[Paper Akhir Mata Kuliah Kebijakan
Publik, Pascasarjana Universitas Indonesia, Januari 1997]
Salah satu
masalah perkotaan yang semakin menonjol saat ini adalah pengangguran. Tujuan
pembangunan yang paling hakiki adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
penduduk, sedemikian sehingga pengangguran dapat dipandang sebagai indikator
negatif keberhasilan pembangunan. Hal ini menjadi semakin kontras lagi bila
dipertimbangkan fakta bahwa sejak Pelita III Trilogi Kebijakan Pembangunan Nasional lebih mengutamakan asas
pemerataan.
Ada beberapa
pertimbangan teoritik mengapa fenomena pengangguran di perkotaan, terutama
kota-kota besar, perlu mendapat perhatian lebih serius dari para aparat penentu
kebijakan. Pertama, walaupun pengangguran juga terjadi di daerah pedesaan,
namun bersifat tidak terbuka. Sebagian peneliti menyebut gejala tersebut
sebagai involusi pertanian (Geertz, 1982). Sebagian peneliti lainnya menyebut
sebagai pengangguran tersembunyi atau bekerja tidak dalam kapasitas penuh.
Selain
pertimbangan mekanisme sosial tertentu, kedua, masalah pengangguran juga
relatif tidak dialami oleh daerah pedesaan karena adanya aliran migrasi
penduduk ke kota (Jones dalam Booth & McCawley, 1985). Penduduk desa yang umumnya berusia muda dan
tidak memiliki keterampilan yang memadai seakan mengalirkan potensi penganggur
yang efeknya dirasakan secara total di kota, dan tidak di tempat asalnya.
Dan
pertimbangan ketiga, karena pengangguran berpotensi menimbulkan gejala sosial
politik di kota (lihat misalnya Prasodjo, 1993). Pada dasarnya mereka yang
tidak bekerja bukan saja berarti tidak memiliki penghasilan, melainkan juga
tidak produktif dan teralienasi serta tidak memiliki harga diri (tentang hal
ini lihat misalnya Simanjuntak, 1985: 13). Kondisi ini bila dikaitkan dengan
gejolak anak muda dan disiram oleh isu-isu sensitif lainnya, dengan mudah dapat
menimbulkan suatu ledakan sosial. Dalam nuansa pernyataan-pernyataan di atas,
menarik kiranya untuk menyimak pendapat seorang ilmuwan berikut ini dalam suatu
buku demografi (Rahardjo dalam Tirtosudarmo 1996: vii).
Peristiwa 27 Juli 1996 di Jakarta ..... antara lain memperlihatkan
..... bahwa masalah sosial di perkotaan, apalagi di ibu kota, memang perlu
mendapat perhatian secara serius. (Hal itu menyiratkan bahwa ada) ....
kesenjangan sosial yang mendalam antara mereka yang beruntung dan yang tidak
beruntung dari pertumbuhan ekonomi, merupakan salah satu underlying factors ...... adalah besarnya jumlah penduduk yang
berusia muda yang terlibat dalam kerusuhan massal tersebut. Dari perspektif
ilmu sosial kami menduga bahwa keterlibatan penduduk usia muda atau pemuda dalam
kerusuhan massal ini bukanlah sesuatu yang (sic)
terjadi begitu saja. Ada alasan-alasan sosial, ekonomi, maupun politik yang
mengkondisikan besarnya jumlah kaum muda yang terlibat dalam Peristiwa 27 Juli
itu.
Senada
dengan pernyataan sebelumnya, Kwik Kian Gie menduga kondisi demografis atau
ekonomis tertentu bertanggung jawab atas munculnya gejolak sosial-politik.
Hanya saja selain masalah kesenjangan sosial, Kwik juga, dengan mengutip
Sumitro Djojohadikusumo, menyatakan secara spesifik mengenai potensi
pengangguran yang diyakininya sangat besar di Indonesia sekarang ini sebagai
faktor yang menyebabkan terjadinya kerusuhan (Kompas 6 Januari 1997).
