Kamis, 24 November 2016

Belajar dari Daerah: Etnisisasi dan Nasionalisasi Sebagai Proyek di Kalimantan Barat



[Paper dipresentasikan pada Diskusi Bulanan Konsorsium 2030 dengan tema “Perkembangan Daerah-Daerah pada Era Reformasi: Menuju Konvergensi atau Divergensi?” Juni 2009]


Di penghujung rezim Orde Baru dan di awal “Orde Reformasi” banyak pihak yang merasa khawatir bahwa Indonesia berada dalam situasi ancaman perpecahan serius. Sejumlah kelompok mengalami pertikaian berdarah yang masif atas nama etnisitas dan agama seperti dialami di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Poso (Sulawesi Tengah), dan Maluku.

Dalam suasana lepasnya satu provinsi menjadi negara independen, orang-orang, terutama di Pusat, mengkhawatirkan perlawanan bersenjata yang berkepanjangan di Aceh dan Papua juga akan berakhir sama seperti Timor Timur. Dalam benak kebanyakan orang, Indonesia saat itu seakan sedang mengalami krisis “bangsa-negara.” Secara horisontal, bangsa terancam pecah; dan secara vertikal, bangsa tidak lagi mengakui supremasi negara yang mewakilinya.

Paper singkat ini akan menunjukkan bahwa semua ancaman disintegratif itu muncul sebagai akibat kegagalan negara dalam mengelola etnisitas dan nasionalitas di suatu wilayah. Para pejabatnya bukan saja tidak menyadari bahwa kelompok etnik dan bangsa itu bukan suatu fenomena alamiah, rigid, dan statis; melainkan juga mengembangkan kebijakan yang tidak tepat, kontradiktif, dan salah urus.

Dalam kasus Kalimantan Barat (Kalbar), kita akan melihat bahwa tanpa kehadiran negara dan aktor-aktor lainnya, kemungkinan tidak akan ada Dayak, China, dan Melayu; serta tanpa kehadiran dan salah urus pihak-pihak eksternal itu, mungkin tidak ada kekerasan di antara kelompok-kelompok etnik tersebut. Dengan kata lain, sejak saat ini ada baiknya kita mau mengakui bahwa etnisitas dan nasionalitas sebaiknya dipandang sebagai suatu yang dinamis dan tidak alamiah; karena itu kita semua – negara dan masyarakat, harus memandangnya sebagai suatu proyek yang tidak akan pernah selesai dan senantiasa harus dikelola dengan bijaksana.


Etnisisasi dan Religisisasi

Kata “Dayak” mungkin telah ada sejak akhir abad ke-19, namun orang-orang yang dirujuk oleh istilah itu sendiri tidak mengenalnya. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka lebih cenderung menyebut sebagai orang “Iban, Taman, Kayan, Salako, Jelai, dan sebagainya yang jumlahnya mencapai 400-an pada tahun 1950-an dan sekitar 200-an pada tahun 2000-an.” Masing-masing memiliki bahasa, adat istiadat, dan teritori sendiri, serta dari waktu ke waktu terlibat dalam pertikaian berdarah.

Faktanya, identitas kelompok tribal memang lebih bermakna ketimbang istilah agregat yang bukan saja tidak dikenal, melainkan juga asing, bahkan belakangan dianggap negatif dan menghina. Orang-orang yang tinggal di wilayah yang sekarang disebut Kalbar, memiliki istilah mereka sendiri sebagai identitas kolektif, yakni “orang Darat.”

Dibutuhkan waktu dan upaya yang panjang dan melibatkan banyak pihak, sebelum orang-orang yang terdiri dari ratusan kelompok itu bersedia menggunakan kata “Dayak” sebagai identitas sosial.

Proyek Dayakisasi pertama kemungkinan besar dimulai oleh Belanda, baik dalam kapasitas sebagai VOC maupun pemerintah Hindia Belanda. Para pegawai secara diam-diam meregistrasi siapa pun warga yang tinggal di pedalaman yang tidak beragama Islam, berciri fisik kulit kuning dan mata sipit sebagai Dayak. Dalam situasi perasaan bersalah dan upaya untuk membuat keseimbangan kekuasaan yang baru, pemerintah kolonial Hindia Belanda pada 1894 mengumpulkan sejumlah tokoh pedalaman di seluruh Borneo untuk mengikrarkan manifesto Kedayakan di Tumbang Anoi (sekarang berada di Kalimantan Tengah). Untuk meredam tuntutan kemerdekaan yang marak di Jawa, pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan Volksraad yang menempatkan sejumlah orang yang dipandang sebagai Dayak sebagai anggotanya tahun 1938. 

Setelah kembali ke Kalbar, pemerintah NICA selanjutnya mendirikan Kantor Oeroesan Dajak pada akhir 1945. Dalam kurun waktu hampir bersamaan, pemerintah Hindia Belanda juga memberi kebebasan dan belakangan fasilitas untuk para misionaris Kristen, terutama Katolik, untuk memberadabkan orang-orang yang dianggap primitif itu dengan sarana pendidikan, kesehatan, sosial, dan kekristenan. Hasilnya adalah munculnya sejumlah orang pedalaman yang relatif terdidik. Berkat inisiatif seorang pastor Jesuit asal Jawa, para elit baru itu kemudian mendirikan suatu partai politik bernama Partai Daja (PD) pada 1946, yang kemudian menang secara regional pada Pemilu tahun 1955 dan 1957.

Pemerintahan Orde Lama awalnya mengakui eksistensi PD, merekrut sebagian anggota dan simpatisannya menjadi milisi dalam konfrontasi dengan Malaysia, bahkan menempatkan seorang pengurusnya menjadi gubernur pertama Kalbar. Namun, belakangan rezim Soekarno menghapus legalitas organisasi politik kesukuan itu.

Dalam situasi transisi, embrio rezim Orde Baru (Orba) yang mengalami tekanan internal dan eksternal untuk membasmi PGRS/Paraku yang dianggap komunis, kemudian mencopot jabatan gubernur dan memfasilitasi orang-orang pedalaman untuk mengusir orang-orang berkulit kuning di pedesaan agar pindah ke perkotaan. Dalam proses pengusiran yang berlangsung pada 1967 itu, orang-orang pedalaman yang mulai mengenal kata “Dayak” secara masif, mengambil nyawa dan harta benda orang-orang yang diusir itu.

Sebagaimana Dayak, orang-orang berkulit kuning dan bermata sipit itu sebenarnya terdiri dari puluhan kelompok yang saling bertikai, di antaranya yang mayoritas di Kalbar adalah Khe (Hakka) dan Hoklo (Teochiu). Namun, para pejabat militer kemudian mengintroduksikan istilah kolektif “China” kepada semua kelompok yang sebenarnya, karena banyak kawin campur dengan warga lokal, tidak semua berkulit kuning dan bermata sipit.

Dengan ancaman kekerasan, militer memaksa orang-orang yang mereka sebut sebagai Dayak untuk mengganti kata “sobat” yang biasa mereka pakai, juga memaksa yang bersangkutan yang biasa memakai identitas dialek, dengan suatu istilah yang belakangan dianggap berkonotasi menghina: China identik dengan komunis, tidak beragama, dan pemberontak.

Militer yang kemudian mewujud dalam pemerintahan Orba bukan hanya melakukan proyek etnisisasi, melainkan juga religisisasi. Dalam upaya untuk memastikan tidak berkembangnya komunis, mereka – baik dalam kapasitas sebagai pejabat militer maupun sipil, mendorong orang-orang yang mereka anggap tidak beragama itu, untuk memeluk agama resmi pemerintah. Demikianlah, Dayak didorong untuk meninggalkan agama animisme, beralih menjadi, terutama, Kristen; sedangkan China meninggalkan Konghucu, beralih menjadi Buddha.

Keberhasilan “Dayak” memberantas PGRS/Paraku yang dianggap dimotori oleh China komunis, tidak memperoleh penghargaan yang memadai. Pemerintah rezim Soeharto, kendati memberi gelar militer tituler dan mengesahkan pemilikan harta rampasan milik China, namun tidak memberi kesempatan pada orang-orang pedalaman yang berjasa itu dengan kedudukan politik dan birokrasi yang memadai. Sesuai dengan kredonya, rezim Orba lebih menghargai peran birokrat dan teknokrat yang profesional, sehingga sengaja atau tidak, mereka lebih memberi kesempatan pada orang-orang lokal muslim yang kebanyakan tinggal di pesisir dan/atau perkotaan yang selama ini memang relatif mudah untuk menikmati berbagai fasilitas publik esensial seperti pendidikan.

Para warga lokal yang disebut terakhir itu juga tidak memiliki identitas kolektif. Bila ditanya, mereka umumnya merujuk pada orang-orang yang berasal dari lokasi nama kesultanan yang kemudian berubah menjadi nama daerah administratif seperti, misalnya, Sambas, Mempawah, Sanggau, dan sebagainya. Tidak seperti kedua rekannya, istilah Melayu memang dikenal, namun tidak terkenal; dan yang paling penting lagi, tidak dipakai sebagai identitas agregat dalam kehidupan sehari-hari.

Pemerintah Orba mungkin dikenal sebagai rezim yang anti SARA, namun dalam upaya untuk kepentingan koptasi politik dan pariwisata, para pejabatnya membiarkan bahkan dalam beberapa kasus mendorong orang-orang pedalaman untuk mendirikan Dewan Adat Dayak (DAD) dan mendirikan rumah adat Dayak (Rumah Betang), menyelenggarakan pesta tradisional secara terpusat seperti Gawai Dayak dan Naik Dango. Mereka juga mengizinkan berdirinya konsorsium LSM Pancur Kasih pada akhir 1980-an, yang salah satunya bernama Institut Dayakologi yang aktif bukan sekadar mensosialisasikan kata “Dayak” kepada warga pedalaman, melainkan juga membangkitkan kesadaran kolektif kritis yang pada gilirannya menempatkan pihak lain sebagai musuh bersama. Belakangan, pemerintah Orba juga mengizinkan sejumlah birokrat dan politisi lokal untuk mendirikan Majelis Adat Dayak (MAD) pada 1994.

Hal yang sama juga dilakukan pemerintah Orba dalam bidang agama Islam. Bila pada masa Hindia Belanda hingga Orde Lama lebih menyerahkan penyebaran agama kepada masyarakat, maka pada Orba pemerintah turun langsung secara aktif melakukan Islamisasi. Dalam upaya menyukseskan MTQ di Pontianak pada 1985, pemerintah memberi berbagai bantuan yang sangat besar, bukan hanya untuk kegiatan seremonial politik itu sendiri, melainkan juga berbagai fasilitas lain yang pada gilirannya berperan menarik orang-orang pedalaman untuk memeluk agama baru, dan mendorong “kefanatikan” muslim pesisir.

Pemerintah bukan saja membangun masjid, madrasah, dan STAIN, melainkan juga mendatangkan ustaz dan ahli agama dari Jawa untuk menanamkan ajaran Islam kepada warga lokal. Sebagaimana pemerintah Hindia Belanda yang semula bersikap netral, Orba kemudian lebih memihak kepada Islam, dan menjadikan Islam seakan sebagai agenda pembangunannya. Mengingat fasilitas tersebut, bukan mengherankan bila, sebagian warga pedalaman dan orang berkulit kuning kemudian tertarik untuk menjadi muslim yang di sana disebut sebagai “turun atau masuk Melayu.”

Sebagian besar warga pedalaman tidak senang dengan perkembangan ini. Sadar atau tidak, fenomena ini memiliki kontribusi yang cukup signifikan dalam mengurangi jumlah orang-orang yang secara sepihak disebut Dayak. Berdasarkan estimasi statistik, pada sekitar abad ke-19 mungkin jumlah mereka ada sekitar 70%, namun pada pemerintahan NICA, proporsinya menurun menjadi sekitar 55%, dan berkurang menjadi 41% pada akhir 1960-an, hingga hanya menjadi sekitar 35% pada sensus tahun 2000. Di saat yang sama, sebaliknya, apa yang sekarang disebut Melayu jumlahnya meningkat hampir secara proporsional, sehingga pada saat terakhir ini proporsinya kurang lebih setara dengan Dayak.

Tidak seperti para tetangganya, orang yang paling belakangan masuk ke Kalbar ini telah lama mengenal istilah itu, dan secara sadar telah lama mengidentifikasi dan diidentifikasi sebagai “orang Madura.” Namun, dari satu segi mereka tidak terlalu terdorong untuk mengakui hal itu, mengingat konotasinya yang cenderung bersifat negatif – mengingat status mereka yang dapat dikatakan berada di lapisan paling bawah: sebagai ‘budak’ dan ‘tukang carok.’ Tetapi mobilitas vertikal mereka dalam stratifikasi mengalami penguatan yang berarti, ketika tahun 1967 mereka ikut membantu orang pedalaman mengusir sekaligus menguasai harta benda orang-orang bermata sipit di pedesaan. Dengan memperoleh rumah, kebun, dan sawah orang-orang bermata sipit itu, mereka memiliki sarana untuk memperbaiki nasib.

Sayangnya, hal tersebut kemudian berkembang ke arah yang negatif. Pengambilan tanah secara ilegal yang dilegalkan oleh pemerintah itu, berkembang seakan menjadi “cara hidup” Madura generasi selanjutnya. Dan yang tidak kalah penting, ikut sertanya Madura dalam pengambilan tanah itu menimbulkan kemarahan di kalangan warga pedalaman yang kemudian terpaksa hidup berdampingan dengan simbol-simbol kekerasan individual dan Keislaman yang mengusik identitas mereka yang disebut terakhir.


Nasionalisasi

Seperti wilayah-wilayah lain di Nusantara, nasionalisasi yang dijalankan pemerintah di Kalbar selama ini sangat bergantung pada sosialisasi formalistik. Para pejabat cenderung menggunakan media resmi seperti radio, surat kabar, dan belakangan televisi, sekolah dan lembaga pemerintahan untuk memperkenalkan Keindonesiaan – mulai dari ideologi negara, Sumpah Pemuda, hingga P-4. Bagi suatu provinsi yang berukuran lebih besar dari Jawa, dengan penduduk yang sedikit dan jarang serta memiliki keterbatasan yang besar dalam komunikasi dan transportasi, bukan hal yang mengherankan bila Keindonesiaan adalah sesuatu yang asing, abstrak, dan kurang bermakna bagi sebagian besar warganya.

Karena keterbatasan yang sama, warga pedalaman banyak yang tidak menyadari bahwa Belanda dan Jepang adalah penjajah yang harus diperangi. Umumnya warga Kalbar baru mengetahui berdirinya Indonesia setelah beberapa bulan Proklamasi dinyatakan oleh Soekarno-Hatta di Jakarta. Hampir tidak adanya pembangunan yang signifikan selama masa Kemerdekaan dan Orde Lama, membuat situasinya praktis tidak berubah. Perubahan baru terjadi pada masa Orba, ketika pemerintah mulai membangun jalan, pembangkit listrik, puskesmas, pemancar radio, televisi nasional,dan terutama, sekolah.

Mungkin menyadari relatif sangat besar dan heterogennya etnisitas di Kalbar, berbeda dengan sekolah di wilayah lain terutama di Jawa, pemerintah tidak menerapkan mata pelajaran “bahasa daerah” sebagai muatan lokal. Praktik ini tentu saja menguatkan kebiasaan berbahasa yang berlaku selama ini: Indonesia. Kendati ada beberapa pengaruh dialek Melayu lokal, namun umumnya orang-orang Kalbar dapat digolongkan sebagai salah satu pengguna bahasa Indonesia terbaik di Nusantara. Dengan berbahasa nasional, mereka bukan saja dapat menghindarkan kendala komunikasi dan kesalahpahaman, melainkan juga dapat menekan aspek kesukuan sekaligus mengembangkan nasionalisme. Mengingat hal tersebut, dapat dipahami bila cukup banyak orangtua lokal yang marah ketika anak-anak mereka pulang sekolah berbicara dengan logat dan istilah Jawa yang diperoleh dari guru mereka yang kebanyakan berasal dari Jawa.

Kalbar adalah wilayah pertama yang menjalankan program pengadaan kayu nasional, karena itu juga menjadi wilayah yang paling awal mengalami kerusakan hutan yang parah. Penduduk lokal memang merasa berterima kasih dan mulai memperoleh nilai-nilai Keindonesiaan, namun karena melihat hancurnya lingkungan sekitar serta ekonomi mereka yang selama ini tergantung pada komoditas internasional tunggal pada satu pihak; serta di pihak lain relatif makmurnya para pendatang dan kesempatan yang sangat besar untuk mengembangkan etnisitas, telah membuat banyak warga lokal mengalami alienasi dan frustasi yang hebat. Kehadiran warga negara tetangga di perbatasan – Malaysia dan Brunei yang lebih makmur, semakin memudarkan rasa kebangsaan yang baru saja mereka peroleh.

Di sinilah terletak ironinya. Kendati terlambat, orang-orang Kalbar mungkin lebih mengenal kata Indonesia ketimbang Dayak, China, dan Melayu. Namun, belakangan setelah terjadi kekerasan kolektif, menjadi ketiga kelompok etnik yang disebut terakhir itu mungkin lebih membanggakan dan banyak memperoleh manfaat ketimbang menjadi orang Indonesia.


Proyek Kekerasan

Hingga akhir 1980-an, fenomena etnisitas sebenarnya belum menampakkan diri. Situasinya baru berubah secara dramatis pada 1991, ketika ribuan orang Madura turun ke jalan, menyerang polisi dan menghancurkan simbol-simbolnya sebagai reaksi atas pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa anggota polisi terhadap seorang lelaki di sebuah Polsek di Pontianak.

Tidak ada polisi yang terbunuh dalam insiden itu. Uniknya, sejak saat itu semua pihak menganggap Madura telah mengalahkan polisi. Sejak saat itu pula, praktis tidak ada aparat keamanan yang dapat mengendalikan perilaku orang-orang Madura. Orang-orang sederhana yang umumnya tidak berpendidikan itu kemudian dengan bangga, ditanya atau tidak, akan mengaku dan diaku sebagai orang Madura. Orang-orang yang berasal dari kelompok lain, ikut juga mengaku sebagai Madura, membawa atribut Kemaduraan (pakaian dan clurit), bahkan berbahasa Madura. Dengan mengaku Madura, orang akan segan dan takut; dengan demikian para pelakunya mudah mencapai tujuan, baik dalam bidang kehidupan normal maupun premanisme atau kejahatan.

Awalnya tidak ada orang yang berani menantang situasi itu. Namun, situasinya menjadi lain ketika sejumlah orang pedalaman di Ngabang melakukan hal yang sama kepada tentara pada 1996, yang memberi perasaan sama kepada para pelakunya. Dan benar-benar berubah ketika mereka kemudian menilai orang Madura melakukan ancaman kekerasan secara kolektif kepada anggota mereka.

Pada awal 1997, orang-orang pedalaman seakan bersatu padu mengusir dan membunuh orang-orang Madura secara masif diwilayah yang sekarang disebut Bengkayang, Landak, Sanggau, dan Kabupaten Pontianak. Cukup banyak orang yang percaya bahwa polisi dan tentara dengan sengaja membiarkan semua ini terjadi, sebelum mereka akhirnya menghentikan pertumpahan darah yang merenggut ribuan nyawa itu.

Sejak saat itu pula, mengikuti Madura, orang-orang – baik memang Dayak maupun bukan, dengan bangga ingin mengaku dan diaku sebagai Dayak dengan kepentingan masing-masing. Atribut Kedayakan seperti tato, ikat kepala merah, pakaian bermotif, mandau, dan bahasa tampil dominan di publik, menggantikan simbol Kemaduraan.

Hal yang sama kemudian terjadi pada 1999 di Sambas. Merasa mendapat ancaman kolektif dari Madura, orang-orang penting kemudian berkumpul di Singkawang dan mendirikan organisasi yang menggunakan istilah Melayu untuk pertama kali. Forum Komunikasi Pemuda Melayu (FKPM) selanjutnya secara terorganisasi mengusir dan menyerang Madura di seluruh wilayah Sambas.

Setelah merasa mengalahkan Madura di sana dengan pengendalian minimal polisi, baik para pelaku maupun bukan pelaku yang berada di seluruh provinsi, dengan bangga mengaku-aku sebagai orang Melayu dengan membawa simbol Kemelayuan seperti warna kuning, pakaian adat, dan sebagainya. Belakangan mereka mendirikan Pusat Kajian Budaya Melayu dan Majelis Adat Budaya Melayu (MABM), lengkap dengan rumah adatnya.

Situasi itu dengan cepat kemudian menempatkan Dayak dan Melayu berada pada posisi diametral. Masing-masing berupaya menyeret China (yang telah mendirikan Majelis Budaya Adat Tionghoa/MBAT) dan Madura (yang telah memiliki Ikatan Keluarga Besar Madura/IKBM) untuk bergabung membuat aliansi kesukuan dalam suatu fenomena yang biasa disebut bipolarisasi.

Beberapa kekerasan kolektif sempat pecah dan nyaris menggiring kedua kelompok yang baru saja memperoleh identitas agregat itu terlibat dalam kekerasan kolektif baru. Isu etnik yang sekarang diberi muatan religi dan nasionalisme itu kemudian dicuatkan dengan modus yang mengingatkan pada kasus Ambon.

Mereka saling mengklaim statusnya sebagai penduduk asli dan mayoritas, karena itu memiliki privilese dalam bidang ekonomi dan terutama politik. Khusus dalam bidang terakhir ini, mereka menuntut agar jabatan kepala daerah, baik pada tingkat I dan II, diserahkan eksklusif hanya untuk golongan mereka.

Dalam situasi yang sangat panas itu, menariknya adalah masyarakat sendiri bukan negara, yang kemudian mengembangkan berbagai upaya kompromi untuk mencegah terjadinya kekerasan kolektif, yang bila terjadi dapat melebihi skala dahsyat yang dialami oleh gabungan dua kekerasan kolektif sebelumnya.

Mereka awalnya mengembangkan kompromi politik menurut etnisitas, namun belakangan ketika pada saat yang sama orang-orang di Pusat cenderung mengabaikan, orang-orang di Kalbar justru mulai menyebut kembali pentingnya Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, Wawasan Kebangsaan, dan NKRI. Mungkin karena itu pula, pemilihan gubernur Kalbar tahun 2007 yang awalnya diprediksi rusuh, justru berjalan sangat damai dengan menempatkan seorang Dayak sebagai gubernur dan China sebagai wakilnya.


Kesimpulan

Integrasi (konvergensi) atau disintegrasi (divergensi) adalah bukan sesuatu yang alamiah, terjadi dengan sendirinya. Sebaliknya, merupakan suatu hasil, suatu upaya yang dilakukan, sengaja atau tidak, oleh semua pihak yang hidup dalam suatu teritori tertentu.

Guna menghindari situasi disintegrasi, kita tentu saja dituntut untuk mengembangkan suatu master plan, cetak biru bagi proyek etnisisasi, nasionalisasi, dan juga religisisasi yang komprehensif, sinergis, berperikemanusiaan dan adil bagi semua pihak yang ada di Indonesia. Dan semua itu adalah satu proyek yang mungkin tidak akan pernah selesai.

Sekilas tentang Kalimantan Barat - Sejarah Penguasaan Lahan Sebagai Pedoman Penting bagi Program Transmigrasi



[Makalah, tidak ada tanggal, berdasarkan isi diperkirakan setelah tahun 2000]

M. Iqbal Djajadi
Departemen Sosiologi FISIP-UI


Pengantar

Seperti wilayah lain di Indonesia Bagian Timur, Kalimantan Barat (Kalbar) merupakan satu provinsi yang memiliki lahan sangat luas (lebih luas ketimbang Pulau Jawa yang notabene terdiri dari 6 provinsi), namun jumlah penduduknya sangat sedikit (sekitar 4,5 juta, hanya 1/3 dari penduduk DKI Jakarta ‘pada malam hari’). Di saat yang sama, provinsi ini juga merupakan salah satu dari sangat sedikit wilayah Indonesia yang memiliki perbatasan darat langsung dengan negara lain (Malaysia dan Brunei).

Mungkin karena itulah, pemerintah kemudian menetapkan provinsi Kalbar sebagai salah satu daerah tujuan transmigrasi. Selain mengurangi kepadatan penduduk, pengembangan kutub ekonomi, dan pengentasan kemiskinan warga, tampaknya pemerintah juga memiliki kepentingan politik dan militer tertentu.

Pada periode 1960-an hingga awal 1970-an, misalnya, pemerintah pernah mengembangkan semacam program batalion transmigrasi. Tidak seperti peserta program transmigrasi yang umumnya bekerja sebagai petani, para peserta program ini adalah tentara dan polisi, sukarelawan militer, dan purnawirawan. Saat itu, pemerintah berharap dengan kehadiran para aparat keamanan di berbagai pelosok Kalbar, mereka dapat menangkal pengaruh komunisme di kalangan penduduk lokal yang dianggap masih terbelakang.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, mengingat kasus Ambalat dan pergeseran patok tapal batas adalah dapat dimengerti bila pemerintah sekarang juga tertarik menggunakan transmigrasi sebagai sarana untuk mempertahankan wilayah kedaulatan. Walau demikian, tentu saja hal itu harus dijaga jangan sampai membawa dampak pertikaian di antara penduduk lokal.

Paper singkat ini berusaha memberikan pemahaman tentang konteks sosiologis secara umum di wilayah Kalbar. Tekanannya adalah pada sejarah penguasaan lahan yang selama ini berperan sebagai sumber konflik dan kekerasan di antara berbagai kelompok penduduk.

Dalam kegiatannya, program transmigrasi senantiasa membutuhkan tanah yang cukup luas. Kebutuhan ini mungkin tidak akan menimbulkan masalah sosial yang berarti bila tanah yang bersangkutan berstatus milik negara dan/atau tidak dihuni dan/atau tidak dimiliki penduduk lokal.

Masalahnya menjadi lain sama sekali, bila tanah yang diperlukan bagi kebutuhan program pemindahan penduduk ternyata selama ini menjadi sumber sengketa warga lokal hingga menimbulkan ekses korban manusia. Dengan pemahaman ini, tim peneliti berharap aparat pemerintah dapat memiliki pedoman bertindak yang lebih tepat secara kontekstual dalam mengimplementasikan program transmigrasi sesuai dengan kondisi dan situasi di daerah tujuan.


Profil Geografis

Terlepas dari luasnya wilayah ini, Kalbar bukan merupakan daerah yang subur seperti Jawa. Ketiadaan gunung berapi mungkin salah satu penyebabnya, sebagian besar wilayah merupakan dataran rendah yang terdiri dari tanah berawa dan gambut, serta ditandai banyaknya sungai berukuran besar. Karena kadar asamnya yang tinggi dan selalu terendam air, sebagian besar floranya merupakan tanaman keras yang tumbuh subur berupa hutan tropis yang sangat lebat.

Pada masa lalu, penduduk mengalami kesulitan dalam mengembangkan pertanian tanaman pangan dan komoditi berharga lainnya. Guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari penduduk melakukan pertanian ladang berpindah dengan rotasi 2-10 tahun. Dan guna memperoleh kebutuhan hidup lainnya, penduduk melakukan pengumpulan makanan dan perburuan di hutan yang cukup banyak memiliki sejumlah tanaman yang dapat dimakan (terutama buah-buahan) dan binatang (terutama ikan).

Karena situasi tanah yang sulit, penduduk lokal dulu sangat menggantungkan diri pada perniagaan hasil hutan seperti rotan, getah perca, dan tengkawang. Namun, ketika permintaan pasar internasional menurun, penduduk terpaksa mengalihkan usaha pertanian ke beberapa komoditi mono-kultur tertentu yang laku di pasar internasional seperti lada (sahang), kelapa (kopra), dan karet.

Menanggapi kebutuhan pasar kayu yang meningkat, sejak tahun 1960-an pemerintah menggalakkan penebangan hutan. Wilayah Kalbar merupakan salah satu penghasil kayu terbesar yang memberikan banyak devisa kepada negara. Sejumlah penduduk lokal ikut menikmati hasilnya. Tetapi pada awal 1990-an, bukan saja stok kayu habis, melainkan juga musnahnya hutan yang selama ini merupakan sandaran hidup yang sangat signifikan bagi penduduk. Mereka tidak dapat lagi “berbelanja gratis di supermarket hidup,” sebaliknya wilayah mereka rentan mengalami polusi asap, kekurangan air bersih pada musim kemarau, dan banjir pada musim hujan.

Andalan komoditi pertanian yang tersedia, kini terbatas hanya pada kelapa sawit (yang baru dikembangkan pada 1980-an), karet (yang ditanam sejak abad ke-19, umumnya merupakan milik rakyat, karena itu sangat sulit berkembang dan sangat rentan dengan fluktuasi pasar internasional), kelapa (yang baru bangun kembali setelah tidur berkepanjangan), dan hingga beberapa derajat yang sangat terbatas – jeruk (yang ditanam sejak 1930-an, mengalami masa keemasan pada 1980-an, mati pada awal 1990-an, dan bangkit kembali pada awal abad ke-21).

Sebagaimana pertanian, penduduk lokal juga tidak dapat mengandalkan hidup mereka pada hasil tambang. Tidak seperti Kalimantan Timur, alam Kalbar tidak memiliki banyak deposit bahan tambang yang berharga seperti minyak dan batu bara. Dua jenis tambang yang selama ini dieksploitasi oleh sejumlah penduduk lokal adalah emas dan intan, namun secara umum deposit yang tersedia sangat terbatas, tidak memenuhi skala ekonomi yang dapat membawa efek berantai yang besar bagi banyak pihak.

Lebih dari itu, penambangan emas yang dilakukan rakyat (PETI) telah menimbulkan kontroversi di kalangan publik, karena membuat air sungai yang menjadi andalan penduduk sehari-hari menjadi terkontaminasi dengan zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan.

Dalam kondisi ekonomi semacam di atas, tidak banyak pilihan bagi warga lokal untuk memperoleh pekerjaan di bidang lain. Kecuali industri kayu yang sekarang sudah sekarat dan industri perkebunan sawit yang baru berkembang, praktis hampir tidak ada pabrik di Kalbar yang dapat menyerap pekerja secara masif. Sebagai akibatnya, penduduk terpaksa keluar daerah untuk memperoleh pekerjaan.

Sejumlah pria biasanya bermigrasi ke Sumatera dan wilayah lainnya yang masih memiliki hutan untuk bekerja sebagai penebang pohon (selama ini orang Sambas memang dikenal sebagai penebang kayu yang terampil). Namun, sebagian besar lainnya yang kurang terampil (khususnya wanita) lebih memilih bermigrasi ke Malaysia (Sarawak dan Sabah) untuk bekerja sebagai pemberi jasa (umumnya pelayan dan buruh perkebunan), beberapa di antaranya menjadi pedagang (umumnya lelong pakaian bekas). Kerentanan pekerjaan semacam ini terlihat pada fakta bahwa dari waktu ke waktu, pemerintah Malaysia mengetatkan pengawasannya dengan akibat ribuan-puluhan ribu pekerja (TKI) mengalami deportasi dan kembali menganggur di daerah asal mereka.


Profil Penduduk

Tidak seperti di Pulau Jawa, tidak ada penamaan agregat untuk seluruh penduduk yang tinggal di Kalbar. Penduduk lokal tidak mengidentifikasi diri mereka dengan nama pulau, mengingat nama pulau itu sendiri berasal dari pihak luar dan mengalami perubahan (awalnya Borneo kemudian Kalimantan).

Penduduk umumnya mengidentifikasi diri secara sosial berdasarkan nama geografis (terutama sungai) yang spesifik dan terbatas, kemudian berkembang menjadi nama kerajaan, kesultanan, atau panembahan; sekarang menjadi unit administrasi pemerintahan. Kecenderungan tersebut semakin besar lagi mengingat di wilayah ini praktis tidak pernah ada emporium kekaisaran seperti Sriwijaya di Sumatera atau Majapahit di Jawa.

Setiap lokasi memiliki unit pemerintahan terpisah dalam bentuk kerajaan yang relatif otonom, yang kemudian diakui oleh pemerintah kolonial (terutama Belanda), dan uniknya juga diakui pemerintah Indonesia sekarang – terlebih di era reformasi – yang mengedepankan otonomi daerah. Jadi, bila dulu kita bertanya identitas penduduk lokal, mereka akan menjawab bahwa mereka orang Sambas, Ngabang, Sintang, Ketapang, dan sebagainya.

Apa yang sekarang disebut orang Dayak, Melayu, dan Tionghoa (dulu China), adalah istilah yang relatif sangat baru. Di masa lalu, semua identitas kolektif seperti itu lebih merupakan istilah sepihak – sebutan dari orang luar yang bukan saja tidak diketahui, melainkan juga tidak diakui oleh penduduk lokal itu sendiri, karena dianggap menghina (khususnya Dayak dan China), juga karena tingkatan kolektivitasnya lebih tinggi atau luas cakupannya. Kontak intensif dengan pihak luar, terutama setelah terjadinya konflik etnik dan kekerasan etnik, menyebabkan penduduk lokal sekarang bersedia mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Dayak, orang Melayu, dan orang Tionghoa.

Apa yang sekarang disebut Dayak sebenarnya terdiri dari berbagai kelompok (sub-etnik) yang heterogen, karena memiliki tradisi dan bahasa sendiri sedemikian sehingga terpaksa memakai bahasa Indonesia untuk berkomunikasi satu sama lain. Dalam sterotip yang bias di masa lampau, orang Dayak adalah semua penduduk yang secara geografis tinggal di pedalaman, beragama animisme (dulu) dan sekarang Kristen (terutama Katolik), serta menerapkan hukum adat.

Sebagaimana Dayak, apa yang disebut Melayu juga terdiri dari berbagai kelompok yang berlainan tradisi dan dialeknya. Melayu adalah kontras dengan Dayak. Mereka tinggal di pesisir; dan karena beragama Islam, mereka tidak lagi mengenal hukum adat.

Tionghoa juga terdiri dari berbagai kelompok yang memiliki dialek dan tradisi berbeda. Secara geografis dulu mereka tinggal di wilayah yang terkenal dengan nama “Distrik China” dan sekarang tinggal di wilayah pecinan di perkotaan, beragama Konghucu dan/atau Buddha.

Kendati demikian, perlu diperhatikan bahwa ketiga kelompok itu bukan merupakan sesuatu yang sangat eksklusif dengan batas-batas sosio-kultural yang sangat tegas. Ada perkawinan silang dan ada proses saling mempengaruhi yang cukup mendalam di antara mereka, yang dapat membuat kita meragukan kategorisasi populer yang selama ini berlaku.

Dalam terminologi tertentu, di masa lalu hanya ada orang “Dayak” dan sejumlah kecil pendatang yang berasal dari Sumatera, India, Arab, serta Dataran China. Kendati wilayah ini hanya memiliki tingkat migrasi yang rendah (paling rendah di seluruh provinsi Kalimantan), jumlah orang “Melayu” terus bertambah, demikian pula orang “Tionghoa.” Sebaliknya, orang “Dayak” terus berkurang secara relatif proporsional.

Penelaahan menunjukkan, selama ini telah terjadi konversi etnik. Bila orang Dayak masuk Islam, maka mereka tidak lagi mengaku sebagai Dayak, bahkan diaku sebagai Melayu. Demikian pula bila orang Dayak kawin dengan orang China, maka mereka akan mengidentifikasi dan diidentifikasi sebagai orang China. Hal yang sama juga terjadi bila orang China masuk Islam, maka ia akan mengidentifikasi dan diidentifikasi sebagai orang Melayu. Berbeda dengan praktik di wilayah lain. Mereka bukan hanya berubah agama, melainkan juga berubah nama, berpindah lokasi kediaman, dan mengembangkan orientasi kehidupan yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya.      

Berdasarkan Sensus tahun 2000, Dayak, Melayu, dan Tionghoa merupakan 3 kelompok etnik yang menduduki peringkat 1-3 penduduk terbesar di Kalbar. Berdasarkan alasan demografis dan sosial historis inilah mungkin yang menyebabkan lahirnya konsensus pengakuan publik pada awal abad ke-21 yang menyatakan bahwa Dayak, Melayu, dan Tionghoa merupakan 3 pilar penduduk Kalbar, yang dalam konteks tertentu dapat diterjemahkan juga sebagai “penduduk asli.”


Masalah Perebutan Lahan

Wilayah Kalimantan Barat mungkin saja sangat luas dan jumlah penduduknya sangat sedikit, namun mengingat fakta bahwa relatif sangat terbatasnya sumber daya alam di wilayah ini membuat penduduk lokal cukup sering berkompetisi bahkan berperang satu sama lain. Hanya ada sedikit tanah subur, lebih sedikit lagi tanah yang mengandung bahan alam yang berharga, dan jauh lebih sedikit jumlah penduduk yang dapat dijadikan pekerja utuk menggarap kedua tanah tersebut.

Karena tekanan-tekanan faktual itulah, menyebabkan satu kelompok di suatu waktu terpaksa melakukan invasi dan suksesi ke wilayah baru yang memiliki banyak sumber daya alam. Di waktu lain, kelompok yang sama terpaksa secara rutin melakukan ekspedisi ke pemukiman kelompok lain untuk merekrut tenaga kerja guna menggarap lahan baru tersebut, atau mendatangkan pekerja kontrak secara damai dari wilayah di luar Kalbar.

Kompetisi dan peperangan terjadi, baik secara intra maupun inter-kelompok. Kelompok Dayak bersaing dan berperang dengan kelompok Dayak lainnya. Hal yang sama juga terjadi di antara sesama Melayu dan Tionghoa. Dalam proses tersebut, salah satu pihak yang bertikai kemudian membuat aliansi dengan kelompok lainnya, sedemikian sehingga persaingan dan peperangan akhirnya berkembang menjadi pertikaian dalam kelompok besar Dayak, Melayu, dan Tionghoa. Bahkan kemudian melibatkan kolonial Belanda yang bala tentaranya terdiri dari berbagai kelompok etnik lain seperti Jawa, Sunda, Madura, Ambon, dan sebagainya.

Patut digarisbawahi di sini, kendati berbagai pertikaian itu banyak yang membawa korban materi dan manusia, tetapi semua insiden di masa lalu itu tidak ada yang bernuansa etnik. Semua pertikaian berdarah adalah, pada dasarnya, lebih bersumber pada kepentingan ekonomi dan politik, bukan ideologi tentang kesamaan fisik, tradisi, atau bahasa. Satu kelompok ingin lebih kaya dan/atau lebih berkuasa dibandingkan kelompok-kelompok lainnya.

Dari sekian banyak wilayah di Kalbar, mungkin hanya di wilayah sekitar pesisir barat yang paling sering mengalami pertikaian berdarah di antara berbagai kelompok penduduk lokal. Ada beberapa alasan. Pertama, wilayah yang terbentang dari Pontianak (bagian paling selatan), Mempawah, Singkawang, Pemangkat hingga Sambas (paling utara) dan menjorok sedikit ke dalam hingga Bengkayang dan Ngabang (Landak), merupakan daerah yang relatif paling subur dan banyak mengandung pertambangan yang berharga, sekaligus merupakan daerah yang sangat strategis secara ekonomi dan politik.

Penduduk yang tinggal di wilayah tersebut bukan saja dapat mengendalikan perdagangan dari wilayah pedalaman (sebagai penghasil bahan baku) ke pasar internasional (sebagai lokasi barter atau penjualan), melainkan juga mengendalikan dan menuntut kepatuhan penduduk di pedalaman. Berdasarkan itu pula, alasan kedua, mungkin membuat wilayah ini paling banyak memiliki kesultanan/panembahan yang besar dan berpengaruh, sekaligus menarik perhatian kolonial Belanda untuk menancapkan kekuasaannya di sana.

Alasan ketiga, karena posisinya di tepi pantai maka wilayah ini paling banyak mengundang pendatang dari luar; dan keempat, adalah wajar bila wilayah ini juga paling banyak memiliki prasarana dan sarana transportasi sedemikian sehingga kontak sekaligus kemungkinan perang relatif mudah terjadi.

Sebelum abad ke-18, persaingan dan pertikaian berdarah terjadi di antara berbagai kesultanan besar yang berkuasa di wilayah itu, yakni antara Sambas, Mempawah, dan Ngabang – khususnya untuk memonopoli perdagangan serta menguasai pertambangan emas dan intan. Dalam pertikaian, para sultan yang kemudian disebut orang Melayu, melakukan berbagai aneksisasi wilayah Dayak sehingga di satu waktu membuat mereka harus bertempur dengan pihak lain.

Namun uniknya, di waktu lain mereka justru memanfaatkan sebagian orang Dayak  sehingga terjadi pertempuran di antara sebagian Melayu dibantu Dayak melawan Melayu dan Dayak lainnya. Peserta pertikaian semakin kompleks ketika kesultanan Pontianak – yang merupakan kerajaan yang paling akhir muncul, juga ikut terlibat. Situasi semakin bertambah kompleks ketika orang Tionghoa dan Belanda juga masuk ke arena pertikaian.   

Kehadiran orang Tionghoa dalam jumlah besar terjadi sekitar abad ke-18, karena kekurangan tenaga kerja di pertambangan emas dan mengetahui reputasi keterampilan pekerjanya, maka sejumlah kesultanan mendatangkan orang Tionghoa ke Kalbar.

Guna menjamin kepatuhan, pihak kesultanan memberikan berbagai peraturan yang ketat kepada mereka. Namun, dalam perkembangannya para pekerja asing itu justru mengklaim tanah pertambangan milik kesultanan sebagai milik mereka. Untuk mengukuhkannya, mereka kemudian membuat organisasi ekonomi dan politik yang terkenal dengan sebutan kongsi, dan memproklamasikan diri sebagai republik yang otonom, bebas dari pengaruh kesultanan.

Seiring dengan habisnya deposit emas dan kebutuhan tanah yang semakin luas untuk pertanian, orang Tionghoa juga melakukan aneksasi terhadap wilayah Dayak. Belanda memang hadir di wilayah ini pada abad ke-17, tetapi kekuasaannya baru efektif pada pertengahan abad ke-18. Berbeda dengan di wilayah lain (terutama Jawa), Belanda karena keterbatasannya menerapkan pemerintahan tak langsung. Mereka mengakui otonomi setiap unit politik termasuk kongsi, namun dari waktu ke waktu berusaha mengadu dan melemahkan kekuatan mereka.

Dalam jangka panjang hasilnya adalah konfigurasi sosial yang seakan terfragmentasi. Setiap kelompok seakan memiliki teritori masing-masing dan relatif otonom. Orang yang beragama Islam berpusat di ibu kota kesultanan di pesisir, orang Konghucu menetap di daerah Distrik China yang terbentang dari utara Pontianak, Mandor, Monterado, Pemangkat dengan pusatnya Singkawang. Sedangkan orang Animis memilih menundukkan diri menjadi rakyat di wilayah orang Islam dan Konghucu, yang pada gilirannya melakukan praktik konversi etnik. Sebagian besar lainnya memilih hidup bebas dengan tinggal di pedalaman dan terus hidup berpindah untuk mempertahankan kebebasannya.

  
Lahan Sebagai Sumber Kekrasan dan Konflik Etnik

Kemerdekaan Indonesia tidak banyak mengubah konfigurasi sosial di atas. Perubahan yang signifikan baru terjadi pada sekitar pertengahan 1960-an. Akibat konfrontasi dengan Malaysia, pemerintahan Soekarno membentuk berbagai satuan aksi perlawanan untuk mencegah Sabah dan Sarawak masuk ke dalam federasi Malaysia.

Pihak yang paling aktif terlibat dalam pembentukan satuan aksi itu adalah pihak sipil dan militer yang memiliki ideologi komunis. Karena satu dan lain alasan, mereka tampaknya lebih memilih orang Tionghoa sebagai kelompok sasaran. Ketika terjadi perubahan rezim dan politik luar negeri, pemerintahan Soeharto berusaha membubarkan berbagai satuan aksi perlawanan tersebut, namun yang terakhir ini menolak dan justru mengadakan aksi bersenjata.

Menyadari situasi bahwa penduduk lokal (Dayak) dan militer lokal banyak yang terlibat dalam gerakan yang kemudian terkenal disebut sebagai pemberontakan PGRS/Paraku dan sulitnya medan yang harus diliput, maka pemerintah melakukan tindakan strategis sebagai berikut:

Sebelum operasi militer dijalankan, pemerintah menjalankan operasi sosial dalam bentuk pengusiran orang-orang Tionghoa di wilayah pedalaman. Dengan cara itu, pemerintah berharap dukungan logistik kepada para pemberontak akan berkurang drastis. Kemudian di bawah komando militer mereka memobilisasi orang-orang Dayak di pedalaman untuk mengusir orang-orang yang disebut mereka sebagai “orang China Komunis.”

Sebagai akibat operasi yang secara eufimistik disebut demonstrasi itu adalah jatuhnya korban jiwa yang besar di kalangan orang Tionghoa. Mereka yang dapat bertahan hidup, sejak 1967 terpaksa harus hidup di perkotaan, khususnya di Singkawang dan Pontianak. Sebagian lain terpaksa migrasi ke lokasi lain, terutama Jakarta, tanpa dapat memanfaatkan harta benda mereka di kediaman semula.

Melihat adanya rumah dengan segala isinya, tanah, kebun, sawah, dan ternak yang ditinggalkan begitu saja, sejumlah orang Dayak mengambil kesempatan untuk menguasai harta orang Tionghoa. Mereka memutuskan pindah ke lokasi yang dulu disebut Distrik China. Sejumlah penduduk lokal lainnya tidak ketinggalan melakukan hal yang sama. Inilah yang kemudian merupakan sumber awal bagi terjadinya kekerasan etnik di antara Dayak dan Madura.

Dayak memang merasa kesal kepada berbagai kelompok penduduk lain (seperti Melayu, Bugis, dan Jawa) yang ikut menjarah harta milik China. Namun kekesalan paling besar ditumpahkan kepada orang Madura karena berbagai alasan. Beberapa di antaranya yang terpenting adalah karena orang Madura yang paling berani melakukan perlawanan terhadap penguasaan aset China yang dikuasai Dayak – yang ketika itu merasa sebagai “pahlawan.” Orang Madura tidak segan pula melenyapkan berbagai simbol kemajuan Dayak.

Setelah mengalami akumulasi pertikaian kolektif kecil selama belasan tahun, akhirnya kekerasan etnik dalam skala besar pecah di antara Dayak-Madura pada 1997. Bila pada 1967 Dayak membunuh dan mengusir serta menguasai tanah China di Distrik China; maka pada 1997 mereka melakukan hal serupa kepada Madura di “sebagian Distrik China yang dikuasai Madura,” khususnya di wilayah yang sekarang termasuk dalam sebagian Kabupaten Pontianak, Landak, dan Bengkayang.

Kendati Melayu tidak memiliki latar belakang yang sama seperti Dayak, namun Melayu di Sambas memiliki alasan yang tidak jauh berbeda. Sambas adalah wilayah yang paling banyak memiliki penduduk Madura. Selama puluhan tahun melalui mekanisme “pengambilan tanah yang tidak adil” orang Madura praktis memiliki tanah per kapita yang paling besar.

Ketika Madura melakukan aksi yang memberikan kesan penyerangan secara kolektif kepada Melayu, akhirnya mereka pada 1999 melakukan hal yang sama sebagaimana dilakukan Dayak kepada Madura sebelumnya. Mereka mengusir Madura dari Sambas. Dalam proses itu terjadi pembunuhan dan penguasaan aset Madura, khususnya tanah, kendati secara khusus pemerintah berusaha setidaknya secara prinsip mengendalikannya.

Dalam ketiga insiden kekerasan etnik selama ini, ada dua kelompok penduduk yang menjadi korban: Tionghoa dan Madura – yang dapat dikatakan pendatang dan minoritas. Sedangkan dua kelompok pelakunya: Dayak dan Melayu dapat dikatakan penduduk asli dan mayoritas. Selama dan sesudah insiden inilah, Dayak, Melayu, dan belakangan diikuti Tionghoa, menjadi kelompok etnik dalam arti sesungguhnya.

Istilah-istilah itu bukan lagi merupakan kategori obyektif dari pihak luar, melainkan suatu kesadaran ‘subyektif’ pihak dalam. Dengan penuh kesadaran mereka berusaha melaksanakan berbagai kegiatan untuk merealisasikan apa yang mungkin dapat disetarakan dengan ‘nation building.’

Sebagai akibatnya, kedua kelompok pelaku itu dengan cepat terlibat dalam konflik etnik yang tajam. Mereka berusaha memperoleh klaim sebagai putra daerah, karena itu sudah seharusnya memiliki hak eksklusif dalam berbagai bidang kehidupan. Mereka bersaing untuk menguasai berbagai jabatan politik yang strategis.

Untunglah, walau ada berbagai kesempatan untuk terlibat dalam kekerasan etnik berikutnya, Dayak dan Melayu akhirnya dapat menahan diri. Pemekaran kabupaten yang secara implisit memberikan pengakuan teritori ‘tradisional’ dan pembagian kekuasaan secara ‘proporsional’ dalam berbagai jabatan publik kepada Dayak dan Melayu mungkin memberikan kontribusi yang signifikan. Dan beberapa bulan lagi kita akan segera menyaksikan seberapa jauh kebenaran hal itu, ketika penduduk Kalbar secara langsung memilih Gubernur mereka yang baru.       


Penutup

Negara tentu saja bukan pemilik tunggal tanah di wilayahnya. Di setiap jengkal tanah, bahkan yang tidak sedang dihuni atau digarap sekali pun, pasti ada riwayat panjang tentang para pemiliknya, legal atau tidak. Pada masa kolonialisme, pemerintah melegalkan penguasaan tanah melalui kekerasan yang dilakukan Melayu dan Tionghoa terhadap Dayak.

Pada tahun 1960-1970-an, pemerintah melakukan hal yang sama terhadap Dayak yang melakukan penjarahan tanah milik orang Tionghoa. Pada akhir 1990-an kendati pemerintah tidak melegalkan pemilikan tanah Madura kepada Dayak dan Melayu, namun pada praktiknya orang Madura yang memiliki tanah secara legal sekali pun mengalami kesulitan untuk menggarap dan/atau menjualnya.

Dalam konteks itulah, kita berharap program transmigrasi di Kalbar sekarang jangan sampai terjerembab ke dalam situasi pemilikan tanah yang rawan. Hal ini menjadi lebih penting lagi untuk dipertimbangkan, bila diingat ada kecenderungan sekarang sebagai akibat kampanye pemerintah dan LSM, telah terjadi peningkatan kesadaran hukum di kalangan penduduk sehingga mereka tidak segan mengeluarkan biaya yang tinggi untuk membuat sertifikat tanah miliknya.

Sayangnya karena sistem hukum yang berlaku sekarang jarang mempertimbangkan aspek historis dan mengabaikan asas kepastian serta keadilan, pemilikan tanah senantiasa menimbulkan situasi yang problematik sehingga tidak jarang menimbulkan ekses dalam bentuk kekerasan berdarah.