Kamis, 24 Maret 2016

Terorisme dan Aktor Reformasi



[Artikel untuk Koran, ditulis tahun 2000]

Tampaknya ada kegamangan di sejumlah media massa untuk mengidentifikasi apakah peristiwa yang baru saja dialami Matori Abdul Jalil itu merupakan (percobaan) pembunuhan politik (political assassination) atau terorisme. Dari segi tertentu, kedua istilah itu memang terlihat sejalan. Dalam kedua aktivitas itu senantiasa ada korban dan tujuan. Namun perbedaan yang paling mendasar mungkin terletak pada fakta bahwa pembunuhan politik biasanya merupakan upaya untuk melenyapkan, melumpuhkan, atau mengurangi kekuatan lawan melalui pembunuhan atas suatu personifikasi karakter tertentu yang dianggap paling menonjol. Sedangkan dalam terorisme, tujuannya lebih terletak pada menimbulkan sensasi, perhatian besar, bercampur rasa takut.

Encyclopedia of Sociology (1992: 2168-2171) memberikan penjelasan sebagai berikut: Terorisme pada hakikatnya adalah penggunaan atau ancaman kekerasan yang dirancang untuk menciptakan suasana ketakutan dan kegentingan, yang pada gilirannya diharapkan mampu memberikan hasil politik tertentu. Lebih jauh, terorisme dapat didefinisikan secara objektif oleh kualitas tindakan, bukan oleh identitas pelaku, atau bukan oleh akibat yang ditimbulkannya. Tujuan terorisme condong bersifat politis. Tindakan kekerasan atau ancaman yang dilakukan adalah upaya untuk memperoleh publisitas maksimal, dan pelaku biasanya merupakan anggota suatu kelompok yang terorganisasi. Dan puncaknya adalah tindakan terorisme ditujukan untuk menghasilkan kerusakan psikologis. Dalam kaitan ini, tidak perlu ada hubungan antara korban dengan target terorisme yang sebenarnya. Korbannya dapat siapa saja, karena targetnya adalah kelompok atau publik tertentu yang lebih luas.

Berdasarkan uraian di atas, kita dapat menilai apa yang dilakukan oleh Zulfikar, Sabar, dan Tarmo terhadap Matori jelas bukan merupakan upaya pembunuhan politik, tetapi terorisme. Dalam kategori pembunuhan politik, lebih baik membunuh orang-orang di lingkaran yang lebih dekat dengan Presiden Gus Dur ketimbang Matori, bila pembunuhan terhadap Gus Dur dipandang lebih sulit. Ini juga tidak terkait dengan profesionalisme pembunuh. Tidak menjadi masalah caranya: apakah Matori terbunuh, luka berat, atau hanya luka ringan; dilakukan oleh kelompok AMIN (Angkatan Mujahidin Islam Nusantara), AMAN, ADRI, atau siapa pun. Faktanya, peristiwa itu secara mendadak memperoleh pemberitaan yang luar biasa. Semua perhatian publik seakan terfokus, bahkan terbius. Para anggota legislatif seakan merasa perlu sekarang untuk mempersenjatai diri. Berbagai pihak mengajukan komentar, analisis, dan spekulasi terhadap peristiwa berdarah tersebut. Dor! Tiba-tiba sosok Ketua Umum PKB dan Wakil Ketua MPR yang lama dilupakan wartawan kembali menjadi pahlawan.

Mereka yang berseberangan dengan Matori dengan sinis menyebut peristiwa itu sebagai suatu rekayasa pribadi. Sementara mereka yang lebih objektif menyebut peristiwa itu sebagai rekayasa kelompok-kelompok tertentu yang tidak sejalan dengan agenda pemerintahan Presiden Gus Dur.

Berbeda dengan upaya polisi dan pengadilan yang pada intinya berusaha menangkap sosok individual para pelaku terorisme, lengkap dengan motif, alibi atau tujuan pribadinya, tulisan berikut berusaha menggambarkan sosok aktor sistemik yang berpotensi untuk melakukan teror yang, sialnya, berperan dalam kegiatan reformasi.


Orde Baru & Reformasi

Salah satu warisan rezim sebelumnya yang paling akut adalah upaya manipulasi unsur-unsur dalam negara (state) dalam komposisi sedemikian, sehingga seakan negara tereduksi menjadi pemerintah semata, mengebiri – kalau tidak dapat dikatakan menghilangkan – peran legislatif dan yudikatif. Kedudukan MPR/DPR dan MA (serta badan peradilan lainnya) tidak lebih sebagai kosmetik, imbuhan atau gincu untuk menguatkan sosok angker lembaga eksekutif.

Tidak semua anggota masyarakat memiliki akses ke negara. Dalam rentang tiga dasawarsa, hanya mereka yang menjadi anggota birokrasi dan militer yang dapat menguasai pemerintah (baca: negara). Melanjutkan logika mencong ini, lebih gila lagi, kedua pihak yang memonopoli negara ini juga berupaya untuk memanipulasi masyarakat (society) bukan sekadar sebagai subordinat bagi negara, melainkan nyaris melenyapkannya sama sekali. Dengan menerapkan korporatisme negara, eksistensi masyarakat terbatas pada representasi yang ditetapkan dan dipilih secara sepihak oleh para penguasa negara.

Selama berkuasanya rezim apalagi setelah tumbang, banyak pihak yang merasa berkepentingan untuk mengadakan reformasi, memulihkan kondisi yang tidak adil dan tidak benar ini. Inti reformasi yang hakiki adalah menempatkan negara dalam posisinya sebagai lembaga yang terbagi atau terpisah kekuasaannya. Sebagai legislatif, MPR/DPR membuat perundang-undangan, memilih dan meminta pertanggungjawaban Presiden; sebagai eksekutif, pemerintah menjalankan kebijakan sesuai perundang-undangan; dan sebagai yudikatif, pengadilan memberikan sanksi bagi para pelanggar, baik yang dilakukan negara (pejabat atau lembaganya) maupun masyarakat (sebagai warga negara). Tidak ada lagi sentralisasi kekuasaan.

Seiring dengan hal tersebut, reformasi juga menuntut agar eksistensi masyarakat diakui. Negara justru adalah representasi masyarakat. Bukan sebaliknya. Karena itu, warga masyarakat bebas untuk membuat organisasi apa pun, utamanya partai politik (parpol), suatu sarana yang memungkinkan mereka memiliki akses yang sama untuk terpilih menjadi pejabat negara, khususnya dalam bidang legislatif dan eksekutif. Tidak ada lagi eksklusifisme.

Dalam batas tertentu, sistem kenegaraan kita sekarang sedang menuju ke arah reformasi yang hakiki. Terpilihnya Gus Dur dan Megawati sebagai kepala negara dan pemerintahan dengan baik menandai bagaimana warga negara biasa (satu dari LSM dan satu dari parpol) dapat menjadi pucuk pimpinan nasional. Demikian pula terpilihnya berbagai anggota parpol dari masyarakat biasa sebagai anggota dan pimpinan legislatif seperti tercermin dari terpilihnya Amien Rais dan Akbar Tanjung.

Namun, reformasi juga menyisakan sejumlah agenda yang belum rampung dan berpotensi untuk menjadi kerikil sandungan atau bahkan bom waktu.Di tingkat kenegaraan, anggota birokrasi yang berlindung di balik kerudung profesionalisme, dan militer yang berlindung di balik jubah Dwi-Fungsi yang memang sudah terlanjur mengecap hak monopoli itu, secara sistematis mulai disingkirkan. Dalam berbagai kesempatan, baik secara terang-terangan maupun diam-diam, mereka tentu saja tidak tinggal diam, bahkan mengadakan perlawanan. Masih di tingkat kenegaraan, sejumlah parpol di legislatif yang merasa berhasil mendudukkan pimpinan nasional, memandang Presiden sudah tidak lagi memperhatikan kepentingan mereka dan kedudukannya bahkan semakin dominan. Kendati belum berani melakukan perlawanan, tetapi mereka juga tidak perlu merasa harus menyembunyikan ketidaksukaan mereka.

Di tingkat kemasyarakatan, banyak orang menyangsikan pemerintahan sekarang mampu mengadili berbagai kesalahan dan kezaliman rezim masa lampau. Di pihak lain, banyak pula yang menyuarakan kekhawatiran mereka atas bahaya separatisme dan berbagai aksi kerusuhan yang masih marak terjadi hingga sekarang. Di atas segalanya, ada faksi agama tertentu yang merasa sebagai korban kejahilan dan satu-satunya oposan yang konsisten terhadap rezim Orde baru, mereka lebih dari merasa berhak untuk tampil mengendalikan pemerintahan reformasi. Namun ketika mereka mengetahui pemerintahan baru ternyata tetap bersifat sekuler, mereka juga mulai menunjukkan perlawanan.  


Terorisme Masyarakat atau Negara?

Ada kecenderungan populer untuk mengasosiasikan bahwa pelaku terorisme adalah anggota masyarakat. Sebagai pihak yang memiliki berbagai keterbatasan sumber daya, masyarakat memang sering tidak punya pilihan lain selain melakukan aksi sensasional untuk memperoleh dukungan warga masyarakat yang lebih luas. Dengan dalih mereka merupakan pihak yang sering mengalami represi dan opresi sewenang-wenang oleh negara, mereka seakan meminta pengertian publik bila mereka terpaksa bertindak kejam. Justru karena asosiasi makna semacam ini, negara seakan memperoleh legitimasi untuk menjelek-jelekkan sosok pelaku teror sebagai senantiasa kelompok masyarakat yang subversif, karenanya harus dilibas habis.

Dalam praktiknya, ini pula yang menyebabkan mengapai di sini komunisme – dulu, dan Islam – dulu hingga sekarang, sering dituduh sebagai pelaku teror. Satu hal yang dilupakan orang, sebenarnya terorisme lebih lazim ditemukan justru dalam pemerintahan demokratis dan maju semacam Amerika Serikat dan Eropa Barat. Dalam pemerintahan yang totaliter, terorisme semacam ini praktis hampir tidak pernah ada. Alasannya sederhana saja, karena negara justru bertindak sebagai pemonopoli terorisme.

Setelah pemerintahan baru mengancam tindakan tegas terhadap para pelakunya, di samping telah tingginya kadar imunitas masyarakat sendiri, perlawanan fatal diam-diam yang mungkin dilakukan oleh faksi-faksi tertentu dalam negara (dengan segala bentuk aliansinya), modus operandinya bukan lagi kerusuhan, tetapi terorisme. Dengan kapasitas destruksi yang tidak lagi kolosal, terorisme dapat dilakukan dengan lebih efektif, efisien, dan tentu saja lebih aman.

M. Iqbal Djajadi 
Penulis adalah staf pengajar sosiologi (S1 dan S2) di FISIP-UI. Mengajar mata kuliah Gerakan Sosial, Sosiologi Organisasi, dan Sosiologi Industri. Banyak meneliti dan menulis masalah kerusuhan dan aksi kekerasan kolektif lainnya, serta masalah integrasi nasional. Salah satu artikel yang diterbitkan adalah “Reformasi dan Kerusuhan” dalam Selo Soemardjan, (ed.), Kisah Perjuangan Reformasi (Sinar Harapan, 1999). Artikel lainnya tentang “Kondisi Integrasi Nasional Indonesia” dengan editor yang sama diharapkan terbit tahun ini (Gramedia, 2000). Bersama Sukiyat, Iwan Gardono, Hamdi Muluk, penelitian penulis tentang Kerusuhan Tasikmalaya memperoleh penghargaan penelitian terbaik 1998 di lingkungan Universitas Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar