Materi
Perkuliahan Sosiologi Agama, 3 Oktober
& 10 Oktober 2012
[Materi asli dalam bentuk Power Point]
Jurgen
Habermas
¨ Agama memiliki dua
fungsi:
- Memberikan pengetahuan bahwa eksistensi individu merupakan suatu bagian yang lebih besar; solusi bagi kesangsian kognitif.
- Memberikan ketenangan atas peristiwa-peristiwa kebetulan.
¨ Seperti Weber, ia sepakat
bahwa modernisasi membawa pengaruh yang
mendalam pada agama tradisional, menempatkan hanya pada masalah makna dan
tujuan hidup.
Menyurutnya
Peran Agama
¨ Ilmu-ilmu sosial
menggempur wilayah agama bertalian dengan nilai dan integrasi sosial.
¨ Imu sosial juga
menggangsir keimanan dalam agama tradisional
yang selama ini mengklaim kebenaran mutlak.
Agama
Sebagai Sistem Komunikasi
¨ Dengan adanya pelembagaan proses tindakan komunikatif
secara formal, wacana, agama menjadi tunduk pada daya rasionalitas dan menyurut
menjadi bidang pribadi, terpisah dari ilmu dan politik.
¨ Dalam pandangannya,
konsep Tuhan menyimbolkan proses yang mengikat suatu komunitas para individual yang
memperjuangkan emansipasi.
¨ Agama sebenarnya
merupakan struktur yang komunikatif, karena, tidak seperti di masa lampau, ada
demarkasi yang tegas antara alam dan budaya, atau antara bahasa dan dunia.
Niklas
Luhman
¨ Masyarakat modern
dicirikan oleh diferensiasi institusional dan identitias individual yang
pluralistik.
¨ Salah satu
bentuknya adalah privatisasi agama. Sekularisasi merupakan konsekuensi proses
diferensiasi sehingga sistem dalam masyarakat menjadi relatif, independen dari
norma, nilai dan legitimasi keagamaan.
Bertahannya
Agama
¨ Privatisasi agama
mengimplikasikan bahwa keputusan-keputusan individu tentang agama menjadi
terprivatisasi sebagaimana juga representasi-representasi sistem keagamaan.
¨ Walau demikian
agama tetap memiliki fungsi. Di antaranya adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan sistem lainnya, di luar itu agama juga mengurangi ketidakamanan.
Erving
Goffman
¨ Kendati tidak
membahas agama secara khusus, ada beberapa konsep yang dapat dipakai untuk
menganalisis.
¨ Ritual meningkatkan
sentimen bersama, dengan demikian menguatkan perasaan komunitas dalam diri para
pelakunya.
¨ Dalam situasi
institusi total ketika para anggotanya mengalami mortifikasi (penanggalan
identitas lama), melakukan berbagai ritual penandaan dan penyeragaman, mereka
tetap memiliki kebebasan bertindak dan tetap memiliki identitas subyektif.
Berger
dan Luckmann
Tiga konsep kunci:
¨ Internalisasi: masyarakat
menanamkan nilai dan norma oleh masyarakat kepada individu;
¨ Ekternalisasi: individu-individu
mewujudkan dirinya ke dunia;
¨ Obyektivasi: berbagai
tindakan individu itu kemudian mengeras menjadi benda obyektif (fakta sosial).
Dialektika
Realitas
¨ Dalam pemahaman
ini, kedua sosiolog itu dianggap dapat menjembatani antara dunia obyektif dan
subyektif yang selama ini cenderung
berseberangan.
¨ Pada satu waktu,
masyarakat menciptakan individu, di waktu lain justru individu yang menciptakan
masyarakat.
¨ Dalam semangat yang
sama, kita dapat melihat hubungan dialektika antara masyarakat dan agama.
Diferensiasi
dan Erosi Agama
¨ Bagi mereka, agama
adalah semesta simbolik. Manusia berusaha hidup dalam situasi nomos
(keteraturan, kebermaknaan), menghindarkan anomie
(kekacauan, ketiadaan hukum). Dalam konteks ini, agama memberikan legitimasi bagi
keteraturan institusi.
¨ Masyarakat modern
cenderung mengalami diferensiasi, sebagai akibarnya institusi-institusi kemasyarakatan
menjadi terpisah dari agama.
¨ Pada gilirannya ini
mengakibatkan kehilangan struktur kemasukakalan (plausible structure), mengalami
pluralisasi dunia, didorong dari ranah publik ke privat.
Agama
Kasat Mata
¨ Walau berpandangan
sama dengan Berger yang melihat bahwa masyarakat modern mengalami diferensiasi
dalam struktur sosialnya, namun Luckmann beranggapan hal itu tidak berarti
muncul situasi kekosongan dalam masyarakat.
¨ Bagi Luckmann
segala sesuatu di dunia ini bersifat keagamaan. Ketika institusi agama
mengalami pelemahan dan mengarah pada situasi anomie, masih ada fenomena lain yang dapat memberikan nomos. Misalnya, pertandingan sepak bola dan konser musik rock.
Pierre
Bourdieu
ž Dalam konsepsinya,
manusia merupakan agen-agen yang berusaha untuk mengejar kepentingan hidupnya
masing-masing dalam berbagai cara.
ž Manifestasi
perjuangan hidup agen-agen tersebut dapat dilihat melalui beberapa konsepsi
kunci berikut: Habitus, Modal, Ranah dan Praktik.
Habitus,
Modal, Ranah, dan Praktik
ž Habitus merujuk
kepada pengetahuan, aspek masyarakat
dalam diri individu, kebiasaan.
ž Modal merujuk kepada segala sesuatu yang dapat
digunakan, baik ekonomi, sosial, kultural mau pun simbolik, untuk mencapai
tujuan hidup.
ž Ranah merujuk
kepada konteks atau lokasi, tempat agen berada dan melakukan perjuangan hidup.
ž Praktik, merujuk kepada berbagai tindakan yang dilakukan
agen dalam masyarakat.
ž Rumus: Praktik = (Habitus x Modal) + Ranah
Aplikasi
dalam Bidang Keagamaan
ž Dalam upaya untuk
memperoleh tujuan hidupnya, pemuka agama menjalankan berbagai praktik yang menguntungkan bagi dirinya sendiri dengan
memanfaatkan pengetahuan dan modal dalam ranah yang dipilihnya.
ž Kasus ini misalnya
dapat dilihat pada perilaku pemuka agama yang dalam berbagai kesempatan
senantiasa berdakwah tentang pentingnya hidup dalam nuansa keagamaan. Dengan memanfaatkan jaringan pertemanan dan
bahasa, ia berusaha mendekati sejumlah
orang dalam ranah-ranah tertentu dengan cara yang berbeda sesuai dengan
karakteristik orang-orang yang menempatinya.
ž Hasilnya adalah
umat gagal mengenali apa yang dianggap merupakan kebenaran, dengan cara ini
pemuka agama memperoleh kekuasaan dan menjalankan apa yang disebutnya sebagai
kekerasan simbolik.
Hakikat
Agama
ž Bagi Bourdeu, agama terutama bertalian dengan pemapanan,
legitimasi, dan reproduksi tentang
ketimpangan sosial dan seluruh ketidakadilan yang dijalankan oleh pelaksananya.
Tradisi
dan Institusi Keagamaan
ž Tradisi-tradisi
keagamaan sebagai pusat-pusat keagamaan yang menyosialisasikan individu dalam
cara sedemikian sehingga menghasilkan kebiasaan berpikir dan sikap yang
menguatkan atau menambah otoritas, privelese atau modal institusi keagamaan itu
sendiri.
ž Penganut agama
gagal memahami keteraturan sosial yang
mereka anggap sebagai alami ketimbang diciptakan; sebagai akibatnya “status
quo” dilegitimasi dan dipertahankan.
ž Singkatnya,
Bourdieu membayangkan institusi keagamaan sebagai mesin bagi distribusi suatu
ideologi yang mempertahankan relasi kekuasaan yang tidak asimetris dalam
masyarakat.
Tentang
Tuhan
ž “Tuhan tidak pernah
lebih dari sekadar masyarakat. Apa yang
diharapkan dari Tuhan dapat diperoleh dari masyarakat, yang memiliki kekuasaan
untuk menjustifikasi dirimu, membebaskanmu dari
kebenaran, kontingensi, dan absurditas.”
Michel
Foucault
ž Agama merupakan bagian kebudayaan paling penting
yang melibatkan tradisi-tradisi keagamaan yang berbeda.
ž Agama dikerangkakan
dan diposisikan dalam dan melalui proses kekuasaan atau pengetahuan manusia.
Agama memang biasanya bertalian dengan perwujudan kepercayaan.
Agama
sebagai Seks dan Kekuasaan
ž Agama sesungguhnya
selalu bertalian dengan seksualitas dan tubuh manusia karena perbincangan praktik-praktik keagamaan dan
kepercayaan memusat di sekitar tubuh dan
selalu memberi perhatian kepada bagaimana orang melakukan sesuatu kepada tubuh
mereka.
ž Agama merupakan
manifestasi kekuasaan, suatu sistem kekuasaan yang mengatur kehidupan melalui
seperangkat relasi kekuatan.
Anthony
Giddens
ž Masyarakat bergerak
dari yang bersifat tradisional menuju modern. Dalam masyarakat tradisional,
tradisi dan agama cenderung bertalian erat dalam memberikan kepercayaan dan
(pengurangan) risiko.
ž Sedangkan dalam
masyarakat modern yang bertumpu pada pengetahuan yang bertumpu pada logika dan
pengamatan empiris telah membuat keduanya berjauhan dan tidak lagi mampu dalam
memberikan kepercayaan dan (pengurangan) risiko.
ž Karena itulah, dalam
masyarakat yang sangat modern muncul masalah-masalah moral baru, yang pada gilirannya menyumbang pada kebangkitan
kembali agama.
Zygmunt
Bauman
ž Agama merujuk pada
pemahaman manusia tentang diri mereka sendiri sebagai makhluk yang tidak sempurna dan tergantung pada
intervensi dan pertolongan ilahiah.
ž Di masa lalu,
pemimpin agama cenderung menghasilkan konsumen-konsumen keagamaan. Mereka yang
menetapkan topik-topik keagamaan secara sepihak dari atas ke bawah.
ž Hal ini tidak terjadi
di masyarakat pasca-modern karena mereka mengejar kebahagiaan dan kesenangan,
bukan keterbatasan & kesedihan manusia.
ž Uniknya, justru
pada masyarakat yang sama itu pula muncul
fundamentalisme keagamaan. Hal ini terjadi sejumlah konsumen yang karena
gagal mengejar tujuannya berusaha menemukan tempat bersembunyi yang aman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar