Kamis, 24 Maret 2016

Pandangan Penghuni terhadap Rumah yang Dibangun Perumnas dan BTN



[Materi Diskusi Dwi-mingguan Jurusan Sosiologi FISIP-UI, tahun 1989]


Pendahuluan

Rumah bukanlah sekadar perwujudan struktur fisik yang digunakan sebagai tempat tinggal manusia – suatu tempat berlindung dari ancaman alam eksternal. Rumah adalah, terutama, merupakan perwujudan ekspresi-ekspresi sosio-kultural para penghuninya.

Berangkat dari kerangka berpikir ini, studi berikut berupaya untuk melengkapi studi dasar yang telah dilakukan sebelumnya. Bila studi terdahulu lebih menekankan pada aspek rumah sebagai struktur fisik yang disorot dari perspektif teknik dan ekonomik; studi ini, sebaliknya, lebih menekankan pendekatan sosiologis dalam usahanya untuk mencapai tiga tujuan. Tiga tujuan yang dimaksud adalah, pertama, mendeskripsikan cara atau metode yang dialami penghuni dalam memperoleh rumah BTN yang sekarang mereka tempati. Kedua, mendeskripsikan kepuasan penghuni terhadap rumah yang mereka huni. Ketiga, mendeskripsikan sikap mereka terhadap peraturan-peraturan perumahan yang ditetapkan BTN dan Perum Perumnas.

Penghuni rumah BTN yang dipilih menjadi sampel penelitian ini ditetapkan secara purposif menurut beberapa pertimbangan tertentu. Penghuni yang diwawancarai (responden) adalah kepala rumah tangga dan atau istri/suaminya. Pertimbangannya adalah karena hanya mereka yang diduga memiliki pengetahuan komprehensif mengenai ketiga aspek informasi tujuan yang ingin diketahui dalam studi ini.

Pertimbangan kedua, penghuni yang diwawancarai juga dipilih menurut tipe-tipe rumah yang mereka tempati. Tipe rumah kurang lebih menggambarkan keadaan status sosial ekonomi penghuninya. Karena KPR-BTN memang ditujukan bagi golongan berpenghasilan rendah, studi ini lebih condong mengambil penghuni yang menempati rumah-rumah berukuran kecil, yakni tipe 54 ke bawah.

Pertimbangan ketiga, studi ini membedakan responden berdasarkan pengembang (developer) yang membangun rumah mereka. Dalam hal ini, pengembang dibedakan antara Perumnas dan pengembang swasta. Asumsinya, pengembang yang berbeda akan melahirkan perbedaan pula pada ketiga aspek informasi seperti dinyatakan dalam tujuan penelitian.

Pertimbangan selanjutnya adalah lokasi proyek secara geografis. Dengan asumsi yang serupa, lokasi proyek yang dipilih meliputi tiga kota besar di Indonesia, yakni Jakarta, Medan, dan Yogyakarta. Jakarta dipilih karena merupakan kota terbesar dan memiliki perumahan KPR-BTN yang paling banyak dan paling kompleks. Sedangkan Medan dan Yogyakarta dipilih karena secara kasar bisa dianggap mewakili gambaran wilayah provinsi Indonesia bagian Barat dan Timur.

Selain pertimbangan-pertimbangan di atas, secara purposif ada juga beberapa responden yang dipilih menurut masalah khusus tertentu yang dialami mereka. Masalah khusus tersebut antara lain penghuni yang memperoleh rumah melalui mekanisme informal; penghuni yang mengubah fungsi rumahnya menjadi tempat usaha; penghuni yang menunggak angsuran rumah, dan sebagainya.

Lengkapnya, jumlah penghuni dan lokasi proyek serta pengembang yang menjadi sampel studi ini dapat dikemukakan sebagai berikut: Total penghuni yang diwawancarai seluruhnya sebanyak 38 orang; 19 orang ditarik dari Jakarta, 9 orang dari Medan, dan 10 orang dari Yogyakarta. Menurut pengembang dan lokasi proyek, tempat-tempat yang dikunjungi adalah Perumnas Klender, Perumnas Depok, Pondok Ranji, Jati Makmur, dan Bulak Macan Permai untuk wilayah Jakarta. Adapun lokasi proyek yang dikunjungi di Medan meliputi Perumnas Sukarame, Perumnas Mandala, Johor Indah-Padang Bulan, Tanjung Sari, dan Tanjung Selamat. Sedangkan lokasi proyek di Yogyakarta adalah Perumnas Minomartani, Perumnas Condong Catur, Gowok, dan Sonosewu, Bantul (perincian lebih lengkap terlampir).

Guna mencapai ketiga tujuan studi ini, metode yang diterapkan di sini adalah metode deskriptif dengan teknik wawancara mendalam sebagai sarana pengumpulan datanya. Dalam hal ini, peneliti memakai pedoman wawancara yang terdiri dari 38 items pertanyaan, yang pada umumnya membutuhkan waktu wawancara rata-rata 2 jam untuk setiap responden. Studi lapangan dilaksanakan pada tanggal 12-19 Agustus di Jakarta; tanggal 19-20 Agustus di Yogyakarta; dan tanggal 22-24 Agustus di Medan.


Deskripsi tentang Cara Penghuni Memperoleh Rumah

Pada umumnya penghuni memperoleh informasi mengenai perumahan BTN yang sekarang mereka tempati ini dari jaringan informal yang mereka miliki. Sebagian besar mereka peroleh dari kolega, teman-teman kerja di kantor mereka. Sebagian lainnya memperoleh informasi tersebut dari teman dekat, tetangga, sanak saudara yang biasanya tinggal berdekatan dengan lokasi perumahan BTN atau bahkan telah menempati rumah itu lebih dahulu.

Suatu hal menarik untuk diketengahkan di sini adalah fakta bahwa relatif hanya sedikit  penghuni yang mengandalkan perolehan megenai perumahan BTN dari media massa. Media massa yang digunakan dalam hal ini umumnya surat kabar dan hanya satu orang yang memperoleh informasi dari radio. Sedangkan jenis media massa lainnya seperti televisi, majalah, pamflet atau brosur dan leaflet sama sekali tidak ada yang menyebut.

Fakta ini barangkali merujuk pada suatu fenomena masih pentingnya peranan jaringan informasi informal di tengah meruyaknya sistem komunikasi modern sekarang ini. Di samping kenyataan, memang tingkat penggunaan media massa di Indonesia yang masih rendah, keadaan ini juga memperlihatkan sisi lain dari informasi mengenai rumah itu sendiri. Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Sebagai suatu kebutuhan pokok yang memiliki arti penting dan relatif sukar dijangkau oleh penghasilan rata-rata penduduk kota besar di Indonesia, mereka memerlukan informasi yang memiliki kredibilitas tertentu.

Informasi yang diperlukan adalah informasi yang bersifat tatap muka langsung. Hal ini dikarenakan mereka ingin mengetahui secara konkret mengenai, umpamanya, kenyamanan hunian yang ditinjau langsung dari persepsi teman-teman mereka, yang dalam pandangan mereka memiliki kesamaan citra dengan persepsi mereka sendiri. Hal ini tentu saja berbeda dengan informasi yang diperoleh dari media massa yang mereka anggap cenderung berbau “iklan” yang tidak mengungkapkan kenyataan sebenarnya.

Selain itu, fakta ini juga berarti sebagian besar penghuni masih besar ketergantungan sosialnya satu sama lain. Responden tidak berani bertindak – membeli rumah – sebelum memperoleh dukungan dari kelompok referensinya. Artinya, dengan kata lain, mereka baru berani membeli rumah bila rekan-rekan atau sanak saudara mereka juga melakukan hal yang sama; atau, setelah mereka memperoleh rekomendasi yang “positif” dari orang lain yang dekat dengan mereka. Dalam spirit yang sama, sebagian kecil dari merekaada juga yang pindah oleh karena ingin tinggal berdekatan dengan orang-orang yang telah mereka kenal baik.

Diidentifikasi secara umum, ada dua pola tentang bagaimana responden dulu memperoleh rumah KPR-BTN: melalui jalur formal sesuai dengan prosedur yang berlaku dan melalui jalur informal – suatu cara yang bisa dikatakan bertentangan dengan peraturan yang ditetapkan BTN. Melalui jalur formal itu sendiri, masih dibagi lagi ke dalam dua cara: secara perorangan dan kolektif. Selanjutnya, prosedur kolektif masih dibagi lagi ke dalam dua cara, yakni secara kelompok atas nama lembaga atau perusahaan tanpa atau dengan campur tangan yang minimal; dan cara di mana perusahaan ikut campur langsung memberikan fasilitas-fasilitas tertentu kepada para karyawannya.


Prosedur Formal

Kecuali di Perumnas Sukarame Medan, mayoritas responden mengaku tidak mengalami kesulitan atau hambatan apa pun ketika mereka mengurus surat permohonan rumah. Baik secara perorangan atau kolektif, masing-masing hanya diminta untuk mengisi berbagai formulir yang disediakan BTN/Perumnas/pengembang dengan ongkos-ongkos yang wajar, sesuai peraturan. Formulir yang mereka harus isi antara lain surat keterangan tidak punya rumah yang dikonfirmasi secara berjenjang mulai dari RT-RW hingga kelurahan. Lainnya adalah fotokopi KTP, surat keterangan telah menikah, kartu jumlah anggota keluarga, daftar gaji, dan sebagainya.

Menarik diperhatikan di sini, bagaimana perbedaan carayang ditempuh responden yang mengajukan surat permohonan secara kolektif. Cara pertama pada dasarnya tidak melibatkan instansi, tempat dimana responden bekerja. Oleh karena mereka melihat relatif sulit mengurus surat-surat permohonan rumah secara perorangan, lalu atas prakarsa mereka sendiri, mereka menawarkan rekan-rekan sekerja untuk bersama-sama bergabung mengajukan surat permohonan dan meminjam nama perusahaan mereka sebagai nama kelompok. Tidak ada bantuan atau fasilitas-fasilitas yang diberikan perusahaan guna keperluan tersebut. Biasanya pihak lembaga atau perusahaan hanya sekadar memberikan rekomendasi di bidang pengurusan surat-surat tertentu. Hal inilah yang dialami oleh, misalnya, Syahri yang memperoleh rumah di Perumnas Klender atas nama istrinya yang bekerja di Kejaksaan Agung.

Cara kedua dilakukan dengan melibatkan perusahaan secara langsung, bahkan turut memberikan kontribusinya. Walaupun yang mengambil prakarsa tetap para karyawan yang tergabung dalam SPSI, namun perusahaan turun tangan dengan memberikan pinjaman uang yang selanjutnya digunakan sebagai modal untuk membeli rumah BTN secara langsung. Dengan demikian karyawan tidak berhubungan langsung dengan BTN atau pengembang, melainkan dengan SPSI perusahaan tersebut. Dalam kaitan ini, karyawan malah bisa menikmati fasilitas kredit rumah yang lebih murah ketimbang yang ditentukan BTN. Kasus ini terjadi di perumahan Bank of Tokyo Jati Makmur, Jakarta Timur.

Hal lain yang juga menarik untuk ditelaah di sini adalah perbedaan tipis yang dialami oleh para responden yang memperoleh rumah melalui Perumnas dan pengembang swasta. Kendati sama-sama menempuh jalur formal, namun ada tendensi bahwa persyaratan yang berlaku di pengembang swasta relatif lebih longgar. Berdasarkan pengakuan nyonya Ririen yang tinggal di kompleks perumahan Johor Indah-Medan, misalnya, surat keterangan sudah menikah atau jumlah anggota keluarga sama sekali tidak diperlukan. Hal yang paling penting adalah, menurutnya, kemampuan finansial seseorang dalam membayar rumah. Hal yang sama juga dikemukakan oleh salah seorang responden di Sonosewu-Bantul, Yogyakarta. Demikian pula dalam hal penjualan kembali rumah yang telah ditempati, seperti diungkapkan ibu Mimie – seorang responden yang tinggal di Pondok Ranji, Jakarta.


Prosedur Informal  

Beberapa cara yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan BTN dapat dikemukakan di sini. Cara pertama adalah dengan menjual kembali atau mengontrakkan rumah yang telah ditempati kepada pihak kedua/pihak ketiga. Dalam kasus menjual kembali, pada umumnya penghuni rumah semula telah melunasi angsuran rumah mereka. Dan kalau ada yang belum lunas, biasanya dibuat suatu kesepakatan yang menetapkan pihak pertama sebagai yang bertanggung jawab dalam hal pembayaran sisa uang angsuran tersebut. Dengan membuat akta notaris pengalihan hak pemilikan baru, yang tidak lagi melibatkan BTN/Perumnas, secara hukum penjualan tersebut menjadi sah.

Penghuni pihak kedua yang mengontrak rumah dari pihak pertama biasanya tidak berhubungan langsung dengan BTN/pengembang. Dalam masalah pembayaran angsuran rumah yang belum lunas, pihak pengontrak dibebaskan dari kewajiban tersebut. Tidak ada pengalihan hak pemilikan rumah secara hukum; dan pembayaran angsuran rumah tetap merupakan tanggung jawab sepenuhnya si pemilik rumah. Pihak kedua hanya berkewajiban untuk membayar biaya pemeliharaan rumah tertentu seperti listrik, air, kebersihan, dan sebagainya. Hal ini misalnya dialami oleh seorang responden yang bertempat tinggal di Bulak Macan Permai, Jakarta.

Cara kedua adalah pihak kedua menempati rumah pihak pertama untuk jangka waktu tertentu tanpa dipungut bayaran sewa, tanpa perjanjian kontrak secara legal, dan tentu saja, tanpa harus mengalami pengalihan hak pemilikan sama sekali. “Dasarnya adalah keinginan untuk menolong dan saling percaya,” demikian ungkap seorang responden di perumahan Tanjung Sari, Medan.

Menurutnya, ia dan keluarganya boleh tinggal di rumah tersebut karena rumah itu tidak dihuni oleh pemiliknya. Kendati mereka tidak bertalian darah, melainkan hanya teman kerja; namun kesadaran bahwa pemilik tersebut telah punya rumah sendiri yang memadai di pusat kota Medan serta perlunya rumah tersebut ditempati dan dirawat, menyebabkan pihak pertama merelakan meminjamkan rumahnya secara cuma-cuma.


Kepuasan Sosial Atas Kondisi Rumah

Secara teoritis, ada dua perspektif utama dalam menilai kepuasan responden terhadap rumah yang mereka tempati sekarang ini. Pertama, perspektif yang melihat rumah sebagai suatu objek struktur fisik. Dan kedua, perspektif yang melihat rumah sebagaisuatu objek sosio-kultural. Mengingat kaitan erat di antara dua konsep tersebut, analisis yang dilakukan nanti pada prinsipnya tidak akan dipisahkan tersendiri.

Mengekspresikan perasaan puas atau tidak puas responden terhadap kondisi rumah yang mereka tempati sekarang, haruslah diungkapkan dalam terminologi relatif, sesuai dengan sudut pandang sumber penilaiannya. Bila sudut pandangnya adalah perbandingannya langsung, ketika mereka masuk untuk pertama kali ke rumah baru mereka, dengan kondisidan status rumah yang mereka tempati sebelum pindah, pada umumnya – tidak peduli dari kelas sosial-ekonomi mana pun – responden menyatakan kepuasannya.

Masalah yang paling utama adalah “to be or not to be.” Kendati sering dikemukakan kritik bahwa fasilitas KPR-BTN banyak dipakai oleh orang yang tidak berhak, namun studi ini sendiri mengungkapkan kecenderungan bahwa sebagian besar penghuni yang diwawancarai memang tidak memiliki rumah sebelumnya dan/atau menempati rumah yang tidak layak untuk ditempati.

Sebagai akibatnya, walaupun mungkin kondisi objektif rumah yang mereka masuki pertama kali itu banyak yang menunjukkan kekurangan, namun mereka tetap merasakan kepuasannya. Instalasi listrik belum terpasang, air belum mengalir, keretakan pada tembok dan jendela, serta masih banyak lagi; semuanya masih bisa ditoleransi oleh para penghuni. Fakta bahwa mereka, sekarang, telah memiliki rumah sendiri berfungsi sebagai semacam “peredam” yang meluluhkan keinginan mereka untuk menyatakan keluhan-keluhan.

Terlebih lagi sebagian penghuni yang sebelumnya bukan saja tidak memiliki rumah sendiri, melainkan juga tinggal di rumah-rumah bedeng atau petak di suatu perkampungan kumuh yang berdiri di atas tanah liar. Memiliki rumah tipe T-21 di Perumnas misalnya, bisa dirasakan sebagai segala-galanya. Bahkan tak jarang, sebagian dari mereka yang religius, menerimanya sebagai anugerah – suatu pemberian Tuhan yang wajib disyukuri, diterima tanpa reserve. Bagi sebagian lain yang tradisional, hal itu diterima dalam konsepsi nrimo, yakni suatu sikap yang sedikit menyerupai konsep anugerah, namun bersifat fatalistik – menerima apa adanya, tak berdaya seperti nasib atau takdir umpamanya.

Mungkin saja bisa ditelusuri, pandangan semacam di atas tersebut dilahirkan oleh suatu cara pandang yang mencerminkan pemikiran tipikal kelas sosial-ekonomi golongan bawah. Fakta bahwa hanya ada 7 responden yang menempati rumah bertipe M-70 misalnya, kurang lebih mendukung anggapan semacam itu. Golongan bawah memang sering dipandang sebagai suatu kelompok sosial yang memiliki visi pemikiran yang sempit, konvensional, dan kurang kontemporer.

Konsekuensinya adalah wajar bila mengharapkan mereka sebagai orang yang tidak mempunyai relevance structure yang memadai dalam menilai suatu rumah sebgai layak atau tidak layak. Sungguh pun demikian, harapan seperti ini tampaknya tidak memperoleh dukungan empiris. Kenyataannya, golongan menengah ke atas pun yang sering diklaim sebagai orang yang mempunyai relevance structure yang terisi dengan kriteria-kriteria normatif “modern” itu juga memiliki suatu cara pandang yang hampir sama – naifnya.

Ambil saja contoh kasus ibu Ani yang sekarang tinggal di rumah susun tipe F-21 Perumnas Sukarame, Medan. Awalnya, ia dan suaminya bermukim di sebuah bangunan megah berhalaman luas dalam suatu lingkungan resik dan elit di kawasan kotanya. Karena itu, dari satu segi, tidak mengherankan bila ia memiliki wawasan normatif yang tinggi mengenai kriteria keindahan suatu rumah; terlebih bila diingat bahwa ia juga pernah berlangganan majalah-majalah tentang interior dan eksterior rumah semajam Asri.

Namun, ketika ia dikonfrontasikan dengan fakta yang memperlihatkan kondisi rumahnya yang jauh dari harapan normatifnya, ia malah hanya bisa mengurut dada. Ia memang menyatakan kekecewaannya. Tetapi dengan segera ia menemukan dalih pelipur laranya. Bagaimanapun, ia kini telah memiliki rumah sendiri. Dan hal ini yang paling penting. “Sebagus apa pun rumah, kalau bukan milik sendiri apalah artinya, “ katanya dengan nada filosofis.

Kendati demikian, tentu saja, memiliki rumah sendiri tidaklah menjelaskan seluruh persoalan. Masih ada alasan lain, yang pada akhirnya diketahui dipakai responden sebagai kompensasi sedemikian rupa, sehingga walaupun secara objektif mereka bisa saja tidak merasa puas; namun tetap saja kecenderungannya menyatakan kepuasan. Justru di sini perspektif masalah kepuasan terhadap rumah itu sekarang mengalami pergeseran.

Bila ada perspektif pertama, kepuasan terhadap rumah dinilai dari saat mereka pertama kali pindah; maka pada perspektif kedua ini, kepuasan dinilai dari waktu setelah mereka berdiam cukup lama di rumah tersebut.

Berbeda dengan tingkat kepuasan yang dinyatakan pada perspektif pertama yang condong “tidak murni” oleh karena hanya sekadar merupakan fungsi kompensasi; tingkat kepuasan pada perspektif kedua mungkin lebih melukiskan gambaran yang sebenarnya. Fakta memang memperlihatkan bahwa, kecuali di Perumnas Sukarame Medan yang para penghuninya relatif belum lama pindah, mayoritas responden cenderung menyatakan kepuasannya ketika ditanya penilaian mereka terhadap kondisi rumah yang telah lama mereka tempati itu.

Hal ini bisa dimengerti. Pada tingkat pertama, oleh karena mereka sekarang telah mengadakan perbaikan dan perombakan rumah, sesuai kebutuhan dan selera mereka. Hampir tidak ada lagi rumah responden yang menyerupai rumah para tetangga mereka atau menyerupai bentuk semula.

Masing-masing telah mengecat kembali rumahnya, mengganti pintu dan jendela, memberi pagar, menambah ruangan, mengganti tegel dengan porselen, memperindah pekarangan dengan berbagai tanaman hias, bahkan ada yang merombak sama sekali bangunan asli dan menggantinya dengan model yang sedang digemari – model Spanyol dengan pilar-pilar kokoh.

Dengan kondisi seperti demikian, tidak mengherankan bila rata-rata penghuni yang diwawancarai mengemukakan kepuasan yang tinggi terhadap kondisi rumah mereka sekarang. Masalahnya sederhana. Bagi mereka, rumah merupakan suatu sarana untuk objektivasi diri – menunjukkan kehadiran mereka secara konkret di dunia eksternal. Dengan kata lain, rumah adalah manifestasi dari kedirian (self) mereka sendiri. Pernyataannya adalah bukan ekspresi verbal rumahku. Sebaliknya, pesan paling penting, sebenarnya adalah diriku, atau bahkan aku sendiri; konsep “rumah” adalah hanya semacam predikat.

Dalam konteks ini, konsekuensinya, tentu saja tidak akan ada satu orang pun yang akan menilai negatif rumah mereka sendiri. Itu sama saja artinya dengan menilai negatif diri mereka sendiri. Bagaimanapun, setiap penghuni, seperti juga manusia lainnya, memiliki konsepsi atau citra diri tertentu yang harus dipertahankannya. Tanpa hal itu, manusia bukanlah manusia – melainkan sesosok makhluk tanpa kesadaran.

Pada tingkatan selanjutnya, kepuasan pada kondisi rumah yang sekarang juga berasal dari fasilitas-fasilitas lingkungan perumahan. Bila sebelumnya, penilaian responden lebih cenderung ditekankan pada rumah itu sendiri; sekarang wawasan penilaiannya bergerak lebih luas, mencakup lingkungan perumahan yang tadinya kurang diperhitungkan. Dari satu segi, hal ini mungkin membuka suatu peluang yang lebih besar untuk lahirnya suatu ketidakpuasan.

Namun faktanya hal itu tidak terjadi. Wawasan penilaian yang semakin luas ternyata tidak menimbulkan masalah ketidakpuasan seperti diduga semula. Minimal hal inilah yang secara menyolok terjadi di kawasan perumahan di Jakarta. Ketersediaan fasilitas-fasilitas pemukiman dengan cepat dapat dipenuhi oleh karena, mungkin, terjadinya perkembangan perumahan yang pesat; sedemikian rupa sehingga secara ekonomis fasilitas-fasilitas banyak didirikan orang karena menguntungkan, tanpa harus diatur lagi oleh suatu instansi yang berwenang.    


Sikap Terhadap Peraturan-Peraturan Perumahan

Berdasarkan wawancara dengan para penghuni rumah, diketahui bahwa ada sedikit perbedaan di antara responden yang tinggal di perumahan yang dibangun Perumnas dan pengembang swasta. Terdapat kecenderungan, sepanjang respondennya adalah kepala rumah tangga pria, penghuni yang disebut terakhir ini kurang mengetahui peraturan-peraturan yang ditetapkan BTN. Perbedaan tersebut tampak jelas terutama pada peraturan yang melarang menyewakan dan menjual kembali atau pengalihan hak pemilikan rumah kepada orang lain.

Berbeda dengan penghuni perumahan yang dibangun pihak swasta, penghuni perumahan Perumnas rata-rata mengetahui sebagian besar peraturan yang diberlakukan oleh BTN/Perumnas. Fakta ini, hingga derajat tertentu, barangkali mencerminkan relatif ketatnya pelaksanaan prosedur yang ditetapkan pihak yang disebut terakhir ini, sebagaimana telah disinggung sebelumnya.

Hal ini misalnya dengannada tegas dinyatakan oleh pak Humpus, seorang penghuni Perumnas Mandala, Medan, “Aku tahu, tahulah. Bagaimana mungkin kita tak tahu? Waktu teken kontrak, disertakan lampiran-lampiran peraturan dan perjanjian. Ada macam-macam peraturan misalnya saja tidak boleh nunggak angsuran lebih dari tanggal dua puluh setiap bulan; tidak boleh dijual (kembali); tidak boleh diganti atau ditambah bangunannya; tidak boleh (di)pakai dagang; dan banyak lagi. Melanggar, kena sanksi hukumlah.”

Pernyataan di atas jelas cukup kontras dibandingkan dengan jawaban seorang penghuni yang tinggal di Bulak Macan Permai, Jakarta, “Ya, harus membayar tiap-tiap bukan paling lambat tanggal 10, tidak boleh nunggak; sanksinya paling-paling teguran, itu kalau penunggakannya kelewatan sampai tahunan. Yang lain-lainnya enggak tahu.”

Mengetahui peraturan hukum yang berlaku, tidak berarti otomatis penghuni akan mematuhinya. Terlebih dahulu perlu diketahui bagaimana penilaian penghuni rumah itu sendiri terhadap peraturan tersebut. Bila penilaiannya positif, secara teoritis, besar kemungkinan mereka akan mematuhi. Namun bila penilaiannya negatif, sukar diharapkan mereka akan mematuhi peraturan-peraturan perumahan tersebut.

Ternyata sebagian besar responden cenderung menyatakan mereka sama sekali tidak merasa keberatan mengenai peraturan-peraturan tersebut. Dalam hal ini tidak ada perbedaan di antara penghuni yang bermukim di perumahan yang dibangun Perumnas maupun pengembang swasta. Secara tipikal hal ini misalnya diungkapkan oleh seorang penghuni di Gowok, Yogyakarta, “Peraturan cukup jelas, tidak memberatkan, cukup mudah.”

Selintas, pernyataan tadi menunjukkan kecenderungan kepatuhan hukum. Namun setelah ditelusuri lebih jauh, keadaannya tidaklah tepat demikian. Fakta tetap memperlihatkan bahwa pelanggaran masih saja terjadi. Responden yang menyatakan kalimat terakhir tadi misalnya, kenyataannya pernah menunggak selama 5 bulan; mengubah dan menambah bangunan rumahnya; bahkan menjadikan rumahnya sebagai tempat usaha.

Ditinjau dari sudut ini, pernyataan tidak memberatkan rupanya malah mengandung konotasi yang sebaliknya. Artinya, tidak menjadi soal apa pun isi peraturannya, sepanjang tidak membawa implikasi hukuman. Dan memang kenyataannya rata-rata responden pada umumnya belum kena sanksi hukuman, kendati terang-terangan melanggar hukum. Beberapa dari mereka pernah mendengar ada penghuni di lingkungan perumahan mereka yang dikenakan sanksi, namun tak seorang pun yang dapat mengidentifikasi secara jelas identitas orang yang bersangkutan.

Keberanian responden melanggar peraturan sebagaimana diungkapkan di atas, dari satu segi memang dimungkinkan, karena kenyataannya di antara mereka sendiri umumnya tidak terdapat tekanan-tekanan sosial yang menuntut mereka untuk mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku.

Terkecuali dalam bidang pemeliharaan rumah, mayoritas responden cenderung akan menunjukkan reaksi pasif, tidak mau peduli dengan urusan orang lain bila tetangganya diketahui menunggak angsuran rumah. Begitu pula sebalinya, mereka memperkirakan hal yang sama akan ditampilkan oleh tetangga mereka seandainya sekarang giliran responden sendiri yang menunggak. Seorang penghuni rumah T-21 di Depok mengatakannya dalam ucapan verbal berikut:

“Kita diam saja, karena kalau ditegur, takut menyinggung perasaan orang tersebut. Walaupun tahu, kita pura-pura tidak tahu. (Sebaliknya kalau saya yang melanggar) Saya rasa mereka akan diam saja. Karena, ya, itu tadi; mungkin mereka merasa nggak enak juga kalau menegur saya karena menunggak angsuran. Itu kan bukan urusan mereka.”

Hal yang sama diperlihatkan pula dalam reaksi mereka terhadap peraturan yang melarang menyewakan dan menjual kembali atau mengalihkan hak pemilikan rumah kepada orang lain. Diekspresikan dalam terminologi seorang responden yang membeli rumah dari pihak kedua di Perumnas Klender, “Masa bodoh, itu risiko pemilik rumah. Itu masalah pribadi, mungkin dia tentunya sudah tahu peraturannya – supaya jangan salah paham.”


Kesimpulan

Suatu penelaahan terhadap tiga aspek tujuan studi ini memperlihatkan penemuan sebagai berikut: Pertama, pentingnya jaringan komunikasi informal sebagai suatu cara yang dipakai peneliti guna memperoleh informasi mengenai rumah. Seiring dengan itu, ditemukan pula adanya dua pola utama untuk memperoleh rumah – dengan prosedur formal dan dengan prosedur informal.

Kedua, pada umumnya responden menyatakan kepuasannya terhadap rumah yang mereka tempati. Kendati perspektifnya mengalami beberapa pergeseran menurut aspek-aspek penilaian tertentu, namun kepuasan senantiasa tampil ke depan, khususnya kepuasan terhadap rumah secara sosial.

Ketiga, dimilikinya aspek kognitif dan aspek afektif yang positif tentang peraturan rumah tidak menjamin tidak akan terjadi pelanggaran atas peraturan-peraturan perumahan. Dan hal itu lebih dimungkinkan oleh karena di antara mereka sendiri tidak ditemukan tekanan-tekanan sosial normatif yang memaksa mereka untuk patuh terhadap peraturan.


M. Iqbal Djajadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar