Kamis, 24 November 2016

Belajar dari Daerah: Etnisisasi dan Nasionalisasi Sebagai Proyek di Kalimantan Barat



[Paper dipresentasikan pada Diskusi Bulanan Konsorsium 2030 dengan tema “Perkembangan Daerah-Daerah pada Era Reformasi: Menuju Konvergensi atau Divergensi?” Juni 2009]


Di penghujung rezim Orde Baru dan di awal “Orde Reformasi” banyak pihak yang merasa khawatir bahwa Indonesia berada dalam situasi ancaman perpecahan serius. Sejumlah kelompok mengalami pertikaian berdarah yang masif atas nama etnisitas dan agama seperti dialami di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Poso (Sulawesi Tengah), dan Maluku.

Dalam suasana lepasnya satu provinsi menjadi negara independen, orang-orang, terutama di Pusat, mengkhawatirkan perlawanan bersenjata yang berkepanjangan di Aceh dan Papua juga akan berakhir sama seperti Timor Timur. Dalam benak kebanyakan orang, Indonesia saat itu seakan sedang mengalami krisis “bangsa-negara.” Secara horisontal, bangsa terancam pecah; dan secara vertikal, bangsa tidak lagi mengakui supremasi negara yang mewakilinya.

Paper singkat ini akan menunjukkan bahwa semua ancaman disintegratif itu muncul sebagai akibat kegagalan negara dalam mengelola etnisitas dan nasionalitas di suatu wilayah. Para pejabatnya bukan saja tidak menyadari bahwa kelompok etnik dan bangsa itu bukan suatu fenomena alamiah, rigid, dan statis; melainkan juga mengembangkan kebijakan yang tidak tepat, kontradiktif, dan salah urus.

Dalam kasus Kalimantan Barat (Kalbar), kita akan melihat bahwa tanpa kehadiran negara dan aktor-aktor lainnya, kemungkinan tidak akan ada Dayak, China, dan Melayu; serta tanpa kehadiran dan salah urus pihak-pihak eksternal itu, mungkin tidak ada kekerasan di antara kelompok-kelompok etnik tersebut. Dengan kata lain, sejak saat ini ada baiknya kita mau mengakui bahwa etnisitas dan nasionalitas sebaiknya dipandang sebagai suatu yang dinamis dan tidak alamiah; karena itu kita semua – negara dan masyarakat, harus memandangnya sebagai suatu proyek yang tidak akan pernah selesai dan senantiasa harus dikelola dengan bijaksana.


Etnisisasi dan Religisisasi

Kata “Dayak” mungkin telah ada sejak akhir abad ke-19, namun orang-orang yang dirujuk oleh istilah itu sendiri tidak mengenalnya. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka lebih cenderung menyebut sebagai orang “Iban, Taman, Kayan, Salako, Jelai, dan sebagainya yang jumlahnya mencapai 400-an pada tahun 1950-an dan sekitar 200-an pada tahun 2000-an.” Masing-masing memiliki bahasa, adat istiadat, dan teritori sendiri, serta dari waktu ke waktu terlibat dalam pertikaian berdarah.

Faktanya, identitas kelompok tribal memang lebih bermakna ketimbang istilah agregat yang bukan saja tidak dikenal, melainkan juga asing, bahkan belakangan dianggap negatif dan menghina. Orang-orang yang tinggal di wilayah yang sekarang disebut Kalbar, memiliki istilah mereka sendiri sebagai identitas kolektif, yakni “orang Darat.”

Dibutuhkan waktu dan upaya yang panjang dan melibatkan banyak pihak, sebelum orang-orang yang terdiri dari ratusan kelompok itu bersedia menggunakan kata “Dayak” sebagai identitas sosial.

Proyek Dayakisasi pertama kemungkinan besar dimulai oleh Belanda, baik dalam kapasitas sebagai VOC maupun pemerintah Hindia Belanda. Para pegawai secara diam-diam meregistrasi siapa pun warga yang tinggal di pedalaman yang tidak beragama Islam, berciri fisik kulit kuning dan mata sipit sebagai Dayak. Dalam situasi perasaan bersalah dan upaya untuk membuat keseimbangan kekuasaan yang baru, pemerintah kolonial Hindia Belanda pada 1894 mengumpulkan sejumlah tokoh pedalaman di seluruh Borneo untuk mengikrarkan manifesto Kedayakan di Tumbang Anoi (sekarang berada di Kalimantan Tengah). Untuk meredam tuntutan kemerdekaan yang marak di Jawa, pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan Volksraad yang menempatkan sejumlah orang yang dipandang sebagai Dayak sebagai anggotanya tahun 1938. 

Setelah kembali ke Kalbar, pemerintah NICA selanjutnya mendirikan Kantor Oeroesan Dajak pada akhir 1945. Dalam kurun waktu hampir bersamaan, pemerintah Hindia Belanda juga memberi kebebasan dan belakangan fasilitas untuk para misionaris Kristen, terutama Katolik, untuk memberadabkan orang-orang yang dianggap primitif itu dengan sarana pendidikan, kesehatan, sosial, dan kekristenan. Hasilnya adalah munculnya sejumlah orang pedalaman yang relatif terdidik. Berkat inisiatif seorang pastor Jesuit asal Jawa, para elit baru itu kemudian mendirikan suatu partai politik bernama Partai Daja (PD) pada 1946, yang kemudian menang secara regional pada Pemilu tahun 1955 dan 1957.

Pemerintahan Orde Lama awalnya mengakui eksistensi PD, merekrut sebagian anggota dan simpatisannya menjadi milisi dalam konfrontasi dengan Malaysia, bahkan menempatkan seorang pengurusnya menjadi gubernur pertama Kalbar. Namun, belakangan rezim Soekarno menghapus legalitas organisasi politik kesukuan itu.

Dalam situasi transisi, embrio rezim Orde Baru (Orba) yang mengalami tekanan internal dan eksternal untuk membasmi PGRS/Paraku yang dianggap komunis, kemudian mencopot jabatan gubernur dan memfasilitasi orang-orang pedalaman untuk mengusir orang-orang berkulit kuning di pedesaan agar pindah ke perkotaan. Dalam proses pengusiran yang berlangsung pada 1967 itu, orang-orang pedalaman yang mulai mengenal kata “Dayak” secara masif, mengambil nyawa dan harta benda orang-orang yang diusir itu.

Sebagaimana Dayak, orang-orang berkulit kuning dan bermata sipit itu sebenarnya terdiri dari puluhan kelompok yang saling bertikai, di antaranya yang mayoritas di Kalbar adalah Khe (Hakka) dan Hoklo (Teochiu). Namun, para pejabat militer kemudian mengintroduksikan istilah kolektif “China” kepada semua kelompok yang sebenarnya, karena banyak kawin campur dengan warga lokal, tidak semua berkulit kuning dan bermata sipit.

Dengan ancaman kekerasan, militer memaksa orang-orang yang mereka sebut sebagai Dayak untuk mengganti kata “sobat” yang biasa mereka pakai, juga memaksa yang bersangkutan yang biasa memakai identitas dialek, dengan suatu istilah yang belakangan dianggap berkonotasi menghina: China identik dengan komunis, tidak beragama, dan pemberontak.

Militer yang kemudian mewujud dalam pemerintahan Orba bukan hanya melakukan proyek etnisisasi, melainkan juga religisisasi. Dalam upaya untuk memastikan tidak berkembangnya komunis, mereka – baik dalam kapasitas sebagai pejabat militer maupun sipil, mendorong orang-orang yang mereka anggap tidak beragama itu, untuk memeluk agama resmi pemerintah. Demikianlah, Dayak didorong untuk meninggalkan agama animisme, beralih menjadi, terutama, Kristen; sedangkan China meninggalkan Konghucu, beralih menjadi Buddha.

Keberhasilan “Dayak” memberantas PGRS/Paraku yang dianggap dimotori oleh China komunis, tidak memperoleh penghargaan yang memadai. Pemerintah rezim Soeharto, kendati memberi gelar militer tituler dan mengesahkan pemilikan harta rampasan milik China, namun tidak memberi kesempatan pada orang-orang pedalaman yang berjasa itu dengan kedudukan politik dan birokrasi yang memadai. Sesuai dengan kredonya, rezim Orba lebih menghargai peran birokrat dan teknokrat yang profesional, sehingga sengaja atau tidak, mereka lebih memberi kesempatan pada orang-orang lokal muslim yang kebanyakan tinggal di pesisir dan/atau perkotaan yang selama ini memang relatif mudah untuk menikmati berbagai fasilitas publik esensial seperti pendidikan.

Para warga lokal yang disebut terakhir itu juga tidak memiliki identitas kolektif. Bila ditanya, mereka umumnya merujuk pada orang-orang yang berasal dari lokasi nama kesultanan yang kemudian berubah menjadi nama daerah administratif seperti, misalnya, Sambas, Mempawah, Sanggau, dan sebagainya. Tidak seperti kedua rekannya, istilah Melayu memang dikenal, namun tidak terkenal; dan yang paling penting lagi, tidak dipakai sebagai identitas agregat dalam kehidupan sehari-hari.

Pemerintah Orba mungkin dikenal sebagai rezim yang anti SARA, namun dalam upaya untuk kepentingan koptasi politik dan pariwisata, para pejabatnya membiarkan bahkan dalam beberapa kasus mendorong orang-orang pedalaman untuk mendirikan Dewan Adat Dayak (DAD) dan mendirikan rumah adat Dayak (Rumah Betang), menyelenggarakan pesta tradisional secara terpusat seperti Gawai Dayak dan Naik Dango. Mereka juga mengizinkan berdirinya konsorsium LSM Pancur Kasih pada akhir 1980-an, yang salah satunya bernama Institut Dayakologi yang aktif bukan sekadar mensosialisasikan kata “Dayak” kepada warga pedalaman, melainkan juga membangkitkan kesadaran kolektif kritis yang pada gilirannya menempatkan pihak lain sebagai musuh bersama. Belakangan, pemerintah Orba juga mengizinkan sejumlah birokrat dan politisi lokal untuk mendirikan Majelis Adat Dayak (MAD) pada 1994.

Hal yang sama juga dilakukan pemerintah Orba dalam bidang agama Islam. Bila pada masa Hindia Belanda hingga Orde Lama lebih menyerahkan penyebaran agama kepada masyarakat, maka pada Orba pemerintah turun langsung secara aktif melakukan Islamisasi. Dalam upaya menyukseskan MTQ di Pontianak pada 1985, pemerintah memberi berbagai bantuan yang sangat besar, bukan hanya untuk kegiatan seremonial politik itu sendiri, melainkan juga berbagai fasilitas lain yang pada gilirannya berperan menarik orang-orang pedalaman untuk memeluk agama baru, dan mendorong “kefanatikan” muslim pesisir.

Pemerintah bukan saja membangun masjid, madrasah, dan STAIN, melainkan juga mendatangkan ustaz dan ahli agama dari Jawa untuk menanamkan ajaran Islam kepada warga lokal. Sebagaimana pemerintah Hindia Belanda yang semula bersikap netral, Orba kemudian lebih memihak kepada Islam, dan menjadikan Islam seakan sebagai agenda pembangunannya. Mengingat fasilitas tersebut, bukan mengherankan bila, sebagian warga pedalaman dan orang berkulit kuning kemudian tertarik untuk menjadi muslim yang di sana disebut sebagai “turun atau masuk Melayu.”

Sebagian besar warga pedalaman tidak senang dengan perkembangan ini. Sadar atau tidak, fenomena ini memiliki kontribusi yang cukup signifikan dalam mengurangi jumlah orang-orang yang secara sepihak disebut Dayak. Berdasarkan estimasi statistik, pada sekitar abad ke-19 mungkin jumlah mereka ada sekitar 70%, namun pada pemerintahan NICA, proporsinya menurun menjadi sekitar 55%, dan berkurang menjadi 41% pada akhir 1960-an, hingga hanya menjadi sekitar 35% pada sensus tahun 2000. Di saat yang sama, sebaliknya, apa yang sekarang disebut Melayu jumlahnya meningkat hampir secara proporsional, sehingga pada saat terakhir ini proporsinya kurang lebih setara dengan Dayak.

Tidak seperti para tetangganya, orang yang paling belakangan masuk ke Kalbar ini telah lama mengenal istilah itu, dan secara sadar telah lama mengidentifikasi dan diidentifikasi sebagai “orang Madura.” Namun, dari satu segi mereka tidak terlalu terdorong untuk mengakui hal itu, mengingat konotasinya yang cenderung bersifat negatif – mengingat status mereka yang dapat dikatakan berada di lapisan paling bawah: sebagai ‘budak’ dan ‘tukang carok.’ Tetapi mobilitas vertikal mereka dalam stratifikasi mengalami penguatan yang berarti, ketika tahun 1967 mereka ikut membantu orang pedalaman mengusir sekaligus menguasai harta benda orang-orang bermata sipit di pedesaan. Dengan memperoleh rumah, kebun, dan sawah orang-orang bermata sipit itu, mereka memiliki sarana untuk memperbaiki nasib.

Sayangnya, hal tersebut kemudian berkembang ke arah yang negatif. Pengambilan tanah secara ilegal yang dilegalkan oleh pemerintah itu, berkembang seakan menjadi “cara hidup” Madura generasi selanjutnya. Dan yang tidak kalah penting, ikut sertanya Madura dalam pengambilan tanah itu menimbulkan kemarahan di kalangan warga pedalaman yang kemudian terpaksa hidup berdampingan dengan simbol-simbol kekerasan individual dan Keislaman yang mengusik identitas mereka yang disebut terakhir.


Nasionalisasi

Seperti wilayah-wilayah lain di Nusantara, nasionalisasi yang dijalankan pemerintah di Kalbar selama ini sangat bergantung pada sosialisasi formalistik. Para pejabat cenderung menggunakan media resmi seperti radio, surat kabar, dan belakangan televisi, sekolah dan lembaga pemerintahan untuk memperkenalkan Keindonesiaan – mulai dari ideologi negara, Sumpah Pemuda, hingga P-4. Bagi suatu provinsi yang berukuran lebih besar dari Jawa, dengan penduduk yang sedikit dan jarang serta memiliki keterbatasan yang besar dalam komunikasi dan transportasi, bukan hal yang mengherankan bila Keindonesiaan adalah sesuatu yang asing, abstrak, dan kurang bermakna bagi sebagian besar warganya.

Karena keterbatasan yang sama, warga pedalaman banyak yang tidak menyadari bahwa Belanda dan Jepang adalah penjajah yang harus diperangi. Umumnya warga Kalbar baru mengetahui berdirinya Indonesia setelah beberapa bulan Proklamasi dinyatakan oleh Soekarno-Hatta di Jakarta. Hampir tidak adanya pembangunan yang signifikan selama masa Kemerdekaan dan Orde Lama, membuat situasinya praktis tidak berubah. Perubahan baru terjadi pada masa Orba, ketika pemerintah mulai membangun jalan, pembangkit listrik, puskesmas, pemancar radio, televisi nasional,dan terutama, sekolah.

Mungkin menyadari relatif sangat besar dan heterogennya etnisitas di Kalbar, berbeda dengan sekolah di wilayah lain terutama di Jawa, pemerintah tidak menerapkan mata pelajaran “bahasa daerah” sebagai muatan lokal. Praktik ini tentu saja menguatkan kebiasaan berbahasa yang berlaku selama ini: Indonesia. Kendati ada beberapa pengaruh dialek Melayu lokal, namun umumnya orang-orang Kalbar dapat digolongkan sebagai salah satu pengguna bahasa Indonesia terbaik di Nusantara. Dengan berbahasa nasional, mereka bukan saja dapat menghindarkan kendala komunikasi dan kesalahpahaman, melainkan juga dapat menekan aspek kesukuan sekaligus mengembangkan nasionalisme. Mengingat hal tersebut, dapat dipahami bila cukup banyak orangtua lokal yang marah ketika anak-anak mereka pulang sekolah berbicara dengan logat dan istilah Jawa yang diperoleh dari guru mereka yang kebanyakan berasal dari Jawa.

Kalbar adalah wilayah pertama yang menjalankan program pengadaan kayu nasional, karena itu juga menjadi wilayah yang paling awal mengalami kerusakan hutan yang parah. Penduduk lokal memang merasa berterima kasih dan mulai memperoleh nilai-nilai Keindonesiaan, namun karena melihat hancurnya lingkungan sekitar serta ekonomi mereka yang selama ini tergantung pada komoditas internasional tunggal pada satu pihak; serta di pihak lain relatif makmurnya para pendatang dan kesempatan yang sangat besar untuk mengembangkan etnisitas, telah membuat banyak warga lokal mengalami alienasi dan frustasi yang hebat. Kehadiran warga negara tetangga di perbatasan – Malaysia dan Brunei yang lebih makmur, semakin memudarkan rasa kebangsaan yang baru saja mereka peroleh.

Di sinilah terletak ironinya. Kendati terlambat, orang-orang Kalbar mungkin lebih mengenal kata Indonesia ketimbang Dayak, China, dan Melayu. Namun, belakangan setelah terjadi kekerasan kolektif, menjadi ketiga kelompok etnik yang disebut terakhir itu mungkin lebih membanggakan dan banyak memperoleh manfaat ketimbang menjadi orang Indonesia.


Proyek Kekerasan

Hingga akhir 1980-an, fenomena etnisitas sebenarnya belum menampakkan diri. Situasinya baru berubah secara dramatis pada 1991, ketika ribuan orang Madura turun ke jalan, menyerang polisi dan menghancurkan simbol-simbolnya sebagai reaksi atas pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa anggota polisi terhadap seorang lelaki di sebuah Polsek di Pontianak.

Tidak ada polisi yang terbunuh dalam insiden itu. Uniknya, sejak saat itu semua pihak menganggap Madura telah mengalahkan polisi. Sejak saat itu pula, praktis tidak ada aparat keamanan yang dapat mengendalikan perilaku orang-orang Madura. Orang-orang sederhana yang umumnya tidak berpendidikan itu kemudian dengan bangga, ditanya atau tidak, akan mengaku dan diaku sebagai orang Madura. Orang-orang yang berasal dari kelompok lain, ikut juga mengaku sebagai Madura, membawa atribut Kemaduraan (pakaian dan clurit), bahkan berbahasa Madura. Dengan mengaku Madura, orang akan segan dan takut; dengan demikian para pelakunya mudah mencapai tujuan, baik dalam bidang kehidupan normal maupun premanisme atau kejahatan.

Awalnya tidak ada orang yang berani menantang situasi itu. Namun, situasinya menjadi lain ketika sejumlah orang pedalaman di Ngabang melakukan hal yang sama kepada tentara pada 1996, yang memberi perasaan sama kepada para pelakunya. Dan benar-benar berubah ketika mereka kemudian menilai orang Madura melakukan ancaman kekerasan secara kolektif kepada anggota mereka.

Pada awal 1997, orang-orang pedalaman seakan bersatu padu mengusir dan membunuh orang-orang Madura secara masif diwilayah yang sekarang disebut Bengkayang, Landak, Sanggau, dan Kabupaten Pontianak. Cukup banyak orang yang percaya bahwa polisi dan tentara dengan sengaja membiarkan semua ini terjadi, sebelum mereka akhirnya menghentikan pertumpahan darah yang merenggut ribuan nyawa itu.

Sejak saat itu pula, mengikuti Madura, orang-orang – baik memang Dayak maupun bukan, dengan bangga ingin mengaku dan diaku sebagai Dayak dengan kepentingan masing-masing. Atribut Kedayakan seperti tato, ikat kepala merah, pakaian bermotif, mandau, dan bahasa tampil dominan di publik, menggantikan simbol Kemaduraan.

Hal yang sama kemudian terjadi pada 1999 di Sambas. Merasa mendapat ancaman kolektif dari Madura, orang-orang penting kemudian berkumpul di Singkawang dan mendirikan organisasi yang menggunakan istilah Melayu untuk pertama kali. Forum Komunikasi Pemuda Melayu (FKPM) selanjutnya secara terorganisasi mengusir dan menyerang Madura di seluruh wilayah Sambas.

Setelah merasa mengalahkan Madura di sana dengan pengendalian minimal polisi, baik para pelaku maupun bukan pelaku yang berada di seluruh provinsi, dengan bangga mengaku-aku sebagai orang Melayu dengan membawa simbol Kemelayuan seperti warna kuning, pakaian adat, dan sebagainya. Belakangan mereka mendirikan Pusat Kajian Budaya Melayu dan Majelis Adat Budaya Melayu (MABM), lengkap dengan rumah adatnya.

Situasi itu dengan cepat kemudian menempatkan Dayak dan Melayu berada pada posisi diametral. Masing-masing berupaya menyeret China (yang telah mendirikan Majelis Budaya Adat Tionghoa/MBAT) dan Madura (yang telah memiliki Ikatan Keluarga Besar Madura/IKBM) untuk bergabung membuat aliansi kesukuan dalam suatu fenomena yang biasa disebut bipolarisasi.

Beberapa kekerasan kolektif sempat pecah dan nyaris menggiring kedua kelompok yang baru saja memperoleh identitas agregat itu terlibat dalam kekerasan kolektif baru. Isu etnik yang sekarang diberi muatan religi dan nasionalisme itu kemudian dicuatkan dengan modus yang mengingatkan pada kasus Ambon.

Mereka saling mengklaim statusnya sebagai penduduk asli dan mayoritas, karena itu memiliki privilese dalam bidang ekonomi dan terutama politik. Khusus dalam bidang terakhir ini, mereka menuntut agar jabatan kepala daerah, baik pada tingkat I dan II, diserahkan eksklusif hanya untuk golongan mereka.

Dalam situasi yang sangat panas itu, menariknya adalah masyarakat sendiri bukan negara, yang kemudian mengembangkan berbagai upaya kompromi untuk mencegah terjadinya kekerasan kolektif, yang bila terjadi dapat melebihi skala dahsyat yang dialami oleh gabungan dua kekerasan kolektif sebelumnya.

Mereka awalnya mengembangkan kompromi politik menurut etnisitas, namun belakangan ketika pada saat yang sama orang-orang di Pusat cenderung mengabaikan, orang-orang di Kalbar justru mulai menyebut kembali pentingnya Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, Wawasan Kebangsaan, dan NKRI. Mungkin karena itu pula, pemilihan gubernur Kalbar tahun 2007 yang awalnya diprediksi rusuh, justru berjalan sangat damai dengan menempatkan seorang Dayak sebagai gubernur dan China sebagai wakilnya.


Kesimpulan

Integrasi (konvergensi) atau disintegrasi (divergensi) adalah bukan sesuatu yang alamiah, terjadi dengan sendirinya. Sebaliknya, merupakan suatu hasil, suatu upaya yang dilakukan, sengaja atau tidak, oleh semua pihak yang hidup dalam suatu teritori tertentu.

Guna menghindari situasi disintegrasi, kita tentu saja dituntut untuk mengembangkan suatu master plan, cetak biru bagi proyek etnisisasi, nasionalisasi, dan juga religisisasi yang komprehensif, sinergis, berperikemanusiaan dan adil bagi semua pihak yang ada di Indonesia. Dan semua itu adalah satu proyek yang mungkin tidak akan pernah selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar