang berlainan domisili ini. Baik Jakarta, Surabaya, maupun Semarang, semuanya sama-sama mengandalkan orangtua ketimbang saudara.



Tabel 9 & Tabel 10

Penelaahan selanjutnya (Tabel 10) memberikan gambaran bahwa umumnya aktivitas para penganggur muda di tiga kota besar itu adalah “bermain dengan teman” (63%). Sesuai dengan ekspektasi normatif, bukan hal yang mengherankan bila kecenderungan ini paling jelas terlihat pada pria penganggur (77%). Sedangkan pada perempuan penganggur lebih dari separuhnya mengaku lebih banyak “mengurus rumah tangga” (53%) ketimbang “bermain dengan teman.”

Dispesifikasi berdasarkan domisili kota terlihat kecenderungan bermain dengan teman lebih banyak terdapat di Jakarta (69%) daripada di Surabaya (50%), apalagi di Semarang (43%). Hal yang turut juga membedakan penganggur Jakarta dengan kedua kota lainnya adalah kecenderungan perempuan penganggur di Jakarta yang relatif lebih banyak bermain dengan teman ketimbang mengurus rumah tangga (50:41). Temuan yang tak kalah menarik adalah tendensi umum untuk beralih aktivitas dari bermain dengan teman menjadi mengurus rumah tangga berdasarkan jenjang pendidikan tidak terjadi di Surabaya. Berbeda dengan responden di Jakarta (76:58) dan Semarang (55:20), penganggur lulusan SLTA di kota pahlawan justru lebih banyak bermain dengan teman daripada penganggur lulusan SLTP (42:61).


Analisis dan Diskusi

Apakah kondisi pengangguran di Jakarta berbeda secara signifikan dengan Semarang dan Surabaya? Secara statistik paper ini memang tidak mungkin untuk menjawabnya dengan tuntas. Namun secara indikatif, sejumlah temuan yang telah dipaparkan di atas cenderung memberikan jawaban negatif. Perbedaan mencolok yang secara eksklusif membedakan Jakarta dengan kedua kota besar lainnya hanya terletak pada beberapa aspek, yakni proporsi pengangguran; komposisi pria dan perempuan penganggur yang cenderung lebih seimbang; ketidakmampuan untuk mengikuti kursus; dan kecenderungan mengisi waktu menganggur dengan bermain.

Namun perlu ditekankan secara khusus di sini, apa yang disebut sebagai perbedaan itu pun hanya terletak pada gradasi persentase kasar yang masih dapat diperdebatkan signifikansinya secara statistik. Sebagai contoh, apakah selisih sebesar 1,6% di antara Jakarta dan Surabaya dalam hal tingkat pengangguran cukup memadai untuk dipakai sebagai pijakan pembedaan? Bila merujuk pada konvensi (rule of thumb) metodologis tertentu, hal ini jelas tidak memadai mengingat persyaratan minimal yang dituntut adalah sebesar 10%.

Dalam kondisi ini tentu saja lebih aman untuk mengatakan bahwa keadaan pengangguran di Jakarta cenderung kurang memperlihatkan ciri-ciri yang eksklusif, sebaliknya justru bersifat tumpang-tindih. Secara khusus mungkin tidak berlebihan bila dikatakan, Jakarta lebih banyak menunjukkan persamaan dengan Surabaya; dan secara bersama-sama keduanya agak relatif berbeda dengan Semarang.

Apakah kondisi pengangguran di Jakarta memang bersifat rentan untuk menghasilkan suatu gejolak sosial-politik? Dari satu segi tertentu justru gabungan kondisi pengangguran di Jakarta dan Surabaya, serta kondisi teoritik lainnya yang lebih memungkinkan meletupkan gejolak. Secara teoritik, dalam ruang lingkup demografi semata, diduga potensi gejolak lebih tinggi bila: 1) tingkat pengangguran adalah tinggi (terutama di atas 10-20%); 2) pengangguran itu secara dominan lebih banyak dialami oleh pria, belum menikah, lulusan SLTA, dan berada pada rentang usia 20-24 tahun; 3) mengalami masa menganggur yang lama (dua tahun lebih); 4) dibiayai oleh saudara dan/atau teman; 5) para penganggur itu lebih banyak bermain ketimbang mengurus rumah tangga; 6) adanya ketidakmampuan finansial untuk melanjutkan sekolah dan/atau kursus; dan 7) adanya kesenjangan sosial yang tinggi.

Berdasarkan identifikasi empirik di atas, terlihat bahwa Jakarta tidak memenuhi keenam persyaratan tersebut secara lengkap. Lebih jauh, persyaratan ketujuh juga tidak dapat dipenuhi. Gini Rasio yang dihitung menurut persentase pengeluaran untuk DKI Jakarta, praktis tidak berbeda dengan Jawa Timur sebagai representasi Surabaya (0,304:0,300). Justru ketimpangan terjadi di provinsi Yogyakarta, Timor Timur, dan Jawa Barat (BPS, Indikator Kesejahteraan Rakyat, 1992).


Penutup

Dalam beberapa waktu terakhir ini, cukup banyak ilmuwan dan/atau pakar yang mengajukan faktor demografis dan/atau ekonomis yang bersifat makro sebagai penyebab terjadinya gejolak sosial-politik yang semakin marak di sejumlah kota di Indonesia. Dalam segala keterbatasan paper ini, saya beranggapan bahwa pernyataan mereka itu amsih berupa sinyalemen kasar yang perlu diuji secara teliti dalam suatu penelitian ilmiah.

Dari satu segi paper ini, betapa pun, secara sederhana dan tidak langsung telah mendemonstrasikan bahwa secara demografis Jakarta seharusnya tidak perlu mengalami Peristiwa 27 Juli 1996. Secara deduksi logis, paper ini juga percaya – demikian pula halnya dengan Situbondo, Tasikmalaya, dan Sambas Kalimantan Barat. Bahkan secara demografis kota-kota itu lebih tidak mungkin lagi mengalami kerusuhan.
Faktor-faktor demografis mungkin merupakan kondisi yang perlu, namun belum mencukupi (necessary but not sufficient) untuk menghasilkan gejolak sosial-politik yang mengguncang sejumlah kota. Hal yang perlu dicermati adalah fakta bahwa masih ada faktor lain, terutama yang bukan bersifat demografis dan makro tetapi antropologis, sosiologis, dan politis yang bersifat mikro atau meso. Dan seluruh faktor tersebut bekerja dalam suatu mekanisme yang lebih rumit daripada yang diduga banyak orang.


Referensi

Ananta, Aris (ed.). Ciri Demografis Kualitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 1993.

BPS. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: BPS, 1992.

Geertz, Clifford. Involusi Pertanian. Jakarta: LP3ES, 1982.

Jones, G.W. “Perkembangan Angkatan Kerja,” dalam Anne Booth dan Peter McCawley, Ekonomi Orde Baru. Jakarta: LP3ES, 1985.

Kwik Kian Gie, "Diagnosis Ekonomis, Gejolak Kerusuhan" dalam Analisis Kwik Kian Gie dalam Kompas 6 Januari 1997.

Prasodjo, Iwan. "Pengangguran dan Setengah Pengangguran di Perkotaan" dalam Prisma, 2. Jakarta: LP3ES, 1993.

Simanjuntak, Payaman J. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 1985. 

Singarimbun, Masri. Penduduk dan Perubahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Tirtosudarmo, Riwanto. Dinamika Sosial Pemuda di Perkotaan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar