[Makalah, tidak ada tanggal, berdasarkan
isi diperkirakan setelah tahun 2000]
M. Iqbal Djajadi
Departemen Sosiologi FISIP-UI
Pengantar
Seperti wilayah lain
di Indonesia Bagian Timur, Kalimantan Barat (Kalbar) merupakan satu provinsi yang
memiliki lahan sangat luas (lebih luas ketimbang Pulau Jawa yang notabene
terdiri dari 6 provinsi), namun jumlah penduduknya sangat sedikit (sekitar 4,5 juta,
hanya 1/3 dari penduduk DKI Jakarta ‘pada malam hari’). Di saat yang sama,
provinsi ini juga merupakan salah satu dari sangat sedikit wilayah Indonesia
yang memiliki perbatasan darat langsung dengan negara lain (Malaysia dan
Brunei).
Mungkin karena itulah,
pemerintah kemudian menetapkan provinsi Kalbar sebagai salah satu daerah tujuan
transmigrasi. Selain mengurangi kepadatan penduduk, pengembangan kutub ekonomi,
dan pengentasan kemiskinan warga, tampaknya pemerintah juga memiliki
kepentingan politik dan militer tertentu.
Pada periode 1960-an
hingga awal 1970-an, misalnya, pemerintah pernah mengembangkan semacam program
batalion transmigrasi. Tidak seperti peserta program transmigrasi yang umumnya
bekerja sebagai petani, para peserta program ini adalah tentara dan polisi,
sukarelawan militer, dan purnawirawan. Saat itu, pemerintah berharap dengan
kehadiran para aparat keamanan di berbagai pelosok Kalbar, mereka dapat
menangkal pengaruh komunisme di kalangan penduduk lokal yang dianggap masih
terbelakang.
Dalam beberapa tahun
terakhir ini, mengingat kasus Ambalat dan pergeseran patok tapal batas adalah
dapat dimengerti bila pemerintah sekarang juga tertarik menggunakan
transmigrasi sebagai sarana untuk mempertahankan wilayah kedaulatan. Walau
demikian, tentu saja hal itu harus dijaga jangan sampai membawa dampak
pertikaian di antara penduduk lokal.
Paper singkat
ini berusaha memberikan pemahaman tentang konteks sosiologis secara umum di
wilayah Kalbar. Tekanannya adalah pada sejarah penguasaan lahan yang selama ini
berperan sebagai sumber konflik dan kekerasan di antara berbagai kelompok
penduduk.
Dalam kegiatannya,
program transmigrasi senantiasa membutuhkan tanah yang cukup luas. Kebutuhan
ini mungkin tidak akan menimbulkan masalah sosial yang berarti bila tanah yang
bersangkutan berstatus milik negara dan/atau tidak dihuni dan/atau tidak
dimiliki penduduk lokal.
Masalahnya menjadi
lain sama sekali, bila tanah yang diperlukan bagi kebutuhan program pemindahan
penduduk ternyata selama ini menjadi sumber sengketa warga lokal hingga
menimbulkan ekses korban manusia. Dengan pemahaman ini, tim peneliti berharap
aparat pemerintah dapat memiliki pedoman bertindak yang lebih tepat secara
kontekstual dalam mengimplementasikan program transmigrasi sesuai dengan
kondisi dan situasi di daerah tujuan.
Profil Geografis
Terlepas dari
luasnya wilayah ini, Kalbar bukan merupakan daerah yang subur seperti Jawa.
Ketiadaan gunung berapi mungkin salah satu penyebabnya, sebagian besar wilayah
merupakan dataran rendah yang terdiri dari tanah berawa dan gambut, serta
ditandai banyaknya sungai berukuran besar. Karena kadar asamnya yang tinggi dan
selalu terendam air, sebagian besar floranya merupakan tanaman keras yang
tumbuh subur berupa hutan tropis yang sangat lebat.
Pada masa lalu,
penduduk mengalami kesulitan dalam mengembangkan pertanian tanaman pangan dan
komoditi berharga lainnya. Guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari penduduk
melakukan pertanian ladang berpindah dengan rotasi 2-10 tahun. Dan guna
memperoleh kebutuhan hidup lainnya, penduduk melakukan pengumpulan makanan dan
perburuan di hutan yang cukup banyak memiliki sejumlah tanaman yang dapat
dimakan (terutama buah-buahan) dan binatang (terutama ikan).
Karena situasi tanah
yang sulit, penduduk lokal dulu sangat menggantungkan diri pada perniagaan
hasil hutan seperti rotan, getah perca, dan tengkawang. Namun, ketika
permintaan pasar internasional menurun, penduduk terpaksa mengalihkan usaha
pertanian ke beberapa komoditi mono-kultur tertentu yang laku di pasar
internasional seperti lada (sahang),
kelapa (kopra), dan karet.
Menanggapi kebutuhan
pasar kayu yang meningkat, sejak tahun 1960-an pemerintah menggalakkan
penebangan hutan. Wilayah Kalbar merupakan salah satu penghasil kayu terbesar
yang memberikan banyak devisa kepada negara. Sejumlah penduduk lokal ikut
menikmati hasilnya. Tetapi pada awal 1990-an, bukan saja stok kayu habis,
melainkan juga musnahnya hutan yang selama ini merupakan sandaran hidup yang
sangat signifikan bagi penduduk. Mereka tidak dapat lagi “berbelanja gratis di
supermarket hidup,” sebaliknya wilayah mereka rentan mengalami polusi asap,
kekurangan air bersih pada musim kemarau, dan banjir pada musim hujan.
Andalan komoditi
pertanian yang tersedia, kini terbatas hanya pada kelapa sawit (yang baru
dikembangkan pada 1980-an), karet (yang ditanam sejak abad ke-19, umumnya
merupakan milik rakyat, karena itu sangat sulit berkembang dan sangat rentan
dengan fluktuasi pasar internasional), kelapa (yang baru bangun kembali setelah
tidur berkepanjangan), dan hingga beberapa derajat yang sangat terbatas – jeruk
(yang ditanam sejak 1930-an, mengalami masa keemasan pada 1980-an, mati pada
awal 1990-an, dan bangkit kembali pada awal abad ke-21).
Sebagaimana
pertanian, penduduk lokal juga tidak dapat mengandalkan hidup mereka pada hasil
tambang. Tidak seperti Kalimantan Timur, alam Kalbar tidak memiliki banyak
deposit bahan tambang yang berharga seperti minyak dan batu bara. Dua jenis
tambang yang selama ini dieksploitasi oleh sejumlah penduduk lokal adalah emas
dan intan, namun secara umum deposit yang tersedia sangat terbatas, tidak
memenuhi skala ekonomi yang dapat membawa efek berantai yang besar bagi banyak
pihak.
Lebih dari itu,
penambangan emas yang dilakukan rakyat (PETI) telah menimbulkan kontroversi di
kalangan publik, karena membuat air sungai yang menjadi andalan penduduk
sehari-hari menjadi terkontaminasi dengan zat kimia yang berbahaya bagi
kesehatan.
Dalam kondisi
ekonomi semacam di atas, tidak banyak pilihan bagi warga lokal untuk memperoleh
pekerjaan di bidang lain. Kecuali industri kayu yang sekarang sudah sekarat dan
industri perkebunan sawit yang baru berkembang, praktis hampir tidak ada pabrik
di Kalbar yang dapat menyerap pekerja secara masif. Sebagai akibatnya, penduduk
terpaksa keluar daerah untuk memperoleh pekerjaan.
Sejumlah pria
biasanya bermigrasi ke Sumatera dan wilayah lainnya yang masih memiliki hutan
untuk bekerja sebagai penebang pohon (selama ini orang Sambas memang dikenal
sebagai penebang kayu yang terampil). Namun, sebagian besar lainnya yang kurang
terampil (khususnya wanita) lebih memilih bermigrasi ke Malaysia (Sarawak dan
Sabah) untuk bekerja sebagai pemberi jasa (umumnya pelayan dan buruh
perkebunan), beberapa di antaranya menjadi pedagang (umumnya lelong pakaian bekas). Kerentanan
pekerjaan semacam ini terlihat pada fakta bahwa dari waktu ke waktu, pemerintah
Malaysia mengetatkan pengawasannya dengan akibat ribuan-puluhan ribu pekerja
(TKI) mengalami deportasi dan kembali menganggur di daerah asal mereka.
Profil Penduduk
Tidak seperti di
Pulau Jawa, tidak ada penamaan agregat untuk seluruh penduduk yang tinggal di
Kalbar. Penduduk lokal tidak mengidentifikasi diri mereka dengan nama pulau,
mengingat nama pulau itu sendiri berasal dari pihak luar dan mengalami
perubahan (awalnya Borneo kemudian Kalimantan).
Penduduk umumnya
mengidentifikasi diri secara sosial berdasarkan nama geografis (terutama
sungai) yang spesifik dan terbatas, kemudian berkembang menjadi nama kerajaan,
kesultanan, atau panembahan; sekarang menjadi unit administrasi pemerintahan. Kecenderungan
tersebut semakin besar lagi mengingat di wilayah ini praktis tidak pernah ada
emporium kekaisaran seperti Sriwijaya di Sumatera atau Majapahit di Jawa.
Setiap lokasi
memiliki unit pemerintahan terpisah dalam bentuk kerajaan yang relatif otonom,
yang kemudian diakui oleh pemerintah kolonial (terutama Belanda), dan uniknya
juga diakui pemerintah Indonesia sekarang – terlebih di era reformasi – yang
mengedepankan otonomi daerah. Jadi, bila dulu kita bertanya identitas penduduk
lokal, mereka akan menjawab bahwa mereka orang Sambas, Ngabang, Sintang,
Ketapang, dan sebagainya.
Apa yang sekarang
disebut orang Dayak, Melayu, dan Tionghoa (dulu China), adalah istilah yang
relatif sangat baru. Di masa lalu, semua identitas kolektif seperti itu lebih
merupakan istilah sepihak – sebutan dari orang luar yang bukan saja tidak
diketahui, melainkan juga tidak diakui oleh penduduk lokal itu sendiri, karena
dianggap menghina (khususnya Dayak dan China), juga karena tingkatan
kolektivitasnya lebih tinggi atau luas cakupannya. Kontak intensif dengan pihak
luar, terutama setelah terjadinya konflik etnik dan kekerasan etnik,
menyebabkan penduduk lokal sekarang bersedia mengidentifikasi diri mereka
sebagai orang Dayak, orang Melayu, dan orang Tionghoa.
Apa yang sekarang
disebut Dayak sebenarnya terdiri dari berbagai kelompok (sub-etnik) yang
heterogen, karena memiliki tradisi dan bahasa sendiri sedemikian sehingga
terpaksa memakai bahasa Indonesia untuk berkomunikasi satu sama lain. Dalam
sterotip yang bias di masa lampau, orang Dayak adalah semua penduduk yang
secara geografis tinggal di pedalaman, beragama animisme (dulu) dan sekarang
Kristen (terutama Katolik), serta menerapkan hukum adat.
Sebagaimana Dayak,
apa yang disebut Melayu juga terdiri dari berbagai kelompok yang berlainan
tradisi dan dialeknya. Melayu adalah kontras dengan Dayak. Mereka tinggal di
pesisir; dan karena beragama Islam, mereka tidak lagi mengenal hukum adat.
Tionghoa juga
terdiri dari berbagai kelompok yang memiliki dialek dan tradisi berbeda. Secara
geografis dulu mereka tinggal di wilayah yang terkenal dengan nama “Distrik
China” dan sekarang tinggal di wilayah pecinan di perkotaan, beragama Konghucu
dan/atau Buddha.
Kendati demikian,
perlu diperhatikan bahwa ketiga kelompok itu bukan merupakan sesuatu yang
sangat eksklusif dengan batas-batas sosio-kultural yang sangat tegas. Ada
perkawinan silang dan ada proses saling mempengaruhi yang cukup mendalam di
antara mereka, yang dapat membuat kita meragukan kategorisasi populer yang
selama ini berlaku.
Dalam terminologi
tertentu, di masa lalu hanya ada orang “Dayak” dan sejumlah kecil pendatang
yang berasal dari Sumatera, India, Arab, serta Dataran China. Kendati wilayah
ini hanya memiliki tingkat migrasi yang rendah (paling rendah di seluruh
provinsi Kalimantan), jumlah orang “Melayu” terus bertambah, demikian pula
orang “Tionghoa.” Sebaliknya, orang “Dayak” terus berkurang secara relatif
proporsional.
Penelaahan
menunjukkan, selama ini telah terjadi konversi
etnik. Bila orang Dayak masuk Islam, maka mereka tidak lagi mengaku sebagai
Dayak, bahkan diaku sebagai Melayu. Demikian pula bila orang Dayak kawin dengan
orang China, maka mereka akan mengidentifikasi dan diidentifikasi sebagai orang
China. Hal yang sama juga terjadi bila orang China masuk Islam, maka ia akan
mengidentifikasi dan diidentifikasi sebagai orang Melayu. Berbeda dengan
praktik di wilayah lain. Mereka bukan hanya berubah agama, melainkan juga
berubah nama, berpindah lokasi kediaman, dan mengembangkan orientasi kehidupan yang
sama sekali berbeda dengan sebelumnya.
Berdasarkan Sensus
tahun 2000, Dayak, Melayu, dan Tionghoa merupakan 3 kelompok etnik yang
menduduki peringkat 1-3 penduduk terbesar di Kalbar. Berdasarkan alasan
demografis dan sosial historis inilah mungkin yang menyebabkan lahirnya
konsensus pengakuan publik pada awal abad ke-21 yang menyatakan bahwa Dayak,
Melayu, dan Tionghoa merupakan 3 pilar penduduk Kalbar, yang dalam konteks
tertentu dapat diterjemahkan juga sebagai “penduduk asli.”
Masalah Perebutan Lahan
Wilayah Kalimantan
Barat mungkin saja sangat luas dan jumlah penduduknya sangat sedikit, namun
mengingat fakta bahwa relatif sangat terbatasnya sumber daya alam di wilayah
ini membuat penduduk lokal cukup sering berkompetisi bahkan berperang satu sama
lain. Hanya ada sedikit tanah subur, lebih sedikit lagi tanah yang mengandung
bahan alam yang berharga, dan jauh lebih sedikit jumlah penduduk yang dapat
dijadikan pekerja utuk menggarap kedua tanah tersebut.
Karena
tekanan-tekanan faktual itulah, menyebabkan satu kelompok di suatu waktu
terpaksa melakukan invasi dan suksesi ke wilayah baru yang memiliki banyak
sumber daya alam. Di waktu lain, kelompok yang sama terpaksa secara rutin
melakukan ekspedisi ke pemukiman kelompok lain untuk merekrut tenaga kerja guna
menggarap lahan baru tersebut, atau mendatangkan pekerja kontrak secara damai
dari wilayah di luar Kalbar.
Kompetisi dan
peperangan terjadi, baik secara intra maupun inter-kelompok. Kelompok Dayak
bersaing dan berperang dengan kelompok Dayak lainnya. Hal yang sama juga
terjadi di antara sesama Melayu dan Tionghoa. Dalam proses tersebut, salah satu
pihak yang bertikai kemudian membuat aliansi dengan kelompok lainnya,
sedemikian sehingga persaingan dan peperangan akhirnya berkembang menjadi pertikaian
dalam kelompok besar Dayak, Melayu, dan Tionghoa. Bahkan kemudian melibatkan
kolonial Belanda yang bala tentaranya terdiri dari berbagai kelompok etnik lain
seperti Jawa, Sunda, Madura, Ambon, dan sebagainya.
Patut digarisbawahi
di sini, kendati berbagai pertikaian itu banyak yang membawa korban materi dan
manusia, tetapi semua insiden di masa lalu itu tidak ada yang bernuansa etnik.
Semua pertikaian berdarah adalah, pada dasarnya, lebih bersumber pada
kepentingan ekonomi dan politik, bukan ideologi tentang kesamaan fisik,
tradisi, atau bahasa. Satu kelompok ingin lebih kaya dan/atau lebih berkuasa
dibandingkan kelompok-kelompok lainnya.
Dari sekian banyak
wilayah di Kalbar, mungkin hanya di wilayah sekitar pesisir barat yang paling
sering mengalami pertikaian berdarah di antara berbagai kelompok penduduk
lokal. Ada beberapa alasan. Pertama, wilayah yang terbentang dari Pontianak
(bagian paling selatan), Mempawah, Singkawang, Pemangkat hingga Sambas (paling
utara) dan menjorok sedikit ke dalam hingga Bengkayang dan Ngabang (Landak),
merupakan daerah yang relatif paling subur dan banyak mengandung pertambangan
yang berharga, sekaligus merupakan daerah yang sangat strategis secara ekonomi
dan politik.
Penduduk yang
tinggal di wilayah tersebut bukan saja dapat mengendalikan perdagangan dari
wilayah pedalaman (sebagai penghasil bahan baku) ke pasar internasional
(sebagai lokasi barter atau penjualan), melainkan juga mengendalikan dan
menuntut kepatuhan penduduk di pedalaman. Berdasarkan itu pula, alasan kedua,
mungkin membuat wilayah ini paling banyak memiliki kesultanan/panembahan yang
besar dan berpengaruh, sekaligus menarik perhatian kolonial Belanda untuk
menancapkan kekuasaannya di sana.
Alasan ketiga,
karena posisinya di tepi pantai maka wilayah ini paling banyak mengundang
pendatang dari luar; dan keempat, adalah wajar bila wilayah ini juga paling
banyak memiliki prasarana dan sarana transportasi sedemikian sehingga kontak
sekaligus kemungkinan perang relatif mudah terjadi.
Sebelum abad ke-18, persaingan
dan pertikaian berdarah terjadi di antara berbagai kesultanan besar yang
berkuasa di wilayah itu, yakni antara Sambas, Mempawah, dan Ngabang – khususnya
untuk memonopoli perdagangan serta menguasai pertambangan emas dan intan. Dalam
pertikaian, para sultan yang kemudian disebut orang Melayu, melakukan berbagai
aneksisasi wilayah Dayak sehingga di satu waktu membuat mereka harus bertempur
dengan pihak lain.
Namun uniknya, di
waktu lain mereka justru memanfaatkan sebagian orang Dayak sehingga terjadi pertempuran di antara
sebagian Melayu dibantu Dayak melawan Melayu dan Dayak lainnya. Peserta
pertikaian semakin kompleks ketika kesultanan Pontianak – yang merupakan kerajaan
yang paling akhir muncul, juga ikut terlibat. Situasi semakin bertambah
kompleks ketika orang Tionghoa dan Belanda juga masuk ke arena pertikaian.
Kehadiran orang
Tionghoa dalam jumlah besar terjadi sekitar abad ke-18, karena kekurangan
tenaga kerja di pertambangan emas dan mengetahui reputasi keterampilan
pekerjanya, maka sejumlah kesultanan mendatangkan orang Tionghoa ke Kalbar.
Guna menjamin
kepatuhan, pihak kesultanan memberikan berbagai peraturan yang ketat kepada
mereka. Namun, dalam perkembangannya para pekerja asing itu justru mengklaim
tanah pertambangan milik kesultanan sebagai milik mereka. Untuk mengukuhkannya,
mereka kemudian membuat organisasi ekonomi dan politik yang terkenal dengan
sebutan kongsi, dan memproklamasikan diri sebagai republik yang otonom, bebas
dari pengaruh kesultanan.
Seiring dengan
habisnya deposit emas dan kebutuhan tanah yang semakin luas untuk pertanian,
orang Tionghoa juga melakukan aneksasi terhadap wilayah Dayak. Belanda memang
hadir di wilayah ini pada abad ke-17, tetapi kekuasaannya baru efektif pada
pertengahan abad ke-18. Berbeda dengan di wilayah lain (terutama Jawa), Belanda
karena keterbatasannya menerapkan pemerintahan tak langsung. Mereka mengakui
otonomi setiap unit politik termasuk kongsi, namun dari waktu ke waktu berusaha
mengadu dan melemahkan kekuatan mereka.
Dalam jangka panjang
hasilnya adalah konfigurasi sosial yang seakan terfragmentasi. Setiap kelompok
seakan memiliki teritori masing-masing dan relatif otonom. Orang yang beragama
Islam berpusat di ibu kota kesultanan di pesisir, orang Konghucu menetap di
daerah Distrik China yang terbentang dari utara Pontianak, Mandor, Monterado,
Pemangkat dengan pusatnya Singkawang. Sedangkan orang Animis memilih
menundukkan diri menjadi rakyat di wilayah orang Islam dan Konghucu, yang pada
gilirannya melakukan praktik konversi etnik. Sebagian besar lainnya memilih
hidup bebas dengan tinggal di pedalaman dan terus hidup berpindah untuk
mempertahankan kebebasannya.
Lahan Sebagai Sumber Kekrasan dan Konflik Etnik
Kemerdekaan
Indonesia tidak banyak mengubah konfigurasi sosial di atas. Perubahan yang
signifikan baru terjadi pada sekitar pertengahan 1960-an. Akibat konfrontasi
dengan Malaysia, pemerintahan Soekarno membentuk berbagai satuan aksi
perlawanan untuk mencegah Sabah dan Sarawak masuk ke dalam federasi Malaysia.
Pihak yang paling
aktif terlibat dalam pembentukan satuan aksi itu adalah pihak sipil dan militer
yang memiliki ideologi komunis. Karena satu dan lain alasan, mereka tampaknya
lebih memilih orang Tionghoa sebagai kelompok sasaran. Ketika terjadi perubahan
rezim dan politik luar negeri, pemerintahan Soeharto berusaha membubarkan
berbagai satuan aksi perlawanan tersebut, namun yang terakhir ini menolak dan
justru mengadakan aksi bersenjata.
Menyadari situasi
bahwa penduduk lokal (Dayak) dan militer lokal banyak yang terlibat dalam
gerakan yang kemudian terkenal disebut sebagai pemberontakan PGRS/Paraku dan
sulitnya medan yang harus diliput, maka pemerintah melakukan tindakan strategis
sebagai berikut:
Sebelum operasi
militer dijalankan, pemerintah menjalankan operasi sosial dalam bentuk
pengusiran orang-orang Tionghoa di wilayah pedalaman. Dengan cara itu,
pemerintah berharap dukungan logistik kepada para pemberontak akan berkurang
drastis. Kemudian di bawah komando militer mereka memobilisasi orang-orang
Dayak di pedalaman untuk mengusir orang-orang yang disebut mereka sebagai “orang
China Komunis.”
Sebagai akibat
operasi yang secara eufimistik disebut demonstrasi
itu adalah jatuhnya korban jiwa yang besar di kalangan orang Tionghoa.
Mereka yang dapat bertahan hidup, sejak 1967 terpaksa harus hidup di perkotaan,
khususnya di Singkawang dan Pontianak. Sebagian lain terpaksa migrasi ke lokasi
lain, terutama Jakarta, tanpa dapat memanfaatkan harta benda mereka di kediaman
semula.
Melihat adanya rumah
dengan segala isinya, tanah, kebun, sawah, dan ternak yang ditinggalkan begitu
saja, sejumlah orang Dayak mengambil kesempatan untuk menguasai harta orang
Tionghoa. Mereka memutuskan pindah ke lokasi yang dulu disebut Distrik China.
Sejumlah penduduk lokal lainnya tidak ketinggalan melakukan hal yang sama.
Inilah yang kemudian merupakan sumber awal bagi terjadinya kekerasan etnik di
antara Dayak dan Madura.
Dayak memang merasa
kesal kepada berbagai kelompok penduduk lain (seperti Melayu, Bugis, dan Jawa)
yang ikut menjarah harta milik China. Namun kekesalan paling besar ditumpahkan
kepada orang Madura karena berbagai alasan. Beberapa di antaranya yang
terpenting adalah karena orang Madura yang paling berani melakukan perlawanan
terhadap penguasaan aset China yang dikuasai Dayak – yang ketika itu merasa
sebagai “pahlawan.” Orang Madura tidak segan pula melenyapkan berbagai simbol
kemajuan Dayak.
Setelah mengalami
akumulasi pertikaian kolektif kecil selama belasan tahun, akhirnya kekerasan
etnik dalam skala besar pecah di antara Dayak-Madura pada 1997. Bila pada 1967
Dayak membunuh dan mengusir serta menguasai tanah China di Distrik China; maka
pada 1997 mereka melakukan hal serupa kepada Madura di “sebagian Distrik China
yang dikuasai Madura,” khususnya di wilayah yang sekarang termasuk dalam
sebagian Kabupaten Pontianak, Landak, dan Bengkayang.
Kendati Melayu tidak
memiliki latar belakang yang sama seperti Dayak, namun Melayu di Sambas
memiliki alasan yang tidak jauh berbeda. Sambas adalah wilayah yang paling
banyak memiliki penduduk Madura. Selama puluhan tahun melalui mekanisme “pengambilan
tanah yang tidak adil” orang Madura praktis memiliki tanah per kapita yang
paling besar.
Ketika Madura
melakukan aksi yang memberikan kesan penyerangan secara kolektif kepada Melayu,
akhirnya mereka pada 1999 melakukan hal yang sama sebagaimana dilakukan Dayak
kepada Madura sebelumnya. Mereka mengusir Madura dari Sambas. Dalam proses itu
terjadi pembunuhan dan penguasaan aset Madura, khususnya tanah, kendati secara
khusus pemerintah berusaha setidaknya secara prinsip mengendalikannya.
Dalam ketiga insiden
kekerasan etnik selama ini, ada dua kelompok penduduk yang menjadi korban:
Tionghoa dan Madura – yang dapat dikatakan pendatang dan minoritas. Sedangkan
dua kelompok pelakunya: Dayak dan Melayu dapat dikatakan penduduk asli dan
mayoritas. Selama dan sesudah insiden inilah, Dayak, Melayu, dan belakangan
diikuti Tionghoa, menjadi kelompok etnik dalam arti sesungguhnya.
Istilah-istilah itu
bukan lagi merupakan kategori obyektif dari pihak luar, melainkan suatu
kesadaran ‘subyektif’ pihak dalam. Dengan penuh kesadaran mereka berusaha
melaksanakan berbagai kegiatan untuk merealisasikan apa yang mungkin dapat
disetarakan dengan ‘nation building.’
Sebagai akibatnya,
kedua kelompok pelaku itu dengan cepat terlibat dalam konflik etnik yang tajam.
Mereka berusaha memperoleh klaim sebagai putra daerah, karena itu sudah
seharusnya memiliki hak eksklusif dalam berbagai bidang kehidupan. Mereka
bersaing untuk menguasai berbagai jabatan politik yang strategis.
Untunglah, walau ada
berbagai kesempatan untuk terlibat dalam kekerasan etnik berikutnya, Dayak dan
Melayu akhirnya dapat menahan diri. Pemekaran kabupaten yang secara implisit
memberikan pengakuan teritori ‘tradisional’ dan pembagian kekuasaan secara ‘proporsional’
dalam berbagai jabatan publik kepada Dayak dan Melayu mungkin memberikan
kontribusi yang signifikan. Dan beberapa bulan lagi kita akan segera menyaksikan
seberapa jauh kebenaran hal itu, ketika penduduk Kalbar secara langsung memilih
Gubernur mereka yang baru.
Penutup
Negara tentu saja
bukan pemilik tunggal tanah di wilayahnya. Di setiap jengkal tanah, bahkan yang
tidak sedang dihuni atau digarap sekali pun, pasti ada riwayat panjang tentang
para pemiliknya, legal atau tidak. Pada masa kolonialisme, pemerintah melegalkan
penguasaan tanah melalui kekerasan yang dilakukan Melayu dan Tionghoa terhadap
Dayak.
Pada tahun
1960-1970-an, pemerintah melakukan hal yang sama terhadap Dayak yang melakukan
penjarahan tanah milik orang Tionghoa. Pada akhir 1990-an kendati pemerintah
tidak melegalkan pemilikan tanah Madura kepada Dayak dan Melayu, namun pada
praktiknya orang Madura yang memiliki tanah secara legal sekali pun mengalami
kesulitan untuk menggarap dan/atau menjualnya.
Dalam konteks
itulah, kita berharap program transmigrasi di Kalbar sekarang jangan sampai
terjerembab ke dalam situasi pemilikan tanah yang rawan. Hal ini menjadi lebih
penting lagi untuk dipertimbangkan, bila diingat ada kecenderungan sekarang
sebagai akibat kampanye pemerintah dan LSM, telah terjadi peningkatan kesadaran
hukum di kalangan penduduk sehingga mereka tidak segan mengeluarkan biaya yang
tinggi untuk membuat sertifikat tanah miliknya.
Sayangnya karena
sistem hukum yang berlaku sekarang jarang mempertimbangkan aspek historis dan
mengabaikan asas kepastian serta keadilan, pemilikan tanah senantiasa
menimbulkan situasi yang problematik sehingga tidak jarang menimbulkan ekses
dalam bentuk kekerasan berdarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar