[Paper dipresentasikan pada Diskusi
Bulanan Konsorsium 2030 dengan tema “Perkembangan Daerah-Daerah pada Era
Reformasi: Menuju Konvergensi atau Divergensi?” Juni 2009]
Di penghujung rezim
Orde Baru dan di awal “Orde Reformasi” banyak pihak yang merasa khawatir bahwa
Indonesia berada dalam situasi ancaman perpecahan serius. Sejumlah kelompok
mengalami pertikaian berdarah yang masif atas nama etnisitas dan agama seperti dialami
di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Poso (Sulawesi Tengah), dan Maluku.
Dalam suasana
lepasnya satu provinsi menjadi negara independen, orang-orang, terutama di Pusat,
mengkhawatirkan perlawanan bersenjata yang berkepanjangan di Aceh dan Papua
juga akan berakhir sama seperti Timor Timur. Dalam benak kebanyakan orang,
Indonesia saat itu seakan sedang mengalami krisis “bangsa-negara.” Secara
horisontal, bangsa terancam pecah; dan secara vertikal, bangsa tidak lagi
mengakui supremasi negara yang mewakilinya.
Paper singkat
ini akan menunjukkan bahwa semua ancaman disintegratif itu muncul sebagai
akibat kegagalan negara dalam mengelola etnisitas dan nasionalitas di suatu
wilayah. Para pejabatnya bukan saja tidak menyadari bahwa kelompok etnik dan bangsa
itu bukan suatu fenomena alamiah, rigid, dan statis; melainkan juga
mengembangkan kebijakan yang tidak tepat, kontradiktif, dan salah urus.
Dalam kasus
Kalimantan Barat (Kalbar), kita akan melihat bahwa tanpa kehadiran negara dan
aktor-aktor lainnya, kemungkinan tidak akan ada Dayak, China, dan Melayu; serta
tanpa kehadiran dan salah urus pihak-pihak eksternal itu, mungkin tidak ada
kekerasan di antara kelompok-kelompok etnik tersebut. Dengan kata lain, sejak
saat ini ada baiknya kita mau mengakui bahwa etnisitas dan nasionalitas
sebaiknya dipandang sebagai suatu yang dinamis dan tidak alamiah; karena itu
kita semua – negara dan masyarakat, harus memandangnya sebagai suatu proyek
yang tidak akan pernah selesai dan senantiasa harus dikelola dengan bijaksana.
Etnisisasi dan Religisisasi
Kata “Dayak” mungkin
telah ada sejak akhir abad ke-19, namun orang-orang yang dirujuk oleh istilah
itu sendiri tidak mengenalnya. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka lebih
cenderung menyebut sebagai orang “Iban, Taman, Kayan, Salako, Jelai, dan
sebagainya yang jumlahnya mencapai 400-an pada tahun 1950-an dan sekitar 200-an
pada tahun 2000-an.” Masing-masing memiliki bahasa, adat istiadat, dan teritori
sendiri, serta dari waktu ke waktu terlibat dalam pertikaian berdarah.
Faktanya, identitas
kelompok tribal memang lebih bermakna ketimbang istilah agregat yang bukan saja
tidak dikenal, melainkan juga asing, bahkan belakangan dianggap negatif dan
menghina. Orang-orang yang tinggal di wilayah yang sekarang disebut Kalbar, memiliki
istilah mereka sendiri sebagai identitas kolektif, yakni “orang Darat.”
Dibutuhkan waktu dan
upaya yang panjang dan melibatkan banyak pihak, sebelum orang-orang yang
terdiri dari ratusan kelompok itu bersedia menggunakan kata “Dayak” sebagai
identitas sosial.
Proyek Dayakisasi
pertama kemungkinan besar dimulai oleh Belanda, baik dalam kapasitas sebagai
VOC maupun pemerintah Hindia Belanda. Para pegawai secara diam-diam
meregistrasi siapa pun warga yang tinggal di pedalaman yang tidak beragama Islam,
berciri fisik kulit kuning dan mata sipit sebagai Dayak. Dalam situasi perasaan
bersalah dan upaya untuk membuat keseimbangan kekuasaan yang baru, pemerintah
kolonial Hindia Belanda pada 1894 mengumpulkan sejumlah tokoh pedalaman di
seluruh Borneo untuk mengikrarkan manifesto Kedayakan di Tumbang Anoi (sekarang
berada di Kalimantan Tengah). Untuk meredam tuntutan kemerdekaan yang marak di
Jawa, pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan Volksraad yang menempatkan
sejumlah orang yang dipandang sebagai Dayak sebagai anggotanya tahun 1938.
Setelah kembali ke
Kalbar, pemerintah NICA selanjutnya mendirikan Kantor Oeroesan Dajak pada akhir
1945. Dalam kurun waktu hampir bersamaan, pemerintah Hindia Belanda juga
memberi kebebasan dan belakangan fasilitas untuk para misionaris Kristen,
terutama Katolik, untuk memberadabkan orang-orang yang dianggap primitif itu
dengan sarana pendidikan, kesehatan, sosial, dan kekristenan. Hasilnya adalah
munculnya sejumlah orang pedalaman yang relatif terdidik. Berkat inisiatif
seorang pastor Jesuit asal Jawa, para elit baru itu kemudian mendirikan suatu
partai politik bernama Partai Daja (PD) pada 1946, yang kemudian menang secara
regional pada Pemilu tahun 1955 dan 1957.
Pemerintahan Orde
Lama awalnya mengakui eksistensi PD, merekrut sebagian anggota dan
simpatisannya menjadi milisi dalam konfrontasi dengan Malaysia, bahkan
menempatkan seorang pengurusnya menjadi gubernur pertama Kalbar. Namun,
belakangan rezim Soekarno menghapus legalitas organisasi politik kesukuan itu.
Dalam situasi
transisi, embrio rezim Orde Baru (Orba) yang mengalami tekanan internal dan
eksternal untuk membasmi PGRS/Paraku yang dianggap komunis, kemudian mencopot
jabatan gubernur dan memfasilitasi orang-orang pedalaman untuk mengusir
orang-orang berkulit kuning di pedesaan agar pindah ke perkotaan. Dalam proses
pengusiran yang berlangsung pada 1967 itu, orang-orang pedalaman yang mulai
mengenal kata “Dayak” secara masif, mengambil nyawa dan harta benda orang-orang
yang diusir itu.
Sebagaimana Dayak,
orang-orang berkulit kuning dan bermata sipit itu sebenarnya terdiri dari
puluhan kelompok yang saling bertikai, di antaranya yang mayoritas di Kalbar
adalah Khe (Hakka) dan Hoklo (Teochiu). Namun, para pejabat militer kemudian
mengintroduksikan istilah kolektif “China” kepada semua kelompok yang
sebenarnya, karena banyak kawin campur dengan warga lokal, tidak semua berkulit
kuning dan bermata sipit.
Dengan ancaman
kekerasan, militer memaksa orang-orang yang mereka sebut sebagai Dayak untuk
mengganti kata “sobat” yang biasa mereka pakai, juga memaksa yang bersangkutan
yang biasa memakai identitas dialek, dengan suatu istilah yang belakangan
dianggap berkonotasi menghina: China identik dengan komunis, tidak beragama,
dan pemberontak.
Militer yang
kemudian mewujud dalam pemerintahan Orba bukan hanya melakukan proyek
etnisisasi, melainkan juga religisisasi. Dalam upaya untuk memastikan tidak
berkembangnya komunis, mereka – baik dalam kapasitas sebagai pejabat militer
maupun sipil, mendorong orang-orang yang mereka anggap tidak beragama itu,
untuk memeluk agama resmi pemerintah. Demikianlah, Dayak didorong untuk
meninggalkan agama animisme, beralih menjadi, terutama, Kristen; sedangkan
China meninggalkan Konghucu, beralih menjadi Buddha.
Keberhasilan “Dayak”
memberantas PGRS/Paraku yang dianggap dimotori oleh China komunis, tidak
memperoleh penghargaan yang memadai. Pemerintah rezim Soeharto, kendati memberi
gelar militer tituler dan mengesahkan pemilikan harta rampasan milik China,
namun tidak memberi kesempatan pada orang-orang pedalaman yang berjasa itu
dengan kedudukan politik dan birokrasi yang memadai. Sesuai dengan kredonya,
rezim Orba lebih menghargai peran birokrat dan teknokrat yang profesional,
sehingga sengaja atau tidak, mereka lebih memberi kesempatan pada orang-orang
lokal muslim yang kebanyakan tinggal di pesisir dan/atau perkotaan yang selama
ini memang relatif mudah untuk menikmati berbagai fasilitas publik esensial
seperti pendidikan.
Para warga lokal
yang disebut terakhir itu juga tidak memiliki identitas kolektif. Bila ditanya,
mereka umumnya merujuk pada orang-orang yang berasal dari lokasi nama
kesultanan yang kemudian berubah menjadi nama daerah administratif seperti,
misalnya, Sambas, Mempawah, Sanggau, dan sebagainya. Tidak seperti kedua
rekannya, istilah Melayu memang dikenal, namun tidak terkenal; dan yang paling
penting lagi, tidak dipakai sebagai identitas agregat dalam kehidupan
sehari-hari.
Pemerintah Orba
mungkin dikenal sebagai rezim yang anti SARA, namun dalam upaya untuk
kepentingan koptasi politik dan pariwisata, para pejabatnya membiarkan bahkan
dalam beberapa kasus mendorong orang-orang pedalaman untuk mendirikan Dewan
Adat Dayak (DAD) dan mendirikan rumah adat Dayak (Rumah Betang),
menyelenggarakan pesta tradisional secara terpusat seperti Gawai Dayak dan Naik
Dango. Mereka juga mengizinkan berdirinya konsorsium LSM Pancur Kasih pada
akhir 1980-an, yang salah satunya bernama Institut Dayakologi yang aktif bukan
sekadar mensosialisasikan kata “Dayak” kepada warga pedalaman, melainkan juga
membangkitkan kesadaran kolektif kritis yang pada gilirannya menempatkan pihak
lain sebagai musuh bersama. Belakangan, pemerintah Orba juga mengizinkan
sejumlah birokrat dan politisi lokal untuk mendirikan Majelis Adat Dayak (MAD)
pada 1994.
Hal yang sama juga
dilakukan pemerintah Orba dalam bidang agama Islam. Bila pada masa Hindia
Belanda hingga Orde Lama lebih menyerahkan penyebaran agama kepada masyarakat,
maka pada Orba pemerintah turun langsung secara aktif melakukan Islamisasi.
Dalam upaya menyukseskan MTQ di Pontianak pada 1985, pemerintah memberi
berbagai bantuan yang sangat besar, bukan hanya untuk kegiatan seremonial
politik itu sendiri, melainkan juga berbagai fasilitas lain yang pada
gilirannya berperan menarik orang-orang pedalaman untuk memeluk agama baru, dan
mendorong “kefanatikan” muslim pesisir.
Pemerintah bukan
saja membangun masjid, madrasah, dan STAIN, melainkan juga mendatangkan ustaz
dan ahli agama dari Jawa untuk menanamkan ajaran Islam kepada warga lokal.
Sebagaimana pemerintah Hindia Belanda yang semula bersikap netral, Orba
kemudian lebih memihak kepada Islam, dan menjadikan Islam seakan sebagai agenda
pembangunannya. Mengingat fasilitas tersebut, bukan mengherankan bila, sebagian
warga pedalaman dan orang berkulit kuning kemudian tertarik untuk menjadi
muslim yang di sana disebut sebagai “turun atau masuk Melayu.”
Sebagian besar warga
pedalaman tidak senang dengan perkembangan ini. Sadar atau tidak, fenomena ini
memiliki kontribusi yang cukup signifikan dalam mengurangi jumlah orang-orang
yang secara sepihak disebut Dayak. Berdasarkan estimasi statistik, pada sekitar
abad ke-19 mungkin jumlah mereka ada sekitar 70%, namun pada pemerintahan NICA,
proporsinya menurun menjadi sekitar 55%, dan berkurang menjadi 41% pada akhir
1960-an, hingga hanya menjadi sekitar 35% pada sensus tahun 2000. Di saat yang
sama, sebaliknya, apa yang sekarang disebut Melayu jumlahnya meningkat hampir
secara proporsional, sehingga pada saat terakhir ini proporsinya kurang lebih
setara dengan Dayak.
Tidak seperti para
tetangganya, orang yang paling belakangan masuk ke Kalbar ini telah lama
mengenal istilah itu, dan secara sadar telah lama mengidentifikasi dan
diidentifikasi sebagai “orang Madura.” Namun, dari satu segi mereka tidak
terlalu terdorong untuk mengakui hal itu, mengingat konotasinya yang cenderung
bersifat negatif – mengingat status mereka yang dapat dikatakan berada di
lapisan paling bawah: sebagai ‘budak’ dan ‘tukang carok.’ Tetapi mobilitas
vertikal mereka dalam stratifikasi mengalami penguatan yang berarti, ketika
tahun 1967 mereka ikut membantu orang pedalaman mengusir sekaligus menguasai
harta benda orang-orang bermata sipit di pedesaan. Dengan memperoleh rumah,
kebun, dan sawah orang-orang bermata sipit itu, mereka memiliki sarana untuk
memperbaiki nasib.
Sayangnya, hal
tersebut kemudian berkembang ke arah yang negatif. Pengambilan tanah secara
ilegal yang dilegalkan oleh pemerintah itu, berkembang seakan menjadi “cara
hidup” Madura generasi selanjutnya. Dan yang tidak kalah penting, ikut sertanya
Madura dalam pengambilan tanah itu menimbulkan kemarahan di kalangan warga
pedalaman yang kemudian terpaksa hidup berdampingan dengan simbol-simbol
kekerasan individual dan Keislaman yang mengusik identitas mereka yang disebut
terakhir.
Nasionalisasi
Seperti
wilayah-wilayah lain di Nusantara, nasionalisasi yang dijalankan pemerintah di
Kalbar selama ini sangat bergantung pada sosialisasi formalistik. Para pejabat
cenderung menggunakan media resmi seperti radio, surat kabar, dan belakangan
televisi, sekolah dan lembaga pemerintahan untuk memperkenalkan Keindonesiaan –
mulai dari ideologi negara, Sumpah Pemuda, hingga P-4. Bagi suatu provinsi yang
berukuran lebih besar dari Jawa, dengan penduduk yang sedikit dan jarang serta
memiliki keterbatasan yang besar dalam komunikasi dan transportasi, bukan hal
yang mengherankan bila Keindonesiaan adalah sesuatu yang asing, abstrak, dan
kurang bermakna bagi sebagian besar warganya.
Karena keterbatasan
yang sama, warga pedalaman banyak yang tidak menyadari bahwa Belanda dan Jepang
adalah penjajah yang harus diperangi. Umumnya warga Kalbar baru mengetahui
berdirinya Indonesia setelah beberapa bulan Proklamasi dinyatakan oleh
Soekarno-Hatta di Jakarta. Hampir tidak adanya pembangunan yang signifikan
selama masa Kemerdekaan dan Orde Lama, membuat situasinya praktis tidak
berubah. Perubahan baru terjadi pada masa Orba, ketika pemerintah mulai
membangun jalan, pembangkit listrik, puskesmas, pemancar radio, televisi
nasional,dan terutama, sekolah.
Mungkin menyadari
relatif sangat besar dan heterogennya etnisitas di Kalbar, berbeda dengan
sekolah di wilayah lain terutama di Jawa, pemerintah tidak menerapkan mata
pelajaran “bahasa daerah” sebagai muatan lokal. Praktik ini tentu saja menguatkan
kebiasaan berbahasa yang berlaku selama ini: Indonesia. Kendati ada beberapa
pengaruh dialek Melayu lokal, namun umumnya orang-orang Kalbar dapat
digolongkan sebagai salah satu pengguna bahasa Indonesia terbaik di Nusantara.
Dengan berbahasa nasional, mereka bukan saja dapat menghindarkan kendala
komunikasi dan kesalahpahaman, melainkan juga dapat menekan aspek kesukuan
sekaligus mengembangkan nasionalisme. Mengingat hal tersebut, dapat dipahami
bila cukup banyak orangtua lokal yang marah ketika anak-anak mereka pulang
sekolah berbicara dengan logat dan istilah Jawa yang diperoleh dari guru mereka
yang kebanyakan berasal dari Jawa.
Kalbar adalah
wilayah pertama yang menjalankan program pengadaan kayu nasional, karena itu
juga menjadi wilayah yang paling awal mengalami kerusakan hutan yang parah. Penduduk
lokal memang merasa berterima kasih dan mulai memperoleh nilai-nilai
Keindonesiaan, namun karena melihat hancurnya lingkungan sekitar serta ekonomi
mereka yang selama ini tergantung pada komoditas internasional tunggal pada
satu pihak; serta di pihak lain relatif makmurnya para pendatang dan kesempatan
yang sangat besar untuk mengembangkan etnisitas, telah membuat banyak warga
lokal mengalami alienasi dan frustasi yang hebat. Kehadiran warga negara tetangga
di perbatasan – Malaysia dan Brunei yang lebih makmur, semakin memudarkan rasa
kebangsaan yang baru saja mereka peroleh.
Di sinilah terletak
ironinya. Kendati terlambat, orang-orang Kalbar mungkin lebih mengenal kata
Indonesia ketimbang Dayak, China, dan Melayu. Namun, belakangan setelah terjadi
kekerasan kolektif, menjadi ketiga kelompok etnik yang disebut terakhir itu
mungkin lebih membanggakan dan banyak memperoleh manfaat ketimbang menjadi
orang Indonesia.
Proyek Kekerasan
Hingga akhir 1980-an,
fenomena etnisitas sebenarnya belum menampakkan diri. Situasinya baru berubah
secara dramatis pada 1991, ketika ribuan orang Madura turun ke jalan, menyerang
polisi dan menghancurkan simbol-simbolnya sebagai reaksi atas pembunuhan yang
dilakukan oleh beberapa anggota polisi terhadap seorang lelaki di sebuah Polsek
di Pontianak.
Tidak ada polisi
yang terbunuh dalam insiden itu. Uniknya, sejak saat itu semua pihak menganggap
Madura telah mengalahkan polisi. Sejak saat itu pula, praktis tidak ada aparat
keamanan yang dapat mengendalikan perilaku orang-orang Madura. Orang-orang
sederhana yang umumnya tidak berpendidikan itu kemudian dengan bangga, ditanya
atau tidak, akan mengaku dan diaku sebagai orang Madura. Orang-orang yang
berasal dari kelompok lain, ikut juga mengaku sebagai Madura, membawa atribut
Kemaduraan (pakaian dan clurit), bahkan berbahasa Madura. Dengan mengaku
Madura, orang akan segan dan takut; dengan demikian para pelakunya mudah
mencapai tujuan, baik dalam bidang kehidupan normal maupun premanisme atau
kejahatan.
Awalnya tidak ada
orang yang berani menantang situasi itu. Namun, situasinya menjadi lain ketika
sejumlah orang pedalaman di Ngabang melakukan hal yang sama kepada tentara pada
1996, yang memberi perasaan sama kepada para pelakunya. Dan benar-benar berubah
ketika mereka kemudian menilai orang Madura melakukan ancaman kekerasan secara
kolektif kepada anggota mereka.
Pada awal 1997,
orang-orang pedalaman seakan bersatu padu mengusir dan membunuh orang-orang
Madura secara masif diwilayah yang sekarang disebut Bengkayang, Landak,
Sanggau, dan Kabupaten Pontianak. Cukup banyak orang yang percaya bahwa polisi
dan tentara dengan sengaja membiarkan semua ini terjadi, sebelum mereka
akhirnya menghentikan pertumpahan darah yang merenggut ribuan nyawa itu.
Sejak saat itu pula,
mengikuti Madura, orang-orang – baik memang Dayak maupun bukan, dengan bangga
ingin mengaku dan diaku sebagai Dayak dengan kepentingan masing-masing. Atribut
Kedayakan seperti tato, ikat kepala merah, pakaian bermotif, mandau, dan bahasa
tampil dominan di publik, menggantikan simbol Kemaduraan.
Hal yang sama
kemudian terjadi pada 1999 di Sambas. Merasa mendapat ancaman kolektif dari
Madura, orang-orang penting kemudian berkumpul di Singkawang dan mendirikan
organisasi yang menggunakan istilah Melayu untuk pertama kali. Forum Komunikasi
Pemuda Melayu (FKPM) selanjutnya secara terorganisasi mengusir dan menyerang
Madura di seluruh wilayah Sambas.
Setelah merasa
mengalahkan Madura di sana dengan pengendalian minimal polisi, baik para pelaku
maupun bukan pelaku yang berada di seluruh provinsi, dengan bangga mengaku-aku
sebagai orang Melayu dengan membawa simbol Kemelayuan seperti warna kuning,
pakaian adat, dan sebagainya. Belakangan mereka mendirikan Pusat Kajian Budaya
Melayu dan Majelis Adat Budaya Melayu (MABM), lengkap dengan rumah adatnya.
Situasi itu dengan
cepat kemudian menempatkan Dayak dan Melayu berada pada posisi diametral.
Masing-masing berupaya menyeret China (yang telah mendirikan Majelis Budaya
Adat Tionghoa/MBAT) dan Madura (yang telah memiliki Ikatan Keluarga Besar
Madura/IKBM) untuk bergabung membuat aliansi kesukuan dalam suatu fenomena yang
biasa disebut bipolarisasi.
Beberapa kekerasan
kolektif sempat pecah dan nyaris menggiring kedua kelompok yang baru saja
memperoleh identitas agregat itu terlibat dalam kekerasan kolektif baru. Isu
etnik yang sekarang diberi muatan religi dan nasionalisme itu kemudian
dicuatkan dengan modus yang mengingatkan pada kasus Ambon.
Mereka saling
mengklaim statusnya sebagai penduduk asli dan mayoritas, karena itu memiliki
privilese dalam bidang ekonomi dan terutama politik. Khusus dalam bidang terakhir
ini, mereka menuntut agar jabatan kepala daerah, baik pada tingkat I dan II,
diserahkan eksklusif hanya untuk golongan mereka.
Dalam situasi yang
sangat panas itu, menariknya adalah masyarakat sendiri bukan negara, yang
kemudian mengembangkan berbagai upaya kompromi untuk mencegah terjadinya
kekerasan kolektif, yang bila terjadi dapat melebihi skala dahsyat yang dialami
oleh gabungan dua kekerasan kolektif sebelumnya.
Mereka awalnya
mengembangkan kompromi politik menurut etnisitas, namun belakangan ketika pada
saat yang sama orang-orang di Pusat cenderung mengabaikan, orang-orang di
Kalbar justru mulai menyebut kembali pentingnya Bhinneka Tunggal Ika,
Pancasila, Wawasan Kebangsaan, dan NKRI. Mungkin karena itu pula, pemilihan
gubernur Kalbar tahun 2007 yang awalnya diprediksi rusuh, justru berjalan
sangat damai dengan menempatkan seorang Dayak sebagai gubernur dan China
sebagai wakilnya.
Kesimpulan
Integrasi
(konvergensi) atau disintegrasi (divergensi) adalah bukan sesuatu yang alamiah,
terjadi dengan sendirinya. Sebaliknya, merupakan suatu hasil, suatu upaya yang
dilakukan, sengaja atau tidak, oleh semua pihak yang hidup dalam suatu teritori
tertentu.
Guna menghindari
situasi disintegrasi, kita tentu saja dituntut untuk mengembangkan suatu master plan, cetak biru bagi proyek
etnisisasi, nasionalisasi, dan juga religisisasi yang komprehensif, sinergis,
berperikemanusiaan dan adil bagi semua pihak yang ada di Indonesia. Dan semua
itu adalah satu proyek yang mungkin tidak akan pernah selesai.