Paper ini berupaya menunjukkan apakah ada
kondisi demografis tertentu yang menyebabkan gejolak sosial-politik lebih
cenderung terjadi di Jakarta, dan bukan di kota-kota besar lainnya. Secara
lebih khusus, saya berusaha menelaah kondisi pemuda penganggur di Jakarta
dengan membandingkan kondisi serupa di Semarang (Jawa Tengah) dan di Surabaya
(Jawa Timur). Secara teoritik, paper ini
mengajukan hipotesis bahwa bila Jakarta memang lebih rentan untuk mengalami
gejolak sosial-politik, tentu saja kondisi pengangguran di ibu kota ini berbeda
dengan Semarang dan Surabaya.
Dalam upaya
ini, beberapa pagar pembatas perlu didirikan. Pertama, paper ini menerima begitu saja asumsi bahwa Peristiwa 27 Juli 1996
(dan juga, hingga batas tertentu, peristiwa perkelahian pelajar) sebagai
indikator gejolak sosial-politik puncak. Tidak dipermasalahkan di sini
validitas pengukurannya. Jadi, bila ada yang beranggapan, misalnya, Surabaya
juga mengalami gejolak politik yang tidak kurang hebatnya, baik yang bertalian
dengan peristiwa penggusuran pimpinan PDI oleh pemerintah maupun peristiwa
lainnya (seperti pembakaran sejumlah gereja dan kerusuhan sepak bola), atau
Semarang juga pernah bergejolak ketika aparat keamanan masuk ke kampus
Universitas Diponegoro; paper ini
jelas tidak akan mampu untuk menjawabnya.
Lagi pula,
kedua, paper ini sesungguhnya lebih
berupaya menggambarkan kondisi pengangguran di tiga kota itu sendiri. Kondisi
pengangguran, apalagi gejolak sosial-politik, di kota-kota lain (seperti Medan,
Ujung Pandang, Situbondo, dan Tasikmalaya) tidak akan dibahas. Hal ini semata
bertalian dengan keterbatasan data yang dapat diperoleh. Dengan demikian,
ketiga, sama sekali tidak ada maksud untuk mengadakan hubungan variabel secara
ketat dalam terminologi statistik. Gejolak sosial-politik tentu saja bukan
merupakan variabel dependen; dan kondisi pengangguran jelas bukan variabel
independen. Sebaliknya, kondisi yang disebut pertama tadi hanya merupakan titik
pangkal normatif yang mengarah kepada ‘hipotesis’ univariat mengenai kemungkinan adanya perbedaan kondisi pemuda
penganggur di Jakarta pada satu pihak dengan Semarang dan Surabaya pada pihak
lainnya.
Sebagian
besar data yang digunakan dalam paper ini
bertumpu pada hasil Survei Pendidikan dan Ketenagakerjaan Usia Muda di Daerah
Perkotaan 1994 (Tirtosudarmo ed.,
1996).
Pengangguran Secara Nasional
Secara
nasional, ada kecenderungan jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mengalami
peningkatan. Pada tahun 1985 penduduk yang tidak bekerja sama sekali jumlahnya
1,37 juta orang (2,14%). Jumlah itu meningkat menjadi 6,25 juta orang (7,24%).
Ini berarti pertumbuhan penganggur tiap tahun rata-rata 16,4%. Peninjauan lebih
jauh memperlihatkan umumnya pengangguran terbuka terjadi pada mereka yang
berpendidikan SLTP ke atas. Hal ini lebih jelas terlihat lagi pada penduduk
yang berpendidikan tinggi (diploma hingga doktor). Bila pada 1985 mereka yang menganggur
dalam golongan ini baru mencapai 5,3%, pada satu dasawarsa berikutnya angkanya
mencapai 12,36%. Dalam rentang waktu yang sama dalam golongan SLTA angkanya
berturut-turut adalah 11,6% menjadi 15,8%; sedangkan dalam golongan SLTP adalah
4,5% menjadi 10,2% (Kompas 27
Desember 1996).
Secara umum
kondisi ini kurang lebih sejalan dengan keadaan pengangguran terbuka di
perkotaan. Tabel 1 memperlihatkan umumnya pada 1990 mereka yang menganggur
adalah penduduk yang berusia 20-24 tahun (51%) diikuti oleh 25-29 tahun (20%) –
yakni mereka yang secara normatif berada pada jenjang akademi dan perguruan
tinggi – 15-19 tahun (18%) – pada jenjang SLTA. Komposisi ini pada prinsipnya
tidak berubah sejak 1976. Perbedaannya hanya terletak pada laju peningkatan.
Mereka yang berada dalam rentang usia 20-24 tahun cenderung terus meningkat.
Demikian pula mereka yang berusia 25-29 tahun. Tendensi menurun hanya
diperlihatkan oleh mereka yang berusia 15-19 tahun.
Tabel 1 dan Tabel 2
Seperti
temuan sebelumnya, Tabel 2 menunjukkan persentase terbesar pengangguran terbuka
pada 1990 adalah mereka yang berasal dari lulusan SLTA (59%) dengan sumbangan
terbesar dari SLTA umum diikuti oleh SLTP (17%), dan akademi ke atas (7%).
Namun secara keseluruhan, peningkatan jumlah pengangguran terbuka yang sangat
signifikan justru terjadi pada penduduk yang berpendidikan universitas. Selama
14 tahun mereka yang berasal dari ‘menara gading’ ini meningkat sebesar 317%,
yakni dari 0,4% pada 1976 menjadi 3,6% pada 1996; sedangkan mereka yang berasal
dariakademi meningkat sebesar 110%, yakni dari 1,6% menjadi 3,3%.
Ledakan
drastis pengangguran secara konsisten semacam ini tidak terjadi pada penduduk
yang berasal dari jenjang pendidikan lainnya. Satu-satunya pengecualian adalah
penduduk yang berasal dari SLTA umum. Tahun 1986, secara mendadak banyak
penduduk lulusan SLTA yang menganggur (dari 15% menjadi 36%). Di luar itu
mereka yang tidak bersekolah, tidak tamat SD, dan tamat SD proporsinya justru
cenderung menurun, sedangkan pada tingkat SLTP cenderung tetap.
Akhirnya,
menarik juga untuk menyimak fakta bahwa pada tahun 1990 perempuan penganggur
(6,52%) cenderung lebih banyak ketimbang pria (5,65%). Dilihat dari
perkembangan pada 1976, jumlah ini merupakan peningkatan bagi kaum perempuan
(5,06%); sedangkan bagi kaum pria hal ini merupakan penurunan (5,65%).
Pengangguran di Tiga Kota
Sejauh ini paper telah membentangkan hasil temuan
sensus mengenai kondisi pengangguran terbuka pada tingkat nasional. Kini
perhatian dipusatkan pada hasil survei di tiga kota yang dilakukan tahun 1994.
Secara khusus ingin diketahui sampai seberapa jauh tingkat kesesuaian di antara
kedua penelitian tersebut.
Tabel 3
menunjukkan secara total tingkat pengangguran di Jakarta, Semarang, dan
Surabaya adalah 6,1%. Dari satu segi angka ini dapat dipandang tidak jauh berbeda
dengan angka 7,2% pada tingkat nasional, terlebih bila diingat ada kesenjangan
waktu ketika data dikumpulkan, dan mekanisme perata-rataan (antara kota besar
dan kota kecil).
Tabel 3
Selanjutnya
diketahui pula bahwa pengangguran di tiga kota umumnya didominasi oleh mereka
yang berada pada usia 20-24 tahun (50%). Sebagai bandingannya, pada tingkat
nasional angka itu adalah 51%. Berdasarkan tingkat pendidikan, mayoritas
penganggur di tiga kota berasal dari SLTA (35%). Angka ini cukup jauh berbeda dengan
kondisi nasional (59%), namun secara tipikal polanya masih sama.
Satu-satunya
perbedaan yang mencolok di antara kedua penelitian ini terletak pada kondisi
jenis penganggur menurut jenis kelamin. Dengan menghitung kembali proporsi
penganggur pria-perempuan pada tingkat nasional (n=1.159.470 orang) pada 1990,
sedemikian sehingga data dapat dibandingkan, diketahui perempuan cenderung
lebih banyak menganggur (53,6%) ketimbang pria (46,4%). Kondisi ini jelas
berbeda dengan temuan di tiga kota. Justru pria (61%) yang lebih banyak
menganggur dibandingkan perempuan (39%) – suatu keadaan yang pada tingkat
nasional pernah terjadi pada tahun 1976.
Kendati
demikian, secara keseluruhan paper ini
menilai bahwa tingkat kesesuaian di antara kedua penelitian yang berbeda level
ini masih cukup tinggi. Di luar masalah representativitas penarikan sampel yang
dialami survei tim LIPI ini, perbedaan temuan dalam jenis kelamin itu sendiri
bukanmerupakan faktor yang signifikan untuk digunakan sebagai sarana analisis
pembeda. Lagi pula ada satu kelebihan survei, yakni mengetengahkan sejumlah
aspek yang tidak diliput oleh sensus.
Termasuk ke
dalam pernyataan terakhir itu adalah status perkawinan dan lama menganggur.
Berdasarkan survei diketahui mayoritas penganggur adalah mereka yang belum
kawin (95%). Dan hampir separuh pemuda yang menjadi respondennya (45%) mengaku
menganggur lebih dari 24 bulan (2 tahun).
Analisis Pembeda di Antara 3 Kota
Bagian ini
secara langsung berusaha mendeskripsikan ‘hipotesis’ paper yang menduga bahwa kondisi pengangguran di Jakarta cenderung
berbeda dengan 2 kota besar lainnya (Semarang dan Surabaya). Secara lebih
khusus ada dugaan kuat bahwa kondisi pengangguran di Jakarta cenderung lebih
‘serius.’
Tabel 3
menunjukkan persentase responden yang menganggur memang relatif lebih banyak
dialami oleh mereka yang tinggal di Jakarta (7,2%) dibandingkan Surabaya
(5,6%), apalagi Semarang (2,8%). Jakarta juga unggul dalam aspek mayoritas pria
penganggur (66%). Namun dalam aspek-aspek selanjutnya, Jakarta tidak lagi dalam
posisi memimpin atau dominan.
Dalam aspek
usia misalnya, terutama dalam rentang 20-24 tahun, penganggur asal Semarang
menduduki peringkat teratas (64%), sedangkan Surabaya peringkat bawah (43%).
Dalam aspek pendidikan, penganggur asal Jakarta yang menamatkan SLTA justru
berada pada posisi paling bawah. Para penganggur asal Surabaya yang lulusan
SLTA menempati posisi paling atas. Dalam lama menganggur lebih dari 2 tahun,
responden Semarang secara meyakinkan jauh lebih banyak dibandingkan Jakarta dan
Surabaya. Kedua kota yang disebut terakhir ini cenderung memiliki pola yang
sama. Dalam status perkawinan, para responden yang berasal dari tiga kota itu
relatif memiliki pola yang seragam.
Tabel 4
Temuan
berikutnya, Tabel 4, berusaha merincikan perbedaan-perbedaan yang mungkin ada
di tiga kota yang disurvei. Dengan memusatkan perhatian pada tingkat pendidikan
SLTA, terlihat kontras yang
tajam terjadi pada para pria-perempuan penganggur yang berasal dari Surabaya
(62:14). Kondisi kontras sebaliknya malah ditunjukkan Semarang (25:60). Dalam
konteks ini komposisi jenis kelamin para penganggur muda Jakarta walau sejalan
dengan Surabaya namun cenderung lebih seimbang (37:27).
Komposisi usia para penganggur menurut jenis kelamin di Jakarta cenderung agak menyebar (Tabel 5). Kecuali pada rentang usia 15-19 tahun, pria penganggur relatif lebih banyak ketimbang perempuan yang secara kontras berkumpul pada rentang usia 20-24 tahun. Dilihat dari aspek penyebarannya, Jakarta tentu saja unik. Namun dilihat dari perimbangan komposisi jenis kelamin pada usia 20-24 tahun, Jakarta agak cenderung menyerupai Semarang. Perbedaan tegas diperagakan oleh Surabaya. Sebagian besar penganggur kota buaya yang berada pada usia 20-24 tahun umumnya adalah pria ketimbang perempuan (62:24).
Tabel 5 & Tabel 6
Dengan memusatkan
perhatian pada angka gabungan (pria dan perempuan), Tabel 6 menunjukkan bahwa
para penganggur muda Jakarta umumnya berasal dari jurusan pendidikan humaniora
atau ilmu sosial dan teknologi (46% dan 32%). Keadaan ini agak mirip dengan
Surabaya. Perbedaannya terletak pada fakta bahwa dikota buaya lebih banyak
penganggur yang berasal dari jurusan teknologi (40% dan 50%); dan kondisi
distribusinya yang cenderung lebih memusat ketimbang Jakarta. Dalam konstelasi
ini, penganggur Semarang umumnya berasal dari jurusan ilmu sosial.
Mengapa responden tidak mencari pekerjaan, sehingga mereka menganggur? Tabel 7 memberikan jawabannya. Dengan melihat kolom total, terlihat secara umum para penganggur di tiga kota agak cenderung menyatakan “tidak mampu” (34%) dan “tidak ada lowongan” (23%). Dalam konteks ini, praktis tidakada perbedaan mendasar antara responden pria dan perempuan. Berdasarkan aspek pendidikan terlihat penganggur lulusan SLTP relatif lebih merasa tidak mampu ketimbang lulusan SLTA (40:25). Sebaliknya lebih banyak lulusan SLTA yang mengatakan tidak ada lowongan ketimbang penganggur lulusan SLTP (28:31).
Dispesifikasi berdasarkan asal kota, dua alasan dominan yang diajukan secara seragam, baik oleh responden Jakarta maupun Surabaya, adalah “tidak mampu” dan “tidak ada lowongan” (masing-masing dengan komposisi 33:25 dan 31:26). Sementara itu umumnya responden Semarang mengaku “tidak mampu” (57%).
Tabel 7 &Tabel 8
Tabel selanjutnya, Tabel 8, menyatakan bahwa lebih dari separuh dari total responden di tiga kota (53%) mengaku tidak memiliki biaya untuk mengikuti kursus. Dan berdasarkan jenjang pendidikan, ada kecenderungan penganggur lulusan SLTP berpendapat bahwa mereka tidak ada biaya daripada lulusan SLTA (59:42). Secara kontras hal itu terutama diungkapkan olehpara penganggur muda Jakarta (58%) ketimbang Surabaya (48%), apalagi Semarang (29%).
Siapakah
yang menanggung biaya hidup responden sehari-hari selama mereka menganggur?
Tabel 9 secara meyakinkan sebagian besar penganggur di tiga kota provinsi ini
menyebut orangtua (83%). Berdasarkan persentase dapat disimpulkan, sebenarnya
tidak ada perbedaan mendasar di antara para responden yang berlainan domisili
ini. Baik Jakarta, Surabaya, maupun Semarang, semuanya sama-sama mengandalkan
orangtua ketimbang saudara.
Tabel 9 & Tabel 10
Penelaahan
selanjutnya (Tabel 10) memberikan gambaran bahwa umumnya aktivitas para
penganggur muda di tiga kota besar itu adalah “bermain dengan teman” (63%).
Sesuai dengan ekspektasi normatif, bukan hal yang mengherankan bila
kecenderungan ini paling jelas terlihat pada pria penganggur (77%). Sedangkan
pada perempuan penganggur lebih dari separuhnya mengaku lebih banyak “mengurus
rumah tangga” (53%) ketimbang “bermain dengan teman.”
Dispesifikasi berdasarkan domisili kota terlihat kecenderungan bermain dengan teman lebih banyak terdapat di Jakarta (69%) daripada di Surabaya (50%), apalagi di Semarang (43%). Hal yang turut juga membedakan penganggur Jakarta dengan kedua kota lainnya adalah kecenderungan perempuan penganggur di Jakarta yang relatif lebih banyak bermain dengan teman ketimbang mengurus rumah tangga (50:41). Temuan yang tak kalah menarik adalah tendensi umum untuk beralih aktivitas dari bermain dengan teman menjadi mengurus rumah tangga berdasarkan jenjang pendidikan tidak terjadi di Surabaya. Berbeda dengan responden di Jakarta (76:58) dan Semarang (55:20), penganggur lulusan SLTA di kota pahlawan justru lebih banyak bermain dengan teman daripada penganggur lulusan SLTP (42:61).
Analisis dan Diskusi
Apakah kondisi pengangguran di Jakarta berbeda secara signifikan dengan Semarang dan Surabaya? Secara statistik paper ini memang tidak mungkin untuk menjawabnya dengan tuntas. Namun secara indikatif, sejumlah temuan yang telah dipaparkan di atas cenderung memberikan jawaban negatif. Perbedaan mencolok yang secara eksklusif membedakan Jakarta dengan kedua kota besar lainnya hanya terletak pada beberapa aspek, yakni proporsi pengangguran; komposisi pria dan perempuan penganggur yang cenderung lebih seimbang; ketidakmampuan untuk mengikuti kursus; dan kecenderungan mengisi waktu menganggur dengan bermain.
Namun perlu ditekankan secara khusus di sini, apa yang disebut sebagai perbedaan itu pun hanya terletak pada gradasi persentase kasar yang masih dapat diperdebatkan signifikansinya secara statistik. Sebagai contoh, apakah selisih sebesar 1,6% di antara Jakarta dan Surabaya dalam hal tingkat pengangguran cukup memadai untuk dipakai sebagai pijakan pembedaan? Bila merujuk pada konvensi (rule of thumb) metodologis tertentu, hal ini jelas tidak memadai mengingat persyaratan minimal yang dituntut adalah sebesar 10%.
Dalam kondisi ini tentu saja lebih aman untuk mengatakan bahwa keadaan pengangguran di Jakarta cenderung kurang memperlihatkan ciri-ciri yang eksklusif, sebaliknya justru bersifat tumpang-tindih. Secara khusus mungkin tidak berlebihan bila dikatakan, Jakarta lebih banyak menunjukkan persamaan dengan Surabaya; dan secara bersama-sama keduanya agak relatif berbeda dengan Semarang.
Apakah kondisi pengangguran di Jakarta memang bersifat rentan untuk menghasilkan suatu gejolak sosial-politik? Dari satu segi tertentu justru gabungan kondisi pengangguran di Jakarta dan Surabaya, serta kondisi teoritik lainnya yang lebih memungkinkan meletupkan gejolak. Secara teoritik, dalam ruang lingkup demografi semata, diduga potensi gejolak lebih tinggi bila: 1) tingkat pengangguran adalah tinggi (terutama di atas 10-20%); 2) pengangguran itu secara dominan lebih banyak dialami oleh pria, belum menikah, lulusan SLTA, dan berada pada rentang usia 20-24 tahun; 3) mengalami masa menganggur yang lama (dua tahun lebih); 4) dibiayai oleh saudara dan/atau teman; 5) para penganggur itu lebih banyak bermain ketimbang mengurus rumah tangga; 6) adanya ketidakmampuan finansial untuk melanjutkan sekolah dan/atau kursus; dan 7) adanya kesenjangan sosial yang tinggi.
Berdasarkan identifikasi empirik di atas, terlihat bahwa Jakarta tidak memenuhi keenam persyaratan tersebut secara lengkap. Lebih jauh, persyaratan ketujuh juga tidak dapat dipenuhi. Gini Rasio yang dihitung menurut persentase pengeluaran untuk DKI Jakarta, praktis tidak berbeda dengan Jawa Timur sebagai representasi Surabaya (0,304:0,300). Justru ketimpangan terjadi di provinsi Yogyakarta, Timor Timur, dan Jawa Barat (BPS, Indikator Kesejahteraan Rakyat, 1992).
Penutup
Dalam beberapa waktu terakhir ini, cukup banyak ilmuwan dan/atau pakar yang mengajukan faktor demografis dan/atau ekonomis yang bersifat makro sebagai penyebab terjadinya gejolak sosial-politik yang semakin marak di sejumlah kota di Indonesia. Dalam segala keterbatasan paper ini, saya beranggapan bahwa pernyataan mereka itu amsih berupa sinyalemen kasar yang perlu diuji secara teliti dalam suatu penelitian ilmiah.
Dari satu segi paper ini, betapa pun, secara sederhana dan tidak langsung telah mendemonstrasikan bahwa secara demografis Jakarta seharusnya tidak perlu mengalami Peristiwa 27 Juli 1996. Secara deduksi logis, paper ini juga percaya – demikian pula halnya dengan Situbondo, Tasikmalaya, dan Sambas Kalimantan Barat. Bahkan secara demografis kota-kota itu lebih tidak mungkin lagi mengalami kerusuhan.
Faktor-faktor
demografis mungkin merupakan kondisi yang perlu, namun belum mencukupi (necessary but not sufficient) untuk
menghasilkan gejolak sosial-politik yang mengguncang sejumlah kota. Hal yang
perlu dicermati adalah fakta bahwa masih ada faktor lain, terutama yang bukan
bersifat demografis dan makro tetapi antropologis, sosiologis, dan politis yang
bersifat mikro atau meso. Dan seluruh faktor tersebut bekerja dalam suatu
mekanisme yang lebih rumit daripada yang diduga banyak orang.
Referensi
Ananta, Aris (ed.). Ciri Demografis Kualitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 1993.
BPS. Indikator
Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: BPS, 1992.
Geertz, Clifford. Involusi Pertanian. Jakarta: LP3ES, 1982.
Jones, G.W. “Perkembangan Angkatan Kerja,”
dalam Anne Booth dan Peter McCawley, Ekonomi
Orde Baru. Jakarta: LP3ES, 1985.
Kwik Kian Gie, "Diagnosis Ekonomis, Gejolak Kerusuhan" dalam Analisis Kwik Kian Gie dalam Kompas 6 Januari 1997.
Prasodjo, Iwan. "Pengangguran dan Setengah Pengangguran di Perkotaan" dalam Prisma, 2. Jakarta: LP3ES, 1993.
Simanjuntak, Payaman J. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 1985.
Singarimbun, Masri. Penduduk dan Perubahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Tirtosudarmo, Riwanto. Dinamika Sosial Pemuda di Perkotaan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Kwik Kian Gie, "Diagnosis Ekonomis, Gejolak Kerusuhan" dalam Analisis Kwik Kian Gie dalam Kompas 6 Januari 1997.
Prasodjo, Iwan. "Pengangguran dan Setengah Pengangguran di Perkotaan" dalam Prisma, 2. Jakarta: LP3ES, 1993.
Simanjuntak, Payaman J. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 1985.
Singarimbun, Masri. Penduduk dan Perubahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Tirtosudarmo, Riwanto. Dinamika Sosial Pemuda di Perkotaan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar