[Artikel untuk Koran, ditulis
tahun 2000]
Tampaknya
ada kegamangan di sejumlah media massa untuk mengidentifikasi apakah peristiwa
yang baru saja dialami Matori Abdul Jalil itu merupakan (percobaan) pembunuhan
politik (political assassination) atau
terorisme. Dari segi tertentu, kedua istilah itu memang terlihat sejalan. Dalam
kedua aktivitas itu senantiasa ada korban dan tujuan. Namun perbedaan yang
paling mendasar mungkin terletak pada fakta bahwa pembunuhan politik biasanya
merupakan upaya untuk melenyapkan, melumpuhkan, atau mengurangi kekuatan lawan
melalui pembunuhan atas suatu personifikasi karakter tertentu yang dianggap
paling menonjol. Sedangkan dalam terorisme, tujuannya lebih terletak pada
menimbulkan sensasi, perhatian besar, bercampur rasa takut.
Encyclopedia of Sociology (1992: 2168-2171) memberikan
penjelasan sebagai berikut: Terorisme pada hakikatnya adalah penggunaan atau
ancaman kekerasan yang dirancang untuk menciptakan suasana ketakutan dan
kegentingan, yang pada gilirannya diharapkan mampu memberikan hasil politik
tertentu. Lebih jauh, terorisme dapat didefinisikan secara objektif oleh
kualitas tindakan, bukan oleh identitas pelaku, atau bukan oleh akibat yang
ditimbulkannya. Tujuan terorisme condong bersifat politis. Tindakan kekerasan
atau ancaman yang dilakukan adalah upaya untuk memperoleh publisitas maksimal,
dan pelaku biasanya merupakan anggota suatu kelompok yang terorganisasi. Dan
puncaknya adalah tindakan terorisme ditujukan untuk menghasilkan kerusakan
psikologis. Dalam kaitan ini, tidak perlu ada hubungan antara korban dengan
target terorisme yang sebenarnya. Korbannya dapat siapa saja, karena targetnya
adalah kelompok atau publik tertentu yang lebih luas.
Berdasarkan
uraian di atas, kita dapat menilai apa yang dilakukan oleh Zulfikar, Sabar, dan
Tarmo terhadap Matori jelas bukan merupakan upaya pembunuhan politik, tetapi
terorisme. Dalam kategori pembunuhan politik, lebih baik membunuh orang-orang
di lingkaran yang lebih dekat dengan Presiden Gus Dur ketimbang Matori, bila
pembunuhan terhadap Gus Dur dipandang lebih sulit. Ini juga tidak terkait
dengan profesionalisme pembunuh. Tidak menjadi masalah caranya: apakah Matori
terbunuh, luka berat, atau hanya luka ringan; dilakukan oleh kelompok AMIN
(Angkatan Mujahidin Islam Nusantara), AMAN, ADRI, atau siapa pun. Faktanya,
peristiwa itu secara mendadak memperoleh pemberitaan yang luar biasa. Semua
perhatian publik seakan terfokus, bahkan terbius. Para anggota legislatif
seakan merasa perlu sekarang untuk mempersenjatai diri. Berbagai pihak
mengajukan komentar, analisis, dan spekulasi terhadap peristiwa berdarah
tersebut. Dor! Tiba-tiba sosok Ketua Umum PKB dan Wakil Ketua MPR yang lama
dilupakan wartawan kembali menjadi pahlawan.
Mereka yang
berseberangan dengan Matori dengan sinis menyebut peristiwa itu sebagai suatu
rekayasa pribadi. Sementara mereka yang lebih objektif menyebut peristiwa itu
sebagai rekayasa kelompok-kelompok tertentu yang tidak sejalan dengan agenda
pemerintahan Presiden Gus Dur.
Berbeda
dengan upaya polisi dan pengadilan yang pada intinya berusaha menangkap sosok
individual para pelaku terorisme, lengkap dengan motif, alibi atau tujuan
pribadinya, tulisan berikut berusaha menggambarkan sosok aktor sistemik yang
berpotensi untuk melakukan teror yang, sialnya, berperan dalam kegiatan
reformasi.
Orde Baru & Reformasi
Salah satu
warisan rezim sebelumnya yang paling akut adalah upaya manipulasi unsur-unsur
dalam negara (state) dalam komposisi
sedemikian, sehingga seakan negara tereduksi menjadi pemerintah semata,
mengebiri – kalau tidak dapat dikatakan menghilangkan – peran legislatif dan
yudikatif. Kedudukan MPR/DPR dan MA (serta badan peradilan lainnya) tidak lebih
sebagai kosmetik, imbuhan atau gincu untuk menguatkan sosok angker lembaga
eksekutif.
Tidak semua
anggota masyarakat memiliki akses ke negara. Dalam rentang tiga dasawarsa,
hanya mereka yang menjadi anggota birokrasi dan militer yang dapat menguasai
pemerintah (baca: negara). Melanjutkan logika mencong ini, lebih gila lagi, kedua pihak yang memonopoli negara
ini juga berupaya untuk memanipulasi masyarakat (society) bukan sekadar sebagai subordinat bagi negara, melainkan nyaris melenyapkannya sama sekali.
Dengan menerapkan korporatisme negara, eksistensi masyarakat terbatas pada
representasi yang ditetapkan dan dipilih secara sepihak oleh para penguasa
negara.
Selama
berkuasanya rezim apalagi setelah tumbang, banyak pihak yang merasa
berkepentingan untuk mengadakan reformasi, memulihkan kondisi yang tidak adil
dan tidak benar ini. Inti reformasi yang hakiki adalah menempatkan negara dalam
posisinya sebagai lembaga yang terbagi atau terpisah kekuasaannya. Sebagai
legislatif, MPR/DPR membuat perundang-undangan, memilih dan meminta
pertanggungjawaban Presiden; sebagai eksekutif, pemerintah menjalankan kebijakan
sesuai perundang-undangan; dan sebagai yudikatif, pengadilan memberikan sanksi
bagi para pelanggar, baik yang dilakukan negara (pejabat atau lembaganya)
maupun masyarakat (sebagai warga negara). Tidak ada lagi sentralisasi
kekuasaan.
Seiring
dengan hal tersebut, reformasi juga menuntut agar eksistensi masyarakat diakui.
Negara justru adalah representasi masyarakat. Bukan sebaliknya. Karena itu,
warga masyarakat bebas untuk membuat organisasi apa pun, utamanya partai
politik (parpol), suatu sarana yang memungkinkan mereka memiliki akses yang
sama untuk terpilih menjadi pejabat negara, khususnya dalam bidang legislatif
dan eksekutif. Tidak ada lagi eksklusifisme.
Dalam batas
tertentu, sistem kenegaraan kita sekarang sedang menuju ke arah reformasi yang
hakiki. Terpilihnya Gus Dur dan Megawati sebagai kepala negara dan pemerintahan
dengan baik menandai bagaimana warga negara biasa (satu dari LSM dan satu dari
parpol) dapat menjadi pucuk pimpinan nasional. Demikian pula terpilihnya
berbagai anggota parpol dari masyarakat biasa sebagai anggota dan pimpinan
legislatif seperti tercermin dari terpilihnya Amien Rais dan Akbar Tanjung.
Namun,
reformasi juga menyisakan sejumlah agenda yang belum rampung dan berpotensi
untuk menjadi kerikil sandungan atau bahkan bom waktu.Di tingkat kenegaraan,
anggota birokrasi yang berlindung di balik kerudung profesionalisme, dan
militer yang berlindung di balik jubah Dwi-Fungsi yang memang sudah terlanjur
mengecap hak monopoli itu, secara sistematis mulai disingkirkan. Dalam berbagai
kesempatan, baik secara terang-terangan maupun diam-diam, mereka tentu saja
tidak tinggal diam, bahkan mengadakan perlawanan. Masih di tingkat kenegaraan,
sejumlah parpol di legislatif yang merasa berhasil mendudukkan pimpinan
nasional, memandang Presiden sudah tidak lagi memperhatikan kepentingan mereka
dan kedudukannya bahkan semakin dominan. Kendati belum berani melakukan
perlawanan, tetapi mereka juga tidak perlu merasa harus menyembunyikan
ketidaksukaan mereka.
Di tingkat
kemasyarakatan, banyak orang menyangsikan pemerintahan sekarang mampu mengadili
berbagai kesalahan dan kezaliman rezim masa lampau. Di pihak lain, banyak pula
yang menyuarakan kekhawatiran mereka atas bahaya separatisme dan berbagai aksi
kerusuhan yang masih marak terjadi hingga sekarang. Di atas segalanya, ada
faksi agama tertentu yang merasa sebagai korban kejahilan dan satu-satunya
oposan yang konsisten terhadap rezim Orde baru, mereka lebih dari merasa berhak
untuk tampil mengendalikan pemerintahan reformasi. Namun ketika mereka
mengetahui pemerintahan baru ternyata tetap bersifat sekuler, mereka juga mulai
menunjukkan perlawanan.
Terorisme Masyarakat atau Negara?
Ada
kecenderungan populer untuk mengasosiasikan bahwa pelaku terorisme adalah
anggota masyarakat. Sebagai pihak yang memiliki berbagai keterbatasan sumber
daya, masyarakat memang sering tidak punya pilihan lain selain melakukan aksi
sensasional untuk memperoleh dukungan warga masyarakat yang lebih luas. Dengan
dalih mereka merupakan pihak yang sering mengalami represi dan opresi
sewenang-wenang oleh negara, mereka seakan meminta pengertian publik bila
mereka terpaksa bertindak kejam. Justru karena asosiasi makna semacam ini,
negara seakan memperoleh legitimasi untuk menjelek-jelekkan sosok pelaku teror
sebagai senantiasa kelompok masyarakat yang subversif, karenanya harus dilibas
habis.
Dalam
praktiknya, ini pula yang menyebabkan mengapai di sini komunisme – dulu, dan
Islam – dulu hingga sekarang, sering dituduh sebagai pelaku teror. Satu hal
yang dilupakan orang, sebenarnya terorisme lebih lazim ditemukan justru dalam
pemerintahan demokratis dan maju semacam Amerika Serikat dan Eropa Barat. Dalam
pemerintahan yang totaliter, terorisme semacam ini praktis hampir tidak pernah
ada. Alasannya sederhana saja, karena negara justru bertindak sebagai
pemonopoli terorisme.
Setelah
pemerintahan baru mengancam tindakan tegas terhadap para pelakunya, di samping
telah tingginya kadar imunitas masyarakat sendiri, perlawanan fatal diam-diam yang
mungkin dilakukan oleh faksi-faksi tertentu dalam negara (dengan segala bentuk
aliansinya), modus operandinya bukan lagi kerusuhan, tetapi terorisme. Dengan
kapasitas destruksi yang tidak lagi kolosal, terorisme dapat dilakukan dengan
lebih efektif, efisien, dan tentu saja lebih aman.
M. Iqbal Djajadi
Penulis adalah staf pengajar sosiologi
(S1 dan S2) di FISIP-UI. Mengajar mata kuliah Gerakan Sosial, Sosiologi
Organisasi, dan Sosiologi Industri. Banyak meneliti dan menulis masalah
kerusuhan dan aksi kekerasan kolektif lainnya, serta masalah integrasi nasional.
Salah satu artikel yang diterbitkan adalah “Reformasi dan Kerusuhan” dalam Selo
Soemardjan, (ed.), Kisah Perjuangan
Reformasi (Sinar Harapan, 1999). Artikel lainnya tentang “Kondisi Integrasi
Nasional Indonesia” dengan editor yang sama diharapkan terbit tahun ini
(Gramedia, 2000). Bersama Sukiyat, Iwan Gardono, Hamdi Muluk, penelitian
penulis tentang Kerusuhan Tasikmalaya memperoleh penghargaan penelitian terbaik
1998 di lingkungan Universitas Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar